23 Juli, 2017.

changmin menyibakkan tirai jendelanya sedikit untuk mengintip keluar. sudah hampir satu jam dan ia masih mendapati siluet juyeon bersandar di balik pagar rumahnya. ini sudah malam, juyeon pasti kedinginan.

kenapa belum pulang, sih? changmin mengeluh dalam hati. ia kembali duduk di atas ranjangnya, mengusap wajahnya lelah.

meraih ponselnya dari atas meja, changmin mengirimkan pesan singkat pada juyeon yang langsung dibalas dalam hitungan detik.

-pulang ju

—aku nggak bakal pulang sebelum ketemu kamu

changmin menghempaskan ponselnya ke atas ranjang, beranjak berdiri diiringi decakan kesal. ia meraih jaket yang tersampir di kursi, memakainya asal sebelum keluar dari kamarnya.

juyeon hampir terjatuh saat punggungnya tak lagi bersandar pada pagar yang tiba-tiba bergeser. ia membalikkan badannya, mendapati changmin berdiri memeluk dirinya sendiri karena angin malam yang berhembus. changmin tidak tahan dingin.

“mau ngomong apa cepet,” ucap changmin. matanya menolak bertemu dengan mata juyeon.

juyeon tiba-tiba merasa kerongkongannya kering, sulit menemukan suaranya. ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu changmin.

“aku... cuma mau bilang, aku nggak pernah niat ninggalin kamu.”

changmin memilih untuk diam.

“aku- changmin, aku- harusnya aku ngomong ini dari dulu. aku sayang sama kamu, sayang banget.” juyeon menghela napas berat, udara malam itu seketika terasa menyesakkan. membuatnya sulit untuk berucap.

kalimat yang terlontar berikutnya sama menusuknya seperti angin malam itu yang menghujam kulit changmin.

“changmin, jadi pacar aku, ya?”

changmin mengangkat wajahnya menatap juyeon untuk pertama kali. alisnya bertaut dalam heran.

“ju,” panggil changmin.

juyeon mengerjapkan matanya, menunggu changmin melanjutkan kalimatnya.

“kamu tuh- sadar nggak sih, ngomong apa?”

“iya. i want you to be mine.”

changmin tersenyum pahit, menggelengkan kepalanya pelan. “kamu egois banget, ju. kamu ngomong gini terus pergi.”

“changmin, justru aku ngomong gini karena aku nggak tau kapan lagi aku bisa ngomong ke kamu.”

juyeon memegang kedua sisi wajah changmin yang terasa dingin, memberinya sedikit hangat. kemudian ia merasakan lelehan hangat pada tangannya.

“changmin...”

changmin terisak pelan. mau tak mau juyeon harus menarik kepalanya dalam pelukan, mengusap rambutnya pelan.

“kenapa sih, ju... kenapa kamu nggak bilang sama aku? kenapa aku jadi orang yang paling terakhir tahu? aku kira selama ini kamu nganggep aku... aku kira-”

“changmin,” potong juyeon. “aku tahu kamu bakal kayak gini walaupun aku ngasih tahu lebih awal. makanya aku sengaja diem. aku minta maaf.”

“aku nggak tahu apa yang harus dimaafin, ju. kamu bakal tetep pergi.”

juyeon mengeratkan pelukannya. ia benar-benar ingin changmin paham bahwa tidak semuanya pergi meninggalkannya. namun ia sendiri saat ini sedang melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya.

“aku harus gimana, changmin?” bisik juyeon, ada nada keputusasaan di sana.

changmin menggelengkan kepalanya dalam pelukan juyeon. “sekalipun aku minta kamu buat tinggal, kamu bakalan tetep pergi kan?”

juyeon tidak dapat memberikan jawaban. ia enggan melepas saat changmin berusaha membebaskan dirinya.

sorry, i can't say yes.