“Ada urusan apa cari saya?”
Baru saja Juyeon menjatuhkan dirinya di atas kursi, lelaki di depannya itu sudah menodongnya dengan pertanyaan.
“Nggak mau pesen minum dulu, apa?” protes Juyeon sambil membolak-balik buku menu. Mencari minuman dengan harga paling minimum.
“Udah saya pesenin. Langsung ke intinya aja, Juyeon,” desak Sangyeon tidak sabar. “Saya nggak punya banyak waktu.”
Juyeon mendenguskan kekesalannya. Sok sibuk amat.
“Lo pasti gini juga ke Changmin. Nggak pernah ada waktu,” gumam Juyeon tanpa menyadari sepasang mata Sangyeon yang menyipit tajam mendengar celetukan Juyeon.
“Oke, deh. Gini.” Juyeon memukul pelan permukaan meja dengan telapak tangannya. “Lo kemarin yang nyuruh buat nutup studio, kan?”
Sangyeon memilih untuk tidak menjawab pertanyaan retoris itu, membiarkan Juyeon untuk melanjutkan ucapannya.
“Ngerti, nggak, itu bukan hak lo?”
“Jelas sepenuhnya hak saya.” Kali ini Sangyeon menanggapi dengan tandas. “Nggak usah pura-pura bodoh, kamu mengganggu apa yang jadi milik saya. Saya jelas punya hak buat bertindak sesuatu. Itu studio yang kalian pake, ada duit saya juga di situ. Walaupun emang Hyunjae yang ngasih semuanya ke kalian.”
Juyeon mengangguk-angguk lambat mendengar penuturan Sangyeon, merasa geli sekaligus heran. Ia lalu melipat kedua tangannya sembari menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
“You are so pathetic. Lo pernah mikir, nggak, kenapa Changmin deket sama gue? Kenapa dia ngerasa nyaman sama gue?” tanya Juyeon.
Sangyeon menarik senyum tipis seakan-akan kebanggaan yang dilontarkan Juyeon hanyalah seperti kesombongan oleh anak kecil. Ia terpaksa menjeda kalimatnya saat pesanan minuman datang ke meja, lalu mengisyaratkan Juyeon untuk minum.
“Changmin itu...” ucap Sangyeon setelah dirinya menyeruput sedikit minumannya. “Gampang luluh sama orang-orang yang baik sama dia. Diperlakuin manis dikit juga dia udah tunduk. You are not special, Juyeon.”
Ada rasa marah yang mulai membakar hati Juyeon. Tidak sudi Changmin dianggap seperti itu oleh orang yang statusnya adalah pacar Changmin sendiri. Bagaimana bisa kalimat yang merendahkan itu muncul dari mulutnya?
“Lo jangan ngomong sembarangan soal Changmin, bangsat,” desis Juyeon geram. Tangannya sudah mengepal siap untuk melayangkan hantaman kalau saja dirinya tidak bisa menahan diri.
“Terserah kamu aja kalo memang masih nganggep Changmin bener-bener ada rasa sama kamu. Coba kamu pikir, kenapa dia nggak milih sama kamu aja waktu saya minta dia buat nggak ketemu lagi sama kamu?”
“Lo ngancem buat nutup studio, bego! Changmin itu nggak egois, nggak kayak lo.” Emosi yang ditahan Juyeon akhirnya tumpah. “Tau, nggak, siapa yang nyuruh gue buat mertahanin studio? Changmin lebih milih mikirin gue daripada perasaannya sendiri. Padahal gue nggak perlu studio dari adek lo itu. Bukan gara-gara dia lebih milih lo!”
Sangyeon tak bergeming saat cowok di depannya itu meledak. Namun ekspresinya cukup menyiratkan ada sesuatu yang berputar dalam pikirannya.
“Kenapa lo nggak mutusin Changmin aja, sih? Hah?” cecar Juyeon. “Dari cara lo memperlakukan Changmin kayaknya lo udah nggak sayang, tuh, sama dia?”
“Saya masih butuh Changmin,” sahut Sangyeon cepat. Juyeon menautkan alisnya rapat-rapat semakin tidak mengerti. “Saya butuh seseorang yang bisa bikin saya inget kalo saya masih punya kebebasan. Dan orang itu Changmin.”
“Kebebasan as in lo bisa ngelakuin apa aja ke Changmin sebagai objek lo?” Juyeon menggeram murka, dan semakin hebat rasa marahnya ketika Sangyeon tak memberi jawaban. Seakan membenarkan dugaan Juyeon.
“Lo bajingan banget,” desis Juyeon dengan suaranya yang rendah. “Lo liat aja, gue pastiin Changmin bakal lepas dari orang manipulatif kayak lo.”
Sangyeon mengangkat bahunya enteng. “Silahkan. Tapi saya nggak yakin Changmin bisa minta putus ke saya.”
Juyeon bangkit dengan cepat dari duduknya, menatap tajam pada Sangyeon dengan napasnya yang memburu. Sesaat sebelum ia membawa langkah kakinya pergi meninggalkan tempat itu, ada satu hal yang diucapkannya.
“Nanti saat lo kehilangan Changmin, lo juga bakal kehilangan semuanya yang nggak akan bisa digantiin sama apa yang lo punya sekarang. And when that time comes, you will fucking understand.“