Amarah itu nyata terasa. Seperti seseorang memukul bagian belakang kepalanya hingga terasa nyeri lalu pergi melarikan diri. Pun juga kabar dari Arka malam itu bagaikan sodoran kayu berujung api untuk Biru.

“Dia tadi udah dibawa balik sama orang, Ru.”

“Siapa?”

“Sori, gue nggak merhatiin. Gue-”

“Nggak papa, Ka. Gue paham. Makasih.”

Tiada satupun kabar dari Bintang malam itu, seperti tanda bahwa Biru belum boleh menjangkaunya saat itu juga meskipun ia ingin. Tetapi batin dan pikirannya sama sekali tak bisa tenang.

Apakah Bintang-nya baik-baik saja?

Dengan terpaksa ia telan bulat-bulat amarah malam itu dan menunggu esok hari hingga ia melihat Bintang lagi. Meski Biru tidak tahu apakah ia sanggup.

Bahkan hingga pagi menjemput, Bintang tetap tak mengungkap apapun pada Biru. Membuat Biru menerka-nerka sudah sejauh dan separah apa kejadian itu mempengaruhi pacarnya. Pada akhirnya Biru tak dapat menahan pertanyaannya.

“Hanan ngapain aja ke kamu?”

Amarah yang sudah ditekannya sejak semalam lepas kembali ke permukaan. Terlebih setelah menyaksikan bagaimana seseorang yang begitu dijaganya terluka oleh perbuatan seseorang yang sangat dikenalnya. Atau mungkin Biru tak benar-benar mengenal Hanan.

Biru tidak sanggup mendengar ucapan Bintang yang menyalahkan dirinya sendiri. Karena Biru merasa ialah yang paling patut disalahkan. Ia yang menjadi jembatan perkenalan Bintang dan Hanan.

Namun apabila Hanan tak pernah mengenal Bintang, apakah kejadian semalam dapat terhindarkan?

Semuanya sudah terjadi dan tak ada yang bisa Biru lakukan. Hanya sesal yang tak menemui jalan keluar.

Apa yang terjadi dengan Hanan serta pipi lebamnya menjadi sesuatu yang tidak Biru katakan kepada Bintang. Biru tahu meskipun pacarnya itu merasa sedih, takut, dan marah, ia pasti tetap tidak mengizinkan Biru untuk melakukan tindakan itu pada Hanan. Dan itu yang membuat Biru semakin merasa tidak berdaya.

Maaf, Bin. Aku nggak selapang dada seperti kamu. Apalagi soal kamu.

Sore itu diajaknya Bintang pergi ke tempat yang dapat menenangkan hatinya. Biru seharusnya sudah tahu bahwa tempat itu adalah dirinya sendiri. Bintang hanya ingin dipeluk Biru dengan erat. Tak bisa dibendungnya air mata yang meleleh acap kali ia teringat kejadian malam itu.

“Nggak papa, nangis aja. Nangis sampe hati kamu lega. Atau kalo kamu mau marah. Silahkan pukul aku yang kenceng.”

“Hati aku sakit, Ru. Tapi aku nggak mau mukul kamu. Aku juga nggak mau mukul temen kamu, aku nggak mau liat dia.”

Detik itu juga rasanya Biru ingin meremukkan Hanan. Pukulan yang diberikannya tadi siang sangat jauh dari kata sepadan. Biru masih memakai akal sehat dan hati nuraninya untuk memperlakukan Hanan sebagai teman dekatnya. Tetapi melihat keadaan Bintang yang seperti ini, Biru ingin mengatakan persetan dengan persahabatan dan segala omong kosongnya. Hanan tak hanya menyakiti Bintang namun juga dirinya!

“Aku harus gimana biar kamu nggak sakit lagi?” tanya Biru pelan.

Bintang menggeleng karena ia memang tidak tahu bagaimana menyembuhkan sakit hati yang seperti ini.

“Bintang.” Biru meraih sisi wajah pacarnya agar ia melihat ke arahnya. Sepasang matanya masih memancarkan sedih yang mendalam. “Aku nggak pernah mikir lain tentang kamu setelah aku dapet kabar waktu itu.”

“Bohong.”

Biru menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak bohong. Aku percaya sama kamu, Bintang. Mungkin sempet aku kaget, tapi aku nggak pernah mikir kamu sengaja-”

“Biru, aku nggak akan pernah,” sahut Bintang menyela kalimat Biru.

“Iya, Bintang. Aku bilang aku nggak pernah mikir kayak gitu tentang kamu,” yakin Biru. “Kamu jangan ngerasa bersalah lagi sama aku. Itu yang masih ngebebanin hati kamu, kan?”

Bintang mengerjapkan bulir air matanya. Dan Biru memeluknya lagi lebih erat.

“Udah berapa kali aku nyakitin kamu, sih, Ru… Masalah Bara, terus ini.”

“Bintang…” sela Biru tak suka. “Jangan samain yang dulu sama sekarang. Beda, Bin. Kamu beneran nggak ada kendali sama apa yang terjadi kemarin malem. Kamu cuma kebetulan ketemu sama Hanan. Iya, kan?”

Bintang hanya diam.

“Iya, aku marah. Tapi bukan sama kamu. Sama Hanan.” Biru berpikir sejenak sebelum ia melanjutkan ucapannya. “Aku pukul dia tadi.”

Mata Bintang melebar. “Apa?”

“Iya, maaf, kamu udah bilang jangan ada berantem fisik. Tapi aku mukulnya sekali doang, kok.”

“Kenceng?”

“Lumayan.”

“Bagus, deh.”

Biru akhirnya dapat menyunggingkan senyum mendengar komentar dari Bintang. Senyum itu juga dibalas Bintang.

“Udah sekali aja,” pesan Bintang. Ia lalu meraih tangan Biru dan mulai memeriksanya. “Kamu luka, nggak?”

“Ngilu dikit, sih. Tapi nggak apa-apa.”

Biru membebaskan tangannya dan kembali meraih sisi wajah Bintang. Kemudian ia menjatuhkan ciuman-ciuman lembut yang singkat pada bibir cowok manis itu.

“Biar nggak ada lagi bekasnya,” komentar Biru.

Perlakuan Biru tak ayal membuat Bintang tersenyum geli. Meski sebenarnya Bintang tak benar-benar mendapat ciuman itu tepat di bibir, tapi ia membiarkan Biru melanjutkan ciuman-ciuman kecilnya.

“Kemarin kamu dianterin balik sama siapa?” tanya Biru kemudian. “Aku harus bilang makasih sama dia.”

Bintang langsung mencelos lagi. Hela napasnya sangat kentara.

“Kenapa?” tanya Biru lagi.

“Ck, kayaknya kamu nggak usah tanya itu, deh, Ru,” balas Bintang dengan bibirnya yang mengerucut.

“Kok?”

“Kamu pasti kesel lagi.”

“Kenapa harus kesel?”

“Yah, soalnyaaa-”

“Siapa, ih? Bukan kesel aku malah penasaran.”

“Janji jangan kesel!”

“Enggak, astaga.”

“Kak Edgar…”

“Siapa??”

“Tuh, kan, kesel!”

“Nggak kesel?”

“Nadanya begitu. Pasti kesel, kan??”

“Nggak, Bintang. Aku cuman kaget- soalnya… Lho, lho, kok nangis lagi…”

“Tau, ah, Biru. Tadi harusnya nggak usah nanya.”

“Ya, udah, iya. Maaf. Jangan nangis lagi.”

Aneh bagi Biru karena ia sama sekali tak merasa cemburu pada Edgar. Mungkin karena saat ini ia sudah yakin akan perasaan Bintang sehingga untuk masalah seperti Edgar tak lagi mengganggunya seperti dulu.

Ya, Biru tidak lagi terganggu soal Edgar. Tidak, kan? Tetapi Biru ingin bertanya sedikit apakah Edgar melakukan sesuatu untuk menenangkan Bintang malam itu. Hanya ingin bertanya sedikit saja. Tidak cemburu, kan?