anak itu selalu datang padanya dengan luka di sana sini. changmin.

juyeon sudah kerap kali mengatakan, kabur saja kalau tidak mau melawan. tapi changmin tetap memilih untuk berdiam menerima hantaman dari kepalan tangan-tangan tak berhati. dari makian hingga tendangan di kepala semua diterima changmin.

“kenapa nggak dilawan?” changmin hanya menggeleng. wajahnya lebam, tapi ia tidak menangis. hanya matanya memerah. entah amarah, atau air mata yang tertahan. ia selalu seperti itu, seperti benda mati yang dipermainkan sana sini. tidak ada emosi.

juyeon melepas rangkuman tangannya dari changmin, beralih menjangkau kotak obat di dekatnya. hati-hati sekali ia mengobati luka di tangan changmin. yang kecil memerhatikannya dengan seksama, ekspresinya melunak. bibirnya bergerak kecil membentuk apa yang hampir bisa disebut senyum.

“terima kasih.”

juyeon menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan obat merah, memandangi changmin dengan raut wajah yang menyiratkan lelah.

“changmin, aku nggak bisa terus-terusan ngerawat kamu kayak gini.”

changmin memiringkan kepalanya. “kenapa?”

“aku nggak bisa selalu ada kalau kamu butuh. kamu harus bisa jaga diri sendiri. kalau kamu ketemu mereka, kamu puter balik. lari. lari sekenceng mungkin, ke rumah.”

“ke rumah juyeon.”

juyeon menarik napas dan menghelanya cepat.

“ke rumah kamu, changmin.”

mendengar koreksi dari juyeon membuat changmin menurunkan bahunya. raut wajahnya sedih.

“tapi di sana nggak ada juyeon. ada papa, tapi papa marahin changmin kalau changmin di rumah.”

juyeon meletakkan kedua tangannya pada bahu changmin, memberinya tenang. “paling engga kamu aman di sana. nggak ada yang mukulin kamu.”

“papa pukul changmin juga,” ucapnya pelan.

lagi-lagi juyeon mendesah, kali ini kepalanya tertunduk dalam. changmin tidak perlu merasakan kejamnya dunia, seharusnya ia tidak perlu hidup di dunia yang tidak ramah padanya. kenapa semesta menempatkannya di tengah-tengah kacau yang memiliki duri untuk menyayat setiap damainya?

“iya, boleh.” juyeon mengangkat kepalanya, tersenyum melalui sorot matanya. “changmin boleh lari ke rumah juyeon. nanti kalau ibu bukain pintu waktu aku ngga ada, bilang kamu temen juyeon, disuruh juyeon buat nunggu di kamar. kamu sembunyi di kamar juyeon, ya?”

changmin mengangguk cepat, perih di wajahnya sudah tidak terasa.

kelas tambahan setelah jam terakhir selalu melelahkan. juyeon hanya ingin segera pulang dan makan, lalu menghempaskan badannya di atas ranjang.

mendorong pagar rumahnya terbuka, juyeon mendapati seseorang duduk di dekat pintu rumahnya. changmin. masih berseragam lengkap dan tas di punggung. ia mendongakkan kepalanya dari bermain tanah saat mendengar suara pagar dibuka. matanya melebar melihat juyeon.

“changmin, kenapa nggak masuk?” tanya juyeon.

changmin mengulurkan tangannya, menunjuk pintu rumah juyeon. juyeon melangkahkan kakinya menuju pintu rumah, meraih kenop pintu dan menyadari kalau itu terkunci. ibunya sedang tidak di rumah.

juyeon merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci cadangan untuk membuka pintu. changmin sudah mengekor di belakangnya, mengikuti juyeon yang memasuki rumah.

juyeon mengecek wajah dan badan changmin yang kini duduk di atas ranjang di hadapannya. tidak ada luka serius seperti biasa, hanya sedikit goresan di pipi.

“anak pinter.” juyeon memberikan pujian pada changmin, mengacak rambutnya pelan. ia pergi mengambil plester untuk menutupi luka di pipi changmin.

changmin menatap juyeon dengan mata lebarnya sembari lelaki itu merawat lukanya dengan hati-hati, juyeon baru menangkap sorot mata changmin yang tertuju padanya. seketika ia merasa rikuh, mengalihkan fokusnya kembali pada kegiatannya.

“nah, udah.” juyeon menegakkan punggungnya setelah menepuk lembut plester yang kini membalut luka changmin. changmin menyentuh pipinya pelan, tersenyum kecil.

“makan bareng, yuk? kamu belum makan, kan?” tanya juyeon, sudah beranjak dari duduknya untuk menuju ke dapur. changmin mengangguk, mengikuti langkah juyeon.

kelas tambahan hari itu berakhir lebih lama dari biasanya. segera setelah gurunya mengakhiri kelas, juyeon menghela napas dan buru-buru membereskan bukunya. ia menyeret kakinya menuju pintu kelas, dan mendapati seseorang yang duduk di luar kelasnya.

melihat juyeon, changmin serta merta melebarkan matanya. “juyeon!”

yang dipanggil hanya terpaku menatap pemandangan di depannya. wajah penuh luka, seragamnya kotor oleh tanah.

“changmin.” juyeon merendahkan badannya, memeriksa hidung changmin yang masih meneteskan darah segar ke seragamnya. ia berdecak kesal, menarik tangan yang kecil untuk berdiri dan menyeretnya pergi.

“juyeon-” panggilan changmin tidak dihiraukan, juyeon melangkahkan kakinya cepat menuju suatu ruangan. ia mengetuk pintunya keras sebelum membiarkan dirinya masuk.

seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk mengerjakan sesuatu di balik mejanya terkejut, ia melepaskan kaca matanya.

“ya?”

juyeon menelan ludah sebelum mulai angkat bicara.

“maaf, pak. tapi saya rasa anak bapak dan teman-temannya sudah keterlaluan. ini bukan pertama kalinya mereka memukuli teman saya seperti ini.”

changmin bersembunyi di balik punggung juyeon, memegangi ujung seragamnya erat.

lelaki yang menyandang status sebagai kepala sekolah itu akhirnya bangkit dari kursinya, terlihat malas mengurusi hal seperti ini lagi. ia mengamati juyeon tajam, sebelum bertanya.

“mana teman kamu?”

changmin semakin mengecilkan badannya di belakang juyeon, bergetar ketakutan.

“changmin,” panggil juyeon, mendorongnya untuk berbicara. “bilang kamu udah diapain aja sama mereka.”

kepala sekolah beralih memandangi changmin, menunggu dengan jenuh. tapi changmin menolak untuk membuka mulut, ia hanya menggenggam ujung seragam juyeon erat.

“jadi, bagaimana?” desak kepala sekolah. “jangan asal membuat asumsi atau saya bisa menghukum kalian berdua.”

changmin menegang mendengar ancaman dari kepala sekolah barusan, ia menarik-narik seragam juyeon.

“juyeon, pulang...” bisiknya pelan.

juyeon membuka mulutnya sebelum mengatupkannya lagi, kehabisan kata-kata karena ia tidak ingin changmin dihukum. akhirnya ia terpaksa menuruti changmin untuk tidak melanjutkan ucapannya. juyeon membungkukkan sedikitnya badannya.

“permisi, pak. selamat siang.”

changmin melirik ke arah kepala sekolah takut-takut, sembari mengikuti juyeon keluar dari ruangan.

langkah kaki juyeon membawa keduanya ke ruang kesehatan. ia harus menghentikan pendarahan di hidung changmin terlebih dahulu.

“duduk.” juyeon menyuruh changmin untuk mengambil tempat sementara ia mencari obat dan kapas. setelah menemukan yang dicarinya, segera ia menghampiri changmin.

juyeon menempelkan kapas di salah satu lubang hidung changmin yang masih mengalirkan darah.

“pegang sini,” suruh juyeon.

changmin menurut, mengulurkan tangannya untuk menahan kapas di hidungnya. sementara itu juyeon berusaha mengobati luka di wajah changmin.

“kan aku udah bilang, kalo ketemu mereka kamu langsung lari. ke rumah aku. kemarin aku udah kasih kamu kunci cadangan, kan?”

nada bicara juyeon terdengar dingin.

“mereka... bilang yang nggak baik soal juyeon,” ucap changmin. “changmin marah.”

“hah?” juyeon mengerutkan dahinya.

“mereka bilang... juyeon sama bodohnya kayak changmin, karena juyeon temenan sama changmin. itu nggak bener, juyeon paling pinter di sekolah. changmin nggak suka, changmin marah.”

changmin menurunkan tangannya yang sedari tadi menahan kapas di hidungnya, pendarahannya sudah berhenti.

“juyeon, changmin pukul mereka tadi,” ucap changmin bersemangat, matanya melebar oleh binar. ia menunggu juyeon untuk memberikan pujian padanya.

namun yang dilakukan juyeon selanjutnya adalah menghempaskan kapas yang digunakannya untuk membersihkan luka di wajah changmin, keras ke lantai. ia menghela napas kesal, meraih kedua bahu changmin.

“changmin, ngapain sih kamu kayak gitu? siapa yang peduli mereka ngomong apa soal aku? kamu tuh bisa nggak sih, jaga diri sendiri? kalo kamu emang pengen berantem sama mereka ya udah berantem aja sekalian!”

kali ini juyeon benar-benar marah, ia melepaskan genggamannya pada bahu changmin membuat anak itu sedikit terhempas ke belakang. kemudian ia menutupi wajahnya sendiri dengan telapak tangan, mulai terisak pelan.

changmin terkejut, ia menatap juyeon yang diselimuti oleh emosi. ia tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak pernah ia melihat juyeon seperti ini. juyeonnya selalu hangat, juyeonnya selalu melindungi. namun sekarang juyeon terlihat dingin dan rapuh di depannya.

“juyeon...” panggil changmin pelan. ia takut, tapi ia teringat satu hal yang sering dilakukan ibunya padanya dahulu. jadi changmin mengulurkan kedua lengannya, melingkari juyeon. memeluknya dari samping.

terakhir, ia memberi satu cium pada pelipis juyeon.

“juyeon, jangan nangis...”

setelah hari itu, juyeon jarang melihat changmin lagi di sekolah. tidak juga di luar kelasnya setelah jam tambahan. tidak di mana-mana.

juyeon kesal, tapi ia juga khawatir. ia takut telah terjadi apa-apa pada changmin. jadi ia memutuskan untuk pergi ke rumah changmin sepulang sekolah.

juyeon mengetuk pintu rumah changmin. sekali, dua kali. tidak ada jawaban.

juyeon hampir menyerah dan berbalik untuk pulang saat ia tak mendapat jawaban setelah lima kali ia mencoba mengetuk pintu.

“ada apa?”

itu ayah changmin, menyipitkan matanya menatap juyeon.

“maaf, apa changmin ada di rumah?”

ayah changmin mengerutkan keningnya, mengamati juyeon dari atas ke bawah. “kamu siapa?”

“saya juyeon, temennya changmin.”

“ada urusan apa sama anak saya?” kali ini lelaki itu melipat tangannya, bersandar pada bingkai pintu.

juyeon berusaha mencari alasan yang tepat.

“saya cuma mau tahu apa changmin baik-baik aja, saya jarang liat dia di sekolah beberapa hari ini.”

“kamu temennya tapi nggak tahu changmin kenapa? bener kamu temennya?” selidik ayah changmin.

juyeon buru-buru mengangguk. “bener, om. maaf, terakhir kali ketemu sama dia saya mungkin bicara agak kasar. saya mau minta maaf, saya juga khawatir sama dia. saya pengen ketemu sama dia.”

“nggak usah, changmin udah nggak tinggal di sini lagi. kamu pulang aja.”

juyeon berusaha mencegah ayah changmin untuk tidak menutup pintu rumahnya.

“tunggu, om! changmin udah nggak di sini? dia ke mana?” tanya juyeon.

“sudah bukan urusan kamu!”

“om, tolong kasih tahu saya changmin di mana sekarang?” desak juyeon.

ayah changmin tampak kesal, ia berdecak pelan.

“changmin diambil sama neneknya.”

juyeon tidak sempat bertanya lagi karena ayah changmin sudah mengunci pintu rumahnya, membiarkan juyeon terdiam di tempatnya. tak tahu harus apa atau mencari tahu ke mana lagi.

sudah seminggu berlalu dan tak seharipun juyeon tidak memikirkan changmin. ia tidak tahu, mungkin saja benar changmin tinggal bersama neneknya. mungkin saja neneknya memperlakukan changmin dengan baik, ia ingat changmin pernah bercerita tentang neneknya. atau mungkin saja ayah changmin berbohong.

changmin, kamu di mana?

juyeon hanya mendapat informasi kalau changmin sudah keluar dari sekolah saat ia berusaha bertanya pada wali kelas changmin. tidak ada informasi ke mana changmin pindah sekolah atau apapun.

setiap malam juyeon merutuki dirinya sendiri. mungkin memang dia yang membuat changmin pergi. mungkin memang dia yang menyakiti changmin. changmin hanya ingin membelanya, tapi ia malah memarahinya. namun juyeon benar-benar khawatir, ia tidak peduli dikatai bodoh karena berteman dengan changmin. ia tidak peduli dikatai apapun, tapi ia tidak bisa terus-terusan melihat changmin mendapat luka di sana sini.

“changmin, ayo balik... balik ke aku. aku janji nggak akan marahin kamu lagi, aku janji bakal jagain kamu kalo ada yang jahat sama kamu. tapi tolong, balik ke sini changmin.”

malam itu juyeon bermimpi changmin memeluknya, membisikkan kata-kata menenangkan.

kelas tambahan berakhir lebih cepat dari biasanya. tapi juyeon tidak bersemangat untuk pulang. ia keluar dari kelasnya, melempar pandangan pada bangku panjang yang kini kosong. memutar kembali memori saat changmin duduk di sana, menunggunya.

juyeon melangkahkan kakinya sembari memikirkan apa anak-anak itu menemukan target baru setelah changmin pergi. atau apakah mereka bahkan sadar jika changmin tak lagi bersekolah di situ.

juyeon menghela napas berat. everything sucks.

ia menendang kerikil dalam perjalanannya pulang. beberapa meter sebelum sampai di rumahnya, ia menghentikan langkahnya. juyeon menatap lurus ke depan. seseorang dengan punggung yang amat dikenalinya, berdiri diam di depan pagar rumahnya.

merasa seperti bermimpi, juyeon menggerakkan kakinya lagi. setengah berlari.

juyeon melihat seseorang itu menolehkan kepalanya, terkejut mendapati juyeon yang berlari ke arahnya. ia buru-buru beranjak pergi.

“changmin!” secepat kilat juyeon menangkap pergelangan tangan lelaki itu, mencegahnya untuk pergi.

changmin menatap tangannya yang dicengkeram erat oleh juyeon yang tersengal di depannya, mencoba mengatur napasnya.

“changmin,” panggil juyeon lagi. “changmin, kamu ke mana aja?”

changmin tidak menjawab, dan juyeon baru menyadari seragam sekolah yang dikenakan changmin. itu sekolah di kota lain, jauh dari sini.

“changmin...” juyeon menggenggam kedua pergelangan tangan changmin, menundukkan kepalanya. “aku minta maaf... aku nggak bermaksud buat marah sama kamu.”

“enggak-”

juyeon mengangkat wajahnya saat changmin akhirnya bersuara.

“juyeon... changmin bikin juyeon sedih.”

menggelengkan kepalanya cepat, juyeon menarik changmin ke dalam pelukannya.

“nggak, changmin nggak pernah bikin juyeon sedih,” bantah juyeon, menyelipkan jemarinya pada helaian rambut changmin.

“tapi changmin bikin juyeon nangis-” lirih changmin dalam pelukan juyeon. juyeon menghembuskan napas, hatinya sakit.

setelah melepaskan pelukannya, juyeon meraih kedua sisi wajah changmin dan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi matanya.

“kamu tinggal di mana sekarang?” tanyanya halus.

changmin menggerakkan bibirnya sejenak, bingung untuk menjawab.

“kamu sama nenek sekarang? iya?” tanya juyeon lagi.

baru kemudian changmin mengangguk pelan. juyeon akhirnya bisa menghela napas lega. setidaknya changmin berada di tempat yang aman.

“kenapa nggak bilang sama aku kalo kamu pindah? aku nyariin kamu ke mana-mana. aku dateng ke rumah kamu juga.”

mendengar itu changmin melebarkan matanya.

“juyeon ke rumah changmin? ketemu papa? juyeon dimarahin papa?”

“engga, changmin. aku nggak dimarahin. papa kamu yang bilang kalo kamu dibawa sama nenek.”

hari itu juyeon akhirnya tahu kalau changmin tidak pulang ke rumah setelah hari terakhir bertemu dengannya. ia pergi ke rumah neneknya yang berjarak dua jam dari sini. melihat kondisi changmin, neneknya memutuskan untuk membiarkan changmin tinggal di tempatnya. ia juga yang memindahkan sekolah changmin.

“terus- kamu ada apa ke sini? kamu habis dari sekolah, kan? sekolah kamu jauh.”

changmin menggigit bibirnya, berusaha merangkai kata. “changmin- mau lihat juyeon. changmin kangen sama juyeon.”

astaga, changmin.

“aku juga kangen sama kamu, changmin,” ucap juyeon.

“tapi... tapi changmin nggak bisa sering-sering ke sini. changmin mau ketemu juyeon tapi ke sini jauh dari rumah nenek.”

juyeon paham. mulai sekarang mereka tidak akan bisa sering bertemu. dan ia merasa sedih karena itu. tapi kalau artinya changmin menjalani hidup dengan lebih baik, maka ia tidak apa-apa.

“nggak apa-apa, nanti aku yang dateng ke sana. ya?” mata changmin berbinar.

“iya? juyeon mau ke rumah nenek?”

juyeon mengangguk, memberikan senyum pada changmin.

“di sekolah kamu gimana? nggak ada yang gangguin kamu, kan?”

changmin menggeleng. “nggak ada. semuanya baik sama changmin!”

“tapi nggak ada yang sebaik aku, kan?”

pipi changmin bersemburat merah, ia kembali menggeleng pelan.

“nggak ada- yang kayak juyeon...”

“bagus, deh.” juyeon mengacak rambut changmin. “soalnya nanti aku marah kalo kamu nemu yang kayak aku.”

changmin memiringkan kepalanya lucu seperti biasa kalau ia sedang bingung. “kenapa?”

“soalnya...” kali ini juyeon menggenggam kedua tangan changmin, tampak ragu untuk mengucap kalimatnya. “changmin itu orang yang penting di hidupnya juyeon. ibarat bumi, changmin itu matahari yang bisa bikin bumi sama seisinya bisa terus hidup.”

“changmin... matahari?” tanya changmin. juyeon mengangguk. “nanti juyeon kepanasan kalo deket changmin?”

ucapan changmin mau tak mau membuat juyeon tertawa. ia mengusak rambut yang kecil. changmin seputih kertas yang belum ternoda, dan hanya kata-kata indah tak menyakiti yang berhak mewarnai setiap lembarnya. changmin seperti dilahirkan dari awan yang memunculkan pelangi, biasnya lembut bagai tak nyata. juga deburan ombak di sore hari yang menggema, menenangkan.

juyeon tidak pernah merasa egois. namun saat ini ia ingin. ia ingin hanya ia yang changmin datangi untuk sekedar berbagi tangis atau tawa. ia ingin hanya ia yang tahu apa kesukaan changmin akhir-akhir ini. ia ingin menjadi seseorang yang berarti di hidup changmin, sama halnya changmin di hidupnya. bukan hanya sekarang, nanti, selamanya. bahkan jika mereka diizinkan bertemu di kehidupan yang lain.

“juyeon?” bisik changmin pelan saat juyeon larut dalam pikirannya, memeluk keseluruhan changmin dalam kedua lengannya.

“hm?” juyeon menjawab dalam gumaman, enggan melepaskan.

“changmin ada tugas matematika. susah. juyeon bisa bantuin changmin?” tanya changmin masih dalam bisikan. “nanti changmin kasih jelly bekal dari nenek.”

juyeon menyimpan senyum, memberikan satu kecup pada puncak kepala changmin.

“aku bantuin, tapi aku gamau jelly.” juyeon menarik changmin masuk ke dalam rumahnya. changmin mengekor di belakangnya.

“yah, changmin cuma punya jelly. juyeon mau apa?” juyeon tidak menjawab, hanya tetap menahan senyum saat changmin menatapnya bingung.

“yang lebih manis dari jelly.”