Atmosfer ketegangan yang pekat melingkupi dua lelaki yang kini sedang duduk berhadapan. Namun salah satunya belum berani mengangkat wajah untuk melihat lawan bicara. Kesepuluh jemarinya bertautan erat mencoba menghalau rasa cemas yang kian mengikis keberaniannya.
“Changmin?” Panggilan ketiga dari Sangyeon mendesak Changmin untuk segera membuka suara. “Gimana?”
Changmin masih urung untuk memberi jawaban. Batinnya berdebat untuk memutuskan apakah ia harus mengungkapkan yang sebenarnya atau mencari alasan lain.
“Aku sama Juyeon nggak ada apa-apa,” ucap Changmin akhirnya. “Kemarin aku emang lagi pengen nenangin pikiran, terus Juyeon nawarin buat nganterin muter-muter.”
“Kamu sengaja ngehindarin aku, kan?” tuduh Sangyeon. “Aku belum sempet jelasin apa-apa tapi kamu langsung pergi gitu aja.”
Changmin menatap gelas minuman di depannya dengan pandangan yang sudah mulai berkabut.
“Mau jelasin apa, Kak...” lirih Changmin, retoris.
Mendengar ketidakyakinan dari Changmin membuat Sangyeon berdecak keras.
“Kamu masih curiga aku ada hubungan sama temen kantor aku?” seru Sangyeon. “You don't even have proof to back up your accusation.“
“Terus kenapa Kakak manggil nama dia, when you were kissing me??“
“For God's sake, aku lagi nggak enak badan. Masalah kerjaan masih numpuk di pikiran dan dia salah satu orang yang selalu kerja bareng aku. It was not my intention to call his name.”
Changmin menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha keras tak menumpahkan sedih dan sakit hatinya karena ia tahu pacarnya kini sedang berupaya menutupi apa yang Changmin yakini. Sangyeon tidak ingin mengakuinya. Bagaimana raut wajahnya berubah setiap kali ia mengobrol dengan orang itu, bagaimana ibunya selalu membanggakan dan memperlakukan orang itu dengan baik. Changmin ada di sana untuk menyaksikan semuanya.
“Mama Kak Sangyeon selalu cerita ke aku, gimana dulu Kakak sama dia udah temenan lama. Dan beliau ngira kalian berdua bakal bareng-bareng akhirnya, tapi ternyata Kakak malah pacaran sama aku,” ujar Changmin, kini menatap Sangyeon lekat dengan kedua manik matanya yang memancarkan sendu.
“'Saya nggak pernah ngerti apa yang dipikirin anak itu, buat akhirnya milih kamu.' Itu yang selalu mama Kakak bilang ke aku,” tambah Changmin pelan.
Sangyeon seketika mengeraskan rahangnya mendengar sesuatu yang selama ini tak pernah diduganya. Ibunya sendiri mengatakan itu pada seseorang yang dipilihnya membuat sebagian kecil dari dirinya geram.
“Kak, kenapa milih aku?”
Pertanyaan sederhana yang seharusnya dapat dijawab dengan mudah, jika memang ada jawaban untuk itu. Namun Sangyeon terlihat sukar untuk menemukan suaranya, butuh beberapa waktu baginya untuk menjawab.
“Karena kamu nggak kayak mereka,” ucapnya dalam satu helaan napas. “Kamu nggak nuntut aku buat ngelakuin apa yang bukan jadi maunya aku. Cuman sama kamu aku ngerasa bebas.”
Changmin menggigit bibir bawahnya, memori akan semua hal yang mereka lakukan dahulu mulai menyeruak dan membanjirinya dengan rasa rindu.
“Tapi aku sadar aku nggak bakal bisa terus-terusan kayak gitu. Jalan hidup aku emang harus begini, sesuai aturan. Kamu satu-satunya yang bikin aku inget kalo aku pernah punya kebebasan.”
“Kak...”
“Makanya kamu harus sama aku terus,” tandas Sangyeon, nada suaranya berubah. “Jangan berhubungan sama orang lain.”
Changmin mengerutkan keningnya. “Kakak sadar nggak, sih, kalo Kakak itu egois?”
“Changmin-”
“Kakak nggak mau aku pergi, tapi Kakak sendiri nggak pernah merhatiin aku. Nggak tau apa yang aku rasain selama ini.”
Sangyeon menyipitkan matanya untuk menatap Changmin lebih tajam. “Jadi kamu lari ke Juyeon? Dia lebih tau soal kamu? Apa yang udah dia kasih ke kamu, yang nggak bisa aku kasih?”
Dia selalu ada buat dengerin semua keluh-kesahku. Rasanya Changmin ingin berteriak.
“Changmin, orang kayak Juyeon itu nggak punya planning yang jelas buat hidupnya. Pikirannya sekarang pasti cuma seneng-seneng aja. Termasuk sama kamu.”
“Emangnya Kakak punya rencana apa sama aku!?” Changmin akhirnya tak dapat membendung luapan emosi yang sudah sekian lama ditahannya. “Kakak yakin bakal mertahanin aku sampe akhir? Sementara Kakak sendiri memperlakukan aku kayak gini, keluarga Kakak yang juga nggak sepenuhnya bisa nerima aku. Kakak emangnya masih sayang sama aku??”
“Changmin!” seru Sangyeon membungkam Changmin yang meledak di depannya. Ditangkapnya pergelangan tangan lelaki itu dan digenggamnya dengan kuat hingga Changmin meringis kesakitan. “Udah berapa lama kamu berhubungan sama Juyeon sampe berani ngomong sembarangan kayak gitu? Mulai sekarang kamu jangan ketemu lagi sama dia.”
“Nggak!” bantah Changmin. “Terserah aku mau ketemu sama siapa aja.”
Sangyeon mengeratkan genggamannya membuat Changmin kembali terdiam, rasa nyeri menjalar ke sekujur lengannya.
“Aku udah bilang ke Hyunjae buat nutup studionya Younghoon,” ujar Sangyeon sungguh-sungguh. Changmin tertegun, perlahan menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Kak, jangan-”
“Kalo kamu masih berhubungan sama cowok itu, aku bakal pastiin dia nggak akan punya fasilitas buat lanjutin kegiatan nge-band-nya. Aku nggak sudi orang yang gangguin hubungan aku sama kamu masih bisa nikmatin sesuatu dari hasil jerih payah keluargaku.”
Pernyataan Sangyeon benar-benar tak bisa dibantah. Dalam sekejap Changmin menyadari dirinya kembali menjadi seseorang yang tak mampu untuk melawan. Dari awal, hidup keduanya memanglah berbeda. Dan Changmin terlambat untuk lepas dari semuanya.