Bagi Bintang, hidup yang dijalaninya saat ini sudah cukup. Beberapa orang mungkin memiliki hal-hal yang ingin digapai. Tetapi Bintang merasa apa yang didapatnya setiap hari telah cukup untuk membuatnya bahagia. Bintang tidak mencari-cari.
Terlebih ada Bara yang hadir di dalamnya.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Bintang berdiri di depan gerbang rumahnya sambil sesekali menaruh ponselnya di telinga. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia hampir menyerah dan memutuskan untuk memesan ojol ketika suara motor terdengar dari kejauhan. Bintang menurunkan ponselnya dan menghela nafas lega.
“Lama banget, sih, Bar!” keluh Bintang sambil memukul pelan punggung Bara begitu cowok itu tiba.
Bara mengangsurkan helm yang segera diterima Bintang.
“Nganter Adis dulu tadi. Dia bawa prakarya ke sekolah.”
“Hih, bilang, dong? Kan, gue bisa berangkat sendiri nggak usah nungguin lo.”
“Belom telat juga ini. Buruan naik.”
“Gue ada kelas pagi, Baraaa!” protes Bintang sambil kepayahan naik ke atas motor Bara.
“Iya udah, bawel, ini juga berangkat. Pegangan.”
Meski masih menggerutu Bintang tetap menuruti perintah Bara sebelum cowok itu melajukan motornya dengan kecepatan penuh.
“Bar, Bar, mampir nge-print bentar!” seru Bintang ketika motor Bara hampir mengambil belokan menuju gerbang kampus.
“Lah, katanya udah telat?” komentar Bara sembari memutar arah menuju kios fotokopi.
Bintang meloncat turun begitu Bara menghentikan motornya. Masih dengan helm yang terpasang di kepalanya, Bintang menghampiri pemilik kios sambil merogoh flashdisk miliknya dari dalam tas.
“Jangan lama-lama!” pesan Bara. Ia memarkirkan motornya agar tak menghalangi orang-orang yang lewat di sekitar kios fotokopi itu. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju kios dan menyandarkan punggungnya di bagian luar kios sambil menunggu Bintang.
Tak berapa lama Bintang menghampirinya. “Eh, Bar, masih ada antrian. Lo buru-buru, nggak?”
“Lo yang masuk pagi, kan?” tanya Bara. “Gue palingan mau mampir kantin dulu. Belom sarapan.”
“Aduh, gimana, ya??”
“Nggak gimana-gimana. Buruan.”
Bintang menghentakkan kakinya bingung lalu kembali masuk ke kios. Bara masih setia bertahan di tempatnya untuk menanti sambil melihat ramainya jalanan di depan kampus.
“Bar.”
Suara Bintang kembali mengusiknya.
“Apa lagi? Jadi antri nggak, sih?”
“Jadiii. Tapi lo gimana belom sarapan?” Ekspresi wajah Bintang terlihat khawatir. “Apa lo duluan aja, deh.”
“Terus lo gue tinggal?” Bara mengangkat alisnya samar. “Yakin? Jalan dari gerbang depan ke gedung lo jauh, lho.”
Bintang melempar pandangannya ke arah gerbang kampus yang ramai oleh mahasiswa berkendaraan memasuki area kampus. Bibirnya mengerucut bimbang. Evan sudah pasti sampai di kampus lebih dulu dan malas menjemput Bintang kalau diminta mendadak.
“Udah sana antri. Gue tungguin.”
Seakan dapat membaca kebimbangan Bintang, Bara menyuruhnya untuk kembali masuk ke dalam. Bintang akhirnya mengangguk cepat lalu membalikkan badannya meninggalkan Bara. Masih ada tiga orang yang memakai komputer sebelum giliran Bintang tiba.
Bintang mengetukkan ujung sepatunya ke lantai sambil menunggu pengunjung di depannya selesai. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, Bintang menangkap figur Bara yang masih menunggu di luar melalui bingkai jendela besar di sisi bangunan kios itu. Bintang tersenyum kecil. Ia membuka tasnya untuk mengambil kamera berukuran mini dan melangkah mendekati kaca jendela.
Cowok dengan jaket hitam yang warnanya sudah pudar dan tas ransel lusuh di punggungnya itu terlihat fokus memandangi padatnya jalanan. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan sesekali rahangnya yang tegas bergerak untuk menyenandungkan sesuatu.
Klik. Klik.
Profil samping Bara tertangkap sempurna oleh kamera milik Bintang. Ia lalu menurunkan kameranya untuk mengabadikan memori saat itu dengan lensa mata.
Meski Bintang selalu ragu atas label perasaannya terhadap Bara, tetapi ia tahu bahwa cowok itu membuatnya merasa aman dan nyaman. Berada di sekitar Bara adalah hal yang diinginkan Bintang. Ia tidak merasa perlu untuk segera mencari tahu apa arti perasaannya pada Bara. Bintang hanya ingin berada dekat dengannya.
Kamera mininya dimasukkan kembali ke dalam tas dan Bintang mengingatkan dirinya untuk segera mencetak fotonya nanti malam.
Satu mangkuk penuh soto ayam dan beberapa buah gorengan sudah siap untuk disantap Bara ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Berdecak pelan karena acara makannya yang terganggu, Bara mengeluarkan benda yang masih bergetar itu dari saku jaketnya.
“Ya, Ren?”
Bara memegangi ponsel dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mulai bergerak untuk menyendok sambal ke mangkuk sotonya.
“Gimana?” tanya Bara ketika seseorang di seberang memberikan kabar. Tangannya mengaduk kuah soto agar sambalnya tercampur sempurna.
“Lo hari ini jadi pinjem motor, nggak? Soalnya gue ada kerkel nanti sore, biar gue sesuaiin dulu jamnya.”
“Ooh. Mau nugas lo ntar?” Bara menyendokkan sesuap ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah ia berpikir sejenak. “Gue belom tau Bintang selesai ngampus jam berapa. Gue tunggu kabar dari Bintang dulu kayaknya.”
“Ada kemungkinan lo nggak jadi ke sana?”
Bara terdiam. Sudah beberapa minggu belakangan ini ia tak lagi rutin mendatangi tempat itu. Waktunya selalu bentrok dengan Bintang yang minta dijemput atau diantar kesana-kemari. Padahal bisa saja Bara beralasan untuk tak memenuhi permintaan Bintang. Tetapi pada akhirnya ia tetap menaruh Bintang di atas yang lainnya.
“Bar?”
“Eh, sori, Ren. Gue tetep tergantung Bintang. Nggak bisa mastiin.”
“Oke. Kalo gitu kunci garasi gue tinggal aja, ya? Biar lo bisa langsung ambil.”
Bara meletakkan sendoknya lalu mengoper ponselnya ke tangan kanan.
“Jangan, jangan. Tetep lo bawa kuncinya. Jangan ninggal kunci sembarangan. Kalo ketauan orang lain bisa dimaling motor lo. Ngamuk nyokap lo ntar.”
Suara tawa di seberang.
“Nyokap gue mungkin malah lupa kalo gue punya motor itu, Bar. Orang lo terus yang pake.”
Bara menarik sudut bibirnya menyetujui ucapan Rendra.
“Udah, nggak usah. Jangan pernah ninggal kunci sembarangan. Gampang nanti gue pake motor sendiri juga nggak papa.”
“Oke, deh.”
“Hmm.”
“Bar.”
“Ya?”
“Semoga Kak Bintang hari ini butuh dianterin kemana-mana.”
Bara akhirnya melepas tawa pelan. Ia tahu apa maksud sahabatnya itu. Jika Bintang adalah orang yang menentang keras untuk Bara kebut-kebutan di jalan, maka Rendra sebenarnya menginginkan hal yang sama. Hanya saja ia tak seperti Bintang yang dapat membuat Bara takluk.
Sama seperti namanya, Bintang juga suka menikmati pemandangan langit malam yang bertabur bintang. Apalagi ditemani oleh petikan senar gitar yang selalu Bara bawa setiap mereka duduk berdua di atap rumah Bintang.
Bara bersenandung pelan diiringi jemarinya yang memetik senar gitar. Ia biarkan pundaknya terbebani oleh kepala Bintang yang bersandar di sana, melihat ke arah langit dan menghitung rasi bintang.
“Bintang kecil, di langit yang biru…” gumam Bintang. “Kenapa biru, ya? Padahal langit malem itu gelap bukan biru.”
“Biru donker kali, maksudnya,” celetuk Bara di sela-sela senandungnya.
Bintang mengerutkan keningnya tak setuju.
“Bintang nggak muncul di langit biru. Harusnya diganti lirik, bintang kecil di langit yang gelap.”
“Nggak sesuai buat anak-anak, dong, Bin. Kesannya serem.”
“Tapi jadi pembodohan, tauuu! Kalo langitnya biru cerah, kan, nggak ada bintangnya.”
Bara menghentikan petikan gitarnya. Ikut mengamati kumpulan bintang yang berkerlap-kerlip.
“Di langit biru ada bintangnya. Tapi nggak kecil.”
“Mana? Nggak pernah liat, tuh?” ledek Bintang.
“Matahari, kan, termasuk bintang juga.”
Bintang membulatkan bibirnya lalu perlahan berubah menjadi cengiran lebar. Kepalanya mengangguk-angguk setuju.
“Iya, juga, ya?” Ia kemudian tertawa kecil. Telunjuknya berubah arah dari menunjuk bintang-bintang di langit menuju dirinya sendiri. “Bintang kecil…” Lalu ia mengarahkan telunjuknya ke pipi Bara. “Bintang besar!”
Bara tersenyum miring atas sebutan yang diberikan Bintang untuknya. Ibunya memberi nama Baraditya mungkin memang dengan harapan agar dirinya dapat secerah matahari. Meski kenyataannya kini matahari itu sedang redup.
Dan bintang kecil di sampingnya inilah yang menghidupinya.
“Tapi gue suka sama nama lo, deh, Bar,” ucap Bintang tiba-tiba.
Bara bergumam pelan. “Kenapa suka?”
“Suka. Kayak cocok aja sama lo. Bara. Hangat.”
“Hangat?”
Bintang mengangguk cepat. “Iya, keberadaan lo bikin gue ngerasa kayak gitu.”
Kalimat Bintang yang diucap seperti tanpa beban itu membuat Bara tercekat. Entah apa Bintang mengetahui bahwa ucapannya itu memberi efek yang lain pada hati Bara.
Diamnya Bara membuat Bintang menyadari apa yang baru saja dikatakannya.
“Eh, aneh, ya, omongan gue?”
Bara menarik senyum tipis kemudian menggeleng. Kembali ia menekuri gitarnya.
“Dulu ada juga yang pernah ngomong kayak gitu. Persis.”
Bintang melebarkan matanya. “Siapa?”
“Ibu.”
Sinar di mata Bintang perlahan memudar mendengar jawaban Bara. Ia tidak bermaksud membuat Bara teringat kembali akan ibunya. Perlahan ia merapatkan dirinya pada Bara sebelum memeluk lengan cowok itu dengan kedua tangannya.
“Bintang kecil sama bintang besar sama-sama ada di langit. Mungkin nggak pernah saling nyapa, tapi mereka ada di tempat yang sama.”
Bara mendengarkan celotehan Bintang di antara petikan gitarnya yang kembali ia mainkan. Seakan nadanya ikut mengiringi kalimat yang diucapnya.
“Bara sama ibunya Bara juga gitu. Tetap ada di tempat yang sama, walaupun nggak saling sapa.”
Dekat. Itu yang dimaksud oleh Bintang. Dan seperti keberadaan Bintang saat ini yang begitu dekat dengannya, Bara tidak ingin menjadi bintang besar. Bara ingin menjadi langit yang akan selalu melingkupi bintang-bintang. Bara ingin menjaga Bintang selalu di dekatnya.
Celotehan Bintang tak terdengar lagi. Petikan senar gitarnya telah membawa cowok itu ke alam mimpi. Dalam mimpi Bintang merasa hangat. Namun hangat itu asalnya hanya dari Bara yang mengecup puncak kepalanya.