Besok adalah hari kelulusan.

Dan hari ini Younghoon harus melakukan sesuatu sesuai kata hatinya untuk pertama kali setelah tiga tahun ini ia mengesampingkan perasaannya.

Ia harus mengatakannya lebih dulu.

Langkah kakinya cepat menaiki anak tangga menuju rooftop di mana Hyunjae berencana untuk mengungkapkan perasaannya pada seseorang. Kepalan tangannya menguat ketika ia sampai di sana. Dua sahabatnya sudah lebih dulu datang.

Berhadapan satu sama lain dengan jarak yang dapat dikikis dengan satu langkah. Raut wajah Hyunjae adalah hal pertama yang Younghoon perhatikan.

Apakah ia sudah terlambat?

Apakah Jacob menolak Hyunjae?


Besok adalah hari kelulusan.

Hari yang berusaha Jacob abaikan dari kalender. Sebab ada satu hal yang selalu memberatkan hatinya setiap ia mengingat akan datangnya hari itu.

Hari di mana ia harus membuat pengakuan yang disimpannya cukup lama. Mungkin tak hanya Hyunjae yang memendam. Mungkin selama ini ia juga adalah seorang munafik.

Jacob mendorong pintu yang mengarah ke rooftop. Dilihatnya satu sahabatnya ada di sana. Hatinya semakin berat.


Besok adalah hari kelulusan.

Hyunjae sudah bertekad akan melakukan ini karena ia tak tahu apakah ada kesempatan lain. Mencoba mengabaikan resiko apa yang mungkin terjadi setelah pengakuannya.

Karena ia memang telah jatuh pada salah satu sahabatnya.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Hyunjae yang sampai di rooftop paling awal. Seseorang berjalan ke arah Hyunjae yang kemudian segera melompat turun dari duduknya.

Did I miss it?

Hyunjae menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya.

“Nunggu Younghoon dulu.”

Okay.” Jacob mengangguk singkat. Ia mengedarkan pandangan ke area terbuka di tempat paling tinggi di sekolahnya itu. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Jacob menarik nafasnya sebelum bertanya lagi. “Jadi… beneran cuma antara gue sama Younghoon?”

“Maksudnya?”

“Gebetan lo.”

Raut wajah Hyunjae mengeras. Tak ada jawaban yang terucap dari bibirnya.

Jacob sedikit banyak sudah menduganya. Ia hanya berharap orang itu benar-benar bukan dirinya.

“Younghoon, kan?”

“Cob, gue-”

Jacob mengangkat satu tangannya, senyumnya terulas tipis. “Nggak usah dijelasin sekarang. Sebentar lagi gue juga bakal tau, kan?”

Hyunjae mendenguskan tawa pendek. “Iya.”

Desau angin menyapa telinga keduanya. Membuat mereka sesaat disergap suasana yang damai namun juga menyimpan banyak resah.

Jacob memperhatikan Hyunjae yang mengayunkan satu kakinya melawan angin. Hatinya terasa semakin berat berada di sini. Dan tak tahu apakah kedatangan Younghoon nanti akan membuat semuanya semakin sulit untuknya.

“Je.”

“Hm?”

“Gue tau lo hari ini mau bikin pengakuan. Tapi, boleh nggak gue ngelakuin hal yang sama?”

Perhatian Hyunjae mulai terfokus pada Jacob.

“Lo juga mau confess?”

Kind of.

“Lo punya gebetan?”

Jacob tertawa pelan. “Bukan itu. Hal lain.”

Mendapat jawaban seperti itu membuat Hyunjae menjadi lebih was-was.

“Hal lain?” tanyanya pelan.

Jacob mengangguk. “Udah gue pertimbangin dari lama. Gue pikirin bener-bener, sempet maju-mundur juga. Tapi kayaknya harus gue lakuin. Gue-”

“Bentar, bentar,” sela Hyunjae. “Lo nggak mau nunggu Younghoon dulu? Kayaknya ini masalah serius.”

Hela nafas Jacob begitu kentara. Hyunjae jadi semakin khawatir atas kemungkinan hal yang diucap Jacob adalah sesuatu yang membuat remuk hati.

“Mungkin alasannya sama kayak lo dulu. Kenapa lo nggak langsung cerita ke Younghoon, dan lebih dulu cerita ke gue. Karena gue nggak siap liat Younghoon sedih.”

Hyunjae melangkah mendekati Jacob, menatap lurus pada kedua iris matanya.

“Cob, ada apa?”

Setelah menelan ludahnya dengan susah payah, Jacob kembali bersuara. Kali ini terdapat getar dalam suaranya.

“Lo masih inget gue sempet kepikiran apply beasiswa ke luar negeri?”

Suara Jacob hampir tak tertangkap oleh telinga Hyunjae. Di saat yang bersamaan juga terdengar begitu jelas. Hyunjae bagai kehilangan kata-katanya. Ia hanya menggeleng lambat.

“Nggak, Cob. Jangan bilang-”

“Hyunjae, gue ambil kesempatan itu.”

Shit.” Hyunjae mengumpat keras. Ia mencengkeram helai-helai rambutnya dengan kedua tangan, membalikkan badan ke arah lain untuk melontarkan lebih banyak umpatan sebelum menghadap Jacob kembali. “Cob, tapi lo udah janji sama Younghoon buat stay di sini!”

“Makanya!” Jacob membalas tak kalah frustrasi. “Makanya gue nggak tau gimana caranya ngasih tau dia soal ini.”

Hyunjae mengontrol dirinya agar dapat berpikir jernih.

“Cob, gue sama sekali nggak melarang lo buat ngejar cita-cita lo. Tau sendiri gue selalu dukung pilihan lo. Tapi, kenapa lo nggak jujur kalo lo ambil kesempatan itu?”

“Je, gue selalu jadiin kalian berdua prioritas. Bahkan di atas pilihan gue sendiri. Dan gue baru sadar belakangan ini. Gue juga mikir lama soal beasiswa itu. Apakah sepadan ninggalin kalian berdua demi hal yang gue pengenin? Apakah gue egois? Tapi selama ini gue baru sadar kalo gue jarang dengerin diri sendiri. Dan saat kesadaran itu mulai muncul, gue udah terlalu jauh mentingin kalian sampe gue gatau gimana caranya buat jujur soal itu.”

Hyunjae mendecakkan lidahnya. “Gue akan senang hati ngelepas lo demi cita-cita lo, Cobie. Tapi, Younghoon…”

Tak ada yang sanggup untuk melontarkan suara lagi. Keduanya tahu betapa Younghoon selalu menginginkan mereka untuk bersama-sama.

Suara langkah kaki memecah keheningan yang tercipta untuk beberapa saat. Ketika keduanya menoleh untuk melihat seseorang yang datang, ada dua hati pula yang menyimpan kekhawatiran untuk hal yang berbeda.

Dan satu hati yang telah mantap untuk melakukan sesuatu.

“Hyunjae udah confess?”

Pertanyaan Younghoon terasa begitu remeh meski itu adalah hal utama yang seharusnya terjadi hari ini.

Tak ada yang menjawab hingga ia menatap satu persatu wajah sahabatnya. Mulai dari Jacob yang tampak menghindari pandangannya, kemudian Hyunjae yang perlahan menggelengkan kepalanya.

“Belom, Hoon,” jawabnya pelan. “Gue nungguin lo dateng.”

Younghoon mengangguk cepat. “Oke, berhubung lo belom confess. Gue boleh ngomong duluan?”

“Hoon-”

“Hyunjae, sori,” potong Younghoon tak mengizinkan Hyunjae melanjutkan kalimatnya. “Gue juga suka sama Jacob. Mungkin jauh lebih lama daripada lo.”

Ketegangan yang mengisi udara di sekitar mereka sebelumnya kini terasa berkali-kali lipat lebih pekat setelah kata-kata itu meluncur dari bibir Younghoon. Dan Younghoon menyalahartikan kebisuan mereka sebagai reaksi dari dua sahabat yang tak tahu-menahu tentang kenyataan tersebut, meski ada hal lain yang jauh lebih penting daripada itu.

“Sori gue nggak pernah ngomong. Karena gue emang nggak berencana buat itu,” ucap Younghoon. “Gue lebih mentingin persahabatan kita bertiga daripada perasaan gue. Tapi sejak Hyunjae bilang kalo dia mau confess, gue jadi kepikiran. Apa harus gue ngorbanin perasaan gue lagi?”

Penjelasan Younghoon semakin menambah dilema bagi kedua temannya. Namun Younghoon masih belum mengerti.

“Sori…”

Hanya itu yang dapat terucap oleh Younghoon sebab sahabatnya masih terpaku.

“Hoon,” panggil Hyunjae seraya cowok itu mendekatinya, meraih kedua bahunya. “Bukan Jacob.”

Younghoon mengangkat alisnya sekilas. Mencoba mengartikan perkataan Hyunjae.

“Bukan… Jacob?”

Hyunjae menggeleng. “Bukan. Gebetan gue bukan Jacob.”

Setelah melepaskan Younghoon kembali, Hyunjae mengusap wajahnya sembari melangkah menjauh darinya. Younghoon semakin mengerutkan kening atas kebingungan yang melanda.

“Hoon.” Kali ini Jacob yang memanggil dengan hati-hati. Dihampirinya Younghoon yang masih bertahan di tempatnya. “Gue minta maaf.”

“Kenapa minta maaf? Lo nggak salah apa-apa, gue yang harusnya minta maaf udah-”

“Younghoon,” panggil Jacob lagi dengan tegas, menghentikan kalimat Younghoon. “Maaf, gue nggak bisa bales perasaan lo.”

Seketika Younghoon terdiam. Lama.

Jacob menatap jauh pada Hyunjae yang masih memunggungi mereka. Tetapi ia yakin cowok itu mendengarnya.

“Gue juga minta maaf, karena gue nggak bisa nemenin lo di sini.”

Hembusan angin yang meniup helai rambut serta ujung seragam mereka terasa semakin kuat. Dan dingin.

Sedingin perasaan yang tersimpan di dalam masing-masing hati ketiga anak yang mulai beranjak dewasa itu.