Between Me and You

َ

tw // mention of death, possible major character death

based on Between Me and You – Infinite

َ

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya. dan terlalu takut untuk mencari tahu. jadi yang kita lakukan hanyalah duduk manis, menyesap air teh yang bahkan otak kita sudah tak mampu menyimpulkan rasanya, lalu mengucapkan-

“oke.”

lelaki yang duduk di seberangnya, yang barusan mengucap kata perpisahan, tergerak untuk memunculkan ekspresi kaget atas tanggapan yang didapatnya. ia barusan meminta untuk putus dari pacarnya, bukan meminta izin untuk meninggalkannya ke toilet selama lima menit.

“changmin, aku minta putus.”

“iya, aku denger. aku nggak tuli.”

hyunjae tahu cowok manis di hadapannya ini sedang berusaha untuk terlihat kuat, tapi ia terlalu mengenal changmin. terlalu mengenalnya hingga ia paham kenapa changmin menjawabnya secepat itu.

“kamu... nggak mau nanya dulu alesannya apa?”

changmin membenturkan tumitnya pelan ke kaki kursi, berulang-ulang. ia tidak ingin bertanya.

alasan apapun yang keluar dari mulut pacarnya itu pasti akan tetap membuat hatinya sakit. percuma.

helaan napas berat yang muncul dari hyunjae menutup percakapan sore itu. dengan perih dan ketidakpastian yang menggantung di udara.

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya.

dan kita akan mati bersama dengan perasaan yang terus menerka-nerka.

“lo beneran jadian sama hyunjae?”

changmin memutar bola matanya kesal karena juyeon sudah menanyakan itu setidaknya sepuluh kali hari ini.

“emang kenapa, sih? nggak pantes banget ya, gue jadian sama kak hyunjae?”

“enggak sih...” juyeon menggaruk kepalanya. “cuma heran aja.”

changmin akhirnya menangkap apa maksud perkataan juyeon. selama ini memang hyunjae selalu menolak siapapun yang sedang mendekatinya. dan tiba-tiba ia memacari changmin. mungkin sahabatnya itu hanya khawatir changmin adalah target permainan hyunjae saja.

“tenang aja, juyeon. gue nggak bego. kalo kak hyunjae cuma main-main sama gue, pasti gue tau.”

saat itu changmin merasa sangat yakin, namun sekarang dirinya malah meragukan pikirannya sendiri. mungkin benar yang dikhawatirkan juyeon saat itu. mungkin changmin dibutakan oleh rasa sayangnya pada hyunjae hingga sulit baginya melihat kalau semua tak seindah bayangannya. mungkin memang changmin sebenarnya bodoh, tak tahu apa-apa.

kenapa hyunjae tiba-tiba memutuskannya?

hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja. pertengkaran di antara keduanya tidak pernah ada yang berarti. hanya seputar memilih menu makan siang, atau siapa yang mendapat giliran untuk merawat si pudingㅡanak anjing yang mereka adopsi bersama.

apakah ada orang lain yang disayangi hyunjae selain dirinya?

apakah hyunjae sudah bosan bermain-main dengan changmin?

apakah sedari awal memang tidak pernah hadir rasa sayang itu, yang selama ini changmin bayangkan dalam pikiran?

menerka sesuatu yang tidak pasti itu memang menyakitkan.

“kak, tadi si puding muter-muter lama cuma buat cari tempat dia tidur. lucu banget. kayaknya dia masih belum kebiasa sama tempatku, deh.”

hyunjae yang sedang mengusap lembut rambut changmin sementara ia bercerita, tersenyum tipis. lelaki yang lebih muda berkomentar lagi.

“nanti kalo kita udah tinggal bareng, pasti jadi lebih gampang. puding juga nggak bakal bingung lagi harus dioper kesana kemari terus.”

“kalo kita udah nikah, maksud kamu?”

pipi changmin langsung bersemburat merah mendengar pertanyaan dari hyunjae.

“iya, itu maksudnya. terus nanti kalo udah serumah, aku mau ngedekor dapurnya! karena aku bakal sering-sering di dapur.”

“ngapain? emangnya kamu bakal sering masak?”

“iyalah! nanti aku bakal belajar masak, biar kita nggak makan di luar terus.”

nanti. nanti. nanti.

terlalu banyak nanti terucap dari mulut changmin.

hyunjae bahkan tidak ingin memikirkan apakah masih ada nanti untuk mereka.

“udah, dong. jangan nangis terus. gue bingung harus gimana.”

changmin melempar gumpalan tisu bekas air matanya pada juyeon yang sukses berkelit.

“pulang aja. gue nggak papa sendirian. ada atau nggak ada lo juga gue sama kak hyunjae tetep putus.”

memang tidak ada salahnya perkataan changmin, mau bagaimana juga mereka terlanjur berpisah. tapi mana bisa juyeon meninggalkan changmin di saat anak itu sendiri masih menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menghapus air matanya.

“lo beneran nggak nanya kenapa dia tiba-tiba minta putus?” juyeon beringsut pelan mendekati changmin untuk duduk di sebelahnya.

“nggak. takut.” changmin berujar pendek. “lagian kalo emang dia mau ngasih tau alesannya, harusnya dia langsung ngomong.”

lagi-lagi changmin tidak salah. sisa malam itu akhirnya hanya dihabiskan juyeon dengan menemani changmin yang menangis hingga air matanya habis lalu tertidur karena rasa lelah. hyunjae hadir di dalam tidurnya, menawarkan dekap untuk mengeringkan seluruh sisa air mata.

changmin berlari kecil dari kantin sambil mendekap sebotol air mineral yang baru dibelinya. langkahnya terhenti tepat di depan hyunjae yang masih menyumpal lubang hidungnya dengan tisu.

“ini, minum dulu,” desak changmin, menyodorkan botol air mineral yang sudah dibukanya.

“makasih, cil.”

hyunjae meneguk air mineral itu hingga tandas, lalu menaruh botol yang kosong itu di sebelahnya. changmin masih berdiri di depannya dengan sorot mata cemas.

“pulang aja, ya?” pinta changmin. “biar kamu bisa istirahat.”

hyunjae menggeleng. tangannya melemparkan tisu yang sudah terkena bercak darah itu ke dalam tempat sampah.

“abis ini aku ada jadwal ujian. males kalo harus susulan. lagian aku belajar sampe larut malem juga buat ini.”

“kamu, tuh, ngeyel terus dibilangin. minggu lalu kamu udah mimisan, loh,” protes changmin dengan keningnya yang berkerut. “belajar sih, belajar. tapi jangan sampe kayak gini juga.”

hyunjae terkekeh pelan. ia menarik changmin untuk direngkuh sebelah tangannya, lalu menggesek ujung hidungnya ke puncak kepala yang lebih kecil.

“pacarku khawatir, yaa???”

changmin serta-merta membebaskan dirinya dari hyunjae, merasa kesal. “ya khawatir, lah! mana ada yang nggak khawatir pacarnya sakit.”

“ih, lebay. mimisan dikit doang.”

“kak!” kesal changmin. “tau, ah. kalo besok-besok kakak pingsan, aku nggak mau nolongin lagi. biarin aja kamu dianggurin sampe ada ambulans yang mau ngangkut.”

“tega banget sama aku, cil.” hyunjae memasang wajah memelas yang semakin membuat changmin dongkol. “iya, iya, maaf. nggak lagi, deh, besok-besok aku mimisan. kamu maunya aku istirahat yang cukup, makan empat sehat kamu sempurna. gitu, kan?”

changmin melipat tangannya sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak berminat menanggapi candaan pacarnya kali ini di saat ia sedang serius. hyunjae jadi harus menariknya lagi dalam pelukan.

“kalo ngambek bakal aku cium di sini beneran, loh,” ancamnya. “satu... dua.... ti...”

“hih, iya, iya! pokoknya janji jangan begadang terus. tidur yang cukup, makan yang bener.”

hyunjae tersenyum melihat changmin yang mulai luluh. sebelum pacarnya itu menyadari, hyunjae sudah mencuri cium dari pipinya secepat kilat. berikutnya adalah suara pekikan changmin yang terkejut lalu pukulan yang diberikan bertubi-tubi ke lengan hyunjae yang buru-buru meminta maaf.

pertemuan juyeon dengan hyunjae siang itu benar-benar tanpa disengaja, namun yang membuat juyeon curiga adalah hyunjae dengan berkas di tangannya keluar dari salah satu ruang periksa di rumah sakit. juyeon yang sedang menemani ibunya untuk antre obat tergesa menyusul hyunjae yang berjalan dengan langkah-langkah panjang.

“hyunjae!” seru juyeon begitu ia sudah tinggal beberapa langkah di belakang hyunjae. lelaki yang dipanggil namanya lantas menoleh dan juyeon tak bisa melewatkan ekspresi kaget yang sekilas terlintas di wajahnya.

“loh, ju? ngapain di sini? berobat?” tanya hyunjae santai.

“nganterin nyokap gue check up,” balas juyeon. “lo?”

hyunjae mengangkat bahunya enteng. “tadi habis jenguk sodara gue.”

juyeon yakin ia melihat hyunjae keluar dari ruangan periksa dokter sendirian, matanya juga tak luput menangkap identitas hyunjae di map yang sedang didekapnya. hyunjae pasti berbohong.

“je, lo kenapa mutusin changmin?” tanyanya tiba-tiba.

sejatinya hyunjae tidak ingin membahas masalah ini sekarang. apalagi di tempat ini. tempat di mana ia akan menghabiskan sisa waktunya sendirian.

hyunjae mengetukkan ujung map ke tangannya, menimang-nimang. mengatur napas beberapa kali sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengenalnya di sana. terlebih changmin.

“lusa gue udah harus dirawat di sini, ju,” ujar hyunjae cepat. “dan habis itu... gue nggak tahu apa gue bisa keluar dari sini.”

juyeon menyipitkan matanya mendengar jawaban dari hyunjae. “...maksud lo?”

hyunjae mendenguskan tawa pahit, namun sepasang matanya terasa kosong.

i'm dying, ju. umur gue tinggal ngitung hari, bulan kalo gue beruntung.”

pernyataan hyunjae membuat juyeon seketika tertegun. ia yakin changmin sama sekali tidak mengetahui tentang ini. dan sahabatnya itu terus menebak-nebak apa kesalahan yang telah diperbuatnya hingga hyunjae memutuskan hubungan.

“dan lo nggak ngasih tau changmin...” lirih juyeon.

“sori, ju. gue beneran nggak bisa. call me selfish tapi lebih baik changmin benci sama gue terus tetep lanjut sama hidupnya daripada dia harus liat gue mati pelan-pelan. and there's nothing he can do.

juyeon terperangah. “lo gila ya, je? lo, tuh- lo mau bohongin changmin sepanjang hidupnya?”

hembusan napas berat yang dikeluarkan hyunjae menambah rasa sesak di dadanya. dari awal ia tidak pernah meminta ini. tapi di sinilah ia sekarang. menjadi pengecut.

“pertama kali gue ketemu changmin tuh, gue kayak dapet semangat hidup lagi, ju. harapan gue buat tetep ngusahain hidup tuh gede banget, karena gue pengen liat changmin lebih lama, pengen liat senyumnya tiap hari, pengen ngabisin hidup gue sama dia.” hyunjae menelan ludahnya, merasa marah atas dirinya juga penyakit yang menggerogoti sisa hidupnya. “tapi ternyata gue masih tetep kalah, ju. kalah sama penyakit sialan ini. bajingan yang udah ngerusak harapan gue buat hidup lebih lama, sama changmin. gue benci semuanya, gue benci sama diri gue, sama keadaan, sama takdir yang bikin gue ketemu changmin tapi akhirnya harus gue lepas karena gue nggak sanggup, ju. gue nggak sanggup liat changmin sedih sama keadaan gue sekarang. gue mimisan aja dia udah khawatir setengah mati, gimana dia harus ngadepin gue yang tiap harinya harus ngitung mundur sisa waktu gue. gue nggak bisa.”

juyeon mengusap wajahnya kasar, dilema atas keputusan yang diambil hyunjae. ia pikir sahabatnya tetap berhak untuk tahu, berhak untuk menemaninya hingga hari kepergiannya, berhak menghabiskan sisa waktu terakhirnya. meskipun rasa sakit tidak bisa dihindari, tapi setidaknya akan ada memori untuk saat terakhir mereka. bukannya kenangan pahit diputuskan tanpa ada alasan yang jelas.

“terus menurut lo keputusan ini udah yang paling bener?” juyeon menanyainya dengan nada yang terdengar sinis. “bener menurut lo atau menurut ego lo? hyunjae, lo mikirin changmin nggak, sih!?”

“gue mikirin dia makanya gue kayak begini!” hyunjae berseru dengan sesak yang semakin memenuhi dadanya. “lo pikir siapa yang mau mutusin orang yang masih mereka sayang?? nggak ada!”

juyeon mengatupkan bibirnya, melayangkan tatapannya ke arah langit berusaha untuk menahan tangis karena hatinya sakit melihat hyunjae dan changmin harus menerima perih seperti ini.

“sialan banget lo, je...” desis juyeon.

right... gue dan penyakit sialan gue... changmin nggak seharusnya ketemu sama gue.”

setelah hanya bertukar keheningan untuk beberapa saat lamanya, juyeon akhirnya membuka suara.

“kalo lo tetep sama keputusan lo, gue hargain. gue bakal tutup mulut soal ini. tapi satu hal.” juyeon menatap hyunjae dan menyadari lelaki itu memang terlihat lebih pucat dari biasanya. “gue mohon temuin changmin untuk yang terakhir kali.”

malam yang biasanya selalu dingin, terasa lebih dingin hari itu. saat changmin akhirnya berhadapan lagi dengan hyunjae, lelaki yang terus memenuhi pikirannya tanpa jeda. rasanya ia ingin menghambur ke pelukannya, memeluk erat dan tak pernah melepaskan lagi. namun saat ini ia hanya ingin mendengar satu jawaban.

“aku mau tau alesannya,” ucap changmin pelan, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. “nggak papa sekalipun itu bikin sakit, aku cuma pengen tau.”

hyunjae bersusah payah untuk tak mengulurkan lengan dan meraih changmin ke arahnya, karena ia tahu pertahanannya akan langsung runtuh. ia pasti tidak akan sudi untuk melepas changmin. ditukar dengan apapun ia tidak akan sudi.

“changmin,” panggil hyunjae yang sudah membuat lelaki yang lebih kecil itu semakin menguatkan genggamannya pada ujung jaketnya. “kamu hadiah terindah yang udah dikasih tuhan sama aku, dan aku nggak mau kamu digantiin oleh apapun.”

hyunjae lalu tersenyum samar sebelum melanjutkan. “aneh, ya, aku ngomong begini? selama kita pacaran kayaknya aku jarang ngomong kayak gitu ke kamu. tapi aku serius. malem ini aku orang paling serius di dunia ini, changmin. jadi kamu harus percaya sama kata-kata aku, oke?”

changmin tidak mengangguk, pun bersuara. ia hanya berusaha agar matanya yang kian memanas tak menumpahkan tangis saat ini.

“aku mutusin hubungan ini sama sekali bukan karena kamu ada salah apa-apa. kamu selalu baik sama aku, kan? selalu ngingetin aku makan, selalu jagain aku. juga bukan karena ada orang lain, changmin. udah ada kamu yang sempurna gini, masa aku masih meleng ke mana-mana?”

kekehan pelan hyunjae semakin membuat changmin ingin menangis. kenapa lelaki itu tidak langsung terus terang saja tentang alasan sebenarnya?

“changmin,” panggil hyunjae lagi, kali ini terdengar lebih serius. “kamu itu seseorang yang berharga banget buat aku. terlalu berharga sampe aku nggak mau liat kamu sedih. kamu berhak dapetin semua kebahagiaan di dunia iniㅡ

ㅡtapi maaf, changmin. aku nggak bisa ngasih kamu itu. bahagia yang harusnya kamu dapetin sepanjang hidup kamu, aku nggak bisa ngasih.”

changmin akhirnya benar-benar menangis. air mata yang sudah ditahannya sedari tadi tumpah tanpa ampun.

“kenapa??” desaknya.

hyunjae menatap changmin dengan sorot matanya yang semakin sayu, menggeleng pelan. “aku nggak bisa...”

changmin menangis keras, menutupi wajahnya dengan satu lengannya. menangis seperti anak kecil. “kak, kenapa??”

dengan satu tarikan napas akhirnya hyunjae menyerah, membiarkan dirinya menarik changmin dalam pelukan. lapisan bening mulai mengaburkan pandangannya.

“kak.... hu...hu.... si puding gimanaaa?? hu..hu...” changmin menangis dalam pelukan hyunjae, membuat sayatan yang lebih dalam di hati hyunjae karena lelaki dalam dekapannya ini sama sekali tidak tahu hidupnya tinggal menghitung hari.

“puding?” hyunjae berusaha menetralkan suaranya yang tercekat. “puding sama kamu, ya?”

“aku nggak bisa rawat puding sendiriannn,” rengek changmin lagi. “dia masih suka salah tempat kalo lagi be'ol.”

hyunjae tertawa miris dalam hatinya atas kepolosan changmin, tapi rasanya terlalu sakit. dalam hitungan hari atau bulan, ia akan meninggalkan changmin sendirian.

“puding yang nanti jadi temen kamu. kamu harus terbiasa, changmin.”

changmin terus menangis yang akhirnya mematahkan pertahanan hyunjae. lelaki itu terisak pelan sambil terus menciumi puncak kepala changmin, berharap itu akan memberinya damai untuk malam ini saja.

puding menjadi percakapan terakhir mereka. sebelum keduanya kembali melepas satu sama lain. satu untuk melanjutkan hidupnya meski tertatih, dan satu untuk menunggu akhir hari menyambutnya.

terkadang saat changmin memandang ke arah langit, ia teringat akan sosok lelaki yang dahulu pernah mengisi hari-hari dan pikirannya. ia tidak terlalu memikirkannya sekarang.

aneh, karena dulu rasanya seperti ia tidak akan bisa hidup tanpa lelaki itu. namun changmin hanya terkadang bertanya-tanya, di mana dia sekarang? apa lelaki itu sudah menemukan kehidupan yang bahagia, sama seperti dirinya.

juyeon balik menggenggam tangan changmin yang menggandengnya. ia menatap sekilas ke arah langit yang barusan dipandangi oleh changmin.

je, selamat. lo berhasil bikin changmin cuma punya sepenggal memori bahagia sama lo, changmin nggak perlu ngerasain sedih sepanjang hidupnya, dia cuma punya kenangan tentang lo dan puding. selamat, hyunjae. lo berhasil.