Bintang menutup lemari pakaian Biru setelah mengganti bajunya untuk tidur.

“Aku nggak tau ternyata bajuku lumayan banyak di sini,” ucap Bintang sambil melangkah menuju Biru yang tengah duduk di tepi kasurnya.

Biru mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jarinya.

“Pas kamu pertama kali nginep di sini, pas kamu nemenin aku selama Ibu sama Dinda pergi, pas kamu numpang tidur di sini karena di rumah sepi, pas kamu nggak bisa pulang ke rumah gara-gara-”

“Iyaa, iyaaa,” sela Bintang, memotong kalimat Biru dengan duduk di pangkuannya. “Aku nggak nyangka aja ternyata aku sering nginep di sini.”

“Makanya aku ingetin satu-satu, kan?”

Biru melingkarkan lengannya di pinggang pacarnya, menjaga cowok itu agar tak kemana-mana. Meski Bintang memang tak berniat untuk pergi, ingin di situ saja bersama Biru yang lama.

“Bin.”

“Hm?”

“Kamu, kok, suka banget sih pake celana bocil kayak gini,” ujar Biru sambil menarik pelan celana yang sedang dipakai Bintang.

Bintang sontak tertawa. Biru selalu menyebut celana pendek yang kerap dipakainya untuk tidur itu dengan sebutan 'celana bocil'.

“Emang kenapa? Enak tau pake celana ini. Nggak gerah.”

“Iya, sih. Tapi kamu pertama kali nginep di sini langsung pake celana itu, inget nggak?”

“Inget.” Bintang mengangguk cepat. “Kenapa?”

“Bikin aku stress, tau.”

Bintang memberantakan rambut Biru dengan gemas, masih tertawa geli. “Stress kenapa coba?? Gara-gara bikin kamu jadi kepancing, ya? Soalnya habis itu kamu kan-”

“Dih, dih.” Biru langsung membekap mulut Bintang dan menggulingkan badan keduanya di atas kasur. Tawa Bintang teredam di balik telapak tangan Biru yang lebar. Baru setelah Bintang menggigit tangannya, Biru membebaskan cowok itu.

“Lemah banget kamu liat paha doang,” cibir Bintang.

“Bukan asal paha, ya. Paha kamu, tuh.”

“Paha aku kenapaaa??”

“Nggak tau. Ada peletnya, kali.” Biru menyerang wajah Bintang dengan ciuman-ciuman kecil hingga cowok mungil itu memekik dan berusaha menghindari serangan Biru.

“Berarti kamu lebih tertarik sama paha aku daripada sama aku,” protes Bintang, kedua tangannya menahan sisi wajah Biru. Alisnya bertaut rapat. Di mata Biru pacarnya itu terlihat seperti anak anjing yang sedang marah. Sama sekali tidak menakutkan.

“Ya, nggak lah. Kalo aku tertarik sama paha kamu doang, ngapain aku udah naksir bahkan sebelum aku tau nama asli kamu. Dulu kamu kan nyamar jadi Evan.”

“Ih, dibahas lagi.” Bintang mengetatkan tangannya pada wajah Biru hingga mulut cowok itu membentuk huruf o lalu mencuri satu ciuman cepat. “Udah, ah, stop ngomongin paha. Aku mau bobo.”

Biru tersenyum simpul. Ia merapatkan badannya pada Bintang yang berbaring memunggunginya. Dipeluknya cowok itu sambil berbisik pelan.

“Jangan dikasih punggung, dong. Kita kayak suami istri yang lagi marahan aja.”

Bintang mendecakkan lidahnya lalu membalikkan badannya sambil mengomel pelan. Biru terkekeh melihat pacarnya yang selalu protes tiap ia meminta sesuatu namun tetap dipenuhi juga.

Biru tersenyum puas setelah Bintang berbaring menghadapnya. Diciuminya wajah dan bibir pacarnya yang mulai memejamkan mata itu.

“Abin.”

“Hm…”

“Mau langsung bobo, ya?”

“Ngantuk, Biruuu.”

“Ya udah, deh.”

“Hm.”

“Abin…”

“Apa, sih?”

“Tapi kamu kalo nginep di tempat orang lain pake celana bocil gini juga, nggak?”

“Iya.”

“Hah, serius?”

“Heem.”

“Parah, ih, Abin.”

“Kenapaaa??”

“Nggak boleh, lah. Aku sita semua celana bocil kamu. Cuma boleh dipake di sini.”

“Kenapa gitu?”

“Aku doang yang boleh liat paha kamu.”

“Ya ampun, Biru…”