Bintang tidak bermaksud mengabaikan Biru seperti itu. Memang dirinya kesal lantaran insiden beberapa hari yang lalu di kolam renang. Sibuknya perkuliahan menambah alasan Bintang tak menghubungi Biru seperti biasa.
Tetapi ini sudah lewat seminggu. Bintang baru sadar Biru tak lagi berusaha membujuknya untuk berbaikan. Biru bahkan tak mengirim pesan lagi untuk Bintang. Dan bagi Bintang itu adalah suatu hal yang anomali.
Maka siang itu selepas jam perkuliahan terakhir, Bintang bertandang ke gedung fakultas Biru. Berharap menemukan cowok itu di sana yang ternyata tak kelihatan batang hidungnya. Ia malah bertemu dengan Hanan dan Arka yang sedang duduk di depan kelas.
“Lho, Bibin? Ngapain ke sini?” tanya Hanan begitu ia melihat Bintang yang celingukan.
“Nyariin Biru?” tambah Arka.
Bintang mengangguk. “Biru mana?”
“Udah baikan, nih?” cetus Hanan mengabaikan pertanyaan Bintang.
Tak menggubris Hanan, Bintang mengalihkan pertanyaannya pada Arka. Berharap cowok itu akan memberikan jawaban.
“Langsung balik tadi, Bin. Nggak tau ada apa.”
“Biru jelek terus mukanya semingguan ini, lho. Gara-gara dicuekin lo, tuh.”
Lagi-lagi Hanan mengompori Bintang.
“Gue nggak maksud nyuekin. Kesel, sih, tapi gue juga lagi sibuk. Jadi keterusan.”
“Perkara ditinggal di toilet aja jadi gitu. Kasian tau, Biru.”
“Gue nggak maksud!”
Arka segera menengahi keduanya sebelum terjadi adegan saling menjambak atau mencakar.
“Samperin aja ke rumahnya, Bin,” usul Arka kemudian.
Bintang akhirnya mengikuti saran Arka. Dari kampus ia langsung melajukan motornya ke rumah Biru. Namun di perjalanan ia sempat mampir untuk membeli sesuatu.
Rumah Biru terlihat sepi ketika Bintang sampai di sana. Ia mengira tidak ada orang di rumah sebelum matanya menangkap motor Biru yang terparkir di halaman. Segera Bintang membuka pagar rumah Biru untuk masuk ke dalam.
Pintu rumah Biru diketuk beberapa kali sembari Bintang sesekali melihat dari kaca jendela. Bintang segera menegakkan punggungnya ketika suara dari dalam mulai terdengar dan pintu di hadapannya terbuka.
Ekspresi Bintang sama kagetnya dengan Biru. Hanan ternyata tidak berbohong. Wajah cowok itu terlihat muram dan matanya sayu. Tidak ada senyum yang biasa muncul ketika cowok itu melihat Bintang.
“Abin?”
“Kamu nggak bales chat aku,” todong Bintang.
“Oh.” Biru berucap singkat seakan ia baru menyadari hal tersebut. “Maaf.”
Bintang semakin mengerutkan kening atas sikap Biru. Apakah pacarnya ini mulai merasa lelah dengan Bintang? Atau bosan?
“Mau masuk?” tawar Biru ketika Bintang hanya berdiri di luar pintu tanpa bersuara lagi.
Bintang kemudian membiarkan dirinya masuk sebelum Biru menutup kembali pintu rumahnya. Tanpa banyak bicara ia mengekor langkah Biru menuju kamarnya. Cowok itu segera mendudukkan dirinya di atas kasurnya, menghela napas berat.
“Ada apa, Bin?” tanyanya langsung.
Bintang yang seharusnya menanyakan itu pada Biru. Mengapa Biru tak membalas pesannya? Mengapa Biru tak mencoba menghubunginya? Mengapa Biru terlihat lesu?
“Kamu sakit?” Bintang akhirnya balik bertanya. Ia sudah bersimpuh di depan Biru, tangannya terulur untuk menyentuh dahi pacarnya.
Sedikit hangat. Tetapi Biru berkilah dan mengatakan kalau ia baik-baik saja.
“Aku nggak apa-apa, Bin. Kurang tidur aja.”
“Udah makan? Minum obat?”
“Kamu udah nggak marah sama aku?”
“Marah ap- Biru, aku nggak marah…”
Seketika rasa bersalah menjalar di hati Bintang. Seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti itu untuk hal yang sepele. Seharusnya ia berusaha menyelesaikan masalah saat itu juga dan tak membiarkannya berlarut.
“Maaf, ya, Bin. Aku lagi banyak pikiran belakangan ini. Jadi nggak bales chat kamu. Aku kira kamu juga masih marah sama aku.”
Bintang beringsut mendekati Biru dan meraih satu tangannya.
“Biru kenapa? Mikirin apa?”
Pertanyaan yang dilontarkan Bintang, juga sorot mata cowok itu saat menanyakannya. Seharusnya Biru tahu dari awal bahwa Bintang selalu dapat memberikan secercah damai untuk hatinya. Mungkin berat yang dirasakannya akhir-akhir ini juga akibat absennya Bintang.
Biru menarik senyum hambar.
“Dinda, Bin.”
“Dinda kenapa?”
“Belakangan ini Dinda rewel terus. Katanya sering mimpiin Ayah. Dia kangen sama Ayah, pengen ketemu.”
Mendengar hal itu hati Bintang langsung mencelos. Ia sendiri tahu Biru selalu menempatkan dirinya sebagai penopang keluarga ini. Berusaha mengisi peran seorang ayah untuk adiknya yang belum siap untuk ditinggalkan. Melihat adiknya seperti itu pasti menghancurkan perasaan Biru juga.
“Aku nggak tau harus gimana, Bin. Dinda juga nggak mau aku ajak ziarah ke makam Ayah. Tiap malem nangis terus. Aku juga jadi kasian sama Ibu yang harus nyari cara biar Dinda berhenti nangis.”
“Sekarang Dinda ke mana, Ru?”
“Kemarin Ibu akhirnya bawa Dinda ke rumah Eyang. Nginep di sana buat beberapa hari biar Dinda ada suasana baru. Di sini dia inget Ayah terus.”
Bintang menurunkan pandangannya ke arah tangan Biru yang sedang diusapnya lembut. Pikirannya mulai terpecah antara rasa bersalah juga kesedihannya atas apa yang sedang Biru alami.
Biru menyerahkan dirinya begitu saja ketika Bintang berusaha merengkuh cowok itu dalam pelukan. Membiarkan Biru beristirahat sejenak di bahunya. Diusapnya pelan punggung Biru sementara pacarnya itu balas melingkarkan kedua lengan pada tubuh mungil Bintang, mencari nyaman.
“Biru udah ngelakuin yang terbaik, kok,” tenang Bintang. “Biru udah jadi kakak sekaligus ayah buat Dinda. Tapi proses berduka itu panjang. Apalagi Dinda masih kecil. Biarin dia berduka. Biru juga jangan terlalu keras sama diri sendiri. Biru juga boleh berduka kalo Biru butuh. Kalo nggak bisa ke mana-mana Biru boleh ke aku.”
Lengan Biru mengetat seiring ia membenamkan wajahnya di bahu Bintang.
“Biru nggak apa-apa, lho, kalo mau nangis. Bintang bakal peluk Biru kayak gini terus sampe Biru selesai nangis.”
Setelahnya Bintang hanya mendengar isakan pelan di dalam ruangan yang hening itu. Mata Bintang pun ikut memanas tetapi ia sekuat tenaga menghalau air matanya meluncur turun. Untuk kali ini ia harus menjadi yang lebih kuat. Biru selalu menjadi tempat Bintang bersandar, sekarang saatnya membiarkan Biru rehat sejenak padanya.
“Biru masih inget cerita Biru soal dua anak yang saling kirim surat, kan? Biru masih mau kirim surat ke Bintang, kan?”
Perlahan Biru mengangguk.
“Bintang juga masih mau baca semua suratnya Biru. Jadi Biru jangan nyimpen semuanya sendirian. Maaf Bintang nggak langsung nyariin Biru kemarin. Tapi bukan berarti Bintang nggak sayang lagi sama Biru.”
“Iya, aku ngerti,” balas Biru. “Aku cuma agak sedih aja karena nggak bisa langsung cerita ke kamu gara-gara kemarin kondisinya kayak gitu.”
“Aku nggak akan kayak kemarin lagi, Ru. Aku janji. Aku sayang banget sama Biru.”
Biru sekali lagi menganggukkan kepalanya.
“Aku juga sayang sama Bintang. Boleh, nggak, aku peluk kamu terus kayak gini?”
“Boleh.”
Pelukan tersebut berlangsung untuk beberapa saat ketika Biru menarik diri dan membawa Bintang untuk rebah bersamanya. Biru menenggelamkan Bintang dalam dekapan sementara mereka berdua rebah di atas kasur milik Biru.
Bintang mendongakkan wajahnya, melihat ke arah Biru yang memejamkan mata. Napasnya berhembus membelai rambut Bintang. Bintang mendekatkan wajahnya untuk menyentuhkan bibirnya pada kening Biru, menciumnya lembut di sana untuk waktu yang lama. Sebelum kemudian ia beralih ke kelopak mata Biru yang terpejam. Lalu ciuman-ciuman kecil berikutnya menghiasi seluruh wajah cowok itu. Terakhir Bintang mendaratkan ciumannya pada bibir cowok itu yang seketika mengulas senyum tipis. Bintang mengecupnya berulang-ulang. Hingga Biru akhirnya membuka matanya kembali.
“Bintang, aku boleh minta sesuatu?” bisik Biru.
“Minta apa, Biru?”
“Aku kangen disayang-sayang sama kamu.”
Biru mengatakannya dengan sorot mata yang mengirim pesan untuk diartikan oleh Bintang seorang. Senyum rikuh sekaligus senang terulas di bibir Bintang. Cowok manis itu mengangguk kecil.
Bintang menggulingkan tubuhnya ke atas Biru. Kedua lengannya masih memeluk Biru erat hingga tak ada jarak yang tersisa. Bintang mulai meninggalkan kecupan-kecupan kecil di leher Biru sementara ia membiarkan tubuhnya bergesekan dengan tubuh Biru. Sengaja Bintang menggerakkan bagian bawah tubuhnya pada paha Biru, mendamba friksi yang tercipta hingga sensasi panas mulai menjalar.
“Bentar, Bin.” Biru menyetop gerakan Bintang sejenak untuk menjangkau bagian depan celana Bintang. “Lepas dulu.”
Bintang kemudian ikut mengarahkan tangannya untuk mengurai kancing celana Biru dan menurunkan resletingnya. Bagian bawah tubuh keduanya kini hanya terhalang selembar kain yang dapat dengan mudah direnggut kapan saja. Bintang kembali menggerakkan badannya menggesek milik Biru yang kini dapat dirasakannya lebih nyata.
Pemandangan wajah Biru yang menutup matanya sembari menggigit bibir bawahnya untuk menahan erangan nikmat membuat Bintang semakin ingin mendengar sesuatu yang ditahan itu. Maka ia memperdalam gesekannya pada milik Biru. Tubuh Bintang semakin dijalari panas akibat gesekannya dengan Biru.
Napas Biru mulai memburu saat ia menyadari Bintang mulai meningkatkan intensitas gesekannya pada pahanya. Erangan dalam tak dapat lagi dihindarinya. Ditambah ia merasakan sesuatu yang hangat di bawah sana.
“Bintang udah basah, ya?” bisik Biru di telinga Bintang yang seketika memerah.
Bintang mengatupkan bibirnya lantaran malu. Padahal belum apa-apa tapi dirinya sudah basah. Dengan senyum yang tersimpan di bibir, Biru menurunkan lembar kain terakhir yang menghalangi keduanya sebelum menukar posisi.
Bintang sudah tidak bisa berkutik jika Biru ada di atasnya, mengunci dirinya. Biasanya Bintang akan mengalihkan pandangannya ke manapun asal tak melihat langsung sorot mata Biru yang menatap dalam ke arahnya.
Biru mulai menggesekkan dirinya lagi pada Bintang. Erangan pelannya tak lagi disembunyikan. Suaranya begitu jelas sebab bibirnya menempel tepat di telinga Bintang. Sekujur tubuh Bintang seketika mendingin.
“My mind is always a mess whenever I'm doing this with you,” ucap Biru. “Aku takut kelepasan. Nggak bisa ngontrol.”
Bintang mengerjapkan matanya cepat. Jantungnya berlomba dengan deru napasnya.
“You have my permission,” balas Bintang dengan suara yang lebih pelan. “Katanya Biru mau disayang-sayang Bintang.”
Biru memejamkan mata sejenak akibat pusing yang tiba-tiba melanda kepalanya. Efek dari ucapan Bintang di saat-saat seperti ini selalu membuatnya pening. Tak butuh waktu lama hingga Biru mengambil sebungkus pengaman dan merobeknya dengan gigi sebelum memakainya.
“Bintang, nanti kalo kerasa nggak nyaman atau sakit bilang, ya?” pesan Biru yang dibalas Bintang dengan anggukan.
Biru menanggalkan kaosnya dan melemparnya ke lantai. Napas Bintang tercekat ketika ia melihat tato kupu-kupu berwarna Biru di punggung pacarnya itu setelah sekian lama. Masih favoritnya.
Jari pertama yang masuk ke lubang milik Bintang hampir membuat cowok itu memekik. Sudah lama sejak ia terakhir melakukannya dengan Biru. Ia masih belum terbiasa.
Tetapi Biru selalu melakukannya dengan lembut. Seakan Biru sudah tau kapan saja Bintang merasa tidak nyaman. Jadi Bintang tidak pernah benar-benar harus memberitahu Biru.
Napas Bintang tercekat lagi ketika ia merasakan ujung milik Biru menyentuh dirinya. Bermain-main sebentar di sekitar lubangnya sebelum Biru berbisik lagi.
“Aku masukkin, ya?”
Bintang tidak menjawab lagi. Sebagai gantinya ia hanya memejamkan matanya kuat-kuat. Perlahan ia merasakan milik Biru mulai menembus ke dalam dirinya, hati-hati sekali. Hanya bagian ujungnya yang terbenam sebelum Biru menariknya lagi. Diulanginya hingga tubuh Bintang mulai rileks.
“Udah nggak papa, Biru.”
“Hm?”
“Nggak papa. Aku bisa.”
Bintang mengetatkan kedua lengannya pada Biru untuk menyuruh cowok itu agar segera membenamkan seluruh miliknya dalam tubuhnya. Biru akhirnya mulai bergerak turun dan memasukkan seluruhnya hingga terbenam sempurna dalam tubuh Bintang. Paha Bintang sempat bergetar sebagai reaksi spontan tubuhnya. Dinding-dinding tubuhnya memeluk erat milik Biru hingga cowok itu lagi-lagi tak dapat menahan erangan dari balik tenggorokannya.
Biru menghembuskan napasnya keras melalui mulut. “You're so tight it's driving me insane.“
Justru Bintang yang rasanya hampir hilang kewarasan ketika Biru melempar komentar itu. Ia bahkan tidak tahu dirinya dapat membuat Biru merasakan hal-hal itu.
Dan ketika Biru mulai bergerak, pikiran Bintang semakin berantakan oleh rasa nikmat yang bertubi-tubi. Telinganya mendengar suara Biru yang berat, berkali-kali mengirim gemetar ke seluruh badannya.
“Biru-” panggil Bintang. Berusaha keras mengumpulkan sisa kewarasannya. “Aku suka denger kamu.”
“Denger apa?” tanya Biru yang masih fokus dengan gerakannya.
“Suara kamu. Di telinga aku.”
Biru akhirnya mengerti. Dan ia akan memenuhi apapun yang Bintang ingin.
Bintang terkesiap ketika ia merasakan hangat di ujung telinganya. Biru mengulum dengan lidahnya sebelum cowok itu mulai melepaskan erangan-erangan berat ke telinga Bintang.
Rasanya seperti musik untuk Bintang. Memabukkan. Desah napas bercampur namanya dibisikkan cowok itu padanya.
“Hhh.. Bintang- kesayangan Biru..”
Pelukan Bintang mengerat pada tubuh Biru. Rasanya semakin sulit untuk berpikir ketika titik kenikmatannya dihantam habis-habisan. Miliknya berdenyut hebat dan cairan bening sudah membasahi perutnya.
“Biru- aku-” seru Bintang tertahan. Ia benar-benar sudah di ujung tanduk.
Demi mendengar Bintang, Biru kemudian memperlambat gerakannya seraya mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Bintang. Dahinya sudah basah oleh keringat, sementara wajahnya memerah. Biru menundukkan kepalanya untuk mencium bibir Bintang.
“Jangan keluar dulu, ya, Sayang.”
Bersamaan dengan itu Biru menghentikan gerakannya total. Ia beralih mengecup bibir milik Bintang, menggigitnya pelan, lalu menyesapnya hingga Bintang lupa akan puncaknya. Ia masih ingin lebih lama menikmati tubuh Bintang.
“Keluarnya bareng sama aku,” tambah Biru.
Bintang kemudian mengangguk. Biru suka Bintang yang selalu mendengar arahannya. Biru suka Bintang yang selalu menurut.
Meski Bintang sudah ingin mencari pelepasannya, tetapi ia menahan diri demi permintaan Biru. Kedua pahanya gemetar ketika Biru mulai mengelusnya di sana. Bintang membutuhkan Biru lagi.
“Biru, can you move again?”
Bintang benar-benar berantakan di bawahnya. Pemandangan yang ingin Biru abadikan dalam memorinya. Sesuatu yang hanya boleh dilihat oleh matanya saja. A beautiful mess.
“Kamu indah banget, Bintang,” bisik Biru sebelum ia mulai bergerak lagi. Kali ini ia bergerak dengan penuh perhitungan. Dengan ritme yang sengaja dibuatnya lamban, tetapi menyentuh semua titik sensitif Bintang. Diciuminya lagi wajah kekasih yang begitu disayanginya itu. “I love you. I love you a lot. I wish that you exist for me only and no one else.“
Bintang merasakan hangat di wajahnya. Ia tidak tahu alasan air mata yang datang dari Biru kali ini.
“I'm for you only. Bintang cuma buat Biru.”
Dan direngkuhnya Bintang dengan kedua lengan.
“Please say it. Say the words to me.”
Bintang menempelkan bibirnya di telinga Biru. “I love you, Biru. I really love you.”
Kata-kata yang muncul dari bibir Bintang bagaikan mantra untuk Biru akhirnya melepaskan belenggu hasratnya. Tubuh Bintang tersentak kala Biru mulai mengubah ritme gerakannya. Desah suara yang diciptakan Bintang tak dapat terelakkan lagi.
“Ah- Hn- Biru-”
“Jangan ditahan- Hh- Lepasin aja.”
Dan ruangan yang luasnya tak seberapa itu dihiasi suara Bintang yang terus memanggil nama Biru, terpantul dari satu sudut ruang ke sudut yang lain hingga memenuhi telinga Biru. Merdu dan memabukkan. Biru menyukainya.
“Bintang kenapa sempit banget?” tanya Biru di sela-sela engahannya. Rasanya nyawanya hampir lepas dari raganya ketika miliknya berkali-kali bergesekan dengan dinding sempit Bintang.
Tangan Bintang mulai menyentuh miliknya sendiri. Ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Terlebih mendengar suara yang terlontar dari bibir milik Biru.
“Biru, aku mau keluar-”
Biru menjatuhkan kecupan singkat pada dahi Bintang seraya berucap, “Tunggu, ya, Sayang.”
Punggung Bintang rasanya seperti hampir remuk selama tubuhnya terhentak. Tak lama hingga dirinya mencapai puncaknya disusul oleh Biru yang seketika ambruk di atasnya.
Untuk beberapa saat hanya ada suara deru napas yang saling bersahutan, tak beraturan. Tangan Bintang hinggap di puncak kepala Biru untuk mengusapnya lembut. Kemudian turun ke punggung cowok itu dan berhenti di atas kupu-kupu biru, dengan telunjuknya ia menyusuri garis-garis sayap kupu-kupu itu.
“Aku suka kupu-kupunya,” ucap Bintang pelan. “But I wished I was there so you didn't have to do this.“
Biru mengangkat kepalanya dan memandangi wajah Bintang yang sendu. Disentuhnya sisi wajah Bintang dengan ibu jarinya.
“You're here now, so it doesn't matter.“
Bintang mengulas senyum tipis untuk Biru yang kemudian mencium bibirnya lembut.
Bintang duduk di sofa ruang tengah rumah Biru setelah mengganti pakaiannya dengan milik Biru yang kebesaran di badannya. Sedang di pangkuannya rebah Biru sambil Bintang mengelus rambutnya. Biru paling suka menaruh kepalanya di pangkuan Bintang sementara kepalanya diusap oleh cowok itu.
Di depan mereka terhidang sekotak martabak yang sempat Bintang beli sebelum ia pergi ke rumah Biru.
“Kamu kenapa beli martabak?” tanya Biru. “Buat nyogok aku, ya?”
Bintang tertawa pendek. “Bukan nyogok. Kamu inget, nggak, dulu waktu kamu nemuin aku di deket parkiran kafe?”
“Yang kamu ngejogrok di situ, ya?”
“Iya. Yang aku pas lagi sedih. Itu kamu jalan pulang dari beli martabak, kan?”
“Eh, iya, ya? Kok kamu inget?”
“Inget, lah. Inget banget.”
“Terus apa hubungannya sama kamu ngasih aku martabak sekarang?”
Bintang terdiam sejenak. Martabak yang dibelinya mungkin tidak berarti apa-apa. Tetapi ada sesuatu yang terus melekat di ingatannya.
“Waktu itu aku bersyukur banget ketemu kamu, Ru. Nggak tau apa jadinya kalo kamu nggak beli martabak dan lewat situ buat nemuin aku yang lagi nangis. Terus nganter aku pulang, terus nanya apa aku baik-baik aja, terus meluk aku. Tiap liat martabak aku jadi keinget waktu itu terus. Dan niat aku ke sini tadi buat cari tau keadaan kamu. Makanya aku beli martabak itu yang pernah bawa kamu buat ketemu aku.”
Biru menghela napas panjang. Ia bangun dari rebahnya agar ia dapat menarik kepala Bintang dalam dekapannya.
“Kamu jangan gemes-gemes jadi orang, gih. Pusing aku beneran.”
Tetapi Bintang malah memeluk Biru kuat-kuat.
“Aku masih belom bisa jadi pacar yang baik buat kamu padahal kamu selalu ngasih yang terbaik buat aku. Aku nggak mau kamu mikir kalo rasa sayangnya aku nggak sama besar kayak kamu. Aku sayang banget sama kamu tapi kadang-kadang aku masih payah buat nunjukkin. Dan aku takut kalo kamu lama-lama capek sama aku. Aku takut kamu akhirnya pergi.”
“Ih, ngomong apa, sih, Bintang? Nggak ada yang capek. Aku dapetin kamu aja susah, masa aku mau pergi?”
Biru mengangkat dagu Bintang agar cowok itu melihat ke arahnya sebelum ia melanjutkan.
“Tau, nggak? Hari ini aku disadarin lagi kalo kamu, tuh, masih cara paling ampuh buat bikin aku tenang. Dari dulu sampe sekarang nggak berubah. So how could I leave you?”
Perlahan Bintang mengangguk paham. Dirinya memang terbiasa dihantui pikiran-pikiran yang menimbulkan resah. Dan selalu Biru yang harus meyakinkannya bahwa semua itu tidak terjadi. Itu hanya ada di dalam kepalanya saja.
“Tapi, Biru janji, ya, kalo ada apa-apa bilang sama aku? Nggak tau ke depannya bakal gimana. Aku pengen Biru bilang ke aku dulu kalo misalnya ada masalah. Jangan tiba-tiba pergi.”
“Nggak, Bintang.” Biru kembali menarik Bintang dalam pelukannya. “Aku selalu berusaha ngomongin semuanya, kan? Masalah sepele, pun, pasti aku omongin. Kamu juga kayak gitu, ya?”
Bintang kembali menganggukkan kepala.
“Aku sayang kamu, Biru.”
“Dan aku pengen denger itu buat waktu yang lama. Udah, jangan mikir aneh-aneh lagi. Kasian martabaknya dianggurin, tuh.”
Tertawa kecil keduanya mulai sibuk menikmati martabak yang meski sudah mendingin tetapi rasanya masih juara.
“Besok ada acara, nggak, Bin?”
“Hmm, nggak. Kenapa?”
“Kamu tidur sini aja dulu. Besok pagi aku anter.”
“Gimana, ya?”
“Aku masih kangen. Masih pengen peluk kamu. Sekalian nemenin aku di rumah. Ya?”
“Tapi kamu yang izin ke Bunda, ya?”
“Siap. Nanti aku bilang ke Bunda.”
“Eh, tapi jangan bilang kalo kamu di rumah sendirian.”
“Kenapa jangan?”
“Nggak dibolehin Bunda.”
“Boleh, kok. Bunda sama aku udah bestie banget, tau.”
“Ih, dibilangin jangan. Bunda pasti mikirnya aneh-aneh.”
“Kamu, kali, yang mikir aneh-aneh?”
“Nggak, dih?”
“Padahal aku minta ditemenin bobo doang. Kamu mikirnya apa, ih.”
“Nggak, Biruu. Siapa yang mikir aneh-aneh?? Ya, udah, kalo bobo doang?”
“Pasti kecewa ternyata mau ditemenin bobo doang, ya?”
“Nggakkk!??”