commissioned by @97featherpairing : jukyuword count : 1000 wordstags : fluff


Juyeon finds Changmin cute, especially when he sleeps.

Mungkin dari semua usahanya untuk mengerti apa itu cinta, Juyeon akhirnya paham dengan cara ini. Ternyata tak perlu serumit menjelajahi seluruh isi hati dan pikiran. Karena merasakan hangatnya hati kala melihat Changmin terlelap, Juyeon tersadar. Inilah bentuk cinta yang paling sederhana itu.


Ada banyak kesempatan Juyeon menyaksikan Changmin tertidur. Di mana saja, kapan saja. Meringkuk, terlentang, berselimut jaket, menunduk, miring ke kiri, di mobil, dipeluk sofa, atau seringkali di pelukan Juyeon.

Tiap selesai latihan Juyeon selalu mengikuti yang lebih kecil duduk di sudut ruangan. Keduanya bermain ponsel hingga salah satunya menjatuhkan kepala di bahu yang lain. Biasanya Juyeon tak lagi menoleh, hanya sibuk dengan ponselnya. Namun bibirnya tersenyum tipis. Kecilnya tertidur.


Kalau jadwal sedang padat-padatnya, kerap kali mereka mencuri waktu tidur di perjalanan. Juyeon sering meminta untuk berada di satu mobil dengan Changmin. Karena bahunya sudah dirancang sedemikian rupa menjadi bantal untuk lelaki itu. Mendengarkan playlist lagu dengan headset yang mereka bagi bersama, Changmin selalu menjadi orang yang pertama memejamkan mata. Seberapa lelahnya Juyeon, ia selalu bersyukur sebab ia dapat menikmati pemandangan tepat di dekatnya. Lalu diusapnya lembut kepala Changmin sebelum dirinya menyusul ke alam mimpi.


Juyeon dan Changmin sama-sama pemakan yang lambat. Makanya mereka sering melipir untuk makan berdua saja. Changmin bilang, melihat orang yang makannya secepat kilat membuatnya tak bisa menikmati makanannya. Juyeon setuju. Juyeon suka kalau makannya sambil dinikmati, berdua dengan Changmin.

Kadang Changmin makan sambil menonton sesuatu di ponsel. Film berdurasi panjang agar tak habis sebelum makanan Changmin habis. Tapi seringnya Changmin ketiduran tak lama setelah ia mengunyah suapan terakhir. Lalu Juyeon mematikan ponsel Changmin dan menggendong lelaki itu ke ranjangnya. Tangannya mengusap kuah tteokbokki buatannya yang menempel di sudut bibir Changmin sebelum menyelimutinya. Malam itu Changmin bermimpi masuk ke mangkuk besar berisi tteokbokki buatan Juyeon.


Changmin suka sekali mengobrol hingga larut malam dengan Juyeon ditemani sebotol wine. Tentang anak anjing yang ditemuinya di stasiun pagi tadi, tentang drama yang sedang ditontonnya, tentang kapibara, tentang gantungan kunci kesayangannya yang putus, tentang karakter fiksi baru favoritnya, tentang donat yang ia beli dengan iseng siang tadi, tentang banyak hal. Dan Juyeon mendengarkan semuanya sambil sesekali menuang wine ke gelas Changmin yang cepat kosong. Tentang hal-hal baik, dan juga hal-hal yang membuat Changmin berhenti sejenak untuk menarik napas.

I don’t wanna grow old, Juyo. I don’t wanna get sick and die. Banyak banget hal-hal yang belum aku lakuin, yang pengen aku lakuin. Sama kamu.”

You won’t grow old. You’ll still be a kid at heart. And even if you get old and sick, I’ll still stay here. We would do everything you wanna do. Together.

Suara Changmin kecil ketika bertanya, “Janji nggak bakal pergi?”

“Janji.”

Juyeon menarik Changmin yang kemudian terisak dalam pelukannya. Diusap dan dicium kepala mungilnya yang kadang penuh dengan khawatir itu. Didekap hangat hingga dengkur halusnya terdengar. Changmin terlihat damai saat tertidur. Juyeon harap mimpi indah hinggap dalam tidurnya.


Ada satu hari di mana Changmin tak membalas pesan Juyeon. Insting pertama Juyeon adalah khawatir. Takut kalau sesuatu terjadi pada mungilnya.

“Demam aja kok, Juyo.”

Changmin merapatkan selimut tebalnya dan berubah menjadi bola di ranjangnya. Tubuhnya menggigil dan titik-titik keringat muncul di dahinya. Mau tak mau Juyeon begadang malam itu untuk merawat Changmin. Mengompres dahinya secara berkala, meminumkan obat, mengganti pakaiannya. Hingga demamnya mulai turun baru Juyeon dapat membaringkan dirinya di sebelah Changmin yang masih meringkuk di balik selimut.

Tangan Juyeon terulur untuk menyibak rambut Changmin yang menempel di wajah oleh keringat. Ia mengusap kulit pipinya yang merah dengan ibu jarinya. Masih terasa hangat. Bibirnya yang mungil bergerak-gerak seperti mengigau. Juyeon bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa terlihat begitu lucu saat demam. Semalaman Changmin yang demam tidur dipeluk Juyeon, sesekali mengigau.


Juyeon mengenal Changmin sudah lama. Sudah tahu apa yang disuka dan apa yang tidak. Sudah tahu juga kalau Changmin terkadang ngambek tanpa sebab.

Chanhee menunjuk pintu kamar Changmin begitu Juyeon tiba di tempatnya. Lelaki itu segera menuju kamar Changmin dan mendapati kesayangannya sedang duduk bersandar pada kaki ranjang, mukanya ditekuk sambil bermain dengan ponselnya.

“Changmin.”

Yang dipanggil langsung mengeluh lalu beranjak naik ke ranjang, bersembunyi di balik selimut.

“Ngapain ke sini? Udah dibilangin aku capek.”

“Aku nggak bakal bisa ninggalin kamu yang ngambek kayak gini. Kepikiran aku nanti.”

“Siapa yang ngambek?”

Juyeon tahu Changmin suka ngambek tanpa sebab dan Juyeon tahu cara mengatasinya. Ia berbaring di dekat Changmin dan memeluknya dari belakang. Meski Changmin terus menggerutu tapi ia tidak menolak pelukan Juyeon.

“Dibilangin lagi capek. Males ngapa-ngapain. Makan juga males. Jangan dipaksa makan. Jangan disuruh-suruh. Emangnya aku anak kecil? Kalo laper juga nanti aku makan sendiri. Kamu, tuh…”

Juyeon hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapinya dengan gumaman. Ia biarkan kecilnya itu mengoceh sampai puas, sampai akhirnya tenaganya habis dan ocehannya mulai melambat lalu hening.

“Ngantuk?” tanya Juyeon. Changmin mengangguk kecil. Ditariknya Changmin hingga menghadap ke arahnya lalu kembali dipeluk erat. “Udah nggak kesel?”

No… Sorry… Did I hurt you?” Changmin bertanya dengan gumaman kecil. Kelopak matanya sudah menutup.

Never.”

Juyeon mengecup dahi Changmin yang tak lama kemudian terlelap karena lelah. Ia tak segera menyusulnya ke alam mimpi, hanya sibuk menikmati indah wajahnya saat tertidur. Juyeon suka bagaimana bulu mata Changmin yang lentik jatuh dengan sempurna saat matanya terpejam. Juyeon suka menyapukan jemarinya pada wajah Changmin, menghitung beauty marks yang menghiasi wajahnya seperti konstelasi. Titik-titik yang banyak jumlahnya itu, Juyeon penasaran seberapa sering Changmin dicium di wajahnya di masa lampau. Dan berharap semoga ia-lah yang selalu memberikan cium itu.

Ada kerutan halus di antara kedua alis Changmin, sisa-sisa ngambeknya tadi. Ibu jari Juyeon jatuh di sana, mengusap kerutnya sampai sirna. Agar mimpi buruk tak mampir ke tidurnya tapi kumpulan kelinci yang berloncatan bersamanya di atas awan selembut kapas.

You look so pretty when you sleep,” bisik Juyeon, mengusap lembut bibir Changmin. “So peaceful like an angel. And so, so cute, like a baby. My baby.”

Changmin bergerak dalam tidurnya, membuat Juyeon berdiam sejenak. Lalu terdengar dengkur halus Changmin. Juyeon tersenyum.

Entah di masa lampau, saat ini, atau nanti. Juyeon tetap ingin menyaksikan Changmin terlelap. Karena meskipun itu adalah bentuk cinta yang sederhana, itu juga sesungguh-sungguhnya cinta.