[cw ; eating disorder]
Banyak yang ingin tahu, orang seperti apa yang mampu menarik hati seorang Arjuna. Yang berparas indah, yang berotak cerdas, yang baik hati, atau yang sama sempurnanya seperti Arjuna?
Banyak yang ingin tahu, tetapi sedikit yang mengetahui bahwa jatuhnya perasaan seorang Arjuna tak serumit pikiran mereka. Arjuna jatuh dengan cara yang begitu sederhana. Sesederhana menunggu hujan reda bersama perempuan yang masih terjebak di sekolah sore itu.
“Nggak bawa payung, Kak?”
Sekar, nama perempuan yang sudah dikenal Arjuna selama kurang lebih dua bulan ini. Dari awal anak itu bergabung menjadi bagian dari anggota OSIS, Arjuna tak sulit menghapal wajahnya. Sekar memang cantik, tetapi bukan soal itu. Ada yang membuat presensinya selalu terasa di manapun ia berada.
Arjuna memberikan gelengan singkat disertai senyum untuk menjawab pertanyaan Sekar tadi.
“Lo sendiri?”
“Gue pinjemin ke Laras tadi. Kirain bakal terang hujannya pas rapat kelar, taunya malah makin deres.”
“Lo naik apa pulangnya?”
“Naik bus. Kak Arjuna? Bawa motor, kan?”
“Iya.”
Tak butuh waktu lama untuk Sekar menyadari bahwa parkiran motor letaknya di luar area sekolah dan itu artinya basah kuyup jika memaksa untuk berlari ke sana.
“Tunggu hujannya berhenti di ruang OSIS aja, yuk?”
Ajakan Arjuna disambut dengan anggukan singkat oleh Sekar. Keduanya meninggalkan koridor depan sekolah yang lantainya sudah basah oleh cipratan air hujan.
Sekar mengambil tempat yang berlawanan dengan Arjuna ketika mereka sampai di ruang OSIS. Arjuna sama sekali tidak tersinggung. Sekar adalah perempuan cerdas dan ia tahu itu. Bersikap waspada di ruangan terbatas bersama seorang lelaki tak membuat Sekar seketika kehilangan ramah-tamahnya. Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkan ke hadapan Arjuna.
“Bekal roti gue, Kak,” tawar Sekar. Arjuna mengambil sepotong lalu mengucapkan terima kasih. Sekar menutup kembali kotak bekalnya yang masih penuh isinya itu. Tak lama perempuan itu sudah sibuk berkutat dengan buku pelajarannya. Entah mengerjakan tugas atau sekedar belajar.
Tak ingin mengganggu Sekar, Arjuna mengambil kameranya dari dalam tas dan beranjak keluar ruangan untuk memotret langit yang masih mencurahkan hujan. Awan mendung sedikit demi sedikit tersapu seiring rintik hujan yang jatuh ke bumi. Arjuna mengarahkan lensa kamera ke sekitar. Bangku besi di tengah taman, ruang-ruang kelas yang sepi, tangga menuju lantai dua, plang bertuliskan ‘Ruang OSIS’, dan kemudian Sekar.
Perempuan itu masih menekuni buku pelajarannya. Beberapa helai rambutnya jatuh dari ikatan rambut yang asal-asalan, menutupi sisi wajahnya.
Tetap cantik.
Lama Arjuna mengamati sisi wajah itu melalui lensa kamera hingga bunyi bidikannya terdengar. Sekar menoleh.
“Eh, sori-”
Alih-alih merasa terganggu, Sekar malah menyunggingkan senyum.
“Fotoin gue, Kak? Lagi berantakan gini.”
Arjuna seketika salah tingkah. Ia mengusap tengkuknya sembari berjalan menghampiri Sekar yang masih duduk di alas karpet. Merendahkan tubuhnya Arjuna memperlihatkan hasil fotonya pada Sekar.
“Bagus, kok.”
Sepasang mata Sekar melebar melihat potret dirinya sendiri.
“Kak Ar jago motret, ya? Guenya jadi keliatan bagus gini? Ini bagus banget loh, Kak.”
Arjuna menelan kembali kalimat ‘I take pictures of pretty things’ yang bersarang di ujung lidahnya. Sebagai gantinya ia menawarkan pada Sekar untuk mencetak foto itu dan memberikannya ke perempuan itu jika berkenan.
Menit-menit berikutnya dihabiskan dengan obrolan ringan yang anehnya tak pernah surut. Sekar telah melupakan buku pelajarannya dan Arjuna menyimpan kameranya. Dua puluh menit serasa semua hal berhenti di sekitar mereka. Hanya ada tatap mata, suara, dan tawa yang memenuhi indra. Waktu sesingkat itu Arjuna mengetahui banyak hal tentang Sekar.
Waktu sesingkat itu hati Arjuna jatuh luruh sepenuhnya dalam sorot mata yang menangkap seluruh rasa dan menyimpannya dalam dekap seorang Sekar.
“Kenapa kamu manggil aku Arjuna? Padahal semuanya manggil aku Biru.”
“Aku kira kamu dipanggilnya Arjuna. Kan, nama depan.”
“Iya, sih. Tapi nama Arjuna terlalu berat buat aku. Lebih pilih dipanggil Biru. It means nothing, just a color.“
“Aku suka Arjuna.”
Setelahnya Arjuna tak menanyai lagi maksud kalimat itu.
Gerakan tangannya lemah gemulai, jemarinya lentik berayun mengapit selendang tari di sela-selanya, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai melambai mengikuti liuk tubuh yang bergerak sesuai irama. Parasnya indah tanpa bubuhan rias yang menutupi wajah.
Suara kaset berhenti. Anggota klub tari itu diizinkan untuk beristirahat sejenak. Sekar berlari kecil ke sudut ruangan di mana Arjuna duduk sambil menunggunya.
“Nih.” Tangan Arjuna mengulurkan botol minum Sekar yang sudah dibuka tutupnya.
“Makasih.” Sekar menerima botol minum kemudian duduk di sebelah Arjuna.
Butir peluh membasahi dahi Sekar. Arjuna menyekanya dengan ibu jari lalu menyelipkan helai rambut Sekar ke belakang telinganya. Pipi Sekar bersemu.
“Kamu nggak pulang duluan?” tanya Sekar tanpa melihat ke arah Arjuna.
“Nungguin kamu, kan? Selesai jam berapa?”
“Nggak tahu. Kalo lama kamu pulang duluan aja. Aku bisa naik bus.”
“Aku tungguin.”
Sekar pikir Arjuna tak memperhatikan pipinya yang kembali merona. Tetapi Arjuna melihat semuanya.
“Bar, Sekar ke mana, ya?”
Hari itu Arjuna tak melihat Sekar di kelasnya seperti biasa. Ia bertanya pada Bara, teman sekelas Sekar yang kebetulan belum beranjak keluar kelas di jam istirahat.
Bara mengangkat alisnya. “Nggak tau, Bang. Perpus? Ruang OSIS? Kantin?”
Arjuna menyimpulkan bahwa Bara sama sekali tak memiliki petunjuk ke mana Sekar pergi.
“Oke, oke. Makasih, ya.”
Sebelum Arjuna membalikkan badan, Bara memanggilnya lagi.
“Coba ke UKS atau toilet, Bang. Tadi anaknya keliatan agak pucet.”
Seketika panik melanda Arjuna. Tergesa kakinya melangkah menuju ruang kesehatan yang terletak di ujung koridor. Arjuna menyibak tiap tirai yang memisahkan ranjang satu dengan yang lain. Tidak ada siapapun di sana.
Langkahnya beralih menuju toilet perempuan yang cukup ramai oleh antrian para siswi. Dengan canggung Arjuna menunggu di bagian luar toilet sambil sesekali mengedarkan pandangan untuk mencari Sekar.
“Ar…”
Suara Sekar membuat Arjuna serta-merta menoleh. Wajah dan bibir perempuan itu pucat namun ia masih memaksakan senyum.
“Kamu kenapa? Sakit?”
Sekar menggeleng pelan. “Nggak.”
Perempuan itu jelas sekali lemas. Arjuna memegangi lengannya kalau-kalau ia ambruk tiba-tiba.
“Sekar, ke UKS aja, yuk? Kamu pucet banget.”
“Ar…”
Belum sempat Sekar menyebut nama Arjuna, perempuan itu sudah luruh ke lantai. Beruntung Arjuna masih memegangi lengannya kuat-kuat hingga kepalanya tak terbentur.
Perdebatan kecil yang terjadi di ruang UKS setelah Sekar akhirnya sadar membuat Arjuna paham bahwa ada sesuatu yang tidak Sekar bagikan padanya. Petugas UKS bersikeras menyuruh Sekar untuk menemui pihak yang lebih berkualifikasi atas masalah kesehatan Sekar namun ditolak dengan dalih dirinya hanya sedang kelelahan karena banyaknya kegiatan.
“Teman kamu ada gangguan makan. Sudah beberapa kali dia ke sini buat istirahat karena badannya lemas. Tapi tiap Ibu kasih makanan selalu dimuntahin.”
Arjuna menuju ranjang tempat Sekar berbaring setelah petugas UKS pergi meninggalkan ruangan.
“Sekar.”
“Ar, aku nggak sakit, kok. Beneran. Aku nggak kenapa-kenapa.”
Ada keputusasaan dalam suara Sekar sembari perempuan itu menggenggam tangan Arjuna, berusaha meyakinkannya. Arjuna menepuk punggung tangan Sekar pelan.
“Aku khawatir, Kar. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Berobat, ya?”
Sekar menggeleng. “Kamu nganggep aku aneh, ya?”
Arjuna menautkan alisnya rapat. “Sekar, aku cuma pengen kamu sehat. Aku nggak nganggep kamu aneh atau apapun. Berobat sama aku, ya? Aku temenin.”
Sepasang mata Sekar mulai berkaca-kaca hingga perempuan itu terisak. Arjuna memeluknya untuk pertama kali dan ia baru menyadari betapa kecil tubuh perempuan itu dalam dekapannya.
Bahkan dalam ketidaksempurnaannya, Arjuna masih mampu menyayangi tanpa jeda dan cela.
“Kamu, tuh, suka banget sama langit, ya? Instagram kamu isinya foto langit semua.”
“Kalo kamu, suka banget sama bunga, ya? Instagram kamu isinya foto bunga semua.”
“Ada foto aku juga, tau.”
“Kamu bunga juga, kan? Sekar.”
“Ah, iya juga. Nama kamu juga ada Langit-nya. Hmm, lucu.”
“Lucu?”
“Lucu. Dunia ini lucu. Bisa saling berhubungan gitu. Tapi sayang nama aku Sekar bukan Srikandi.”
“Emangnya kenapa?”
“Arjuna kan sama Srikandi, bukan sama Sekar.”
Tawa pelan terdengar dari bibir Arjuna.
“Kok ketawa, sih?”
“Kamu mikirnya aneh-aneh. Ini kan dunia nyata, bukan dunia tipu-tipu. Biarin aja di cerita Arjuna sama Srikandi. Kalo di sini, ya, Arjuna sama Sekar.”
Seketika suasana menjadi hening. Arjuna berdeham dengan gugup sementara Sekar berusaha merapikan helai rambutnya yang terjuntai berkali-kali.
Seantero sekolah mungkin telah menganggap keduanya berpacaran. Meski tak ada pengumuman atau hal semacam itu yang terlontar dari mulut Arjuna atau Sekar. Yang jelas mereka semua yakin keduanya memiliki hubungan. Baik Arjuna dan Sekar juga tidak ada yang menyangkal.
Tetapi mungkin dari malam ini, pengukuhan status itu terjadi. Masih tak ada kata-kata klise ala anak remaja SMA seperti 'Jadi pacarku, yuk?' atau 'Kita jadian, ya?'. Karena apa yang saling ditukarkan lewat sorot mata itu sudah lebih dari semua kata-kata remeh.
“Arjuna.”
“Ya?”
“You're like- everything that I've ever wanted. And I'm so grateful to meet you.“
Wajah Sekar cantik ditempa sinar rembulan yang malam itu pancarannya terang. Senyumnya membuat Arjuna tiba-tiba rikuh. Ingin digapainya paras indah itu dan dibelainya dengan lembut. Ingin disimpannya dalam memori yang sewaktu-waktu bisa diputarnya lagi. Ingin Sekar, untuk Arjuna, bisa miliki.
Angin malam yang lembut menyapu permukaan kulit yang terasa dingin. Namun kehangatan masih hinggap di sepasang bibir yang belum lama saling menyapa.
Untuk perempuan yang sedang di pelukan Arjuna,
Untuk perempuan yang terkasih.