cw // mention of abuse
ㅡ
Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.
Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.
Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.
Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.
Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.
ㅡ
Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.
Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.
Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.
Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.
Sial, kenapa dia harus menangis di sini?
Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.
“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”
Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.
Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.
“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.
Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.
Ji Changmin.
ㅡ
Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.
Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.
Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?
Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?
“Biar nggak kena pukul.”
Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.
“Ya udah, lanjutin.”
Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.
Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.
ㅡ
Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.
“Soobin! Ke mana aja?”
Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa emangnya?”
“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”
Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.
“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.
“Hm?”
“Ada luka yang baru, nggak?”
Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.
“Selalu ada, Soobin.”
ㅡ
Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.
Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?
Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.
Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.
“Soobin, ayo.”
Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.
Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.
Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.
Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.
They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.
To freedom.
ㅡ
I say “Run”
Laugh like you've gone mad
Goodbye to tears, time to say “Run”
Never look back
In my two hands, hunnit bands
I'm a loser