disclaimer: potongan cerita ini TIDAK berhubungan dan TIDAK berpengaruh pada cerita utama, cerita ini terjadi DI LUAR JDAS universe. hanya ditulis untuk memenuhi keinginan pribadi penulis dan edgar-hanan mania. refers to ÉVADER Chapter 8: Lost and Drunk. tldr; hanan was drunk and stressed, edgar offered him a better distraction.
Menginginkan seseorang untuk dimiliki dan menginginkan seseorang itu bahagia adalah dua hal yang kerapnya sulit untuk bersinggungan. Edgar bukan seseorang yang suka memaksakan kehendak. Ia memiliki mimpi dan ambisi, tak berarti ia harus mewujudkannya dengan cara apapun.
Di hadapan Edgar saat ini, Hanan terlihat begitu kacau. Begitu hancur. Dibandingkan hasratnya untuk memiliki, ia memilih agar Hanan bahagia saja. Edgar belum tahu pasti apa pemicu kebahagiaan itu selain cowok yang disayangi Hanan, tapi Edgar bersedia untuk mencoba.
“Lo bisa gue tinggal, nggak?” Edgar menaruh segelas air dan beberapa butir obat di atas meja. Dipandanginya Hanan yang tergeletak lemah tak berdaya di sofa. “Hanan.”
Cowok yang napasnya masih bau alkohol itu membuka mata, menatap Edgar tanpa emosi pada sorot matanya.
“Jam berapa?” tanyanya serak.
“Dua belas lewat.”
Hanan berdecak. “Temenin gue.”
Edgar hampir bersyukur karena sesungguhnya itulah yang ingin dilakukannya, namun mustahil jika Hanan tak meminta. Ia menjatuhkan dirinya di sebelah Hanan yang kembali terpejam. Sesekali cowok itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Entah sedang meracau atau memang berniat untuk mengucapkan sesuatu yang dikalahkan oleh badannya yang sudah tak berdaya.
“Gue nggak suka lo kayak gitu tadi,” ucap Edgar ketika ruangan mulai hening. Tak peduli Hanan masih terjaga atau tidak. “Nggak cuma lo ngerugiin diri sendiri, bikin rusak badan lo. Tapi lo juga ngerugiin orang lain.”
Tarikan napas berat terdengar. Hanan belum sepenuhnya terlelap.
“Gue tau lo bego kalo lagi kacau,” lanjut Edgar. “Tapi liat-liat juga, anjing. Jangan punya orang lo main sosor aja. Nambah-nambahin masalah.”
“Ck, gue minta lo di sini buat nemenin gue. Bukan buat nyeramahin gue. Tai.”
Hanan terdengar sangat kesal. Tapi cowok itu memang harus diberitahu. Edgar menarik kaos bagian depan milik Hanan hingga kepala cowok itu bangkit sejenak dari rebah. Luka bekas terbentur tepian wastafel menghiasi pipi Hanan, membuat Edgar jadi diliputi rasa iba lalu menghempaskan cowok itu kembali ke sofa.
“Lain kali cari yang nggak ada pawangnya. Biar nggak jadi masalah,” desis Edgar.
Terdengar tawa pelan Hanan. “Siapa, dong? Elo?” Cowok itu susah payah bangkit untuk duduk, kepalanya terlalu berat hingga ia menunduk di depan Edgar. “Emangnya lo mau dicium?”
“Masih mabok lo, ya?” Edgar menoyor pelan dahi Hanan hingga tubuhnya terdorong sejenak ke belakang sebelum akhirnya roboh di dada Edgar. Mati-matian Edgar berusaha menahan umpatannya.
“Pusinggg pala gue, Gar… Muter-muter… Lo bisa nggak, sih-”
Hanan tak melanjutkan kalimatnya. Sebagai gantinya kedua tangannya bergerak melingkari pinggang Edgar, ia menyamankan diri memeluk cowok itu. Edgar tak berkutik ketika Hanan menggesekkan sisi wajahnya di dada Edgar, mengerang pelan. Menganggap bahwa Hanan hanya butuh untuk diberikan rasa tenang, Edgar akhirnya menaruh satu tangannya di punggung Hanan dan tangan yang lain mengusap kepalanya.
Demi seluruh semesta Edgar ingin waktu berhenti saat itu juga. Untuk sesaat ia ingin mengutuk moral dirinya yang dijunjung tinggi. Mengutuk dunia untuk sebuah perasaan yang lahir dengan tulus. Bahwa sebegitu hinakah dirinya menginginkan rasa cinta, menginginkan Hanan untuk dipeluk olehnya, dicumbu dan disayang? Edgar telah berkorban banyak hal sepanjang hidupnya, maka untuk sekali ini saja tak bisakah ia memiliki Hanan untuk dirinya sendiri?
“Gue kangen Ar- Mmph-”
Brengsek itu akhirnya muncul ke permukaan. Membungkam kerinduan Hanan pada orang lain dengan hasrat miliknya. Jemari Hanan yang mencengkram kuat bagian belakang bajunya menguatkan dorongan Edgar bahwa cowok itu juga menginginkannya.
Bibir Hanan terasa pahit, namun tak sepahit kenyataan ketika esok hari tiba. Edgar menciumnya seperti ia meloloskan seluruh perasaannya yang terkurung rapat. Semuanya mencari bebas. Satu tangan Edgar menahan tengkuk Hanan sementara badan cowok itu mulai terdorong hingga akhirnya Hanan rebah sempurna. Ciuman itu terlepas sejenak.
Sepasang iris mata Hanan menatap Edgar. He looks so lost… and guilty.
“Jangan mikir apa-apa,” ucap Edgar tajam. “You’re safe here. Right now. Just- don’t even think about anything.”
Ucapan Edgar seperti mantra. Seperti sesuatu yang membuat Hanan percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Karena ini adalah Edgar. Dan Edgar tak pernah mengacau.
Malam itu, disaksikan jam dinding dan segelas air yang masih tak tersentuh, Edgar melakukan hal yang ditentang moralnya untuk pertama kali, secara sadar. Ia yang akan menanggung semuanya, sama seperti ia selalu menanggung segala hal bahkan yang bukan akibat darinya. Malam ini Edgar hanya ingin menyayangi Hanan secara nyata. Melalui lisan maupun raga.
Hanan mulai gelisah dan bergerak tak nyaman selagi Edgar menciumi lehernya. Celana jins mereka yang bergesekan menimbulkan sensasi terbakar yang perlahan merambat ke sekujur tubuh Hanan. Ia ingin menanggalkan semua kain yang menempel di kulitnya.
“Gar, lepas.” Hanan menarik-narik celana milik Edgar.
Edgar berhenti mencium leher Hanan. Matanya masih tertuju pada kulit leher cowok itu yang memerah di sana-sini, memikirkan sesuatu untuk beberapa saat sebelum tangannya bergerak melepas kancing celananya dibantu Hanan. Kemudian ia beralih melepas milik Hanan dan melemparnya ke lantai.
Tak ada lagi helai kain yang menghalangi Hanan untuk menggesekkan miliknya yang sudah memerah pada Edgar. He’s so hard it hurts. Keduanya mengerang bersamaan kala penis mereka bertemu. Edgar kembali menyerang leher Hanan dengan ciuman dan gigitan pelan sementara pinggulnya bergerak membabi-buta, menggesek dalam hingga telinganya hanya penuh dengan desahan Hanan.
Sesuatu yang sebelumnya hanya tersimpan di imajinasi Edgar dan kini didengarnya langsung, tak ayal membuat egonya membumbung. Edgar ingin membuat Hanan gila dan meneriakkan namanya.
Edgar tiba-tiba berhenti. Membiarkan Hanan bergerak putus asa mencari kenikmatan itu kembali.
“Gar…” erangnya. Pinggulnya terangkat untuk menciptakan friksi itu lagi. “Ck. Kenapa berhenti, sih?”
Edgar menundukkan kepalanya hingga mencapai telinga Hanan. Ditempelkan bibirnya di sana lalu berbisik rendah. “Panggil nama gue.”
Awalnya Hanan tak merespon. Badannya masih mencoba bergerak untuk mendapatkan kenikmatannya. Namun melihat Edgar tetap bergeming Hanan akhirnya menyerah. Ragu-ragu ia membuka mulutnya hingga nama itu terucap.
“Edgar… please…”
Siapapun tahu malam itu Hanan benar-benar membuang harga diri. Hanya demi perhatian Edgar, diberi nikmat Edgar. Hanan membiarkan dirinya diinjak, direndahkan, dipermainkan. Sesuatu yang belum pernah diterima Hanan sepanjang hidupnya.
Memberikan satu ciuman di bibir Hanan, Edgar kembali pada perhatiannya untuk Hanan. Gesekan itu membuat tubuh Hanan semakin panas. Merapalkan nama Edgar menjadi sesuatu yang berada di luar kendalinya.
“Ah- Gar- Edgar… Fuck. Jangan berhenti.”
Edgar menatap Hanan yang menjadi berantakan di bawahnya. Menertawai dengan sinis bagaimana ia menambahkan kacau pada cowok itu. Namun setidaknya kacau yang ini tak menghancurkan tubuhnya seperti alkohol yang ada dalam aliran darahnya.
Malam ini Hanan harus lupa pada apa yang membuatnya hancur. Malam ini Hanan hanya boleh mengingat nama Edgar dan bagaimana cowok itu membuatnya kembali utuh. Edgar ingin eksistensinya terpatri kuat dalam sudut pikiran Hanan hingga suatu saat ia harus pergi dari hidup Hanan, Hanan tak akan pernah lupa padanya dan apa yang diberikannya malam ini. Bahwa Edgar memberikan semua hal-hal yang indah.
Napas Hanan tercekat ketika ia merasakan jari Edgar menyentuh lubangnya, bermain-main di sekitarnya. Hanan mulai bergerak tak nyaman.
“Lo pernah dimasukkin, nggak?” bisik Edgar.
Pertanyaan Edgar mengirim dingin ke punggung Hanan. Tak pernah terpikir olehnya seseorang akan dengan mudah mendominasinya seperti itu. Sepanjang hidup Hanan pantang membiarkan seseorang merendahkannya, apalagi memasukinya.
“Gar.”
“Hm?”
Seperti ucapan Edgar sebelumnya, Hanan tak berusaha memikirkan apapun lagi. Ia mengalungkan kedua lengannya pada leher Edgar untuk menariknya lebih dekat dan menciumnya tepat di bibir. Ia membiarkan Edgar melakukan semua hal yang membuat Hanan merasa penuh. Termasuk hal-hal yang belum pernah Hanan alami.
Dua jari yang berada dalam lubang Hanan mengubah sensasi yang awalnya terasa aneh itu menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang mengejutkan Hanan. Tanpa sadar dirinya sudah melenguh hebat meminta Edgar untuk segera memenuhinya saja.
Siapa Edgar kalau tak memberikan segalanya untuk Hanan?
Sedikit demi sedikit, pelan hingga terasa seutuhnya. Hanan mengumpat berulang kali.
“Ah, anjing. Gar. Sialan!”
Edgar mengulas senyum tipis. Takjub. Begini saja Hanan sudah kacau.
“Lo berisik banget,” ucap Edgar di telinga Hanan. “Ini gue belom apa-apa.”
Kentara wajah Hanan yang memerah. Harga dirinya sudah habis dilahap cowok yang berada di atasnya itu. Ia berharap Edgar segera menghabisinya saja tanpa ampun hingga kepalanya tak sempat lagi memikirkan rasa malu.
Lalu Edgar bergerak. Pelan, lambat, penuh kehati-hatian. Lagi-lagi Hanan mengutuk cowok itu di dalam hati. Untuk apa Edgar memperlakukannya sebegini lembutnya? Jika tujuannya untuk membuat Hanan lupa akan masalahnya, ini bukanlah cara yang tepat. Edgar memperlakukannya seolah-olah Hanan bukan pemuas nafsunya saja, namun seseorang yang harus ia jaga. Dan Hanan belum mampu mempertimbangkan kemungkinan itu.
Edgar menyusuri dada Hanan dengan bibirnya, lalu naik ke leher, sisi wajah, dan berhenti di bibir cowok itu yang terbuka, mengeluarkan desahan-desahan pendek.
Bersamaan dengan Edgar mendorong pinggulnya kuat, ia bungkam bibir Hanan yang mengerang keras. Punggungnya panas oleh kuku Hanan yang menancap pada kulitnya. Tapi Edgar tidak peduli.
Erangan Hanan teredam oleh bibir Edgar yang tak henti menyesap bilah bibirnya, lidahnya. Kali ini Hanan benar-benar tak mampu memikirkan apapun lagi selain Edgar yang berada di dalamnya.
Iblis bekerja keras malam itu karena baik Edgar maupun Hanan, tak ada satupun yang ingin berhenti. Edgar menyentak tubuh Hanan dengan kuat berulangkali, mendengar namanya disebut dalam desah yang mengalun merdu untuk telinganya. Kalau kewarasan Edgar sudah hilang sepenuhnya, ia pasti akan membalasnya dengan ucapan-ucapan sayang. Namun masih ada sisa kesadaran dalam diri Edgar untuk menahannya.
“Enak?” tanya Edgar pelan. Ada bulir air mata yang terbendung di sudut mata Hanan, dicium Edgar hingga habis tak bersisa.
“Gar… Edgar…” panggil Hanan.
“Iya?”
Edgar menundukkan kepala untuk mendengar apa yang ingin disampaikan Hanan. Satu kalimat yang meluncur dari bibir cowok itu hampir membuat Edgar keluar begitu saja.
Sialan Hanan.
Ketika Edgar mengamati wajah Hanan, ada senyum puas yang tersirat dari cowok itu. Ternyata bangsat itu bukan hanya dirinya.
Ada ego yang membakar jiwa Edgar untuk tak menjadi kalah. Apalagi dari sialan di bawahnya ini.
“Ah- Ah!” Hanan memekik kala Edgar mengubah ritme gerakannya. Tanpa ampun. Tapi Hanan tak mengatakan kalau ia tak suka.
Semuanya terasa asing, tapi Edgar berhasil membuat Hanan ketagihan.
Pelepasannya sudah berada di ujung. Hanan tak mampu mengucap hal lain selain 'Sialan' dan 'Enak banget, Gar.'
Hingga Hanan bertemu putih dan cairannya menetes ke perut serta dadanya. Edgar mencabut miliknya dan mengocoknya di atas perut Hanan. Tubuh cowok itu kini dihiasi cairan kenikmatan milik keduanya yang menyatu.
Hanan berusaha mengatur napasnya lalu memandangi Edgar yang berada di atasnya, tak menatap ke arahnya.
“Gar,” panggilnya. Namun Edgar malah bangkit dari sofa dan kembali dengan kain basah untuk membersihkan tubuh Hanan.
Hati-hati sekali Edgar mengusap kain itu pada permukaan kulit Hanan, menyapu kotor dari tubuh cowok itu. Dibersihkan hingga kembali seperti semula, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Seperti menghilangkan jejak.
“Edgar,” panggil Hanan lagi ketika Edgar memakaikan celananya. Cowok itu akhirnya mendongak, menaruh perhatiannya pada Hanan. “Lo ngapain sih kayak gini?”
“Kayak gimana?” tanya Edgar balik. Suaranya terdengar tenang.
Hanan berdecak pelan, berusaha mengeluarkan isi pikiran dari kepalanya yang rumit. “Ngapain kayak gini ke gue? Lo juga minum, ya, tadi? Lo mabok juga?”
“Gue nggak mabok,” ucap Edgar tegas. Ia selesai mengancingkan celana Hanan dan mulai memakai pakaiannya sendiri, membiarkan Hanan tetap bertelanjang dada.
“Terus kenapa-”
“Nan,” sela Edgar. “Gue nggak bisa nginep. Udah gue siapin obatnya di meja kalo lo pusing.”
Dari situ Hanan mulai sadar bahwa apa yang baru saja terjadi tak akan Edgar bahas lagi. Hanya menjadi bayang-bayang bagi keduanya, dan mungkin mimpi untuk Hanan yang esok hari mempertanyakan kenyataan.
Tiba-tiba ada perasaan sedih yang menikam ulu hati. Terlebih ketika Edgar memberinya sebuah cium di puncak kepala tanpa kata-kata. Tangan Hanan hampir bergerak untuk menahan cowok itu pergi. Hampir.
Suara pintu ditutup lalu bunyi mesin motor yang semakin menjauh dan hilang ditelan sunyi malam. Hanan meletakkan lengannya di atas wajah, menutupi sepasang mata yang tanpa permisi menjatuhkan tangis. Entah untuk apa.
Edgar berhasil membuat Hanan lupa akan kehancurannya hari ini. Namun ia juga berhasil membuatnya mempertanyakan sesuatu yang tak sempat terbersit di pikiran.
Mengapa?
Mengapa rasanya dunia berbaik hati memeluk Hanan ketika Edgar ada di dalamnya?