Dua hal yang memiliki sisi yang begitu berbeda, dua hal yang berlawanan, dua hal yang rasanya mustahil untuk berada di ruang dan waktu yang bersamaan.

Seperti pagi dan malam. Seperti bulan dan matahari. Seperti bumi dan langit. Seperti Biru dan Bara.

Layaknya ia memiliki nama, Biru adalah teduh. Sedang Bara adalah berapi-api. Biru setenang lautan, sedang Bara menyimpan gumpalan perasaan yang siap meledak. Namun nyatanya mereka dapat hadir berdampingan di dunia yang mereka pijak di bawah sepasang kaki.

Bara pertama kali melihatnya di hari pembukaan peserta didik baru. Berjajar rapi di antara anggota OSIS lengkap dengan topi dan dasi abu-abu. Tetapi ia hanya mengingatnya sekilas, terlalu sibuk memikirkan apakah ia akan berada satu kelas dengan Rendra kali ini.

Pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya hanya terjadi ketika keduanya tak sengaja berpapasan di parkiran, koridor, atau kantin. Percakapan pertama yang terjadi adalah ketika Biru muncul di ambang pintu kelasnya, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kelas yang membuat beberapa temannya tiba-tiba merasa besar kepala. Biru memang cukup banyak dikenal oleh penghuni sekolah.

“Sori, Sekar nggak ada di kelas, ya?” Cowok jangkung itu melempar pertanyaan pada Bara yang tengah menempati bangku paling dekat dengan pintu.

“Eh? Sekar?” Bara sedikit terkejut karena tiba-tiba dilempari pertanyaan tentang keberadaan ketua kelasnya. Ia menjulurkan lehernya untuk melihat bangku milik Sekar yang ditinggalkan oleh pemiliknya. “Keluar kayaknya, Bang. Kalo nggak ke ruang guru mungkin ke perpus.”

Bara tidak terlalu yakin dengan jawabannya. Tapi ia pernah melihat Sekar masuk ke kelas dengan buku pinjaman dari perpustakaan setelah bel selesai istirahat berbunyi.

“Oh, oke. Makasih, ya.”

Biru memberinya senyum singkat sebelum pergi meninggalkan kelas Bara. Tak lama kemudian Rendra datang ke kelas dengan beberapa bungkus jajanan kantin dan sebotol air mineral.

“Dateng juga lo. Laper banget gue,” komentar Bara sembari meraih sebungkus arem-arem dan melahapnya. Ia memang meminta tolong pada Rendra untuk membelikannya makanan dari kantin lantaran kaki kanannya masih sakit hasil dari tertimpa motor.

“Eh, barusan Bang Biru mampir ke kelas?” tanya Rendra heboh. Ia duduk di bangkunya yang berada di sebelah Bara.

Bara menjawab dengan gumaman, mulutnya masih sibuk mengunyah.

“Ngapain?”

“Nyariin Sekar.”

Rendra memukul permukaan meja dengan telapak tangan, mengagetkan Bara yang sedang menelan makanannya.

“Gue bilang juga apa!”

“Apaan, sih?” protes Bara yang hampir tersedak.

“Mereka berdua pasti ada apa-apa. Udah beberapa kali gue liat Sekar sama Bang Biru ngobrol berdua.”

“Urusan OSIS, kali,” tanggap Bara seadanya.

Sejatinya Bara tidak peduli dengan hal semacam itu. Orang-orang seperti Sekar dan Biru adalah kelompok orang yang jauh dari perhatian Bara. Atau lebih tepatnya Bara hindari jika memungkinkan. Hanya berinteraksi jika perlu saja, selebihnya Bara tak mau masuk ke dalamnya untuk alasan tertentu.


Percakapan kedua jatuh di lapangan depan sekolah kala Bara menendang bola terlampau kuat hingga benda bulat itu terpental ke arah parkiran motor. Sudah setengah jalan Bara berniat mengambil bola tersebut ketika Biru muncul dengan benda itu di tangan.

Thanks, Bang.”

Bara mengambil bola sepak itu dari tangan Biru.

“Lo temen sekelasnya Sekar, kan?” tanya Biru kemudian. “Bara?”

“Iya.” Bara memaksakan satu senyum kaku hanya sebagai formalitas kepada kakak kelas.

Hari itu berakhir dengan Biru yang memutuskan untuk ikut bermain futsal bersama Bara dan teman-temannya. Yang kemudian berlanjut hingga ada kesempatan berikutnya dan berikutnya lagi ketika Bara memiliki jadwal untuk bermain futsal di luar area sekolah.

Awalnya Bara mengira mungkin itu salah satu jenis formalitas yang juga diterapkan Biru padanya, mengingat ia adalah teman sekelas Sekar. Bara juga baru menyadari kalau Rendra jauh lebih akrab dengan Biru.

Bara selalu mengambil antara hari Jum’at atau Sabtu untuk bermain futsal. Sebab di penghujung minggu adalah waktunya untuk berada di jalanan.

Hari itu juga Biru datang ke tempat futsal. Kali ini ditemani seseorang yang sudah Bara kenal.

“Lo bener pacaran sama Sekar, ya, Bang?” celetuk Bara saat mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan.

Biru mengangkat alisnya terkejut kemudian melempar pandangan ke arah Sekar yang sedang mengobrol dengan beberapa teman Bara di kejauhan.

Pertanyaan Bara sebenarnya hanya basa-basi untuk membuka obrolan. Bara tidak terlalu peduli hubungan di antara keduanya. Namun senyum rikuh yang diulas Biru memberi jawaban yang cukup jelas untuk Bara. Biru bahkan tidak repot-repot mengiyakan.

“Cocok, sih,” komentar Bara kemudian.

“Emang iya?”

“Iya. Kalian setipe.”

Biru mulai memberikan perhatian pada komentar Bara. Alisnya bertaut dan wajahnya memancarkan keingintahuan.

“Setipe gimana?”

“Yaa setipe? Sama-sama anak OSIS, pinter, teladan. Yang kayak gitu-gitu, lah.”

Biru manggut-manggut mendengar penjelasan Bara. Meski sejujurnya Biru tidak pernah memikirkan hal itu. Ia menyukai Sekar bukan karena tiga hal yang disebutkan Bara sebelumnya. Tetapi penuturan Bara membuatnya sadar akan kemungkinan mereka dapat berada di lingkup pertemanan yang sama karena hal-hal tersebut.

Dan itulah yang semakin membuat Bara yakin ia tidak mau terlibat terlalu dalam. Orang-orang seperti Biru dan Sekar, yang hidupnya terlihat begitu tertata dan langkahnya pasti untuk maju ke depan, bukanlah lingkup yang ingin Bara jamah. Sebab Bara adalah semua yang bertolak belakang dengan hal itu. Bersinggungan dengan kehidupan Biru hanya akan memunculkan pahit dan benci yang tidak Bara harapkan.


Setahun menjadi siswa tingkat pertama di sekolah sudah lebih dari cukup untuk Bara melakukan penyesuaian dengan lingkungannya. Jika sebelumnya Bara merasa waktunya di luar rumah sangat terbatas, kini ia merasa lebih memiliki banyak waktu. Jam pelajaran yang berakhir hingga sore hari selalu disyukuri Bara. Karena ia lebih memilih untuk bosan daripada menanggung kemarahan ayahnya.

Hubungannya dengan Biru masih stagnan seperti yang direncanakannya. Kakak kelas yang begitu dikagumi sahabatnya itu hanya cukup menjadi pihak yang jauh berada di luar lingkar kehidupannya. Pacar dari teman sekelas, kakak kelas, kawan bermain futsal. Itu saja.

Bahkan hingga hari kelulusan tiba, Biru tetap dipandang Bara sebagaimana ia menemukan cowok itu di antara barisan anggota OSIS pada hari pertamanya di sekolah. Dan Bara yakin Biru juga beranggapan yang sama tentang dirinya. Teman sekelas pacarnya yang mau tak mau diakrabinya demi hubungan dengan pacarnya agar tetap terjaga pula. Meski Bara tak paham dengan konsep tersebut. Bara tak pernah paham dengan jalan pikiran orang-orang seperti mereka.

“Langgeng sama Sekar.”

Adalah pesan Bara yang ditujukan kepada Biru di hari kelulusan. Masih formalitas.

“Jangan jatoh mulu lo.”

Adalah pesan Biru kepada Bara karena ia kerap menemukan luka di tangan atau wajah Bara.

Bara menarik satu sudut bibirnya sekilas. Tangannya meraba bagian rahangnya yang kini dihiasi plester luka. Dulu luka itu selalu dibiarkannya bebas.

Hanya saja belakangan ini ada yang rajin merawat luka-luka itu. Tetapi Bara rasa Biru tidak perlu tahu. Biar cowok itu menganggap Bara yang menutup lukanya sendiri dengan plester yang dihiasi karakter hewan.

Biar saja. Biru tidak perlu tahu. Toh, orang seperti dia tidak akan peduli.