Evan sebenarnya sudah beberapa kali memergoki cowok yang berada satu organisasi dengannya itu melihat ke arahnya lebih lama, tersenyum lebih lama, bahkan mengobrol lebih lama dari biasanya ia mengobrol dengan anak-anak yang lain. Jujur saja dari awal memang Evan sudah tertarik dengan cowok bernama Candra itu. Evan suka dengan orang yang wawasannya luas dan pembawaannya asyik. Tak hanya memiliki itu semua, Candra rupanya juga memiliki selera humor yang cocok dengan Evan. Tetapi yang paling membuat Evan benar-benar naksir adalah bagaimana cara Candra peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk Evan.
Hari itu rapat organisasi berakhir cukup lama dari biasanya. Langit sudah mulai gelap dan area kampus yang dihiasi banyak pepohonan rimbun itu pun terlihat mencekam. Evan harus mengambil motornya di parkiran yang berjarak cukup jauh dari ruang rapat. Belum apa-apa bulu kuduknya sudah merinding. Ia mendengar terlalu banyak cerita hantu kampus.
“Van, pulang naik apa?”
Evan terlonjak kaget ketika Candra tiba-tiba sudah berada di belakangnya, memakai sepatunya.
“Motor. Lo sendiri?”
“Gue nebeng temen gue tadi. Motor gue bannya bocor belom sempet benerin.”
“Ooh.”
Evan mengamati Candra hingga cowok itu selesai memakai sepatu dan beranjak berdiri.
“Lo parkir di mana?” tanya Candra.
“Di deket perpus.”
“Kok jauh parkirnya?”
“Tadi sekalian habis dari perpus, sih.”
Candra mengangguk-angguk. “Gue temenin apa?”
Evan memang sejak tadi berharap agar Candra menemaninya ke parkiran. Karena ia terlalu takut berjalan sendiri ke sana. Sesampainya di parkiran, Evan sekalian menawarkan diri untuk mengantar Candra pulang.
“Lo ngekos, kan?” tanya Evan.
“Iya. Lo juga?”
Evan menganggukkan kepala.
“Eh, mau mampir makan dulu, nggak?” tanya Candra kemudian. “Gue suka males makan kalo udah nyampe kos.”
“Hahah gue juga. Ya, udah, ayo.”
Akhirnya dengan mengendarai motor Evan, keduanya mampir ke warung makan untuk membeli nasi sayur. Mereka mengisi perut sembari bertukar obrolan tentang diri masing-masing.
“Lo emang aslinya suka nulis, ya, Can?”
“Gue? Suka aja, sih.”
“Artikel yang lo tulis isinya bagus-bagus, tau,” puji Evan. “Gue suka baca juga terus jadi tau banyak hal yang sebelumnya gue nggak tau.”
Candra tersenyum mendengar ucapan Evan tentang tulisannya.
“Liputan yang lo tulis juga bagus, kok, Van,” balas Candra. “Nggak gampang, loh, ngolah hasil wawancara jadi tulisan yang enak dibaca dan nggak terkesan kaku.”
Evan sudah sering mendengar kalau ia memiliki bakat dalam menulis, tetapi yang barusan didengarnya oleh Candra adalah yang pertama kali. Ia sendiri bahkan tidak pernah terpikirkan akan hal itu.
“Iya, ya?” gumam Evan pelan.
Candra mengangguk cepat. Senyumnya kembali merekah dan Evan dapat merasakan dadanya berdesir.
Selesai makan, keduanya keluar dari warung. Candra yang memaksa untuk membayar karena sudah dibolehkan menumpang motor Evan.
“Kosan gue udah deket, tinggal jalan aja,” cetus Candra.
“Beneran?”
“He eh. Deket banget, kok.”
Sebelum Evan benar-benar pergi, Candra sempat menahannya sebentar. Cowok itu melepas jaketnya lalu menyampirkannya di bahu Evan.
“Pake jaket. Dingin.”
“Eh- ini kan-”
“Nggak papa. Gue tinggal jalan deket doang. Lo yang masih harus motoran ke kos. Lain kali bawa jaket, ya?”
Hari itu Evan kembali disadarkan bahwa ia ternyata naksir berat dengan Candra. Benar-benar naksir.
Namun menyukai seseorang seperti Candra membuat Evan gundah juga. Meski cowok itu memberikan perhatian padanya, tetapi tak sedikit juga yang mendapat perlakuan baik darinya. Evan jadi kepikiran, jangan-jangan dia terlalu besar kepala dan menganggap perlakuan Candra padanya adalah sesuatu yang spesial.
“Duh, Binnn, apa gue yang ke-geer-an, ya??” keluh Evan pada teman dekatnya, Bintang.
Bintang yang sedang selonjoran di kos Evan sambil mengunyah cilok itu menghentikan kegiatannya untuk melirik ke arah Evan yang berkali-kali mengeluh tidak jelas.
“Menurut lo sendiri gimana?” tanya Bintang.
“Apa, yaa?” Evan membalikkan badannya hingga telentang di kasur dan melihat ke langit-langit kamar. “Dia baik terus sama gue, sih. Kayak yang- care banget gitu, loh. Sampe dipinjemin jaket menurut lo gimana? Tapi gue nggak tau, sih, kalo dia pernah ngasih jaket ke orang lain juga.”
“Tanyain aja langsung.”
“Gila kali.”
“Daripada lo penasaran? Tanyain. Can, lo ngasih jaket ke gue doang apa ke yang lain juga? Soalnya gue udah baper banget sama lo, nih.”
Bintang langsung mendapat lemparan bantal dari Evan.
“Kayak kita berdua, tuh, sering ngobrol. Nyambung dan seru banget. Tapi dia nggak pernah nyinggung soal itu. Gue, kan, jadi bingung?”
“Makanya ditanyain. Atau lo ngaku sekalian kalo lo naksir. Daripada udah deket lama terus ternyata dia jadiannya sama orang lain?”
“Kayak lo sama Bara, ya?”
Celetukan Evan membuat Bintang hampir tersedak cilok yang sedang dikunyahnya. Bantal kembali melayang ke arah Evan.
Tetapi omongan Bintang hari itu membuat Evan jadi mempertimbangkan langkahnya. Kalau begini terus, bisa-bisa hubungan mereka tidak akan jalan ke mana-mana.
Sebenarnya Evan sudah punya feeling kalau Candra mungkin naksir juga padanya. Tapi rasa insecure-nya yang menang karena Candra tidak pernah benar-benar menunjukkan secara gamblang. Maka dari itu Evan harus memberanikan diri membahas masalah itu lebih dulu.
“Gue ada naksir sama lo sebenernya.”
Kalimat yang terucap dari mulut Evan itu bukanlah hal pertama yang ingin dikatakannya. Tapi, toh, akhirnya terlontar juga tanpa bisa ia tahan.
Hanya ada mereka berdua di ruangan tempat anggota organisasi Media dan Informasi berkumpul. Mereka harus tinggal karena ada tugas menyortir artikel minggu itu.
Ruangan yang sebelumnya hening itu menjadi semakin hening setelah Evan mengucapkan satu kalimat itu. Hanya suara deru AC yang mendinginkan ruangan hingga jemari Evan pucat setelah meremasnya kuat-kuat dalam genggaman.
“Van, kelarin ini dulu nggak papa?”
Pertanyaan Candra hampir membuat Evan menepuk dahinya keras-keras. Kenapa pula ia mencetuskan kalimat itu di tengah-tengah kegiatan yang harus segera mereka selesaikan?
Tetapi senyum lembut dan tepukan pelan pada puncak kepalanya membuat Evan kembali tenang. Fokusnya beralih pada kertas-kertas di hadapannya. Sesekali ia menangkap gelagat Candra yang terlihat lebih canggung dari biasanya. Evan ingin segera menyelesaikan tugasnya.
Tumpukan kertas yang sudah dipilih tertata rapi di depan kedua orang yang kini duduk bersisian bersandar pada dinding ruangan. Evan memeluk kedua kakinya, terdiam. Hanya menunggu Candra untuk mengucap sesuatu terlebih dahulu.
“Evan.”
“Hm?”
“Beberapa hari ini gue sibuk mikirin.”
“Mikirin apa?”
“Gimana caranya nyampein perasaan gue ke lo tanpa bikin lo kaget.”
Evan seketika terdiam.
“Saking sibuknya mikir malah jadi lo yang harus ngomong pertama.” Candra tertawa pelan. “Padahal sesederhana ngomong suka. Mau gimana pun pasti yang denger bakalan kaget.”
“Emangnya lo kaget?” tanya Evan polos.
“Kaget banget, lah.”
Evan jadi ikut tertawa. Tentu saja Candra merasa kaget. Mendengar pengakuan yang tiba-tiba di saat mereka sedang serius memilah artikel.
“Maaf,” ucap Evan kemudian.
“Kenapa minta maaf? Harusnya gue nggak, sih? Selama ini gue udah sering ngobrol sama lo. Udah deket banget. Lo pasti bingung juga sama sikap gue.”
Evan tidak menyangka Candra ternyata menyadari sikapnya itu.
“Gue nggak ada pengalaman pacaran sama orang, Van. Sebelum-sebelumnya gue cuma naksir mereka diem-diem. Nggak pernah berani buat bilang. Takut duluan sama outcome-nya.”
Evan menaruh kepalanya di atas lututnya, mendengar cerita Candra.
“Tapi di akhir gue selalu nyesel. Kenapa gue nggak pernah nyoba? Padahal bisa jadi orang itu suka juga sama gue. Or at least, gue nggak akan penasaran lagi sama perasaannya ke gue.” Candra menoleh sejenak pada Evan sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sejak ketemu lo- ini jujur, ya, Van. Lo orangnya nyenengin banget. Gue suka.”
“Gue nyenengin?” Evan mengangkat kepalanya seraya menunjuk dirinya sendiri. “Masa, sih?”
“Iya. Emangnya orang-orang nggak pada bilang gitu sama lo?”
“Kebanyakan pada ngira gue, tuh, galak. Jutek.”
“Kok di gue nggak, ya? Dari pertama gue liat lo di Medif gue udah ngerasa kalo lo orangnya baik, seru diajak ngobrol.”
Pipi Evan bersemu merah ketika Candra mengatakan kesan pertamanya tentang Evan.
“Lo juga orangnya baik banget pas pertama ketemu. Cerah terus wajahnya,” ucap Evan.
Keduanya seketika diliputi rasa jengah yang datang tiba-tiba. Mengetahui bahwa dari awal mereka memiliki impresi dan perasaan yang sama tentang diri masing-masing membuat keduanya dilingkupi perasaan senang.
Candra tiba-tiba menutup wajahnya sembari berseru pelan. “Gue seneng banget, Van. Maaf, ya, kalo norak.”
Evan melebarkan matanya, berusaha menahan senyumnya agar tak merekah terlalu lebar. Disenggolnya Candra dengan sikunya.
“Apaan, sih, Candra.”
Di dalam lubuk hatinya Evan juga sudah berseru keras. Ingin meneriakkan ke seluruh dunia kalau hari itu ia sangat bahagia.
Hari-hari Evan setelah itu bagaikan potongan film romantis yang menjadi favoritnya. Hal-hal yang biasanya hanya dilihat di dalam film satu persatu terjadi pada kehidupan nyatanya. Rasanya seperti mimpi.
Dan apa yang diketahui Evan tentang Candra ternyata belum semuanya. Candra bisa jauh lebih romantis daripada yang dilihatnya selama ini. Salah satunya saat cowok itu memberi sebuah surat pada Evan.
“Baca kalo kamu udah sampe kos,” pesannya.
Hanya secarik kertas namun benda itu yang akan jadi favorit Evan untuk beberapa tahun mendatang. Disimpan dalam amplop warna kuning, Evan mengeluarkan kertas yang dilipat menjadi dua itu dan mulai membaca isinya.
Dear Evan,
It's been a while since I met you and got to know you better. And the more I know you, the more I realize that you're one big reason for the happiness that I got recently. You make me do better for everything I do. You, too, make me a better person. Someone that used to have low self-esteem is now becoming someone with confidence. You gave me that confidence, that I'm a great person and deserve things in this world. Some things are special. Like you.
I applaud my writing skill at times like this because I'm an awkward mess if I have to say it right to your face. You're beautiful and it's very distracting. Very unfair to me. But I like you still. I really like you. I like you like I like my morning coffee. I like you like I like the raindrops sounds in the middle of the night. I like you like I like any favourite song that randomly pops up when I shuffle my playlist. I just like you.
Also I like being around you, just as much you said you liked being around me. The late night conversation, the holding hands, the awful jokes, the calling of my name, I like them all.
I'm not the best person. But you make me feel like I'm enough.
I'm probably not the best lover too. Or am I?
Evan, do you mind helping me find out?
I feel like you're the right person to help me.
Sincerely, Candra
(p.s pls listen to this song if you're willing to help me!)
Evan segera meraih ponselnya untuk memutar lagu yang Candra sematkan di bagian paling bawah suratnya. Butuh beberapa waktu bagi Evan dapat menemukan nyawanya kembali karena untuk suatu alasan air matanya mengalir tanpa henti. Membaca surat dari Candra dan mendengarkan lagu yang Candra beri, Evan rasanya ingin berlari pada cowok itu dan memeluknya erat-erat.
Nada sambung terasa begitu lama ketika Evan menghubungi Candra. Namun saat suara Candra terdengar dari seberang, napas Evan serasa terenggut.
“Iya?”
“Candra…”
“Hm?”
“Aku udah baca surat kamu dan dengerin lagunya.”
“You did?”
“I did. And I'm willing to help you. I will help you find out.“
Hingga lima bulan kemudian lagu itu masih menjadi lagu yang sering Evan putar di playlist-nya. Dan surat dari Candra menjadi pengingat bahwa ia pernah dan semoga selalu disayangi oleh seseorang dengan cara paling indah.
“Selamat hari jadian yang ke-lima bulan!”
“Gimana? Udah nemu jawabannya belom?”
“Jawaban apa?”
“That you're the best lover.“
“Kamu yang udah bantuin aku selama lima bulan ini. Kamu nemu jawabannya, nggak?”
“Kalo aku, sih, dari awal udah tau jawabannya.”
“And that is?“
“You're the best that I've ever had. No lover or anything. Just you. Candra.”
Meski tak selalu hal-hal baik yang mereka lewati, tetapi menjalani semuanya dengan tangan yang saling bertaut membuatnya terasa lebih mudah. Evan selalu bersyukur ia mengambil keputusan untuk mengatakan perasaannya pada Candra. Karena jika ia melewatkannya, Candra juga akan melewatkan kesempatan memberi kasih sayang terbaiknya untuk seseorang yang sejak awal telah menempati ruang spesial di hatinya.
When they said that some people are meant to be together, Candra and Evan believe it happened to them.