Hanan dan Arka baru sampai di rumah ketika langit hampir gelap setelah mereka pulang dari panti asuhan dan mampir ke beberapa tempat untuk sekedar jalan-jalan.

“Ka, tidur tempat aku aja, yuk?”

Arka yang baru melepas helmnya itu langsung mengeluh. Pasalnya hari ini pasti keluarganya ingin berkumpul untuk makan malam bersama. Dan jika Arka keluar lagi setelah itu, sudah pasti ia akan ditanyai.

Tetapi hari ini Hanan telah melakukan banyak hal yang pantas untuk diberi apresiasi. Hari ini Hanan membuat Arka tersadar bahwa rasa sayangnya untuk cowok ini akan terus tumbuh dan berkembang. Dan Arka ingin Hanan tahu kalau dirinya sangat menghargai eksistensi cowok itu.

Maka Arka memberi anggukan singkat sebagai jawaban. Hari ini akan menjadi hari paling indah untuk Hanan.

Rumah Hanan lagi-lagi sepi. Arka mengikuti langkah Hanan untuk menuju kamarnya. Ia merebahkan badannya di ranjang Hanan setelah seharian berada di luar. Arka memekik pelan ketika Hanan dengan sengaja menjatuhkan dirinya di atas Arka.

“Aduhhh, lo berat, anjing,” keluh Arka.

Tetapi Hanan tetap diam di atas tubuh pacarnya itu sambil pura-pura tertidur. Arka akhirnya menyerah. Dibiarkan Hanan menghimpitnya sebelum kemudian kedua tangannya bergerak untuk memeluk tubuh Hanan yang seperti beruang besar itu.

“Nan.”

“Hm?”

“Nan, mandi sana.”

“Mau mandi bareng?”

Tepukan keras di punggungnya membuat Hanan terbatuk. Namun kemudian cowok itu tertawa.

“Mau, nggak? Kalo mau ayo.”

Arka menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Hanan terpaksa harus mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Arka.

“Mau nggak?” tanya Hanan lagi.

Arka tak melihat ke arah Hanan. Ia memalingkan wajahnya ke lemari pakaian cowok itu.

“Baju gue masih ada yang di sini, kan?”

Dengan semangat Hanan bangkit berdiri dan menyeringai lebar.

“Ada, kok!”


Sambil menunggu Arka yang masih menanggalkan pakaiannya, Hanan lebih dulu masuk ke dalam bathtub seraya mengecek temperatur airnya. Memastikan agar tak terlalu panas.

“Buruan, Ka,” ujar Hanan sambil bertopang dagu di pinggiran bathtub. Ia menyaksikan pacarnya yang sudah bertelanjang dada, hendak melepas celana jeans-nya.

“Ih, hadep sana!” suruh Arka mengibaskan tangannya pada Hanan yang terang-terangan menonton kegiatannya melepas pakaian.

“Lah, kenapa? Kan udah pernah liat.”

“Malu. Sana, cepet!” usir Arka lagi sebelum membalikkan badan memunggungi Hanan.

Dengan gerutuan pelan Hanan akhirnya mengalihkan pandangannya walaupun kemudian ia tetap mencuri lihat ke arah Arka yang sedang melucuti celana hingga pakaian dalamnya. Ketika Arka membalikkan badan dan mulai melangkah menuju bathtub, Hanan buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.

“Tutup matanya,” perintah Arka.

“Ya, ampun. Terus aku disuruh liat apaan?”

“Merem aja dulu pokoknya,” paksa Arka.

Hanan pun menuruti perintah Arka untuk menutup mata meskipun ia masih tidak habis pikir kenapa ia harus melakukan itu. Suara air berkecipak ketika Arka mulai memasukkan kakinya ke dalam bak dan merendam tubuhnya di sana.

“Udah belom?” tanya Hanan tak sabar.

“Udah.”

Hanan seketika membuka matanya namun pemandangan yang dilihatnya membuat keningnya berkerut dalam.

Punggung Arka.

“Ka, yang bener aja? Masa aku dikasih punggung?”

“Tadi bilangnya mau apa? Mandi bareng, kan?” ingat Arka.

“Dih, si Arka nggak pengertian banget. Mandi bareng tapi ada lanjutannya. Mandi sekaligus nge-”

“Buruan mandi dulu!” seru Arka tanpa mempedulikan Hanan. Cowok itu mengambil sabun cair di atas rak dan mulai mengusapkan cairan berbusa itu ke seluruh tubuhnya. Setelahnya ia melempar botol sabun ke belakang hingga mengenai bahu Hanan.

“Aduh! Ka, mau mandi bareng apa tolak peluru, sih?” protes Hanan.

Hanan terpaksa mengambil botol sabun dan memompa isinya ke telapak tangan. Dilihatnya Arka masih diam tak bergerak di tempatnya.

“Kenapa diem? Marah?”

Bahu Arka terangkat sejenak kemudian kembali turun seiring cowok itu menghela napas keras. Beberapa saat kemudian Arka membalikkan badannya hingga benar-benar berhadapan dengan Hanan. Masih dengan gerakan lambat dan tanpa suara Arka meraih botol sabun dari tangan Hanan dan menuang isinya ke telapak tangannya sendiri. Setelah membuatnya berbusa barulah ia membuka mulutnya.

“Sini deketan,” ujar Arka pelan. Matanya masih tak mau melihat lurus kepada Hanan.

Meskipun bingung dengan sikap Arka, Hanan tetap memajukan badannya hingga jaraknya cukup dekat dengan cowok itu. Arka mengulurkan tangannya dan mulai mengusap bagian leher Hanan, kemudian kedua bahunya yang kokoh, selanjutnya tangannya turun ke dada Hanan. Gerakannya terhenti sejenak dan Hanan baru menyadari betapa merahnya wajah Arka saat itu.

Pikiran jahil Hanan muncul. Ia mulai menangkap pergelangan tangan Arka dan menuntunnya untuk mengusap cairan berbusa itu pada dadanya. Sengaja ia memperlambat gerakannya agar tangan Arka bertahan lebih lama di sana.

“Kalo mau nyabunin yang bersih,” celetuk Hanan. Sontak Arka mengerjapkan matanya.

Tangan Arka terus dikendalikan hingga turun ke bagian perut. Hasil dari berjam-jam berada di gym itu memang terlihat dan terasa nyata. Otot-otot yang terasa keras ketika jemari Arka menyapu permukaan kulitnya. Sangat bertolak belakang dengan kulitnya yang selembut kulit bayi.

Hanan terus menggerakkan tangan Arka hingga cowok itu merasakan bagian lain yang cukup keras. Dituntunnya telapak tangan Arka untuk melingkupi bagian tersebut dan mengusapnya lembut.

Lenguhan pelan muncul dari balik tenggorokan Hanan sementara dirinya menahan tangan Arka agar tetap memanjakan miliknya itu.

“Enak banget, loh, Ka,” cetus Hanan dengan senyum miringnya.

“Diem,” ucap Arka yang masih belum dapat bertemu pandang dengan cowok itu.

“Tapi lebih enak lagi kalo dimasukkin,” tambah Hanan. Wajah Arka sudah sangat merah. Tangan Hanan berhenti mengendalikannya.

Mereka terdiam untuk beberapa detik sebelum Hanan bangkit berdiri. Mata Arka akhirnya mengikuti Hanan.

“Mau ngapain?” tanya Arka.

“Ya, ngapain lagi?”

Arka baru sadar pertanyaan yang dilemparnya adalah pertanyaan bodoh. Tetapi ia ingin melakukan sesuatu untuk Hanan hari ini. Diraihnya pergelangan tangan Hanan dan ditariknya cowok itu agar kembali ke tempatnya.

“Duduk aja di sini,” pinta Arka.

Perlahan Hanan kembali duduk di tempatnya. Setelah itu ia menyaksikan Arka yang merangkak mendekatinya, begitu dekat hingga wajah mereka hampir bertemu. Lalu cowok itu duduk tepat di pangkuan Hanan.

Hanan terkesiap.

Ia dapat merasakan tangan Arka meraih miliknya yang mulai berdenyut dan mengarahkannya ke bagian belakang tubuhnya. Arka menelan ludahnya dengan susah payah sebelum ia mengangkat badannya sejenak dan akhirnya menenggelamkan milik Hanan ke dalam dirinya.

Arka sempat merintih beberapa saat ketika tubuhnya belum dapat menerima keseluruhan milik Hanan. Dengan cekatan Hanan menarik kepala Arka untuk memberinya ciuman dalam agar rasa sakit cowok itu teralihkan. Sensasi dari ciuman Hanan memang selalu membuat Arka pusing, tetapi itu juga cara terbaik untuk mengabaikan rasa sakit yang mendera bagian belakang tubuhnya.

Arka mengalungkan kedua lengannya pada leher Hanan sementara Hanan memeluk erat pinggang Arka. Bibir keduanya masih bertaut dan enggan berpisah sementara Hanan berusaha mengusap punggung Arka dan perlahan menggerakkan pinggulnya agar Arka mulai terbiasa.

“Masih sakit?” bisik Hanan.

Arka menggeleng pelan di antara upayanya meredam suara-suara yang muncul dari bibirnya lantaran milik Hanan sudah tertanam sempurna di dalam tubuhnya. Ia mencoba mengangkat tubuhnya lagi dan kembali turun, dilakukannya berulang-ulang hingga rasa sakitnya berganti menjadi rasa nikmat yang menjalar ke setiap syaraf tubuhnya.

Hanan bahkan tak perlu banyak bergerak karena Arka yang melakukan semua untuknya. Cowok itu mendongakkan kepalanya hingga hanya leher putihnya yang terlihat oleh mata Hanan sementara badannya terus bergerak naik turun di pangkuannya.

“Ah, anjing,” desis Hanan. Tangannya memegang kuat pinggang Arka dan ia yakin aksinya itu akan menimbulkan bekas di esok hari.

Arka mulai melepaskan lenguhan-lenguhan pendek seiring tubuhnya bergerak. Tiap kali ujung milik Hanan menabrak bagian dalam tubuhnya yang sensitif rasanya Arka hampir kehilangan akalnya.

“Pinter banget, sih, Ka? Siapa yang ngajarin?” puji Hanan di sela hasratnya untuk mendesah keras. Stimulasi di ujung miliknya semakin memuncak.

Arka memejamkan matanya kuat-kuat. Pujian dari Hanan sama sekali tak membantu dirinya untuk dapat berpikir jernih.

Hanan menciumi leher dan dada Arka yang wangi. Memberikan efek memabukkan untuk dirinya yang sedang dimanjakan oleh Arka.

“Pinter banget Arka. Pantes juara satu terus. Disuruh apa-apa juga bisa.”

Ucapan Hanan mengirim sesuatu yang lain pada Arka. Tak menyadari miliknya juga mulai berdenyut minta diperhatikan.

Hanan menarik kepala Arka ke ceruk lehernya, bibirnya mulai membisikkan pujian tepat ke telinganya.

“Nggak usah diajarin juga udah pinter, ya? Paling pinter bikin enak Hanan. Iya?”

“Nnh- Nan…”

“Apa, sayang? Belom capek, kan? Dikit lagi.”

Arka did intend to make Hanan feel good that day. So he tried his best.

Please, praise me. Praise me more.

Hanan tak mungkin menolak permintaan Arka. Jika itu membuat keduanya puas maka Hanan akan melakukan segala yang diminta.

“Arka cantik. Arka pinter. Sekarang bisa, dong, bikin Hanan keluar?”

Arka menahan napasnya kala ia mengangguk. “Bi…sa.”

Dan Arka tak mengkhianati ucapannya. Ia menyempitkan dirinya hingga milik Hanan benar-benar dilingkupi hangat yang luar biasa. Hanan tak lagi dapat menahan erangan nikmat yang muncul dari bibirnya.

“Anjing- Ka, terusin. Pinternya aku. Ah- Enak banget Arka.”

Cengkeraman Hanan di pinggang Arka semakin menguat hingga akhirnya ia menemui pelepasannya. Hanan mengerang panjang kemudian punggungnya rebah di sisi bathtub.

Hanan menunggu hingga akal sehatnya kembali sebelum ia membuka mata untuk menyaksikan wajah Arka tepat di hadapannya. Ditariknya cowok itu untuk diciumnya lagi. Kali ini penuh dengan rasa bangga atas apa yang telah dilakukan Arka.

What was that?” bisik Hanan dengan hembusan tawa takjubnya. “Kamu sejak kapan suka kayak gitu?”

Arka tak menjawab. Telinganya masih memerah.

Hanan bangkit dari rebahnya untuk membawa Arka keluar dari bak. Kaki cowok itu pasti sudah tak kuasa untuk berdiri.

Let me take care of you.


Setelah benar-benar membersihkan badan keduanya kini berbaring dengan nyaman di ranjang. Hanan memeluk Arka dari belakang dan mengubur wajahnya di leher cowok itu.

“Arka. Makasih buat hari ini, ya?”

“Hm? Makasih kenapa?”

“Udah nemenin aku hari ini. Ngelakuin hal yang aku pengen.”

Arka membuka kelopak matanya. “Gue tau lo pengen banget ngadain baksos di panti asuhan.”

“Aku ngerasa itu salah satu tugasku, sih, Ka. Aku bagian dari mereka juga sebenernya. Bedanya aku punya seseorang yang mau ngorbanin semuanya buat ngerawat aku.”

Arka mendengarkan ucapan Hanan sambil menepuk lembut tangannya yang melingkar di perutnya.

“Tau, nggak, tadi ada omongan anak-anak itu yang bikin aku ketampar? Mereka nggak pernah dapet perhatian penuh dari mereka kecil. Walaupun ada yang ngurusin keperluan mereka sehari-hari, tapi mereka masih ngerasa ada yang kurang. Gara-gara itu aku jadi mikir kalo keberadaan Mamah efeknya gede banget di aku. Mamah bisa bikin aku merasa cukup walaupun nggak punya orang tua lengkap. Walaupun Mamah sendiri bukan orang tua kandung aku.”

“Nyokap lo emang keren banget, Nan. Gue selalu bilang itu, kan?” Arka membalikkan badannya untuk menatap wajah Hanan. “Tapi gue juga bangga banget sama lo. Meskipun lo tumbuh tanpa sosok ayah, yang gue yakin lo pasti pernah pengen punya, tapi lo tetep bisa jadi sekeren ini.”

Hanan mengulas senyum samar. Ia memang terkadang memikirkan bagaimana rasanya punya figur seorang ayah dalam hidup. Tetapi jika dengan satu sosok ibu yang hebat saja sudah cukup, untuk apa lagi ia mencari?

“Sayang banget sama kamu.”

Gumaman Arka membuyarkan pikiran Hanan. Ia seketika melebarkan matanya.

“Apa?”

“Apa??”

“Tadi kamu bilang apa?”

“Sayang.”

“Yang lengkap.”

“Sayang banget sama lo.”

“Nggak, tadi nggak gitu.”

“Apa, sih? Sayang banget sama kamu?”

“Nah, itu!”

Arka berdecak pelan. “Segitu senengnya dipanggil kamu?”

Hanan mengangguk-angguk girang.

Childish banget, sih.”

“Boleh, nggak, sekarang manggilnya gitu?”

Arka berpura-pura untuk mempertimbangkan.

“Cuman pengen aku-kamuan, loh. Masa nggak boleh?”

“Belom kebiasa.”

“Dibiasain makanya. Kalo dipanggil kamu aku bisa jadi jinak. Sumpah.”

“Ngawur.”

“Beneran.”

“Awas, ya, kamu kalo bohong?”

Hanan serentak bangkit dari ranjangnya dan memukuli bantalnya dengan brutal.

“Tuh, kan! Mana jinak?”

“Jangan tiba-tiba gitu!” seru Hanan. “Aku belom siap.”

“Ya, udahlah nggak usah.”

“Eh, jinak, kok, jinak! Janjiii!” Hanan menghampiri Arka untuk memeluknya erat. “Panggil kamu, ya?”

“Hmm. Kamu. Kamu kamu kamu kamu kamu.”

Hanan semakin mempererat pelukannya dan menyerang Arka dengan ciuman. Yang dikurung dengan kedua lengan itu hanya bisa memekik seraya memecah tawa. Pacarnya memang unik. Bisa bertingkah aneh untuk hal-hal yang sepele.

But that's what he likes about Hanan after all.