Hanan suka Arka. Hanan suka Arka jadi pacarnya. Sebab Arka selalu perhatian bahkan untuk hal-hal kecil. Seperti merapikan rambut Hanan yang belum disisir di pagi hari.

“Kamu, tuh, nggak pernah ngaca dulu sebelum berangkat apa? Rambut kayak sarang burung begini.”

Jemari Arka menyusup di sela helai-helai rambut Hanan yang jatuh semaunya saja. Sedang empunya rambut hanya duduk manis, menurut seperti anak anjing yang sedang di-grooming.

“Nggak ada kaca aku, yang. Hehe.”

“Masa?”

“Eh, ada deng. Tapi di kamar Mamah.”

“Kamu sama sekali nggak punya? Yang kecil aja, gitu?”

Hanan menggeleng. “Nggak ada. Paling cuma pake kamera hape. Lagian mau ngaca apa nggak juga tetep ganteng kok aku.”

Arka menoyor muka Hanan yang langsung terkekeh.

“Nanti pas pulang beli.”


Benar-benar seorang Arkhafa Rayandra. Pulang kuliah Hanan sudah membawa oleh-oleh sebuah cermin besar yang diletakkan di dekat pintu kamar mandi. Cermin itu beberapa senti lebih tinggi dari Hanan, jadi Hanan tidak perlu khawatir lagi untuk mengecek penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum keluar rumah.

“Nah, gini kan kamu bisa ngaca dulu sebelum berangkat. Yang penting benerin rambutnya.”

Arka berdiri dengan puas di depan cermin yang ia belikan untuk Hanan. Pacarnya tersenyum geli sembari menggelengkan kepala sebelum berjalan mendekati Arka.

“Arka,” panggil Hanan. Cowok itu memeluk Arka dari belakang lalu menaruh dagunya di bahu Arka. “Kenapa, sih, kamu perhatian banget sama aku?”

Arka memutar bola matanya. “Aku pengen liat kamu rapi, lah. Biar enak diliat orang-orang juga.”

“Nanti banyak yang naksir sama aku gimana?”

“Tenang aja. Tiap kamu buka mulut, kadar kenaksiran mereka berkurang sepuluh persen.”

“Kok gitu, sih? Berarti kamu kadar naksirnya udah nol persen? Eh, apa malah minus?”

Arka tertawa. “Iya. Minus sejuta.”

“Hngg, nggak mau!” Hanan mendusel di leher Arka, menggesek ujung hidungnya dengan brutal. “Maunya Arka naksir terus! Kalo bisa makin nambah!”

Arka terkikik kegelian karena Hanan mengusapkan wajahnya di ceruk leher. Sedang tangannya sibuk menghalau tangan Hanan yang melanglang-buana ke seluruh badannya, hingga…

“Ih, Hanan!” pekik Arka. Menampik kuat tangan Hanan yang hinggap di bagian depan celana jinsnya. “Udah, ah.”

Tapi Hanan seperti tuli. Dipeluknya erat pinggang Arka dengan tangan kiri sementara tangan kanannya bergerak mengusap kemaluannya yang masih terbalut celana. Tangan Hanan meremas gundukan di bawah perut Arka hingga tubuhnya mulai bergerak gelisah.

“Nan…” lirih Arka. Matanya semakin terpejam seiring kuatnya Hanan memainkan tangannya.

Leher dan pipi Arka diciumi, membuat Arka mau tak mau menyapanya dengan bibirnya. Keduanya saling memagut hingga kecipak basah dari bibir dan lidah yang saling bertaut mengisi kamar Hanan. Arka hampir membalikkan tubuhnya menghadap Hanan agar ia bisa sepenuhnya mencium cowok itu, namun tangan Hanan lebih sigap menahan Arka di tempatnya.

“Sst,” bisik Hanan, mengisyaratkan Arka untuk tak bergerak sementara tangannya dengan cekatan melucuti celana cowok itu.

“Hanan, mau ngapain?” pekik Arka tertahan. Ia panik melihat celana jins beserta celana dalamnya meluncur bebas dari kakinya dan jatuh ke lantai. Dingin seketika menyergap kemaluannya.

Mengabaikan kegelisahan Arka, tangan Hanan beralih untuk melepas jaket dan kaos dari tubuh pacarnya itu. Tak begitu sulit dilakukan karena Arka masih terlalu bingung untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam sekejap tubuhnya sudah telanjang bulat di depan cermin.

“Nah, sekarang keliatan semua cantiknya,” ucap Hanan. Ia menatap wajah Arka melalui cermin. Menyeringai karena cowok itu memerah hingga ke telinga. Malu.

“Mau ngapain sih, Nan…” Arka mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara yang terdengar lebih rikuh. Ia berusaha untuk menghindari menatap refleksinya sendiri di cermin.

“Mau…” Tangan kiri Hanan hinggap di puting kanan Arka, mengusap dan memelintirnya. Sedangkan tangan kanannya menangkup penis Arka yang memerah. “...liat Arka berantakan.”

Refleks tubuh Arka menggelinjang seperti tersengat listrik. Usapan ibu jari Hanan di ujung penisnya membuat Arka melenguh berat. Jempolnya terus mengusap dengan gerakan memutar dan sesekali menekan tepat di lubang pelepasan Arka, membuat cowok itu bergetar hebat dan Hanan harus menahannya kuat dengan tangannya agar tak oleng.

“Hhh- Hanan- P-Pindah ke kasur aja-” mohon Arka setengah merengek. “Jangan di sini.”

No. Kamu beliin aku cermin buat dipake, kan?”

“Bukan- buat ini- Ah!” Arka memejamkan matanya ketika jempol Hanan tiba-tiba mengusap lubangnya dengan kuat.

“Jangan merem, Sayang. Buka matanya.” Tangan kiri Hanan menangkup wajah Arka, memaksanya untuk melihat ke cermin. Mau tak mau Arka memandang refleksinya sendiri di cermin besar yang memperlihatkan keseluruhan tubuhnya. Titik-titik keringat mulai bermunculan di sekujur kulitnya.

Tangan Hanan kembali bekerja untuk memanjakan Arka. Penisnya yang semakin memerah itu diremas hingga lubangnya mengeluarkan cairan bening yang lengket di jemarinya.

“Mmh… Nan… Aahn- Aahh-” Arka mendesah keenakan hingga Hanan mulai mengocok penisnya. “Hah- Ah… Enak- Anjing, Nan kencengin lagi- Aahh!”

Tangan Hanan bergerak lebih cepat sementara matanya terfokus pada bayangan Arka di cermin. Tak lama Arka menyemburkan cairan putih yang sebagian menodai cermin bening itu dengan bercak-bercak pekat.

Hanan terkekeh pelan. “Cepet banget kamu keluarnya.”

Arka menumpukan satu tangannya di dinding sebelah cermin sambil mengatur napasnya. Hanan sialan, batinnya. Idenya untuk membeli cermin demi kebaikan Hanan malah jadi bumerang untuknya.

“Liat kamu telanjang dan berantakan gini bikin aku sange banget tau, Ka,” oceh Hanan seakan dirinya tak terangsang sejak awal saja. “Lagi, ya? Sampe kamu pipis kayak kemaren.”

Serta-merta Arka menyorot tajam ke arah Hanan yang tersenyum lebar. Cowok itu sudah mulai menanggalkan pakaiannya sendiri dan melemparnya sembarang ke lantai.

“Nan, please di kasur aja, ya? Aku nggak kuat berdiri.”

“Aku pegangin.”

“Hanan-”

Kalimat Arka terputus kala ia merasakan penis Hanan yang sudah tegak sempurna menggesek di belahan pantatnya. Hanan tak segera memasukkan, hanya terus menggesek di lubangnya sambil menggeram pelan.

Kali ini Arka benar-benar bertumpu dengan kedua tangan. Ia tak memercayai kakinya yang bisa goyah kapan saja. Karena digesek Hanan seperti ini sudah membuatnya lemas.

Hanan menangkup dua bongkah pantat Arka agar semakin menekan penisnya yang masih bergerak di antaranya. “Ahh seksi banget kamu, Ka. Untung cuma aku yang bisa liat dan ngerasain.”

Arka sudah tak mampu menggubris ocehan Hanan karena ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Penisnya berdenyut kembali dan jarak wajahnya yang begitu dekat dengan cermin sama sekali tak membantu. Melihat wajahnya yang dihiasi peluh serta ekspresinya yang kacau terasa sangat overwhelming bagi Arka. Apalagi penyebab utamanya ada di balik punggungnya.

“Segini aja enak apalagi dimasukkin,” ujar Hanan. “Aku masukkin ya, Ka?”

Anggukan singkat dari Arka menjadi lampu hijau untuk Hanan melesakkan miliknya sepenuhnya.

“Aarghh-” Hanan mendesah panjang seiring penisnya terbenam sempurna di lubang Arka. “Anget, Ka. Sempit banget.”

Pundak Arka naik turun setelah Hanan memasukinya dan membuat lubangnya terasa penuh. Lengan Hanan kemudian meraih pinggangnya dan memeluknya erat, tahu bahwa Arka mulai tak sanggup menopang dirinya sendiri.

“Liat ke cermin, Sayang,” ingat Hanan sebelum cowok itu mencium bahunya dan mulai bergerak. Kebanggaannya yang besar itu keluar masuk lubang Arka dengan kecepatan yang konsisten. Cukup untuk membuat Arka membiasakan diri sebelum ia bergerak lebih kuat.

Menuruti perintah Hanan, Arka mengangkat wajahnya. Di sana, di cermin itu ia menyaksikan Hanan yang memeluk erat pinggangnya dan memasukinya dari balik punggungnya. Tubuh keduanya yang melekat oleh keringat terhentak seirama. Namun hal lain yang membuat jantung Arka berdesir tak karuan adalah raut wajah Hanan. Dari cermin ia bisa melihat jelas hidung Hanan yang mengerut tiap kali cowok itu mendorong masuk, matanya yang sesekali terpejam akibat kenikmatan yang didapat, dan bibirnya yang terbuka mengeluarkan desah berat yang selalu Arka suka. Melihat dirinya dan Hanan melalui cermin hampir membuat Arka keluar untuk kedua kalinya.

Hanan is too…hot for his liking. And it’s bad.

“Kamu sempit banget, Arka… Fuck! Enak banget lubang kamu. Enak- Aah-”

“Penuh… Lubang aku penuh, Nan… Ngh- Hah- Enak banget dipenuhin sama kamu, Hanann…”

“Aku enakin ya, Sayang? Di mana? Bilang sama aku. Hm? Di sini?”

Hanan bergerak mencari titik kenikmatan Arka. Penisnya terus menggesek dinding Arka hingga cowok itu akhirnya memekik kencang.

“A-Ah! Sayang- Sayang- Di situ. Enak bangett, tusukin di situ-” rengek Arka hampir menangis.

Tanpa berpikir dua kali Hanan menghunjam di titik kenikmatan Arka. Berharap membuat pacarnya kacau sekacau-kacaunya.

“Di sini? Enak ditusukkin di sini?” Suara Hanan rendah, napasnya menderu.

“Haa- Hh- E-nak… Enak… Fuck… Sayang, enak- Ah! Enak banget, Sayangg!”

Kepala Hanan sudah pening total oleh desahan dan panggilan sayang dari Arka. Rasanya ia ingin menghabisi pacarnya seharian demi mendengar itu dari mulutnya. Tatapannya kembali ke cermin. Arka sudah setengah menjulurkan lidah dan titik-titik air muncul di sudut matanya, siap tumpah.

Sial. Pacarnya terlihat sangat kacau. Dan menggoda.

“Liat diri kamu di cermin, Ka. Liat betapa cantik dan berantakan kamu gara-gara aku enakin.”

Tiba-tiba satu tangan Hanan ditarik oleh Arka, dibawanya ke penisnya yang sudah basah meneteskan cairan ke lantai. Arka menuntun tangan Hanan untuk menyentuhnya, meremasnya hingga kenikmatannya bertambah berlipat ganda.

“Anjing… Kamu bikin aku sange banget, Arka…” bisik Hanan. Suaranya parau. Dan menakutkan. Sekujur tubuh Arka seketika merinding.

Benar saja. Hanan kemudian bergerak dengan dorongan-dorongan yang tajam. Tepat di titik nikmat Arka. Rengekan Arka telah berubah menjadi tangis. Penisnya yang berdenyut semakin ngilu oleh remasan tangan Hanan. Arka benar-benar menjadi berantakan.

“Hanan, aku mau pipis-” racau Arka cepat. “Mau pipis-”

Masih dengan hentakan yang kuat Hanan menjawab, “Pipis aja, Sayang. Keluarin. Aku mau liat kamu pipis.”

Arka mendesah panjang ketika cairan bening itu menyembur kuat ke tangan Hanan, perut Arka, dan cermin di depannya. Sekali, dua kali. Lalu membanjiri lantai di bawah kakinya.

Hanan yang menatap genangan di bawahnya itu seketika merasakan aliran darahnya meluncur deras. Ia memejamkan matanya kuat-kuat saat penisnya menyemburkan cairan pekat di dalam lubang Arka. Kemudian gejolak yang lain dengan segera menyusul.

“Sayang, aku juga mau pipis.”

Dicabutnya penis dari lubang Arka hingga spermanya merembes keluar lalu diselipkannya di antara kedua paha Arka. Tangannya memaksa paha Arka menjepit kuat penisnya kemudian ia menggesek cepat di sana.

“Aahhh~ Ssh- Aah- Anjinggh…”

Hanan bergetar hebat seiring cairan bening dari penisnya membasahi paha Arka dan mengalir turun hingga ke mata kakinya. Badannya lalu ambruk di punggung Arka, memeluk pacarnya itu erat. Sementara Arka masih menunduk memandangi pahanya. Pipi dan telinganya terasa sangat panas.

Keduanya berusaha mencari oksigen yang sempat dirampas paksa dari rongga dada. Hingga Hanan yang lebih dulu bergerak, membalikkan tubuh Arka untuk menghadapnya sebelum menjatuhkan satu ciuman lembut pada pipinya.

“Pinter pacar aku.”

Arka menjatuhkan diri ke pelukan Hanan, merengek pelan. “Aku capek…”

Dibopongnya Arka menuju ranjang dan direbahkannya di sana. Lalu Hanan menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Arka agar tak terkena dinginnya AC.

“Kamu rebahan aja, nanti aku yang bersihin kamu,” tenang Hanan sebelum cowok itu mulai membereskan kekacauan yang diakibatkannya di kamarnya.

“Cerminnya jangan lupa,” komentar Arka selagi kelopak matanya setengah menutup.

Hanan terkekeh pelan mendengar celoteh pacarnya. Cermin yang baru saja dibeli itu sudah ternoda di sana-sini. Tapi Hanan sama sekali tak menyesal. Di kepalanya bahkan sudah terputar rencana akan berapa kali lagi ia harus menggunakan cermin itu untuk kepentingan pribadinya.

Arka sudah terlelap kala Hanan selesai membersihkan ruangan serta tubuh pacarnya itu. Ia naik ke ranjang dan berbaring rapat di sebelah Arka. Disentuhnya tulang pipi Arka dengan ibu jarinya, diusap-usap dengan lembut hingga Arka akhirnya terjaga dari tidurnya.

“Aku bangunin kamu, ya? Tidur lagi, gih.”

Arka menyadari badannya sudah terbalut pakaian dengan hangat. Ia menggeleng, tangannya menggenggam tangan Hanan yang masih menyentuh wajahnya. Arka suka saat-saat seperti ini. Saat di mana waktu berjalan lambat, hanya ada kedamaian di antara dirinya dan Hanan, serta momen langka ketika Hanan tidak berisik.

“Arka,” panggil Hanan setelah beberapa saat pacarnya itu hanya memandanginya dalam diam.

“Sst.”

“Kenapa?”

“Jangan berisik.”

“Aku nggak beri-”

Tanpa aba-aba Arka membekap mulut Hanan dengan tangannya lalu berguling menindih cowok itu. Aksinya memang berhasil membuat Hanan diam tak berkutik. Namun Hanan memprotes dengan suaranya yang teredam di balik telapak tangan Arka.

“...Fwah- Hah, kenapa sih main bekep aja?” protes Hanan begitu Arka menyingkirkan tangannya.

“Berisik kamu,” cibir Arka. Ia lalu menaruh kepalanya di dada Hanan, memejamkan matanya kembali. “Aku pengen habis having sex tuh, disayang-sayang dengan tenang.”

“Lah, ini kan juga disayang?” bela Hanan seraya melingkarkan lengannya untuk memeluk Arka. “Kurang sayang gimana, sih, aku tuh?”

“Iya disayang tapi mulut kamu yang nggak tenang.”

“Oh, aku disuruh mingkem? Diem aja gitu?”

Arka mengangguk. “Tapi jangan tidur.”

“Iya, nggak tidur- eh, lupa, mingkem ya.”

Arka terkikik geli. “Nan, tapi cerminnya beneran dipake, loh. Buat ngaca. Buat benerin rambut. Kalo besok aku liat rambut kamu masih kayak sarang burung, aku balikin aja cerminnya. Janji, ya?”

Hening.

“Nan?” Arka mengangkat kepalanya, memeriksa apakah pacarnya itu sudah ngorok. Tapi Hanan masih melek, melihat ke arah Arka dalam diam.

“Jawab, dong.”

“Tadi katanya suruh mingkem?”

Arka menghela napas, tersenyum tipis. “Tau, ah.”

Hanan menarik kepala Arka ke pelukannya lalu mencium puncak kepalanya. “Iya, nanti dipake. Buat rapiin rambut, rapiin penampilan, sama buat yang lain-lain juga kayak tadi.” Sebelum Arka sempat memprotes Hanan sudah mengeratkan pelukannya agar cowok itu tak berkomentar lagi.

Hangatnya peluk Hanan membuat Arka terlelap kembali tak lama setelahnya. Hanan masih mengusap kepalanya lalu melihat pantulan diri mereka dari cermin. Senyum tipis terulas di bibirnya. Ia berharap, yang seperti ini akan abadi dari sekian banyak yang fana.