Hanan yang tengah cekikikan melihat layar ponselnya seketika menaruh benda itu begitu ia mendengar suara Arka.

“Nannn! Hanannn!”

Pintu kamarnya dibuka dan Hanan menyambut cowoknya itu dengan senyum menyebalkan.

“Nggak sopan banget, sih, main nyelonong aja. Kalo aku lagi telanjang, gimana?” goda Hanan.

Arka tak mempedulikan ocehan Hanan. Ia melangkah mendekati ranjang cowok itu.

“Mana liat,” suruh Arka.

“Liat apa?” Hanan mengangkat alisnya, pura-pura bodoh.

“Cepetan buka. Buka, nggak?” Arka menarik ujung kaos hitam yang dipakai Hanan. Buru-buru Hanan menyilangkan tangannya di depan dada, melindungi dirinya sendiri.

“Ih, beringas banget pacar aku. Takut.”

Arka mendelik geli melihat kelakuan Hanan. Dilepasnya ujung kaos yang tadi sempat ditariknya. Lagipula ia sudah pasti kalah tenaga. Arka melipat kedua tangannya di depan dada, menghakimi.

“Mau liat apa, sih?” ulang Hanan. “Tadi kan udah dikasih liat?”

“Beneran apa boongan? Trust issue.”

Hanan ketawa. Ditariknya satu tangan Arka hingga cowok itu jatuh di atasnya. Arka memekik. Sebelum ia sempat melontarkan protes keras pada Hanan, tubuhnya sudah berubah posisi dengan satu tarikan cepat oleh Hanan. Cowok itu menyeringai lebar di atas Arka.

Mengira Hanan akan melakukan sesuatu, Arka sudah bersiap-siap untuk mengantisipasi. Namun cowok itu justru diam memandanginya saja. Lama-lama Arka jadi jengah.

“Kenapa, sih, cantik banget?” tanya Hanan tiba-tiba.

“Apa-”

“Kamu.”

Hanan meraih dagu Arka dengan satu tangannya lalu mendaratkan ciumannya di bibir. Mengikuti insting Arka memejamkan mata dan membalas ciuman Hanan, membiarkan cowok itu menikmati bibirnya.

Dua menit kemudian Hanan menarik dirinya kembali. Di depan mata Arka ia menanggalkan benda yang sejak awal menjadi target cowok itu.

“Beneran, kok. Bukan boongan,” ucap Hanan setelah ia melempar kaos hitamnya ke samping ranjang.

Ukiran tato itu terpampang jelas di sepanjang dada Hanan. Arka tanpa sadar menelan ludahnya. Sudah berkali-kali ia melihat Hanan bertelanjang dada, dan berkali-kali juga jantungnya bertingkah. Tapi kali ini berbeda. Efeknya berkali-lipat lebih dahsyat.

Sebelum Arka sempat menyadari, jemarinya sudah bergerak menjangkau sapuan tinta hitam legam yang melekat di kulit Hanan. Merabanya garis demi garis. Mengagumi.

“Suka?” tanya Hanan. Arka hanya membalas dengan anggukan pelan. Hanan tersenyum puas sebelum kemudian berbisik pada satu telinga Arka. “Kalo gitu kamu bakal suka yang ini juga.”

Pakaian Arka direnggut dari pemiliknya. Meninggalkan cowok itu dengan sepasang celananya. Hanan menyerang leher Arka. Mencium, menjilat, menggigit. Hingga suara favorit Hanan berkumandang ke seluruh ruangan.

“Mmh- Hanan…” Bagian bawah perut Arka terasa sesak, sakit tertahan kain yang masih membungkus kakinya. Gesekan yang timbul akibat pergerakan Hanan sama sekali tidak membantu.

Susah payah Arka mencoba mengurai pengait celananya. Di atasnya Hanan masih berkutat dengan leher kemudian turun ke dadanya, menjilat dan mengulum puting Arka. Lagi-lagi Arka mendesah keras.

Tak butuh waktu lama bagi Hanan untuk membebaskan miliknya dan membantu Arka. Seringainya muncul atas apa yang terlihat di depannya. Arka tegang dan basah. Egonya serasa diberi asupan.

“Basah begini cuma gara-gara liat tato aku?” Pertanyaan menyebalkan dari Hanan namun Arka tidak bisa menyangkal. Ia benci mengakui bahwa cowoknya yang rese itu memiliki sex appeal yang tidak main-main.

“Mau gesekin ke sini?” Arka hampir tersedak mendengar tawaran Hanan. Untuk sepersekian detik ia hanya menatap tato di dada Hanan. Entah bagaimana tawaran itu tidak terdengar terlalu buruk. Bahkan mungkin, Arka memang menginginkannya.

Jangan tanya bagaimana Arka berada di atas Hanan, menggesekkan miliknya di dada cowok itu. Karena Arka juga tak tahu sejak kapan posisinya berubah. Yang ia tahu sekarang hanyalah hasrat untuk memenuhi nikmatnya saja.

Hanan memang kurang ajar. Seakan tak cukup membuat wajah dan telinga Arka merah karena cowok itu menyaksikan pemandangan di atasnya dengan kedua tangan sebagai alas kepalanya, ia juga memberikan komentar-komentar yang sangat asusila.

‘Enak banget, ya? Sampe gigit bibir gitu.’ ‘Desahnya keluarin, dong. Jangan ditahan.’ ‘Arka kalo lagi keenakan mukanya bikin sange.’

Arka berusaha tak memedulikan celotehan Hanan karena dirinya benar-benar dipenuhi keinginan untuk segera bertemu nikmat. Gesekannya semakin cepat. Ritme lenguhan napasnya juga semakin pendek dan rapat.

“Ha-nh- Mau keluar- Nanhh.”

Cairan putih menyembur mengotori dada Hanan. Arka tersengal. Sementara Hanan sama sekali tak membantu, hanya tersenyum lebar. Sangat puas.

Sebelum Arka sempat menjatuhkan dirinya pada Hanan, dengan kilat Hanan menangkap dua lengan Arka lalu menggulingkan tubuhnya. Cowok yang masih berusaha mencari oksigen itu terkurung di bawahnya.

Arka tak melewatkan kilatan semangat di mata Hanan kala cowok itu berbisik, “My turn.”

Baru Arka sadari ia sudah mengisi penuh ego Hanan dan kini cowok itu akan melampiaskannya. Secara terang-terangan dan brutal.

Arka baru saja mengeluarkan desahan paling memalukan begitu milik Hanan menghantam titik kenikmatannya. Sekali, dua kali, berkali-kali.

“Anjingg, kamu selalu enak, Ka. Aku bisa gila.”

Kini tak hanya tato yang menghiasi dada Hanan. Ada cairan kenikmatan milik Arka dan peluh Hanan yang bercampur menjadi satu. Sesuatu tentang itu semua membuat Arka kembali merasakan desir pada miliknya. Ia masih sensitif dan Hanan tanpa ampun menghujaninya dengan lesakan nikmat di dalamnya.

“Nan… Aku mau keluar lagi…” lirih Arka sambil menahan pahanya yang bergetar hebat.

“Hh.. Aku juga mau- keluar,” ucap Hanan terengah. Ia masih bergerak maju-mundur dengan tenaga penuh. “Keluar bareng-bareng, ya..”

Arka memejamkan matanya kuat-kuat. Ada sensasi hebat menjalar di perutnya. Rasanya asing.

“Ahh-” Hanan mengerang nikmat kala miliknya melepas cairan putih di dalam Arka. Umpatannya terdengar di balik napasnya yang memburu.

Tak tertahankan lagi, Arka akhirnya mengeluarkan miliknya juga. Banyak. Banyak sekali. Rasanya hangat. Dan…

Hening di ruangan itu begitu kentara. Arka tak lagi mendengar deru napas Hanan yang berisik. Entah mengapa ia merasa was-was ketika membuka mata.

Hal pertama yang dilihatnya adalah tatapan terpana Hanan. Lalu pandangannya turun dan seketika Arka terkesiap. Ranjang Hanan basah. Basah di mana-mana.

“Kamu…..pipis?”

Seperti tanpa dosa Hanan melontarkan tanya itu dengan enteng. Arka hampir menyerukan sumpah serapah pada cowok itu kalau ia tidak kepalang malu. Ia tidak sanggup mengucap atau bereaksi apapun selain menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Arka malu. Malu sekali.

Tapi Hanan justru sebaliknya. Lagi-lagi egonya diberi makan. Ia memeluk pacarnya itu sembari tertawa pelan.

“Hei, kenapa?”

Masih dengan wajah tertutup rapat Arka menggeleng cepat. Rasanya ia ingin menghilang saja. Tapi Hanan benar-benar menguncinya dengan pelukan erat. Mencium kepalanya kuat berkali-kali.

“Gemes banget, sumpah. Ka, gemes banget aku pengen mampus. Sampe pipis-”

“Diemmm!!” seru Arka dengan suaranya yang teredam.

Hanan berusaha menyingkirkan tangan Arka dari wajahnya lalu mengurungnya agar tak kembali menutupi wajah cowok itu. Arka merah semerah-merahnya.

“Diem. Jangan komen lagi,” ucap Arka meskipun ia tahu Hanan tak peduli. Cowok itu malah cekikikan, kegirangan sendiri karena menemukan satu hal baru yang sudah pasti akan dikejarnya dari Arka.

Menyetubuhi Arka sampai Arka pipis.

Beberapa saat berlalu untuk Arka kembali menguasai diri. Rasa malunya masih tinggal tapi untungnya Hanan sudah tak membahas lagi. Antara kasihan tapi juga gemas total pada pacarnya itu.

“Nan, ini nanti bersihinnya gimana?” tanya Arka pelan. Biasanya Arka selalu memiliki perhitungan atas setiap situasi. Tapi yang tadi benar-benar di luar ekspektasinya. Arka tidak menyiapkan rencana.

“Ah, gampang nanti. Bisa dicuci atau beli baru.”

Arka tidak yakin. Namun ia belum bisa berpikir lebih panjang. Kepalanya masih ruwet. Yang bisa dilakukannya hanyalah berdiam di pelukan Hanan sembari memainkan telunjuknya di dada cowok itu, menyusuri tato Hanan.

“Ini permanen atau nggak?”

“Pengennya permanen, ya? Boleh kalo aku tato permanen?”

“Jawab dulu,” desak Arka.

“Enggak, sayang.” Hanan mencium dahi Arka gemas. “Palingan tahan dua minggu aja.”

“Oh, dua minggu ya..” Arka berkomentar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Hanan menatap pacarnya yang masih fokus pada tato di dadanya itu. Sebuah pikiran jail terlintas di kepalanya.

“Jadi…dua minggu aku bisa, dong, bikin kamu pipis? Bayanginnya aja udah mau ngaceng lagi aku.”

Tak ayal Arka memukul pelan dada Hanan sebelum menyembunyikan wajahnya di leher cowok itu, lagi-lagi mengeluh. Hanan terkekeh geli sembari menarik erat Arka dalam dekapannya.

“Gemes banget Arka gemes. Jadi pacarku terus, ya?”

“Nggak mau.”

“Kok nggak mau? Nanti aku diambil orang lain gimana?”

“...Eh, kamu masih berangkat nge-gym?”

“Masih, lah.”

“Jangan telanjang dada, ya. Awas aku pukul kamu.”

“Suka-suka aku, dong.”

“Hanan, ih!”

Tawa Hanan dan omelan Arka memenuhi ruangan. Untuk menit-menit selanjutnya yang hanya berisi perdebatan dan peluk cium, setidaknya ada kekhawatiran yang terlupa. Seperti bagaimana membersihkan ranjang Hanan, misalnya.