Helaan napas terdengar untuk kesekian kalinya dari bibir lelaki yang sedang menimang-nimang ponselnya itu. Tinggal satu ketukan saja pada layarnya, deretan pesan itu akan terkirim ke seseorang di ujung sana.

Kak, lagi sibuk nggak? Aku mau ngomong sesuatu.

Dibacanya berulang-ulang ketikan itu hingga dirinya kaget saat ada panggilan masuk tiba-tiba dari empunya calon penerima pesan. Refleks ia mengetuk ikon berwarna merah.

“Aduh, kok gue reject sih?”

Tidak sampai satu menit panggilan masuk kembali menggetarkan ponselnya. Ia mengetuk ikon yang benar sekarang.

“Halo?”

“Changmin.”

“Iya, Kak?” Lelaki yang dipanggil Changmin itu menggigit bibir bawahnya.

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kamu typing mulu daritadi, ada apa?”

Halah.

Changmin lupa kalau yang lain bisa melihat aktivitas typing-nya dari ruang chat.

Bego banget sih gue. Changmin memijat keningnya sebal.

“Oh, engga Kak. Itu, mau nanya Kak Hyunjae balik kuliah jam berapa?”

“Hmm ini udah selesai kelas sih. Kenapa? Mau minta jemput? Gak bareng Juyeon kamu?”

Akhir-akhir ini memang Changmin meminta Hyunjae untuk tidak mengantar-jemputnya. Alasannya karena ia tidak mau merepotkan Hyunjae yang jarak rumahnya jauh dari tempat Changmin. Juga karena rumah Juyeon searah dengannya, dan mereka sekelas which is it’s easier to match their schedules.

Awalnya Hyunjae memprotes, biasanya juga dia mengantar-jemput Changmin dan lelaki itu tidak pernah mempermasalahkan jarak rumah mereka. Tapi Changmin bilang kalau jadwalnya sedang padat dan tidak menentu, jadi dia tidak mau membuat Hyunjae harus mencocokkan jadwal mereka. Hyunjae agak keberatan tapi akhirnya ia setuju.

“Juyeon udah pulang duluan, ada acara katanya.”

“Yaudah tunggu aku jemput. Jangan kemana-mana.”


Sudah lama juga Changmin tidak duduk di kursi penumpang di sebelah Hyunjae yang sedang menyetir. Hah kalau sudah begini rasanya Changmin tidak mau memikirkan apa-apa lagi dan hanya fokus menikmati waktu bersama kesayangannya itu.

Tapi sayangnya hidup itu memang jahat. Hidup memberikan Changmin seorang Hyunjae yang bisa dikatakan sempurna, terlalu sempurna untuk Changmin. Tapi hidup juga memberikan rasa insecure yang luar biasa pada dirinya. Hingga kadang ia tak bisa melihat jelas keberhargaan dirinya di antara rasa insecure yang selalu menguasai, dan selalu menang.

“Udah makan?” tanya Hyunjae setelah memasang seatbelt-nya. Bersiap untuk meluncur keluar dari halaman sekolah Changmin.

Changmin menggeleng. “Belum. Kamu udah, kak?”

“Belum juga sih. Cari makan dulu, yuk.”

Sepanjang perjalanan Hyunjae mengoceh tentang banyak hal. Tentang tugas kuliahnya, tentang dosennya, tentang Younghoon. Sementara Changmin lebih banyak diam, terdistraksi oleh hal lain.

“Changmin?”

Serta merta Changmin menoleh. “Iya, Kak?”

“Mikirin apa? Daritadi aku ngomong dicuekin.”

“Aku dengerin, kok!”

“Coba aku cerita apa aja tadi?”

“Hmm… soal Kak Younghoon?”

Hyunjae menghela napas. Ia tahu Changmin tidak benar-benar fokus pada obrolannya.

“Kak.” Changmin akhirnya angkat bicara lagi.

“Hm?”

“Aku boleh ngomong sesuatu nggak?”

“Boleh,” jawab Hyunjae cepat, matanya masih tertuju pada jalanan di depannya. “Tapi kalo kamu minta udahan lagi kayak kemaren-kemaren aku gamau denger.”

Changmin langsung menurunkan bahunya lemas.

Hyunjae melirik lelaki di sebelahnya itu. “Bener kan mau minta udahan?”

Yang ditanya hanya bisa diam. Karena Hyunjae menebaknya dengan tepat.

“Kenapa, sih? Aku kan udah bilang kalo kamu aja udah cukup buat aku.”

Tapi rasa insecure gue engga, Kak, batin Changmin.

“Bukan cuman itu…”

“Apa lagi?”

Changmin semakin dibuat mengecil di kursinya. Ia merasa semakin tidak percaya diri. He is so small, he is nowhere near good enough to stand beside Hyunjae, it’s impolite of him for liking Hyunjae and getting his feeling returned, he just wants to hide himself.

“Younghoon?”

Satu nama itu membuat air muka Changmin berubah untuk beberapa detik, dan Hyunjae tidak melewatkan itu. Ia membanting setirnya ke arah tepi jalan. Padahal mereka belum sampai ke tempat makan.

Changmin menoleh ke sekitarnya saat Hyunjae menghentikan mobilnya di tepi jalan yang agak sepi. Kemudian ia berhenti menggerakkan kepalanya saat matanya beradu dengan sepasang mata Hyunjae yang terlihat, entahlah, lelah?

“Kenapa berhenti di sini, Kak?” tanya Changmin pelan.

“Changmin.” Hyunjae menarik badan Changmin agar menghadap kepadanya. “Kamu cemburu sama Younghoon?”

Changmin menggeleng cepat. “Enggak.”

“Terus?”

Terus apa, Kak? Gue insecure parah tiap liat lo sama Kak Younghoon. Lo kenal dia duluan daripada kenal gue. Lo sahabatan udah lama banget sama dia. Kalian klop banget. Temen-temen lo aja heran kenapa kalian berdua gak jadian, malah lo jadian sama gue.

Satu tarikan napas sebelum Hyunjae buka suara lagi, karena Changmin tetap memilih untuk membisu.

“Aku udah bilang kan Younghoon sama aku itu sahabat dari kecil? Kita sebegitu deket karena aku sama dia udah ngelewatin banyak hal bareng. Dia penting buat aku, sama pentingnya kayak kamu. But the feelings are still different, Changmin.”

“Iya, aku tau.” Changmin menjawab pendek. Rasa insecure-nya memang suka tidak masuk akal dan sulit dijelaskan. Terkadang dia hanya ingin menyerah dan tidak mempedulikan apapun, termasuk perasaannya.

“Terus apa? Kamu masih mau udahan?”

“Aku tuh capek, Kak.” Changmin akhirnya mengaku.

“Capek kenapa?”

“Capek selalu ngerasa gak pantes. Capek selalu mikirin kenapa Kakak mau sama aku. Capek sama rasa insecure aku sendiri. Aku capek sama semuanya, Kak.”

Hyunjae menghempaskan kembali punggungnya ke sandaran kursi kemudi, memukul pelan setirnya sambil mengumpat pelan. Jujur Changmin kaget. Selama mereka pacaran ia tidak pernah melihat Hyunjae marah, atau menunjukkan ekspresi kekesalan yang seperti ini. Rasanya Changmin ingin menghilang saja.

Liat kan gue bahkan bisa bikin seorang Hyunjae kesel sama gue? Emang gue beneran gak pantes buat dia. Cuma bisa nyusahin doang.

“Bukan cuma kamu yang capek, aku juga.” Hyunjae mencengkeram roda kemudinya. “Kamu pikir tiap kamu bilang kalo kamu pengen udahan itu, aku gak mikirin aku ada salah apa sampe kamu mutusin buat ngelakuin itu? Aku selalu nanya ke diri sendiri aku kurang gimana ke kamu. Mungkin aku belum cukup ngertiin kamu, mungkin aku emang banyak kurangnya. Rasa insecure yang kamu bilang itu, aku juga punya. Tapi apa pernah aku bilang mau udahan ke kamu hanya karena aku capek?”

Telak. Changmin benar-benar ingin menangis. Perasaannya bagai diacak-acak oleh tangan tak kasat mata.

Perasaan bersalah semakin banyak menimpa dirinya. Tidak pantas. Selalu menyusahkan. Tidak berharga. Hilang saja.

Maka saat Hyunjae melontarkan ‘Yaudah, terserah kamu aja. Aku juga capek.’, Changmin merasa dunianya runtuh. Tidak pernah ada kata terserah sebelumnya. Tidak pernah ada kata capek sebelumnya. Hyunjae pasti akan selalu memperjuangkannya. Bahwasanya Changmin sebenarnya ingin diperjuangkan.

Tapi Changmin lupa, semuanya tidak akan berhasil jika hanya seorang yang berjuang. Changmin lupa kalau Hyunjae juga bisa merasa lelah. Changmin tidak melihat, ia sibuk mengaca pada dirinya sendiri.


Setelah menurunkan Changmin di depan rumahnya, Hyunjae langsung tancap gas. Bukan ke rumahnya, melainkan ke tempat di mana ia biasa melepas penat.

Kafe ramai seperti biasa, apalagi di jam-jam krusial seperti ini. Younghoon menumpukan kedua telapak tangannya di atas meja di balik mesin kasir, memandangi seseorang yang beberapa menit lalu datang memesan satu cup kopi. Ia mendesah pendek sebelum berbalik dan menepuk bahu salah satu temannya yang masih sibuk membuat kopi pesanan pembeli.

“Bang, gue break dulu bentar ya.”

“Oh, iya. Jangan lama-lama, tenaga kita kurang satu takut keteteran.”

Younghoon mengangguk. Hari itu memang temannya izin sakit tiba-tiba, mengharuskan mereka bekerja ekstra daripada biasanya. Ia pergi ke belakang untuk menanggalkan apronnya dan keluar dari pintu belakang, lalu berjalan ke arah meja seseorang yang diawasinya dari tadi.

“Kenapa lo?”

Tanpa basa-basi Younghoon bertanya setelah mendudukkan dirinya di hadapan orang itu. Tidak susah menemukan alasan kenapa Hyunjae mendatangi kafe tempatnya bekerja. Hanya ada dua. Kalau bukan galau urusan percintaan, ya, menumpang untuk mengerjakan tugas tanpa takut bakal diusir. Dan sekarang Hyunjae tidak sedang membuka laptop, jadi sudah jelas apa permasalahannya.

Hyunjae masih setengah melamun saat Younghoon bertanya, sebelum kemudian mengarahkan pandangannya pada teman dekatnya itu. “Hoon, kalo gue nembak lo terus kita pacaran. Gimana?”

Hampir saja Younghoon mengeluarkan nama binatang sebelum tangannya dengan sigap menjitak puncak kepala Hyunjae. Temannya itu mengaduh keras.

“Ngaco banget kalo ngomong!”

“Abisan gue stress!”

“Iya, keliatan.” Younghoon menyandarkan punggungnya di kursi, melipat lengannya. “Changmin, ya?”

Menghela napas keras, Hyunjae mengangguk. “Kenapa sih dia hobi banget minta putus? Hobi tuh yang bagus-bagus, kek. Masak, kek. Menyayangi gue, kek.”

Younghoon tertawa geli, merasa kasihan juga pada sahabatnya.

“Masih jealous dia sama gue?” tanyanya.

“He eh. Gila apa? Masa dari sekian orang yang deket sama gue, dia cemburunya sama lo? Sama Younghoon yang ini?”

Hyunjae menunjuk-nunjuk sahabatnya dengan jarinya yang langsung dihalau oleh Younghoon.

“Dih, sirik amat lo. Tapi gue seneng sih, dikit.”

“Seneng apa?”

“Dicemburuin sama anak sepinter Changmin, HAHAHA.”

“Lah apaan sih lo?” Hyunjae melipat tangannya kesal. “Bukannya bantuin.”

Tawa Younghoon mereda. “Sori, sori. Emangnya dia bilang apa pas minta putus?”

Hyunjae memutar memorinya kembali beberapa jam lalu. Percakapan mereka saat di mobil.

“Ya, gitu. Katanya suka ngerasa gak pantes sama gue.”

“Ya iyalah gak pantes. Changmin pinter, anak baik-baik. Disandinginnya sama lo yang gak jelas ini.”

“Ck, lo tuh mau bantuin gak sih sebenernya?” Hyunjae mulai sewot.

Younghoon melirik jam yang melingkar di tangannya, masih ada waktu beberapa menit sebelum waktu istirahatnya selesai.

“Gue paham sih kenapa Changmin ngerasa kayak gitu. Wajar. Orang khawatirnya kan beda-beda, in his case dia ini sebenernya sayang sama lo, cuma kekhawatiran dia lebih gede dan dia gatau gimana ngatasinnya. Dan menurut dia, putus itu jalan keluarnya. Gue yakin kok dia pas minta putus itu butuh mikir lama.”

Hyunjae terdiam. “Terus gue harus gimana?”

“Yaudah terima aja.”

“Hoon!”

“Haha engga, engga. Ya udah kan lo udah berusaha buat ngeyakinin dia, tapi dia masih belum bisa kan? Sekarang intinya gimana cara dia buat ngeyakinin diri sendiri kalo dia tuh pantes sama lo.”

“Tapi gimana?”

“Pas dia minta putus, lo jawab apa?”

“Gue jawab yaudah terserah?”

“Nah, dia pasti nangkepnya kalian bener udahan.”

Hyunjae menyela. “Tapi maksud gue bukan gitu! Gue kesel aja dia minta putus mulu.”

Younghoon mengangkat tangannya, memberi gestur agar Hyunjae tenang. “Iya, gapapa. Ini biar dia mikir dulu. Lo kasih dia waktu buat mikirin ulang semuanya, buat introspeksi diri juga. Lo jaga jarak dulu dari dia.”

Jaga jarak.

“Kalo dia gak balik gimana?” tanya Hyunjae, nadanya sarat dengan kekhawatiran.

“Ah, elo. Sejak kapan sih lo serius sama orang gini? Dulu juga suka mainin perasaan orang, lo,” sindir Younghoon.

Hyunjae mengacak rambutnya. “Gatau gue juga.”

Beberapa menit sebelum waktu istirahat Younghoon berakhir. Lelaki itu beranjak dari kursinya.

“Udah, ah, gue balik kerja dulu,” pamit Younghoon. “Oh iya, gak usah takut dia gak balik. Gue tau Changmin.”

Hyunjae mungkin belum paham sekarang, tapi Younghoon tahu betul. Kalau memang Changmin berniat untuk pergi dari Hyunjae, pasti sudah dilakukannya dari dulu.


Belum ada dua belas jam mereka putus, tapi Changmin sudah kangen. Di depannya berserakan tisu bekas menangis. Dan Juyeon yang hanya bisa menonton miris. Antara kasihan dan ingin mengatai temannya bodoh atas perbuatannya sendiri.

“Gi-Gimana, Ju? Kak Hyunjae gak ngehubungin gue sama sekali. . . Kayaknya dia beneran udah capek sama gue, deh. Kalo dia move on dari gue gimana? Gue gabisa liat dia sama yang baru,” rengek Changmin.

“Yang baru tuh siapa? Kak Younghoon maksud lo?” tembak Juyeon.

Changmin mencebikkan bibir bawahnya, siap untuk menangis lagi.

“Haaa gue gabisa liat mereka berdua jadian. Sakit banget, Ju.”

Juyeon mengetuk dahi dengan kepalan tangannya pelan, kepalanya ikut sakit.

“Lagian lo kenapa bisa mikir Kak Hyunjae sama Kak Younghoon ada apa-apa, sih?” tanya Juyeon heran.

“Ya liat aja dong mereka deketnya kayak apa. Terus juga kalo ngobrol bisa nyambung banget gitu. Gak mungkin Kak Hyunjae gapernah ada rasa sama Kak Younghoon.”

“Iya pernah naksir, kali.”

“Hih!” Changmin melempar tisu yang digenggamnya ke muka Juyeon.

“Abisan lo nih, suka mengarang indah terus sedih sendiri. Lo tuh bikin skenario sendiri yang belom tentu kejadian, tau nggak?”

Changmin cemberut. It’s not like he wants to do it, he just can’t help it.

“Lo sama gue juga deket, tapi apa Kak Hyunjae ngira lo naksir sama gue?” Juyeon membalikkan situasi.

“Dih, amit-amit.”

“Kan? Beberapa hari belakangan ini bahkan lo berangkat sama pulang bareng gue, apa Kak Hyunjae gak tambah curiga?”

Sekarang Changmin termangu. Iya juga, ya? Selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaan Hyunjae. Ia selalu terfokus pada dirinya, dirinya, dan dirinya sendiri. Tidak pernah sebersit pun ia memikirkan bagaimana perasaan Hyunjae saat ia memintanya untuk berhenti menjemputnya, atau saat ia tiba-tiba tidak membalas pesannya untuk waktu yang lama, berkali-kali meminta untuk menyudahi hubungan mereka. Semua dengan alasan rasa insecure Changmin. Semuanya tentang Changmin.

“Gue egois ya, Ju. . .” lirih Changmin.

“Mungkin. Tapi lo begini juga karena lo gak sadar, kan? Baru pas beneran putus lo bisa ngerasain.”

“Gue sayang banget sama dia. Dia juga sayang sama gue nggak, ya?”

Juyeon menggeser duduknya mendekati Changmin, tangannya terulur untuk menepuk-nepuk puncak kepala Changmin pelan.

“Kalo dia nggak sayang, pas pertama kali lo minta putus dia pasti ngeiyain. Coba deh, sekarang lo itung berapa kali lo minta putus sama dia?”

Changmin menggeleng pelan. “Gatau. Banyak.”

“Dan dia masih mertahanin lo, kan?”

“Enggak sekarang.”

“Sekarang titik limitnya dia. Lo kira orang bisa nahan capek berapa lama? Bukan berarti dia gak sayang, gue gatau ya isi hati orang kayak apa. Tapi kalo Kak Hyunjae nyerah sekarang, itu lumrah. Dia capek, gapapa. Aneh kalo dia gak capek.”

Changmin mendongak, menatap Juyeon dengan matanya yang merah.

“Kira-kira dia bakal capek selamanya, nggak?”

Juyeon mengangkat bahu. “Gak ada yang tau, kecuali lo coba cari tau.”

“Gimana?” Changmin terdengar begitu putus asa, membuat Juyeon menggelengkan kepalanya.

Reach out to him, remind him of his worth. Dia pasti sering ngeraguin dirinya sendiri juga, apa yang bikin lo selalu minta putus ke dia. Sekarang stop fokus ke diri lo sendiri, lo sayang sama dia, ya lo perhatiin juga perasaannya.”

Mendengar wejangan dari Juyeon, Changmin menghempaskan badannya memeluk Juyeon.

“Makasih banyak, Juyeon. Gue gatau lo bisa sebijak ini.”

Juyeon tertawa sambil menepuk punggung Changmin. “Sialan lo.”


Tapi nyatanya words easier said than done. Sampai tiga hari kemudian Changmin masih belum menghubungi Hyunjae. Dan sebaliknya, Hyunjae pun tidak berusaha menghubungi Changmin. Semakin hari rasa percaya diri Changmin makin terkikis. Apalagi ia melihat update Instagram Hyunjae yang asik dengan teman-temannya. Termasuk Younghoon.

Namun lagi-lagi Juyeon mengingatkan, tidak ada jaminan apapun untuk tindakan yang akan Changmin lakukan. Juyeon menyuruhnya untuk tidak menaruh harapan apapun karena tujuan awal bukanlah untuk balikan. Tapi untuk menyadari worth masing-masing.

Changmin akhirnya berhasil memantapkan hatinya di hari ketujuh. Ia mengirimkan tiga karakter yang diketiknya selama bermenit-menit dengan hati tidak karuan. Menunggu balasan ternyata lebih parah.

Kak -Iya? Bisa ketemu? -Bisa. Di mana?

Changmin menghela napas yang tanpa sadar selama ini ditahannya. Setelah mengetikkan balasan, ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan beranjak pergi.

Rupanya Hyunjae tidak datang tepat waktu. Baru sepuluh menit kemudian batang hidungnya muncul, berjalan agak tergesa dengan ransel yang disampirkan di satu bahunya. Changmin tiba-tiba merasa oksigen di sekitarnya disedot habis, sulit untuk bernapas.

“Maaf telat. Tadi lagi kumpul sama anak-anak,” ucap Hyunjae saat ia mendudukkan dirinya di depan Changmin.

“Eh, iya gapapa.” Lidah Changmin terasa kelu. Duh, gimana nih? Kenapa tiba-tiba gue ngeblank?

“Udah pesen?” Hyunjae memecah keheningan karena dilihatnya Changmin tidak segera mengatakan sesuatu. Anak itu sibuk memainkan case ponselnya.

“Belum.”

“Yaudah aku pesenin dulu, ya.”

Tanpa menanyakan apa yang ingin Changmin pesan, Hyunjae sudah beranjak dari tempat duduknya. Benar-benar tidak ada yang berubah. Dan itu semakin membuat Changmin kangen, sekaligus sedih. Bagaimana jika ini terakhir kalinya dia bisa merasakan seperti ini?

Changmin menyalakan ponselnya lagi untuk mengecek chat-nya bersama Juyeon. Matanya fokus membaca deretan tulisan yang sudah diketik Juyeon dengan rapi.

-jelasin mau ngomongin apa -minta maaf dulu buat pembukaan, apa yg udh lo lakuin. no excuses. pure minta maaf doang. -jelasin gmn perasaan lo yg sebenernya ke dia, gausah bawa2 rasa insecure lo dulu. it’s all about him now. -…

Changmin buru-buru menelungkupkan ponselnya di atas meja saat ia mendengar suara langkah kaki Hyunjae mendekat.

Ayo, sekarang ngomong. Changmin, lo bisa.

“Kak.”

“Hm?” Hyunjae terlihat begitu santai di depannya.

“Sebenernya aku mau ngomongin sesuatu,” ucap Changmin lambat-lambat.

Hyunjae tersenyum. “Langsung banget, nih? Gamau basa-basi dulu?”

Duh, keburu gue lupa tau Kak! pekik Changmin di dalam hati.

“M-Mau ngomongin masalah kemaren. . .”

“Kemaren kenapa?” tanya Hyunjae santai.

Ih, sengaja banget?!

“Itu… soal aku minta udahan…”

Hyunjae menarik napas, ekspresinya terlihat serius sekarang. Ia menumpukan kedua sikunya di atas meja, menyuruh Changmin untuk melanjutkan ucapannya.

“Aku… mau minta maaf dulu ke Kakak. Aku sadar aku salah, udah bilang kayak gitu. Kakak boleh gak nerima maaf aku, tapi yang jelas aku minta maaf.”

Hyunjae mengangguk singkat.

“Terus…”

Changmin membenarkan posisi duduknya. Aduh apaan sih selanjutnya, gue lupa bangsat. Ia membuka layar ponselnya untuk mengintip poin selanjutnya yang diketik Juyeon.

Melihat itu mau tak mau Hyunjae melepas tawa. Ia meraih ponsel dari tangan Changmin, membuat lelaki di depannya itu kaget.

“Kak, bentar!”

“Oalah, Juyeon.” Hyunjae menggulirkan halaman ruang chat itu ke atas dan ke bawah. “Pinter juga dia bikin template-nya.”

Muka Changmin sudah merah padam. Malu sekali rasanya, ia ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga.

Hyunjae meletakkan ponsel Changmin di meja, tersenyum melihat kelakuan “mantan” pacarnya yang bikin gemas. Kalau bukan karena ia yang sedang menahan diri, pasti sekarang dia sudah mencubit pipi Changmin dan mengacak-acak rambutnya.

“Mau ngomong serius kok pake template,” canda Hyunjae. “Changmin.”

Dengan berat Changmin mendongakkan kepalanya, beradu tatap dengan Hyunjae.

“Kamu boleh ngomong apa aja terserah, asal jujur. Aku ga akan tersinggung, ga akan marah.”

Ada jeda waktu cukup lama sebelum Changmin akhirnya angkat bicara.

“Kak, maaf selama ini aku cuma mikirin perasaan aku doang. Aku ga pernah mikirin perasaan Kakak, padahal Kakak selalu berusaha buat nahan aku biar gak pergi. Mungkin karena aku tau Kakak gabakal ngebiarin aku pergi, aku jadi ceroboh nurutin ego. Aku selalu merasa aman karena tau Kakak bakal mertahanin aku. Tapi kemarin waktu Kakak udah nyerah beneran, aku takut. Tiba-tiba aku kepikiran kalo Kakak mungkin gabakal mau balik lagi. Aku takut banget kamu pergi, Kak.”

Hyunjae tertegun. Ada rasa lega di sana. Untuk Changmin yang pertama kalinya membuka hati seperti ini, Hyunjae merasa sangat lega. Seperti setengah bebannya terangkat dari pundaknya.

“Kakak jangan merasa bersalah, karena di sini aku yang salah. Bukan Kakak. Aku udah bikin Kakak ngeraguin value Kakak sendiri, aku salah banget. Demi perasaan aku sendiri, aku egois minta putus tanpa mikirin perasaan Kakak. Aku selalu berasumsi Kakak bakal baik-baik aja. Padahal tiap orang punya perasaan. Aku yang baru diiyain putus sekali aja sedih banget, apalagi Kakak yang selalu denger aku minta putus berkali-kali?”

Changmin tak sadar ada bulir air mata yang melintasi pipinya, buru-buru ia menyekanya. Malu harus menangis di depan Hyunjae.

“Udah?” tanya Hyunjae.

“Hmm ada lagi. Aku ga minta apa-apa, Kak. Aku ngomong gini cuma biar Kakak tau kalo Kakak itu berharga. Buat aku dan buat Kakak sendiri.”

Pesanan datang tepat saat Changmin menyelesaikan kalimatnya.

“Makan dulu, yuk,” ajak Hyunjae.

Changmin sedikit lega karena semua unek-uneknya sudah tersampaikan. Namun sekarang perutnya mulas karena memikirkan bagaimana tanggapan Hyunjae selanjutnya. Jujur Changmin menaruh beberapa persen harapan agar mereka bisa balikan. Tapi kalau itu tidak terjadi, Changmin pun harus bisa terima.

“Changmin,” panggil Hyunjae saat ia sudah menyelesaikan makannya, begitupun dengan Changmin. “Makasih, ya, udah mau jujur sama aku. Aku seneng banget kamu bisa ngomongin ini ke aku. Dari dulu aku pengen kamu sharing juga ke aku, tapi kamu selalu pendem ke diri kamu sendiri. Aku jadi ngerasa berguna kalo kamu bisa cerita-cerita kayak gini. Kamunya juga lega pasti, kan?”

Changmin mengangguk.

“Tapi.” Hyunjae memberi jeda. “Aku gatau habis ini mau gimana. Soalnya tujuh hari, tuh. . .”

Kali ini Changmin menundukkan kepalanya, paham. Tujuh hari memang waktu yang lama untuk ingin kembali ke semula. Tujuh hari mungkin Hyunjae sudah berusaha untuk melanjutkan hidup.

“Iya, gapapa Kak. Aku ngerti,” ucap Changmin pelan meskipun hatinya merasa sangat kecewa.

“Hm? Ngerti apa?”

Kali ini Changmin mendongak karena Hyunjae sudah menarik satu tangannya dan membawanya untuk duduk di sebelahnya. Kemudian ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke kedua sisi wajah Changmin, menekan kedua belah pipinya.

“Tujuh hari, tuh lama banget tau! Tiap hari aku nungguin kapan kamu bakal nge-chat. Sampe Younghoon nahan aku tiap aku mau chat duluan. Pas udah lewat lima hari aku udah putus asa, kirain kamu gabakal balik ke aku. Dasar lemot, kenapa musti nungguin tujuh hari coba?”

Changmin hanya bisa menatap Hyunjae yang sedang mengomel, ia tidak bisa mengeluarkan suara karena pipinya tergencet telapak tangan Hyunjae.

“Kak, gabisa ngomong,” ujar Changmin tidak jelas. Barulah Hyunjae sadar muka Changmin sudah seperti bebek. Ia mencuri cium pada bibirnya yang membentuk o bulat, lalu melepaskan tangannya dari pipi anak itu.

Changmin membulatkan matanya syok, membuat Hyunjae tidak tahan untuk memeluknya.

“Kangen banget, tau,” ucap Hyunjae di sela-sela pelukannya. Ia membenamkan wajahnya di leher Changmin. Sedangkan yang dipeluk sudah tidak tahu harus bernapas dulu atau mengatur detak jantungnya dulu.

Setelah Hyunjae mengurai pelukannya, ia memandangi kesayangannya dengan senyum. Merapikan poninya yang berantakan.

“Kak, ini jadinya kita balikan apa engga?” tanya Changmin polos.

Hyunjae tertawa keras. Lucu sekali pacarnya ini.

“Emang pernah putus, ya?”

“Hih, dasar!”

Changmin memukul lengan Hyunjae yang langsung disambut dengan pekikan tertahan. Namun Changmin merasa lega, begitu lega untuk mengetahui ia telah kembali pulang.

ㅡFin.