Jaehyun terpaksa keluar dari ruangan setelah ia berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak memiliki janji apapun dengan siapapun hari ini. Namun staf resepsionis kembali mengganggunya dengan meyakinkan bahwa tamunya tidak bersedia untuk pergi sebelum bertemu dengannya.
Decakan keras yang diciptakan Jaehyun mengiringi keterkejutannya kemudian begitu ia menemui seseorang yang mengaku sudah membuat janji dengannya siang itu.
“Changmin?”
Yang disebut namanya seketika berdiri dengan wajah ditekuk karena menunggu terlalu lama. Jaehyun langsung menghampirinya.
“Ngapain ke sini?” bisik Jaehyun seraya menggandeng lengan Changmin untuk membawanya pergi keluar dari area kantor.
“Nggak boleh?” tanya Changmin, membiarkan dirinya mengikuti langkah cepat Jaehyun entah ke mana.
“Kamu nggak bilang dulu ke aku kalo mau ke sini.”
Changmin menyentakkan tangannya dari cekalan Jaehyun. Keduanya berhenti di tepian jalan yang masih ramai.
“Lo nggak bakal ngizinin kalo gue bilang mau ke sini.”
Tak bisa dibantah. Selain karena Jaehyun tak mempunyai alasan yang bagus, ia juga menangkap kekesalan pada kalimat Changmin. Ia kemudian menyerah dan membawa Changmin untuk masuk ke salah satu kafe sederhana di mana tidak banyak orang yang mengenal Jaehyun. Cowok itu hanya tidak ingin mengundang perhatian atas percakapannya dengan Changmin.
“Pesen minum dulu aja, ya?” bujuk Jaehyun setelah mereka duduk berhadapan di dalam kafe.
“Gue ke sini mau ngomong, bukan mau minum!” gerutu Changmin kesal. Sepertinya kepala anak itu sudah panas dan siap untuk meledak.
“Brown sugar boba iced coffee dua, Mas. Yang large.”
Jaehyun tetap menyebutkan pesanannya pada karyawan kafe yang sudah menghampiri meja mereka.
“Medium aja, Mas,” sahut Changmin sebelum karyawan itu pergi, lalu bergumam pelan. “Diabetes lo minum boba banyak-banyak.”
Sepeninggal karyawan kafe itu, Jaehyun menarik napas dan menghelanya dengan berat. Changmin masih menatapnya dengan raut wajah kesal, tetapi kali ini cowok itu tak mengucap apapun lagi. Mungkin menunggu Jaehyun untuk menyadari tujuannya datang secara langsung menemuinya.
Jaehyun memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya dan saat itulah Changmin akhirnya membuka suara lagi.
“Sibuk, ya? Makanya gue mau langsung ngomong aja biar lo nggak kehilangan banyak waktu buat ngurusin kerjaan lo.”
Sindiran dalam ucapan Changmin bisa ditangkap oleh Jaehyun. Ia menggerakkan tangannya untuk mempersilahkan cowok di depannya itu berbicara. Changmin segera membenarkan posisi duduknya sebelum buka mulut.
“Gue mau bahas yang kemarin di chat. Kenapa lo nggak bilang ke Mama kalo kita udah putus?”
“Kan aku udah bilang, Mama waktu itu masih sakit.”
“Sekarang udah sembuh.”
Helaan napas lagi. Jaehyun menekan pangkal hidungnya dengan ibu jari, memutar otak untuk mencari cara menanggapi Changmin tanpa harus adu mulut di tempat umum. Kemungkinannya sangat kecil karena Changmin sudah memendam dan menahan semua kekesalannya untuk dilepaskan hari ini juga.
“Emangnya kenapa kamu pengen banget Mama tau?” tanya Jaehyun sehalus mungkin. “Kamu masih ketemu Mama lumayan sering, nanti kalo intensitas kamu ketemu Mama udah berkurang banget pasti juga Mama bakal paham sendiri, kok.”
Changmin mendesis gemas. “Masalahnya lo masih suka nyuruh gue buat ketemu Mama! Yang anaknya itu lo, Kak. Bukan gue.”
“Aku minta tolong, Changmin. Bukan nyuruh. Lagian aku kemarin-kemarin itu juga lagi sibuk.”
“Kapan, sih, lo nggak sibuknya?” sahut Changmin. “Dari masih pacaran sama gue sampe sekarang alasan lo itu mulu. Apa, sih, yang sebenernya lo cari, Kak? Padahal udah ada gue sama Mama di deket lo, yang selalu apresiasi lo apapun yang lo lakuin. Tapi kenapa lo nggak pernah liat ke kita?”
Jaehyun terhenyak. Mendengar isi hati Changmin yang paling jujur seperti ini membuatnya serasa ditampar.
“Mama, tuh, sering banget sedih mikirin lo. Mikirin kerjaan kantor lo yang kayak nggak ada habisnya, dia khawatir sama lo. Mama juga sering cerita soal masa kecil lo, waktu lo masih suka main sama Mama. Gue bahkan lebih banyak denger Mama cerita soal masa kecil lo daripada lo yang sekarang, yang selalu Mama sedihin. Mungkin Mama akhirnya jatuh sakit itu juga karena terlalu banyak khawatirin lo, Kak.”
“Tapi aku kerja juga buat Mama...”
“Nggak, lo kerja buat diri lo sendiri,” sela Changmin. “Mama nggak butuh pencapaian lo yang tinggi itu, Kak. Mama cuma pengen dikasih waktu lo yang mahal harganya itu.”
Percakapan mereka terhenti ketika pesanan datang. Dua buah gelas berukuran sedang tersaji di atas meja. Jaehyun meminta Changmin untuk menikmati minumannya dulu.
Changmin menyeruput minumannya melalui sedotan berlubang besar. Manis terasa di lidahnya. Changmin mengeluh dalam hati.
Minumannya enak, tapi Changmin merasa sedih.
“Aku banting tulang begini buat Mama,” ucap Jaehyun. “Juga buat kamu...”
Changmin menaikkan alisnya bingung. “Buat gue?”
Jaehyun mengusap wajahnya yang terlihat letih akibat beban kerja dan juga apa yang dihadapinya sekarang.
“Ada niat buat hidup sama kamu, Changmin. Sebenernya.”
“M-maksudnya?”
“Nikah sama kamu.”
Kali ini Changmin benar-benar terkesiap. Tak ada sepatah kata yang dapat disuarakannya. Pikirannya mendadak kosong untuk sepersekian detik hingga suara Jaehyun membuatnya kembali tersadar.
“Aku mikir aku harus kerja ekstra keras biar bisa menuhin hal itu. Aku terlalu fokus sama target yang aku bikin sendiri sampe kamu tiba-tiba minta putus. Waktu itu aku bener-bener bingung, aku udah berbuat apa sampe kamu pengen udahan. Kamu bilang kamu capek karena aku terlalu sibuk. Padahal aku juga capek kerja, buat kamu juga.”
Tenggorokan Changmin tiba-tiba terasa sakit. Tapi ia harus menahannya.
“Rasanya semua yang udah aku kejar jadi sia-sia. Tapi aku nggak bisa berhenti, karena itu akhirnya jadi pelarian aku. Kamu minta udahan itu ternyata bikin aku terpukul banget, Changmin. Aku nggak bilang sama kamu. Karena ego aku juga, maaf.”
“Gue sebel banget sama lo, Kak...” lirih Changmin.
“Maaf...”
Changmin menatap gelas di depannya dan pandangannya mulai mengabur. Ia terisak pelan. Jaehyun seketika terkesiap. Tidak menyangka Changmin akan menangis di hadapannya.
“Changmin, kenapa nangis?”
Mengabaikan pertanyaan Jaehyun, Changmin mendorong gelasnya ke tengah meja.
“Kakak kenapa pesen ini?”
Jaehyun mengerutkan keningnya bingung atas pertanyaan Changmin yang tiba-tiba, namun tetap dijawabnya.
“Kamu suka brown sugar boba, kan?”
Jawaban Jaehyun membuat Changmin mencebikkan bibirnya kemudian menelungkupkan kepalanya di atas lengannya yang terlipat di atas meja, terisak lebih keras. Jaehyun langsung kelabakan. Diusapnya pundak Changmin, lalu kepalanya.
“Kenapa nangis, sih?” bisiknya. “Jangan nangis di sini.”
Changmin menggelengkan kepalanya, kemudian mengucap sesuatu meski tak terlalu jelas karena suaranya teredam. Jaehyun terpaksa bangkit dari kursinya untuk berjongkok di sebelah Changmin. Diraihnya satu tangan Changmin untuk digenggam.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
Changmin mengucek matanya yang terasa pedih. “Kakak tau gue suka brown sugar, kakak juga tau gue suka martabak. Tapi kenapa dulu nggak pernah nyenengin gue pake hal-hal kecil kayak gini? Gue selalu mikir lo nggak peduli apapun tentang gue, Kak.”
Seandainya Jaehyun tahu bahwa semudah itu untuk membuat Changmin bahagia. Semudah itu membuat Changmin merasa diperhatikan. Tetapi ia hanya melihat dan mengejar hal-hal besar, mengabaikan kebahagiaan yang sederhana.
Mata Jaehyun kemudian menangkap gelang yang tersemat di pergelangan tangan Changmin yang kini digenggamnya. Napasnya tercekat.
Kenapa Changmin masih memakai gelang pemberian darinya?