“ju, aku jadi kepikiran.”

“kepikiran apa?”

juyeon mengalihkan matanya sejenak dari layar televisi pada changmin yang kini sedang meringkuk di pelukannya.

“emangnya bener ya, orang yang nanti nemenin kita sampe kita mati itu jodoh kita?”

“mungkin?”

“berarti udah pasti orang bakal ketemu jodohnya di dunia?”

juyeon memainkan helai rambut changmin, terdiam untuk beberapa lamanya sebelum menjawab.

“belum tentu. pasti ada orang-orang yang udah dipanggil duluan sama Tuhan, sebelum ketemu sama jodoh mereka. atau mungkin at some point mereka sebenernya udah pernah ketemu, tapi belum sempat sama-sama sampe akhir.”

changmin mendongakkan wajahnya menatap juyeon.

“ju, kalo kamu percaya nggak sama konsep jodoh?”

“kalo aku ya, nggak mau ngasih label oh- orang ini jodohku, yang ini bukan jodohku. karena kayak gitu menurutku malah bikin orang jadi lebih fokus nyari siapa sebenernya jodoh mereka daripada mereka menghargai worth orang itu sendiri.” juyeon mengelus pelan pipi changmin yang masih mendengarkannya dalam diam. “dan aku ngerasa itu nggak adil aja.”

changmin mengangguk, semakin meringkukkan badannya pada juyeon untuk mencari hangat. padahal ia sendiri sudah terbungkus selimut.

ia lalu berucap lirih pada lekuk leher juyeon.

“berarti nggak papa ya, kalo aku bukan jodoh kamu?”

juyeon melingkarkan lengannya kembali untuk menarik changmin dalam pelukan, memberikan satu cium pada dahi changmin.

“nggak papa lah, kalo nggak jodoh ya dijodoh-jodohin aja.”

changmin tidak merespon candaan juyeon, pikirannya masih kalut. mereka bukan hanya setahun dua tahun bersama. bertahun-tahun mereka lewati walaupun jalannya tidak semulus seperti perkiraan orang-orang. beberapa kali mereka sempat putus-nyambung, hingga akhirnya sampai di titik ini. tapi changmin selalu menyimpan satu pertanyaan di dalam benaknya, apakah mereka benar diciptakan untuk satu sama lain? atau mereka hanyalah secuil fase dari hidup masing-masing sebelum akhirnya bertemu dengan seorang yang disebut “jodoh”.

“kalo aku ngerasanya kamu jodoh aku, ju.”

mendengar ucapan changmin membuat juyeon mengulas senyum.

“iya?” tanyanya.

changmin mengangguk kecil. “aku mikir aja selama ini tiap ada yang bikin aku sakit, atau waktu kita lagi jauh, tapi ujungnya aku balik ke kamu lagi. eh, bukan ding. kamu yang dateng ke aku. soalnya aku gengsian.”

juyeon tertawa pelan.

“tumben ngaku?”

“ya gimana, emang kayak gitu.”

juyeon sadar mengapa ia selalu kembali pada changmin. karena ia memang tidak bisa membayangkan harus berbagi afeksi pada orang selain changmin. saat ia sedang bahagia, atau sedang sedih, orang pertama yang didatanginya adalah changmin. pikirannya selalu memberi sinyal bahwa ia harus datang padanya. seperti yang kebanyakan orang bilang, akan selalu ada satu orang yang muncul dalam pikiran, tak peduli situasi. dan untuk juyeon adalah changmin.

alright then, enough talk about jodoh. kalo kamu bukan jodoh aku pun, yang penting kamu yang ada di sini sama aku sekarang. bukan yang lain. kamu udah lebih dari cukup.”

“iya...” lirih changmin.

juyeon menghela napas.

“siapa sih, yang bikin kamu jadi kepikiran masalah kayak gini? hm?”

changmin membiarkan juyeon memainkan pipinya sambil dirinya menggerutu pelan.

“nggak ada, kepikiran aja.”

“ya udah, sekarang gara-gara kamu udah ganggu acara nonton film aku.” juyeon meraih remote televisi untuk mematikannya, lalu membalikkan badannya hingga kini ia memeluk changmin yang berada di bawahnya. “kamu harus ganti rugi.”

juyeon menghujani wajah changmin dengan ciuman, membuat yang lebih kecil berontak karena geli.

“juyeonnn!”