“Juyeon, ngapain ke sini?” Changmin berbisik rendah sambil berusaha membukakan pintu gerbang kosnya untuk cowok yang datang dengan sepeda motornya itu.
Juyeon hanya menurut ketika Changmin menariknya cepat menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Baru setelah sampai di dalam, Juyeon mendudukkan diri ke atas kasur Changmin yang terletak di lantai kamar. Changmin menatapnya dengan bingung.
“Ju? Lo nggak pa- astaga, tangan lo kenapa??”
Terkesiap Changmin langsung bersimpuh di hadapan Juyeon yang membiarkan kedua telapak tangannya diraih oleh Changmin. Goresan luka serta lecet kemerahan menghiasi buku-buku jarinya. Melihat luka-luka itu Changmin menghela napas.
“Gue abis main drum,” ujar Juyeon singkat.
“Latihan buat acara besok? Tapi nggak usah sampe kayak gitu juga, Ju,” komentar Changmin yang kini sedang sibuk menggeledah raknya untuk mencari plester luka. Begitu ia menemukannya, ia kembali pada Juyeon untuk segera merawat tangannya.
“Bukan buat latihan.”
“Terus?” tanya Changmin sembari membalutkan satu persatu plester pada tiap ruas jari Juyeon yang terluka dengan telaten.
“Lo tau film Whiplash, nggak?”
Changmin menggelengkan kepalanya, masih terfokus merawat tangan Juyeon. Namun tetap dilontarkannya tanggapan basa-basi. “Itu film apa?”
Juyeon mengamati bagaimana Changmin dengan hati-hati sekali membalut lukanya dengan plester. Ia lalu menjawab.
“Karakter utama di film itu pengen jadi drummer yang hebat. Dia ketemu sama seorang mentor yang cara ngajarnya nggak biasa. Maksa dia buat melebihi batasan. Even destroying him psychologically.“
Changmin perlahan mengangkat wajahnya setelah ia selesai membalut semua luka di tangan Juyeon. Ia baru menyadari betapa sepasang mata Juyeon memancarkan sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
“Gue ngegebuk drum selama mungkin, sekuat mungkin. Sama kayak yang dilakuin karakter utama di film itu,” lanjut Juyeon. “Dia ngelakuin itu atas dasar kesempurnaan. Tapi gue- gue main gila-gilaan karena gue nggak tau gimana cara nyalurin rasa marah gue tanpa bikin hancur orang lain.”
Tangan yang penuh dengan plester luka itu sudah menggenggam kedua tangan Changmin dengan begitu kuat. Ia menatap ke dalam mata Changmin tajam.
“Changmin... lo tau kalo gue bakal selalu ada buat lo, kan? Apapun yang terjadi, gue bakal selalu di sini.”
Meski dipenuhi perasaan bingung dan was-was atas kalimat Juyeon, dengan sedikit ragu Changmin mulai menganggukkan kepalanya.
Juyeon menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Diketatkannya sekali lagi genggaman tangannya pada Changmin sebelum mengucap sesuatu yang dengan sungguh-sungguh ia pertimbangkan sebelumnya.
“Yang lo takutin waktu itu bener... I'm sorry, Changmin...”
Butuh beberapa detik bagi Changmin untuk bisa benar-benar memahami ucapan Juyeon. Keningnya berkerut pada awalnya, lalu sepasang matanya perlahan melebar seiring informasi yang mulai dicerna otaknya semakin jelas.
Kemudian ia merasa kosong.
Juyeon menarik Changmin ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat. Diusapnya kepala Changmin berkali-kali dan pada saat itulah ia baru mendapatkan jiwanya kembali. Sebutir air mata akhirnya meluncur turun.