“Kalo nggak dapet izin hari ini kemungkinan batal.”
“Terus acaranya?”
“Terpaksa diundur atau ganti proker baru.”
Keluhan beberapa anggota panitia mulai memenuhi ruang sekretariat. Hanan yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapan dengan ekspresi wajah yang kaku akhirnya bangkit menuju Biru, ketua pelaksanaan untuk kegiatan kali ini.
“Mana proposalnya? Biar gue yang urus,” tagih Hanan.
Biru menatap Hanan seakan menanyakan apakah temannya itu tak mendengar penjelasannya beberapa menit lalu.
“Dekan nggak ngasih izin, Nan. Tadi juga udah gue sendiri yang ke sana, kan?”
“Biar gue coba lobi lagi. Siapa tau bisa.”
“Fokus sama yang bisa dilakuin sekarang, Nan. Waktunya nggak banyak.”
Hanan menautkan alisnya. Tidak suka dengan pernyataan Biru barusan.
“Ini proker harus jalan, Ru,” tegas Hanan. “Persiapan udah lebih dari setengahnya, tinggal perizinan doang yang dihambat dari kemaren. Tinggal ini doang, lho. Nggak kasian sama anak-anak kalo harus mulai dari awal lagi?”
Arka menyadari ketegangan di antara keduanya mulai menyita perhatian seluruh ruangan yang tiba-tiba hening. Perlahan ia bangkit dari duduknya untuk menghampiri dua orang yang masih berdebat itu.
“Beneran nggak bisa emang, Ru?” tanya Arka, berusaha menyuarakan keinginan Hanan akan terlaksananya kegiatan itu.
Biru menghela napas berat. “Maksud gue, udah dicoba sama beberapa orang, kan? Hasilnya nihil. Jadi buat apa wasting time sementara kita bisa manfaatin waktunya buat yang bener-bener bisa dikerjain? Gue juga pengen proker ini jalan, jangan salah sangka dulu.”
“Kalo mau, ya, coba lagi. Beberapa orang, tuh, berapa orang emangnya? Baru tiga orang termasuk lo, kan?” tanya Hanan.
Mengenal Hanan untuk waktu yang cukup lama membuat Biru yakin bahwa dirinya tidak dapat memenangi perdebatan ini. Cowok itu terlalu keras kepala. Dan Biru tidak bisa seenaknya mengambil keputusan. Apa yang menjadi keinginan para anggotanya adalah tanggung jawabnya juga. Mereka bisa memutuskan sesuatu tetapi Biru yang pertama kali harus menerima konsekuensinya.
“Sekali lagi aja gimana, Ru?” bujuk Arka kali ini. “Gue sama Hanan yang ke sana. Kita jelasin sedetail-detailnya kalo proker kita beda sama proker anak sebelah. Kalo tetep nggak dapet izin, oke kita ganti proker. Ya, Nan?”
Arka menoleh ke arah Hanan yang kemudian mengangguk singkat meski enggan. Ia bersikukuh agar kegiatan ini tetap dapat terlaksana. Biru tak dapat menahan lagi karena semakin banyak waktu yang terbuang maka kesempatan untuk melaksanakan kegiatan kali ini juga semakin menipis.
“Ayo.”
Arka menarik Hanan keluar dari ruang sekretariat yang masih hening. Dirinya tahu betapa pentingnya kegiatan ini untuk Hanan, maka ia pun berusaha untuk memperjuangkannya.
Semburat jingga di langit sore itu mulai mewarnai tiap sudut kota. Menembus kain tenda pedagang kaki lima di mana Hanan dan Arka sedang mengisi perut mereka saat ini.
Dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh manis tersaji di atas meja. Arka menyantap makanannya dengan tenang. Sesekali diliriknya Hanan yang terus melahap mie ayamnya tanpa jeda. Arka tahu cowok itu melakukannya bukan semata-mata karena lapar.
Negosiasi dengan dekan tak membuahkan hasil. Proposal kegiatan mereka tetap tak disetujui. Arka bahkan harus menahan Hanan yang hampir tak mau menyerah untuk meyakinkan tentang rancangan kegiatannya.
Suara napas yang tercekat diikuti dengan batuk hebat membuat Arka terkejut. Hanan meraih gelas es tehnya dan meneguknya banyak-banyak sementara Arka mengusap punggungnya.
“Udah, kali,” tegur Arka. “Yang penting lo udah usaha.”
Gelas es teh ditaruh dengan sedikit bantingan di atas meja. Hanan menoleh ke arah Arka.
“Gue doang yang usaha. Lainnya pasrah-pasrah aja. Jelas nggak bisa jalan,” cetus Hanan.
“Bukan pasrah namanya realistis. Daripada berhenti di tempat mending cari jalan lain. Bakti sosial, kan, nggak harus di panti asuhan.”
“Gue kira lo yang paling tau kenapa gue mau acaranya tetep diadain di sana.” Hanan berhenti sejenak setelah menyadari sesuatu. “Kamu.”
Arka menghembuskan napas melalui mulutnya. Ia memang tahu alasannya. Tetapi ini adalah kegiatan bersama bukan personal.
“Ka, kemarin kamu ikut pas survey ke sana, kan?” Hanan mulai bersuara lagi. Kali ini lebih tenang. “Liat, nggak, anak-anaknya pada seneng banget waktu kita dateng? Aku masih inget mereka ngomong apa ke aku. 'Kak, nanti ke sini lagi, ya?' Itu sebelum pulang, Ka. Baju aku ditarik-tarik terus aku dibisikin itu sama mereka.”
Saat kunjungan ke panti asuhan beberapa waktu lalu itu memang Hanan langsung berusaha mengobrol dengan beberapa anak. Tidak seperti Hanan yang biasanya suka menggoda anak kecil. Kali ini ia benar-benar mendengarkan cerita anak-anak itu yang dilontarkan padanya dengan antusias.
Arka kemudian terpikirkan oleh sesuatu. Ia menepuk lengan Hanan.
“Nan, walaupun bukan proker kita tetep bisa ke sana. Iya, kan?”
Hanan menatap Arka sejenak, kemudian menggeleng lambat.
“Di luar proker kita nggak bisa ngasih apa-apa. Tujuannya ada proker itu, kan, buat memenuhi kebutuhannya mereka.”
“Ck, Nan. Lo sendiri tadi yang bilang kalo anak-anak di sana pengen lo dateng lagi. Intinya itu. Mereka cuma pengen lo ke sana lagi. Lagian dulu pas survey kita juga nggak bawa apa-apa, cuman bawa makanan ringan.”
Omongan Arka ada benarnya. Tetapi Hanan ingin sekali berkontribusi memberikan sesuatu yang layak untuk anak-anak itu.
“Oke, nanti aku pikirin lagi,” putus Hanan akhirnya.
“Nah, gitu dong!” Arka tersenyum puas. Ia mengusap sisi wajah Hanan sebelum menghabiskan mie ayamnya yang sudah mendingin.
Pukul delapan pagi. Halaman panti asuhan itu sedang dipenuhi anak-anak yang sedang berolahraga pagi. Dari kejauhan senyum Hanan sudah mengembang melihat wajah anak-anak yang masih setengah mengantuk itu dipaksa harus menggerakkan tubuhnya.
“Selamat pagi.”
Sapaan dari Hanan membuat beberapa kepala seketika menoleh dan berteriak kegirangan. Mereka berlarian menghambur ke arah Hanan.
“Kak Hanan! Kak Hanan!”
“Kalian udah sarapan belum?”
“Belummm!!!”
“Lanjutin dulu kegiatannya. Nanti sarapan bareng-bareng, ya?”
Anak-anak itu kembali bersorak. Mereka lalu meneruskan kegiatannya yang tertunda. Sementara itu Hanan dan Arka pergi menemui pengurus panti asuhan yang sudah mereka hubungi beberapa hari sebelumnya untuk meminta izin berkunjung.
Suasana di dalam ruangan dengan meja-meja panjang itu hingar-bingar oleh celotehan para anak yang sudah selesai berolahraga dan membersihkan diri kemudian mengambil tempat untuk duduk dengan tertib. Binar pada mata mereka membuat senyum Hanan tak pernah lepas dari wajahnya.
“Sarapan kali ini bubur ayam, ya? Siapa yang suka bubur ayam?” tanya Hanan.
“Akuuu!”
“Aku, Kak!”
Arka mengambil dua tas plastik besar yang berisi sekitar dua puluh kotak styrofoam bubur ayam. Bersama dengan Hanan ia membagikan kotak-kotak itu kepada anak-anak. Setelah memastikan setiap anak sudah mendapatkan bagiannya, Hanan memimpin doa sebelum mereka mulai makan.
“Oh, iya. Bubur ayamnya yang beliin Kak Arka,” ujar Hanan setelah ia selesai memimpin doa. “Bilang makasih ke Kak Arka.”
Anak-anak itu serentak menolehkan kepalanya ke arah Arka dan berseru bersamaan.
“Makasih Kak Arka!!!”
Arka yang sedang membereskan tas plastik seketika terkejut lalu tersenyum rikuh.
“Iya, sama-sama,” balasnya. “Ayo, sekarang semuanya makan.”
Meski kebanyakan anak sudah bisa makan sendiri, namun Hanan dan Arka masih berkeliling untuk mengecek apakah ada yang memerlukan bantuan mereka. Beberapa juga ada yang akhirnya minta disuapi untuk makan.
“Kak, aku kalo makan pengen disuapin terus,” ucap seorang anak laki-laki yang tengah disuapi oleh Hanan.
“Jangan, dong. Makin gede harus bisa makan sendiri. Nanti malu sama temen-temennya kalo disuapin terus,” ucap Hanan.
“Nggak papa. Nggak enak makan sendiri.”
Hati Hanan tiba-tiba terasa ngilu. Ia paham betul perasaan anak laki-laki di hadapannya itu. Saat dirinya seumuran anak itu, ibunya selalu menyuapinya makan yang hingga kini menjadi suatu memori yang terus melekat dalam ingatannya. Bahkan hingga ia sudah tumbuh besar pun, ibunya tetap mau menyuapinya ketika ia sakit. Tetapi anak ini tidak memiliki seseorang yang mampu mencurahkan seluruh perhatian padanya. Ia dipaksa untuk mandiri.
“Hari ini disuapin Kak Hanan, kan?” ucap Hanan kemudian. “Besok-besok kalo nggak ada yang nyuapin, nggak papa makan sendiri. Tapi makannya bareng temen-temen. Jadi rame.”
Anak laki-laki yang sedang mengunyah makanannya itu mengangguk kecil.
“Tapi pengen Kak Hanan ke sini terus.”
“Kak Hanan kuliah jadi nggak bisa sering ke sini. Tapi kalo ada waktu pasti Kak Hanan sempetin, deh.”
“Bener, ya, Kak? Sama Kak Arka juga.”
Hanan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
“Eh, menurut kamu Kak Arka ganteng, nggak?” celetuk Hanan tiba-tiba.
Anak itu langsung mengangguk cepat.
“Sama Kak Hanan? Gantengan mana?”
Sebuah jitakan pelan mendarat di puncak kepala Hanan. Seketika cowok itu mengaduh pelan sambil mengusap-usap kepalanya.
“Nggak usah aneh-aneh ngobrol sama anak kecil,” tegur Arka.
“Orang cuma nanya,” kilah Hanan sambil cemberut. Ia kembali menyuapi anak itu yang kini tertawa lucu melihat Hanan dijitak.
Selesai sarapan dan membersihkan meja dari kotak bekas makanan, pengurus panti mengizinkan Hanan dan Arka untuk melakukan aktivitas dengan anak-anak panti. Beberapa hari sebelumnya Arka mengusulkan pada Hanan untuk membuat kegiatan membaca bersama. Jadi hari itu Arka menyiapkan buku-buku cerita anak dan Hanan yang bertugas membacakannya untuk mereka.
Tanpa disuruh anak-anak itu sudah duduk melingkar di sekitar Hanan yang mendekap beberapa buku di dadanya. Hanan kemudian menanyakan kepada mereka cerita apa yang ingin mereka dengar, dan anak-anak mulai bersahutan menyebutkan judul buku yang dibawa Hanan. Cowok itu akhirnya memilih satu judul yang paling banyak diminati dan mulai membacakannya untuk mereka. Anak-anak itu kembali tenang mendengarkan. Saat Hanan berhenti sejenak untuk berinteraksi lagi dengan anak-anak itu, mereka membalasnya dengan semangat.
Arka yang sengaja mengambil tempat di sudut ruangan diam-diam merasa terharu melihat pemandangan di depannya. Hanan yang dengan antusias membacakan cerita kepada anak-anak dan beberapa anak bahkan menyandarkan tubuhnya pada Hanan dan memeluk badan cowok itu sembari mendengarkan. Hanan sesekali mengusap kepala anak-anak yang bersandar padanya. Tiba-tiba saja mata Arka terasa panas dan sebelum air matanya bergulir turun ia buru-buru beranjak keluar ruangan, meninggalkan Hanan yang masih dikelilingi kepala-kepala yang tak lepas memperhatikannya.
Kegiatan itu berlangsung cukup lama. Hingga jam tidur siang tiba dan pengurus panti asuhan harus meminta anak-anak untuk tidur. Hanan pun berniat untuk istirahat sejenak. Ia bangkit berdiri setelah beberapa jam duduk bersila yang membuat punggungnya pegal dan kakinya kesemutan. Apalagi ada anak-anak yang tak mau lepas darinya.
Hanan mengedarkan pandangan untuk mencari Arka yang tak dilihatnya ada di dalam ruangan. Ia beranjak keluar ruangan untuk mencari Arka. Tak jauh ia melangkah hingga ditemukannya cowok itu duduk di atas tembok rendah yang membatasi halaman dengan ruang utama panti asuhan. Hanan mempercepat langkahnya untuk menghampiri Arka.
“Dari tadi di sini?”
Arka yang baru menyadari kehadiran Hanan mengangkat alisnya kaget. Ia sedang melamun sambil mengamati pelataran panti asuhan yang cukup luas itu.
“Cari udara seger aja,” jawab Arka. “Udah selesai?”
Hanan melompat duduk di sebelah Arka. Ia ikut memandangi halaman panti asuhan yang asri dengan banyak tanaman hijau meski siang itu terasa begitu terik.
“Anak-anak harus tidur siang. Kita juga kayaknya bentar lagi balik.”
Arka menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Tadi gue ngobrol sama ibu panti,” ucap Arka.
“Iya?”
“Dia seneng banget sama kedatangan kita. Soalnya yang biasa ngasih sumbangan atau ngadain baksos, tuh, cuma ngasih materi aja. Nggak ngajakin anak-anak ngobrol atau main gitu. Jadinya dia seneng pas liat anak-anak pada semangat tadi.”
“Hmm.” Hanan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Pasti lebih seru kalo proker kemarin bisa jalan. Bakal ada lebih banyak kegiatannya.”
“Yang tadi juga udah seru, kok,” sanggah Arka. “Liat anak-anak pada serius dengerin lo cerita. Terus mereka juga-”
Hanan seketika menolehkan kepalanya kala ia mendengar getar pada suara Arka. Cowok itu rupanya sudah berkaca-kaca.
“Eh, kok nangis?” tanya Hanan panik. Ia beringsut mendekati Arka dan menarik tubuhnya dengan sebelah tangan.
Arka buru-buru mengusap matanya seraya tersenyum malu.
“Lo, tuh…”
“Hm? Aku kenapa?”
“Nggak tau, deh. Lo keren banget hari ini pokoknya,” ujar Arka cepat. Telinganya memerah.
Hanan mulai menangkap maksud Arka dan itu membuatnya tak dapat menahan senyum lebarnya.
“Hari ini doang kerennya?” goda Hanan.
“Jangan rese.”
Hanan terkekeh geli. Ia merapatkan tubuhnya pada Arka yang masih dirangkulnya dengan satu tangan. Bahu Arka ditepuk-tepuknya pelan sementara cowok itu menghapus air mata di sudut-sudut matanya.
Mereka menikmati suasana siang hari yang kali itu terasa teduh dengan hati yang hangat.
[to be continued.]