“Karin.”
Panggilan itu menyita perhatian Karina yang masih berdiri dengan ekspresi kesal di sebelah meja resepsionis. Melihat siapa yang datang, wajah Karina mulai cerah.
Perempuan itu ada di sana. Berdiri tak jauh darinya dengan gaun sesuai dress code yang sebelumnya dikatakan oleh petugas resepsionis. Wajahnya masih cantik seperti dulu, tak banyak berubah. Senyumnya juga masih senyum yang selalu Karina ingat. Senyum yang ditujukan hanya untuknya.
“Reservasi atas nama Giselle, ya, Mbak,” ucap Giselle yang langsung menuju meja resepsionis. Setelah mendapatkan nomor mejanya, ia mengajak Karina untuk masuk ke dalam.
Keduanya diarahkan oleh pramusaji menuju meja yang sudah disiapkan. Begitu keduanya duduk, pramusaji itu memberikan buku menu dan siap untuk mencatat pesanan mereka.
“Kamu mau pesen apa, Rin?”
Karina tergeragap untuk sejenak. “Oh- aku… Aku ngikut kamu aja, deh, Gi.”
“Hmm, kalo gitu pesen Rambutan-Tini, ya, Mas.”
“Rambutan…Tini?”
“Rambutan sama Martini,” bisik Giselle.
“Ya, ampun.” Karina menutup wajahnya untuk menyembunyikan tawa geli.
Setelah mencatat pesanan, pramusaji tersebut meninggalkan keduanya. Ada canggung yang menggantung di sekitar mereka untuk beberapa saat sebelum Giselle membuka suara.
“Kamu apa kabar, Rin?”
“Aku baik. Barusan banget kemarin landing di Jakarta. Masih ada sisa-sisa jetlag but I'm fine.” Karina mengulas senyum manisnya. “Kamu sendiri?”
Giselle menghela napas sebelum menjawab. “Hari ini gila banget. Percaya, nggak, sepatu aku diambil orang waktu aku lagi nge-gym?”
“Serius?”
“Aku cuman bawa running shoes dan nggak mungkin aku pake itu buat ke sini, kan? Akhirnya aku beli sepatu lagi tadi.”
Karina tertawa kecil. “Astaga, Gi. Padahal nggak ada salahnya kamu pake running shoes. Cocok aja, kok, dipaduin sama dress kamu yang ini. Still looking cute.“
Seketika raut wajah Giselle membeku. Ia tak segera menanggapi ucapan Karina. Tangannya kemudian meraih ponsel di atas meja dan pura-pura sibuk melihat layarnya.
Tak berapa lama pesanan mereka datang. Karina masih takjub dengan menu Rambutan-Tini yang Giselle pesan. Berkali-kali ia mengomentari minuman dengan sebiji rambutan yang tenggelam di dasar gelas itu.
Tak pelak komentar Karina mengundang tawa geli dari Giselle. Rasanya sudah lama ia tak mendengar ocehan-ocehan random dari perempuan itu. Ada perasaan rindu yang menyelinap di dadanya.
“Welcome to Jakarta, Rin,” ucap Giselle untuk menanggapi semua celotehan Karina tentang restoran yang mereka datangi saat ini. “Kamu di sini sampe kapan?”
Pertanyaan Giselle menghentikan ocehan Karina. Ia menggigit bibirnya ragu.
“Actually, for good. Aku bakal di sini seterusnya. Selamanya.”
Giselle tak dapat menyembunyikan keterkejutannya dari matanya yang melebar.
“Why? Kamu mau nikah?”
Karina mendenguskan tawa. “Kok nikah, sih?”
“Temen-temen aku kebanyakan pada gitu. Pulang ke Indo karena mau nikah.”
“Nggak, lah, Gi. Not me, not you?“
Lagi-lagi Giselle terdiam. Ia menyesap minumannya kembali, membiarkan ucapan Karina menggantung tanpa balasan. Karina tampak bingung atas reaksi Giselle, namun ia segera menghalau pikiran buruknya.
“Giselle!”
Suara sekelompok orang menyerukan nama Giselle, membuat perempuan itu menjulurkan kepalanya dan mendapati wajah-wajah familiar di kejauhan.
“Eh, Rin. Itu ada temen-temenku. Gabung sama mereka aja, yuk.”
Belum sempat Karina memberikan respon, Giselle sudah menariknya menuju meja di mana teman-temannya berkumpul.
Untuk beberapa menit lamanya Karina tak angkat bicara. Teman-teman Giselle ini adalah jenis orang yang tidak dapat Karina hadapi. Berada di sekitar mereka saja sudah membuatnya begitu lelah. Bahasan mengenai pernikahan, pasangan orang lain, harta kekayaan, hingga urusan pribadi lainnya yang seharusnya tidak menjadi bahan obrolan maupun urusan mereka.
“Kamu harus jaga penampilan, lho, Gi. Apalagi kalo udah mau nikah, suami kamu bisa batalin pernikahan kalo liat badan kamu nggak kayak dulu.”
Ucapan teman Giselle itu mengirim keresahan pada Giselle yang terdiam di kursinya. Jemarinya bertaut gelisah.
Karina sempat menangkap gelagat Giselle yang terasa lain. Juga saat matanya melihat cincin yang dimainkan Giselle di tangannya.
Obrolan yang didominasi oleh teman-teman Giselle itu terus berlangsung. Karina diam-diam menghela napas berat seraya menanti kapan ia dapat pergi dari sana.