Karina memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah membalas pesan dari ibunya. Ia sekarang berada di dalam mobil Giselle setelah akhirnya mereka dapat membebaskan diri dari teman-teman Giselle yang menahan mereka untuk pulang.
“Dapet salam dari Mama,” ucap Karina.
“Oh? Salam balik buat Tante,” balas Giselle dengan binar di matanya.
“Biasa Mama overprotective banget. Padahal cuman mau jalan-jalan doang.”
“Kan, kamu baru pulang ke sini, Rin. Wajar kalo digituin. Dulu pas aku balik juga nggak boleh ke mana-mana sampe semingguan. Pokoknya harus ngumpul sama keluarga.”
Karina berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya.
“Gi.”
“Hm?”
“Jalan-jalan, yuk?”
Giselle mengerutkan kening heran. “Ini, kan, lagi jalan-jalan?”
“Bukan, maksudnya jalan-jalan beneran. Jalan kaki. Aku sumpek banget dari tadi, kayak ada di dalem akuarium.”
“Jalan kaki? Mau jalan di mana, Karin? Nggak ada tempat buat jalan kaki di sini.”
“Adaaa. Pasti ada. Yuk?”
“Terus supir aku gimana? Disuruh pulang? Lagian ini udah malem, ntar kalo kita kenapa-kenapa gimana?”
“Tuh, kan, kamu mirip Mama aku jadinya. Udah, nggak bakal kenapa-kenapa.”
“Aku nggak mungkin jalan kaki pake dress dan high heels begini dong, Rin? Yang bener aja.”
Karina mengetuk dagunya beberapa kali sebelum teringat sesuatu.
“Tadi kamu bilang habis dari gym, kan? Pake itu aja sama running shoes kamu!”
“Karin…”
Giselle menatap Karina yang masih memberinya senyum penuh harap. Untuk kesekian kalinya Giselle tidak bisa menolak perempuan itu. Sama seperti beberapa tahun silam.
Jalanan yang mereka lewati cukup lengang sebab penghuni rumah kelihatannya lebih memilih berdiam di dalam ketimbang keluyuran di jalan. Ditambah malam yang sudah semakin larut.
Karina mengajak Giselle untuk mencari warung yang dulu sering dikunjunginya sebelum ia pergi ke New York.
Dengan lengannya yang dikaitkan pada Giselle, Karina menyusuri jalanan sepi itu sambil bersenandung pelan.
“Gi, tadi pas ngobrol sama temen-temen kamu, katanya kamu mau buka bisnis kue, ya?”
“Haha, iya, Rin.”
“That's so sudden? Kamu nggak mau lanjutin path kamu jadi pelukis?”
Karina tahu bagaimana Giselle amat mencintai melukis. Saat mereka masih di New York dulu, Giselle akan selalu membawa buku sketsa bersamanya dan melukis apapun yang ditemuinya bersama Karina. Entah itu jalanan New York, kafe-kafe kecil, toko kaset tahun 80-an, atau wajah Karina yang selalu ia lukis dalam diam.
Giselle menghirup udara malam sebelum menjawab pertanyaan Karina.
“Habis pulang dari New York dan ngejalanin hari-hari di sini, aku harus realistis, Rin. Seni nggak dihargain di sini. Dan aku butuh uang untuk makan.”
Ucapan Giselle memang benar. Baru sehari Karina kembali ke Jakarta dan ia sudah dihadapkan pada realita bahwa hidupnya tak akan bisa sama seperti di New York. Bahkan hal itu mulai dari rumahnya sendiri. Orang-orang terdekatnya tak mampu memberikan ia kebebasan untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Selalu ada standar tak kasat mata yang harus dicapainya. Ia masih ingat wajah teman-teman ibunya tempo hari ketika ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk menikah atau punya anak. Seolah-olah ia baru saja mengakui sebuah tindak kriminal.
“Rin, kayaknya warung yang kamu maksud udah nggak ada, deh?” Giselle memecahkan lamunan Karina. “Harusnya di sini, kan?”
Keduanya berhenti di penghujung jalan yang bercabang. Tak ada tanda-tanda warung yang bertempat di situ. Karina menurunkan bahunya kecewa. Ia sadar waktu sudah berlalu terlampau lama untuk mengharap beberapa hal masih bertahan seperti semula.
“Mau cari tempat lain aja? Aku cariin di google maps, ya?” usul Giselle.
“Eh, nggak usah, Gi. Kita cari deket-deket sini aja.”
Keduanya lalu berhenti di salah satu pedagang kaki lima yang menjual Indomie goreng. Karina memesan satu porsi Indomie goreng original sedangkan Giselle memesan dengan tambahan topping keju.
“Emang enak pake keju gitu, Gi?” tanya Karina dengan keningnya yang mengernyit.
“Enak! Cobain, deh,” ujar Giselle seraya menggeser mangkuknya ke arah Karina.
“Nggak, ah.”
“Cobain duluuu.”
Dengan enggan Karina menyendokkan sesuap ke mulutnya, mengunyah pelan, lalu terkejut.
“Enak, kan?”
“Ih, iya. Aneh, tapi enak?”
Giselle tertawa. Ia melanjutkan makannya ketika ponselnya berbunyi. Tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponsel dan mengecek notifikasinya.
“Udah jam segini masih aja digangguin?” sindir Karina.
Giselle yang tengah mengetik sesuatu di ponsel seketika mengangkat alisnya, kemudian meletakkan kembali ponselnya dengan senyum yang terulas.
“Dulu sebelum ada smartphone, kita ngapain aja, ya?” tanya Giselle. Matanya menerawang ke langit gelap tanpa bintang.
“Sebelum ada smartphone, hidup kita malah asik banget, lagi. Inget, nggak, dulu suka mainan sama temen-temen?”
“Tiap jam istirahat, ya? Ada yang bawa bola bekel, terus main kartu… apa tuh- yang gambar-gambar.”
“Iya! Kwartet. Terus kadang ada yang bawa monopoli, tapi belom selesai bagiin duitnya udah bel masuk. HAHAHA.”
Keduanya tergelak mengingat kenangan masa kecil mereka yang seakan tanpa beban. Hidup rasanya jauh lebih mudah saat itu.
“Main karet, Rin!”
“Oh, iya, main karet!”
“Bu, Bu, ada karet, nggak?” tanya Giselle tiba-tiba pada ibu penjual. Setelah menerima sebuah karet gelang, Giselle memainkan jemarinya untuk membentuk sesuatu dari karet tersebut.
“Ya, ampun, aku udah lupa mainan gini,” komentar Karina sembari memperhatikan Giselle membentuk karet itu menjadi sesuatu.
“Liat, Rin!” seru Giselle setelah ia berhasil mengaitkan karet tersebut di jemarinya dan membentuk bintang. “Bintang!”
“Wah, iya! Bintang!” Karina menepukkan tangannya layaknya anak kecil yang baru saja menyaksikan sesuatu yang menakjubkan.
Untuk sesaat mereka membiarkan diri kembali ke masa-masa di mana tak ada masalah yang menggelayuti pikiran. Hanya ada canda dan tawa serta semesta yang memeluk hangat.
Perjalan pulang di dalam mobil terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bagaikan ada ucapan tak terbilang bahwa setelah ini takkan ada kali lain lagi. Bahwa setelah ini semua akan kembali ke hidup masing-masing tanpa pernah bersinggungan lagi.
Karina melihat keluar jendela dan menemukan sesuatu yang kemudian baru disadarinya. Bangunan masjid dan gereja yang berseberangan.
“Ternyata itu, tuh, deketan, ya?” gumam Karina.
Giselle ikut melihat ke arah pandang Karina. Istiqlal dan Katedral.
“Why's that?” tambah Karina.
“Ceritanya, kan, Bhinneka Tunggal Ika.”
“Ceritanya.” Karina tersenyum tipis. “Religion plays such a big role here, ya?”
Giselle menanggapi Karina dengan senyum yang tak mencapai matanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah jalanan di depannya.
“Makanya,” ucap Giselle pelan. “There's no place for us here.“
Meski pelan, kalimat Giselle memberikan fakta yang tak mampu Karina bantah. Dingin yang mulai menyusup ke dalam hatinya sejak tadi kini makin menguat. Dan Karina tahu itu bukanlah berasal dari angin malam yang hembusannya semakin terasa.
Hening kembali mengisi mobil kala mata Karina menyipit untuk membaca satu tulisan di kejauhan.
“Gi, itu apaan, sih?” tunjuknya pada satu bangunan yang terlihat kumuh.
“Hotel jam-jam-an itu, Rin. Buat orang-orang yang suka…” Kalimat Giselle menggantung di udara ketika disadarinya Karina masih menatap bangunan itu dengan serius. “Rin, kamu nggak mau mampir ke sana, kan?”
“Kenapa nggak?” balas Karina di luar dugaan. “Ayo, Gi. Namanya unik lagi. Lone Star. I think that's a pretty name.”
“Serius kamu, Rin? Ngapain ke tempat jorok kayak gitu?” protes Giselle tak menyetujui.
“Ayolah, it won't be that bad!” desak Karina. “Pak, berhenti di depan kiri itu, ya!”
“Karin!”
Dan di sinilah keduanya. Berbagi ranjang sebab dua ranjang di kamar itu tak dapat digeser dari tempatnya. Karina tidak suka harus jauh-jauhan.
Satu botol alkohol ada di pelukan Karina sementara Giselle duduk di hadapannya dengan tubuh yang tak lagi bisa tegak.
“Kamu, tuh, beneran nggak berubah, ya? Minum dikit langsung ngefek,” komentar Karina. Ia menatap mantan pacarnya itu dengan sorot yang memancarkan rindu, rasa yang terpendam dan terlupakan untuk beberapa tahun lamanya hingga kemarin kembali menyeruak.
“Karinnn,” panggil Giselle dengan senyum yang menempel di wajahnya. Matanya sudah setengah terpejam. “Karin, kamu kenapa balik ke sini?”
Itu adalah pertanyaan sederhana namun sulit untuk dijawab. Jika Karin ingin mengikuti kata hatinya, ia tidak ingin kembali. Namun itu berarti ia juga tidak akan bertemu dengan Giselle lagi.
“Aku nurutin permintaan Mama aja,” jawab Karina akhirnya. “Nggak bisa aku selamanya di New York. Kamu juga ada di sini, aku pengen ketemu kamu.”
Giselle mengayunkan badannya pelan ke depan dan ke belakang. Ia terdiam, namun ia mendengar semua penuturan Karina.
“Gi, waktu kamu balik ke sini, kamu kangen nggak sama New York?”
“Kangen. Sampe sekarang pun masih kangen.”
“Apa yang kamu kangenin?”
Giselle menarik napas dalam-dalam. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat langit-langit kamar yang dihiasi banyak noda rembesan air hujan.
“Pagi-pagi, ngerokok di balkon sambil minum kopi. Nikmatin suasana pagi di sana,” ucap Giselle. Ingatannya melayang pada beberapa tahun lalu saat dirinya masih tinggal di New York bersama Karina. “Terus ada kamu.”
“Gi,” panggil Karina. Suaranya serak. “Dari semua hal yang aku kangenin tentang New York. Actually I missed you the most.”
Ada sensasi panas yang mulai menjalar di mata Giselle. Pandangannya kian mengabur. Bukan karena alkohol yang diteguknya.
Karina mendekatkan dirinya pada Giselle sebelum menyelipkan helai rambut perempuan itu di belakang telinga, lalu mengusap pelan pipinya.
“Aku baru sadar segitu kangennya aku sama kamu setelah aku nemuin kotak yang isinya barang-barang selama kita pacaran dulu. Tiket bioskop, struk restoran, semua foto-foto kita juga masih ada. Lama banget aku nggak nyentuh kotak itu lagi karena aku takut ngerasa sakit. Tapi rasa kangen ke kamu memang nggak pernah hilang.”
Setetes air mata Giselle meluncur turun. Karina mengusapnya dengan ibu jari. Ia rindu sekali perempuan yang terisak di depannya ini. Jarak yang tercipta saat itu memaksanya untuk lupa, untuk menelan perasaannya mentah-mentah. Namun ia kini ada di depan mata. Begitu dekat oleh jangkauan. Begitu dekat untuk direngkuh.
“I'm getting married, Karin.”
Dengung menusuk tajam ke dalam telinga Karin hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Tangannya harus menapak di permukaan ranjang agar tubuhnya tak oleng.
Ia tidak mengerti. Tidak tentang dirinya, tidak tentang Giselle.
“Do you love him?” tanya Karina lirih. Sebagian dirinya ingin mendengar jawaban, namun sebagian lainnya hanya ingin menjadi tuli.
Gelengan kepala Giselle tak menjadi jawaban yang mampu melegakan hati Karina.
“I don't know, Rin. I'm just so scared.“
Karina tak mampu menahan dirinya hingga ia menarik Giselle ke dalam pelukan. Ia memeluk dengan seluruh raga dan luka perasaan.
“Giselle… Listen to me. Kita bisa mulai lagi dari awal. Ya? Just like video game, you know?“
Giselle menggeleng dalam pelukan Karina. “Nggak semudah itu, Karin. Aku bukan lagi Giselle yang punya harapan dan hidup bebas di New York. Kamu juga sama.”
“Giselle.”
“I can't. I'm sorry.“
Giselle menarik dirinya dari pelukan Karina. Diamatinya paras perempuan itu yang membuatnya takluk sejak pertama kali ia mengenalnya. Karina yang selalu menyapanya dengan senyum, Karina yang selalu membuat hari-harinya berwarna, tak ada sehari pun ia diliputi awan mendung. Karina yang terus menyayanginya tanpa peduli hari esok.
Akhirnya ditangkapnya juga pemandangan itu. Ekspresi yang begitu jarang Karina tunjukkan padanya, pada siapapun. Sorot mata penuh luka dan kecewa. Hancurnya perempuan itu juga merupakan kehancuran dirinya juga.
Hanya saja Giselle sudah hancur bertahun-tahun yang lalu.
Ketika Giselle mendekatkan wajahnya pada Karina dan merasakan hembusan napas hangat yang membelai kulitnya, saat itu pula kehancuran hatinya kembali terasa. Karina beringsut mundur, menjauhkan diri dari Giselle. Menolak ciuman yang akan Giselle beri.
Keduanya tertunduk dalam senyap kamar yang remang. Pagi siap untuk menjemput. Sama halnya dengan kehidupan yang akan mereka jalani masing-masing.
Mengapa ada selamat dalam selamat tinggal, jika mereka tak pernah kembali?