Kemeja kotak-kotak milik Bintang ditanggalkan sebelum Biru kembali mencium bibir pacarnya itu. Di pikiran Biru cuma ada satu kata yang berulang.
Kangen. Kangen. Kangen.
“Ru, udah dikunci belom?” bisik Bintang, menahan aksi Biru lebih lanjut.
Biru mengusap sudut bibirnya. Memang gila. Kalau sampai Hanan tahu ia memanfaatkan toilet kampus untuk kepentingan mendadaknya ini, pasti temannya itu tak akan berhenti mengoloknya sampai lulus.
“Udah.”
Disebut mendadak karena memang seperti itu. Niatnya cuma menemani Bintang mengganti bajunya yang ketumpahan air minum. Tapi hari itu pacarnya terlihat lebih menggemaskan dari biasanya. Dan lagi, Biru kangen.
“Ahn-” Bintang memekik pelan kala Biru menyesap lehernya.
Biru menatap jenaka pada Bintang. “Sstt, jangan berisik.”
Bintang mau protes tapi Biru sudah menariknya dari dinding bilik. Cowok itu mendudukkan dirinya di atas kloset tertutup lalu menepuk pahanya.
“Sini.”
Bintang menurut. Ia duduk di pangkuan Biru yang melingkarkan lengannya di pinggang Bintang, menatap wajah manis pacarnya.
Ada kalanya melihat Bintang membuat Biru ingin mengikuti suara-suara di kepalanya. Seperti sekarang ini. Bintang gemas. Gemas sekali. Kalau tidak sedang berada di area kampus mungkin Biru sudah… Ah, cukup Biru yang tahu.
Biru kembali melumat bibir pacarnya. Manis. Entah lip balm rasa apa yang dipakai Bintang hari itu. Lidah Biru menjelajah rongga mulut Bintang, bertaut dengan lidahnya. Tak ingin berhenti hingga dada Bintang terasa sesak.
Tangan Bintang mendorong dada Biru hingga ciumannya terpaksa lepas. Cowok mungil itu terengah. Ada basah liur di sudut bibirnya.
“Nggak bisa napas…” ucap Bintang pelan, masih berusaha mengisi paru-parunya dengan oksigen.
Biru menahan senyum. Ia menarik Bintang dalam pelukan lalu menciumi sisi wajahnya. Hujan ciumannya turun ke leher sambil sesekali cowok itu merapalkan kangen.
“Kangen… Kangen banget sama Bintang…”
Usapan tangan Biru di kulitnya serta ciuman di lehernya membuat Bintang mendesah-desah pelan.
“Mmh… Biru…” rengek Bintang. Tubuhnya lalu menggelinjang ketika tangan Biru menyapu ujung putingnya. Ibu jarinya mengusap dua titik yang mulai mengeras itu.
Biru sengaja ingin melihat ekspresi di wajah Bintang sementara tangannya memainkan putingnya. Seperti dugaan, wajahnya merah. Bibirnya digigit kuat berusaha menahan desah yang memaksa lolos.
Biru menghela napas. “You're so cute. You're so cute when you try to hold back like this.”
Bintang benar-benar merah. Beberapa kali tubuhnya mengejang tiap Biru menekan ibu jarinya.
“Kalo nggak di kampus kamu boleh berisik sesuka kamu, Sayang. Tapi sekarang tahan dulu, ya,” ucap Biru di telinga Bintang sebelum cowok itu tanpa permisi menyapukan lidahnya di puting kiri Bintang. Kemudian mengulumnya dan menyesapnya kuat-kuat.
Refleks Bintang membusungkan dada, menahan pekikan yang hampir terlontar dari bibirnya. Tangannya menggenggam rambut Biru dengan kuat.
“Biru- Hhh… Bi-ru.” Sensasi yang didapat di ujung putingnya itu dalam hitungan detik menjalar seketika ke seluruh tubuhnya. Biru menyesapnya bagai kehausan, seperti Bintang benar-benar bisa memberikan apa yang diinginkannya.
Gundukan yang terbentuk di bawah pangkuan Bintang tak luput dirasakannya. Sendirinya pun tak kuasa menolak hasrat untuk menggesekkan dirinya di pangkuan Biru.
Merasakan selatannya mendapat stimulasi dari Bintang yang mulai bergerak, tak ayal Biru mengerang pelan. Bibirnya tetap tak melepas apa yang sedang dinikmatinya.
“Enak nggak, Bin?”
Bintang yang tengah kepayahan menggesek di paha Biru hanya bisa mengangguk sebelum menjawab. “Ngh… E- Enak…”
Menodai Bintang seperti ini membuat Biru sedikit merasa bersalah. Tapi egonya selalu berteriak bahwa cowok itu adalah milik Biru seutuhnya. Hanya Biru yang boleh melakukan ini.
Biru berbisik di antara isapannya. “Abin cuma boleh kayak gini sama aku. Cuma aku yang boleh ngelakuin ini sama Abin. Ngerti?”
Lagi-lagi Bintang mengangguk. Pikirannya sudah tidak fokus. “Iya… Abin- Abin cuma mau Biru yang- giniin Abin… Ah-”
Masih belum puas menyusu di puting kiri Bintang yang sekarang sudah basah, bengkak, dan merah, Biru beralih pada puting kanan Bintang yang belum terjamah. Dijilatnya beberapa kali dengan lidahnya sebelum dikulum nikmat.
Bibir, lidah, dan saliva Biru terasa hangat melingkupi puting kanannya. Bintang terpaksa harus menggigit bagian belakang tangannya agar tak melepas desah keras. Bunyi cecapan basah dari mulut Biru tiap kali ia menyesap terdengar begitu erotis di telinga Bintang. Hingga akhirnya Bintang tak kuasa lagi.
“Biru, aku pengen keluar-”
“Hm?” Biru mendongakkan wajahnya. Menatap Bintang yang ekspresinya resah. “Mau keluar?”
Bintang mengangguk malu.
Dalam sedetik Biru menanggalkan kemejanya lalu mulai melucuti kancing celana Bintang, membantu cowok itu membebaskan miliknya.
“Aku bantuin, ya,” tawar Biru setelah ia berhasil menangkup keseluruhan milik Bintang dengan satu tangannya. Tanpa menunggu jawaban dari Bintang, Biru sudah mengocok pelan milik pacarnya sembari ia kembali menyesap apa yang tadi ditinggalkan.
Lenguhan Bintang tak terkendali. Tak pernah ia tahu bahwa sensasi puting susunya dimainkan seperti itu akan begitu masif. Rasanya asing, aneh, tapi enak. Or maybe because it's Biru. Biru will always make him feel good.
“B- Biru… Enak, Ru… Enak banget…”
Isapan Biru semakin kuat. “Kamu juga enak, Bin. Susu kamu enak.”
Telak. Bintang menyemburkan putihnya yang mengotori dada Biru. Cowoknya itu buru-buru menyambar beberapa lembar tisu untuk mencegah Bintang menetes kemana-mana. Sebelum kemudian ia mengelap dadanya sendiri.
Bintang menjatuhkan dahinya pada bahu milik Biru, terengah. Sesekali badannya masih bergetar, sisa-sisa klimaksnya. Selatan dan putingnya berdenyut bersamaan.
“Udah?” tanya Biru. Tangannya kembali menggerayangi dada Bintang, membuat cowok itu menggelinjang.
“Udah…”
“Sini aku bersihin kamu, terus ganti baju yang baru.”
Bintang masih belum beranjak dari pangkuan Biru, memandang cowoknya dengan bingung.
“Tapi, kamu kan belum-”
Biru tersenyum. “Nanti aja. Jangan di sini, punggungku pegel.”
Bintang baru menyadari posisi mereka dan buru-buru bangkit. “Maaf, maaf.”
Setelah memastikan Bintang mengenakan kemeja yang bersih dan menyimpan kemeja yang ketumpahan air sebelumnya, Biru menahan kedua pergelangan Bintang.
“Bin.”
“Hm?”
“Kayaknya aku ketagihan, deh.”
“...Apa?”
“Ini.”
Kedua ibu jari Biru mengusap puncak dada Bintang, membuat titik di balik kemejanya kembali bereaksi.
“Ih, Biru.” Bintang menepis tangan Biru. Mukanya merah padam.
“Nanti lagi boleh, kan?” kejar Biru.
Bintang pura-pura berpikir padahal ia sendiri juga menikmati. Melihat ekspresi memohon Biru membuatnya menahan senyum.
“Boleh, lah. Apa sih yang nggak boleh buat Biru?”
“Yes, asikk,” seru Biru pelan lalu mencuri cium pada bibir Bintang, cukup lama.
Setelah mematikan keran air yang sengaja dihidupkan, Biru membuka pintu bilik. Toilet masih sepi. Menarik napas lega ia menggandeng Bintang keluar. Namun langkahnya sontak terhenti ketika ia menyadari ada seseorang di depan wastafel, sedang mencuci tangan. Tatapan keduanya bertemu melalui cermin.
“Lho, lho?”
Hanan seketika membalikkan badan dan menunjuk dua sejoli yang barusan keluar dari bilik yang sama itu. Cengirannya pelan-pelan terkembang dan ekspresi menyebalkannya muncul.
“Apa, sih, nggak usah rese. Bintang ganti baju tadi bajunya ketumpahan air,” kilah Biru langsung.
“Eits, gue belom bilang apa-apa. Gue belom bilang apa-apa,” cetus Hanan sambil mengangkat kedua tangannya bak ditodong polisi. “Tapi kalo langsung membela diri sih, yah…”
“Ah, berisik.” Biru mendorong muka Hanan dengan tangannya sambil berjalan melewati temannya itu, menarik Bintang rapat di sisinya.
Hanan cuma ketawa geli. Ia kembali membasuh tangannya sambil teriak.
“Bin! Nggak sia-sia Biru konsultasi ke gue, Bin! Mantap!”