Layar ponselnya kembali gelap setelah beberapa saat lalu sambungan telepon diputus. Nyeri melintasi dadanya, selalu begitu jika ia mendengar kabar yang kurang baik dari Bintang. Kunci motor yang masih berada dalam genggaman kembali digunakan Biru untuk menghidupkan motor yang juga masih terparkir di halaman rumah. Ia harus segera menuju ke rumah Bintang.
Wajah pertama yang menyambutnya adalah wajah seseorang yang menghubunginya tadi, memberitahukan gelagat Bintang yang aneh semenjak pulang dari kampus. Tanpa bicara dan kemudian mengunci diri di kamar.
“Anaknya masih di kamar,” ujar Bulan. Biru mengikuti kakak perempuan Bintang menuju ke kamarnya. “Biasanya kalo lagi begini Bunda yang bisa bujukin Abin, tapi Bunda masih belum pulang. Minta tolong, ya, Ru? Takutnya ngedekem di kamar sampe skip makan.”
Bulan mengetuk pelan pintu kamar Bintang.
“Abin.”
Samar terdengar balasan dari dalam.
“Belom laper, Kak. Nanti Abin makan sendiri.”
Bulan mendekatkan dirinya ke pintu kemudian berujar lebih keras.
“Ini ada Biru. Mau ketemu kamu.”
“Nggak usah boong, Kak. Abin lagi nggak mood.“
Bulan kemudian mengisyaratkan Biru untuk mengambil alih tugasnya. Ia berbisik pada cowok itu.
“Kamu yang ngomong sama Abin, ya? Maaf banget ngerepotin.”
“Nggak apa-apa, Kak.”
Sepeninggal Bulan, Biru kembali mengetuk pintu kamar Bintang sebanyak tiga kali. Yang dibalas dengan gerutu kesal dari Bintang.
“Kak, Abin cuma pengen istirahat. Abin capek!”
Reaksi Bintang membuat Biru sedikit terkejut. Ia menerka-nerka apa yang membuat Bintang bersikap seperti ini.
“Abin,” panggil Biru. “Ini aku. Boleh dibukain pintunya, nggak?”
Tak ada jawaban untuk beberapa saat lamanya. Biru mengira Bintang benar-benar sedang tidak ingin diganggu ketika kenop pintu bergerak dan pintu kamar mulai terbuka, memberikan sedikit celah untuk Biru dapat melihat wajah Bintang. Cowok itu khawatir begitu ia menangkap mata Bintang yang memerah.
“Kamu, kok, ke sini?” tanya Bintang pelan, terheran mendapati pacarnya itu tiba-tiba ada di depan kamarnya.
“Kak Bulan nelfon aku tadi,” jelas Biru. “Aku boleh masuk, nggak?”
Bintang membuka pintunya lebih lebar kemudian menarik Biru ke dalam kamarnya sebelum menutup pintunya lagi. Setelah itu ia kembali berjalan ke arah ranjangnya dan duduk di tepian, beberapa kali ia mencoba membersit hidungnya. Jelas sekali Bintang habis menangis.
Biru yang masih berdiri menyaksikan dari dekat pintu kamar mulai beranjak mendekati Bintang lalu berjongkok di depan pacarnya itu. Tanpa mengucapkan apapun Biru menarik Bintang ke dalam pelukan sambil mengusap punggungnya. Tangis Bintang kembali pecah.
“Biru… Aku kesel banget…” rengek Bintang di antara isakannya.
Tangan Biru tak henti memberikan usapan pada punggung Bintang. “Ada apa?”
“Temen aku. Padahal aku udah berapa hari begadang ngerjain project itu, cuma gara-gara dia aku jadi nggak dapet nilai.”
Biru mengurai pelukannya untuk menghapus air mata di wajah Bintang dengan ibu jarinya sebelum bertanya.
“Temen kamu kenapa?”
“Aku pernah bilang ke kamu, kan? Aku ada ngerjain tugas besar. Nah, itu sebenernya tugas kelompok. Anggotanya acak dan aku kebagian sekelompok sama dia.”
“Kamu sekelompok sama dia doang?”
“Ada satu lagi sebenernya. Tapi dia lagi opname di rumah sakit. Otomatis aku nggak tega ngasih tugas yang berat ke dia. Dia tetep ngerjain, cuman bagian yang beratnya dikerjain aku sama temenku yang satu ini.”
“Terus?” Biru mendengarkan penjelasan Bintang sementara tangannya menggenggam tangan pacarnya itu.
“Ya, udah, aku kerjain bagian aku. Emang tugas aku yang paling berat, soalnya temenku ini bilang kalo dia kurang bisa ngerjain bagian itu. Aku nggak mau buang-buang waktu buat ngajarin dia atau ngerjain bareng, karena masih ada tugas dari matkul lain. Mungkin salahku juga di sini. Tapi dia, tuh, juga nggak inisiatif buat nanya-nanya atau bantuin gitu, Ru.”
“Dia kamu kasih tugas lain?”
“Iya. Aku kasih tugas yang lebih gampang. Aku yang bikin aplikasinya. Nanti dia tinggal convert file dari aku, itu tahap paling akhir. Jadi aku harus cepet-cepet nyelesaiin bagiannya aku biar bisa dilanjut sama dia.”
“Terus kamu udah selesai? Kamu kasih ke dia?”
“Aku selesainya agak malem gitu karena aku ngerjain yang lain-lain juga. Terus aku kirim ke dia, aku bilang itu tinggal di-convert aja. Ada tutorialnya di materi. Besok pagi dipresentasiin.”
“Dia kerjain, nggak?”
“Nggak, Ru,” seru Bintang kesal. “Dia bilangnya, sih, udah nyoba tapi gagal terus. Pas mau presentasi dia baru bilang ke aku.”
“Loh, terus? Kalian presentasinya gimana?”
“Ya, nggak jadi presentasi. Dosennya cuma mau liat hasil akhir. Padahal hasil akhir itu harusnya dia yang ngerjain. Aku kesel banget sampe nggak bisa bilang apa-apa sama dia tadi, rasanya cuma pengen nangis. Kayak nggak ada tanggung jawabnya banget.”
Biru mengusap punggung tangan Bintang yang kembali terisak. Ia tahu seberapa kecewa pacarnya itu saat ini.
“Padahal kalo dia bilang paginya itu aku masih bisa bantu ngerjain. Presentasinya juga nggak jam pertama. Tapi dia nggak bilang apa-apa, aku kira udah beres tugasnya. Aku bela-belain ngerjain bagian yang paling susah sampe kurang tidur, maag aku juga kambuh, tapi dia kayak santai banget nggak mikirin.”
Biru menganggukkan kepala mendengarkan semua keluh kesah Bintang. Ia biarkan cowok itu menumpahkan semua kekesalannya terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan.
“Masih ada yang mau ditumpahin, nggak? Atau udah?” tanya Biru.
“Itu, sih, pokoknya. Kesel dan sedih banget sekarang.”
Biru menarik senyum tipis pada bibirnya. Kembali dirangkumnya tangan Bintang dalam genggaman tangannya. Ia menatap Bintang yang kini mulai terfokus padanya.
“Pasti kesel banget sekarang, ya? Udah capek-capek ngerjain terus malah nggak dapet nilai gara-gara satu hal sepele.” Biru mengamati Bintang yang menganggukkan kepalanya cepat. “Tapi Bintang lupa ada satu hal penting yang jadi sumber masalah. Nggak cuma dalam hubungan kayak aku sama kamu, tapi juga waktu kerja kelompok kayak gini. Komunikasi.”
Bintang menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan keras. Ia mulai menyadari apa yang dilewatkannya selama ini. Hal yang paling penting dalam berhubungan satu sama lain.
“Aku nggak nyalahin Bintang aja, menurutku dua-duanya ada salah. Temen kamu nggak bilang ke kamu kalo dia ada kesulitan. Dan kamu juga nggak komunikasi ke dia tentang beberapa hal. Yang pertama, kamu nggak bilang kalo alasan kamu ngambil bagian paling susah itu karena kamu pengen tugasnya cepet selesai tanpa harus ribet ngajarin temen kamu yang kurang menguasai. Siapa tau temen kamu pengen belajar? Iya, kan? Dia juga jadinya nggak tau kalo kamu mati-matian ngerjain tugas ini. Yang kedua, kamu nggak konfirmasi lagi habis kamu nyerahin bagian kamu ke dia. Dia juga salah nggak bilang kalo tugasnya belum selesai. Tapi misal kamu nanyain ke dia sebelum waktu presentasi, kan, kamu jadi tau kalo ada yang harus diselesaiin? Ngerti, kan?”
“Ngerti…” ucap Bintang pelan.
Biru mengarahkan tangannya untuk menyibakkan helai-helai rambut yang menutupi dahi Bintang, membuatnya dapat melihat ekspresinya dengan lebih jelas. Bintang masih terlihat kesal namun kali ini dirinya mulai memahami di mana letak masalahnya.
“Tugas kelompok itu harusnya emang dikerjain bareng-bareng, dengan porsi yang adil. Bintang udah keren banget mau ambil resiko ngerjain yang susah tapi jadinya berat di Bintang juga, kan? Kalo waktu itu Bintang nyoba diskusi dulu sama temennya siapa tau hasilnya bisa berubah. Aku selalu bilang ini sama kamu, Bintang, jangan lupa kalo nggak semua hal itu tanggung jawab kamu. Jadi jangan maksain buat nanggungnya sendirian. Kasian di kamunya juga.”
Bintang mencebikkan bibirnya lagi mendengar nasihat dari Biru. “Terus sekarang gimana, Ru? Sia-sia aku ngerjain dan nggak dapet nilai.”
“Kamu udah nyoba negosiasi ke dosen kamu belum?”
Bintang menggelengkan kepalanya. “Tadi aku keburu kesel dan sedih banget. Aku nggak jelasin apa-apa ke dosen aku.”
“Nah, kamu ajakin temen kamu buat jelasin ke dosen. Jujur aja nggak papa. Jelasin pembagian tugasnya, terus ada temen kamu yang sakit juga dijelasin. Biar dosennya paham. Aku yakin dosen kamu nggak akan sekejam itu, kok.”
“Kalo nggak berhasil gimana, Ru?”
“Dicoba dulu. Urusan gimana nantinya dipikirin nanti kalo kamu udah bilang ke dosen.” Biru mengusak pelan rambut Bintang. “Kalo ternyata emang nggak bisa biar aku yang marahin dosen sama temen kamu itu.”
Kalimat Biru itu akhirnya dapat memunculkan senyum pertama di wajah Bintang hari itu. Ditinjunya pelan bahu Biru yang kemudian memecah tawa.
“Emang kamu bisa marah?” sindir Bintang.
“Bisa, lah.”
Biru melipat kedua tangannya di depan dada. Alisnya dirapatkan hingga wajahnya terlihat sinis. Tetapi Bintang sama sekali tak menganggap itu menakutkan. Ia justru tertawa geli melihat ekspresi pacarnya.
“Nggak cocok!” seru Bintang seraya menutup wajah Biru dengan kedua telapak tangannya. “Udah nggak usah marah-marah. Jelek kayak angry bird.“
Biru membantah ucapan Bintang tetapi suaranya teredam oleh tangan Bintang yang masih menutupi seluruh wajahnya. Bintang kemudian menyingkirkan tangannya hingga akhirnya bertahan di kedua sisi wajah Biru.
“Masih sedih, nggak?” tanya Biru.
“Dikit.”
“Kesel?”
Bintang menggeleng.
“Oh, iya. Tadi aku sempet mampir beli sesuatu.”
Bintang mengangkat alisnya ketika Biru melepas ranselnya dan mengambil sesuatu dari kantong depan. Ia bahkan baru sadar Biru masih membawa ransel kuliahnya. Itu berarti Biru langsung datang ke rumahnya setelah dihubungi oleh kakaknya.
“Kamu dari kampus tadi, ya, pas ditelfon Kak Bulan?” tanya Bintang.
“Hah? Oh, enggak, sih. Baru banget nyampe rumah.” Biru kemudian mengulurkan sebungkus coklat dan sekotak susu stroberi ke hadapan Bintang. “Nih. Maaf coklatnya merk asal-asalan soalnya tadi belinya di warung. Lain kali aku beliin coklat yang beneran.”
Bintang mendenguskan tawa melihat benda di tangan Biru sebelum mengambilnya. Ia belum pernah melihat merk coklat itu sebelumnya.
“Sama aja yang penting judulnya coklat,” ucap Bintang sambil membuka pembungkusnya lalu mematahkan secuil untuk dimakannya. “Enak, kok.”
“Syukur, deh, kalo enak. Bikin mood bagus juga, kan?”
Bintang masih mengunyah coklat itu dalam mulutnya sementara tangannya kembali mematahkan secuil bagian lagi untuk diberikan kepada Biru.
“Mood aku bagus bukan karena coklatnya. Tapi yang ngasih coklat.”
Biru menerima potongan coklat dari Bintang dengan senyum cerah. “Masa?”
“Iya. Coba kalo yang ngasih coklat ini temenku tadi. Yang ada malah makin emosi akunya.”
Tergelak Biru mendengar komentar Bintang. Ia mengangguk setuju.
“Biru, kamu gimana kabarnya? Ada cerita apa gitu di kampus atau di rumah?”
Beberapa minggu ini memang keduanya belum sempat bertemu karena kesibukan masing-masing. Hanya bertukar kabar melalui pesan atau telepon.
“Kabarnya kangen Bintang, sih,” jawab Biru.
“Ih, yang bener jawabnya,” protes Bintang sembari mendorong pelan bahu Biru.
“Beneran. Emangnya kamu nggak kangen aku?”
“Ya, kangen. Maksudnya selain itu. Kamu sehat-sehat aja, kah? Apa pernah sakit selama nggak ketemu aku?”
“Sakit kangen.”
Bintang mendelikkan matanya mendengar jawaban Biru.
“Biru kamu sakit tapi sakitnya karena ketularan Hanan. Penyakit alay kronis!”
Biru tertawa keras hingga memegangi perutnya. Bintang memang lucu kalau sedang mengomel. Cowok itu kini sibuk menyedot susu stroberinya. Biru hanya mengamatinya sambil menopang wajah dengan satu tangannya.
“Buruan cerita kabar kamu gimanaaa,” desak Bintang. Setengah kesal karena Biru tak kunjung menjawab pertanyaannya dan setengah rikuh dipandangi pacarnya seperti itu.
“Aku sama sibuknya kayak kamu, deh. Tugas, ujian, tugas, ujian, proker, ngajarin Dinda. Eh, Dinda sekarang lagi suka nulis-nulis gitu, deh. Lucu banget.”
“Ya, ampun. Kangen banget sama Dinda. Dia nulis apa? Cerita?”
“Iya, cerita aneh-aneh gitu. Genrenya fantasi kayaknya.”
“Umur segitu emang imajinasinya lagi luas banget. Biarin aja, Ru. Bisa jadi bakatnya dia nanti.”
“He-eh, aku biarin aja dia nulis-nulis sampe habis berapa kertas gitu. Suka ketawa aku bacain ceritanya. Hiburan pas aku capek pulang kuliah.”
“Kirimin ke aku juga, dong. Aku mau baca,” pinta Bintang.
“Oke, nanti aku kasih liat. Dia juga kadang nanyain kamu. Tapi aku bilang kamunya lagi sibuk, belum bisa main ke rumah.”
Bintang mengerutkan alisnya sedih. “Kapan-kapan mau main ke tempat kamu. Kangen masakan ibu kamu juga.”
“Nanti kalo kamu udah agak longgaran.”
Biru dan Bintang terus bertukar cerita tentang apa yang mereka lewatkan selama beberapa saat tak bertemu. Tangan Bintang tak pernah lepas memegang jemari Biru dan Biru tentu saja menyadarinya. Dibiarkan gestur itu yang membuat hatinya menghangat.
“Eh, kamu nggak pegel duduk di lantai terus? Sini, naik aja,” ucap Bintang seraya menepuk ranjangnya. Sedari tadi Biru memang menghempaskan dirinya di lantai sementara Bintang sibuk bercerita.
Bintang menarik tangan Biru untuk bangkit berdiri dan duduk di sebelahnya. Ia lalu memposisikan dirinya agar dapat berhadapan dengan Biru. Senyumnya kembali terkembang.
“Kenapa senyum gitu?” tanya Biru meski dirinya juga tak dapat menahan untuk ikut tersenyum.
“Nggak papa. Seneng kamu di sini.”
Tak ada percakapan lagi. Hanya dua kepala yang saling berkonversasi melalui sepasang mata. Tangan Biru terulur untuk menghapus noda coklat di sudut bibir Bintang. Napasnya berhembus dengan teratur hingga kemudian ia mengambil keputusan untuk menutup jarak dengan menyatukan sepasang bibirnya dengan milik Bintang. Yang dicium perlahan menurunkan tangannya yang masih memegang sekotak susu yang hampir habis isinya. Dengan mata terpejam ia membiarkan dirinya terbawa oleh perasaan rindu yang telah memupuk untuk segera dilepaskan.
Rasanya selalu sama. Biru selalu menyimpan memori atas sensasi yang datangnya dari mencium bibir milik Bintang. Hanya saja kali ini ada sedikit rasa coklat bercampur dengan stroberi. Masih manis seperti biasa.
Biru berusaha untuk menjaga ritmenya. Ini bukanlah tempat di mana ia bisa dengan leluasa membebaskan hasratnya akan Bintang. Jadi ia hanya melepaskan ciuman-ciuman kecil, beberapa bertahan cukup lama, tak cukup lama untuk Bintang dapat berbuat sesuatu sebab Biru selalu menahan pergerakannya. Ketika Biru menarik dirinya ia mendapati wajah Bintang yang mengerut lucu.
“Nanti, ya?” bisiknya. “Jangan di sini. Aku nggak enak.”
“Bisa dikunci pintunya,” kilah Bintang bersungut-sungut dengan nada suaranya yang kecil.
Biru menenggelamkan Bintang dalam pelukan karena terlalu gemas. Meskipun Biru juga ingin, tetapi waktu dan tempatnya sangat tidak memungkinkan. Lagipula Biru tidak yakin ia dapat menahan diri untuk melakukan sesuatu yang mungkin mengejutkan Bintang. Ia menyimpannya untuk lain kali saja.
Suara ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Bintang segera menarik dirinya dari pelukan Biru.
“Abinnn!”
Itu suara ibunya. Bintang menghela napas sebelum akhirnya beranjak menuju pintu.
“Abin, kamu kenapa lagi? Kak Bulan nelfonin terus-” Ibunya segera menanyai Bintang setelah dibukakan pintu. “Ya, ampun. Itu belepotan coklat muka kamu.”
Bintang melebarkan matanya dan buru-buru mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Panik.
Sementara Bintang masih sibuk membersihkan noda coklat pada wajahnya, ibunya melongokkan kepala ke dalam kamar dan mendapati Biru yang masih duduk di sisi ranjang. Wanita itu tersenyum lebar.
“Eh, Biru. Maaf, ya, Bulan sampe nyuruh kamu ke sini. Abin kalo lagi ngambek sukanya gitu. Ngurung diri di kamar.”
“Iya, nggak apa-apa, Bun. Saya juga sekalian mau mampir ke sini. Udah lama nggak nengokin Abin sama Bunda.”
“Nanti makan malem di sini, ya? Bunda tadi bawa makanan. Beli macem-macem kesukaannya Abin gara-gara kakaknya nelfon ngasih tau kalo dia nggak mau keluar kamar.”
Biru menganggukkan kepalanya. “Iya, Bun. Abin udah baikan, kok. Tadi udah cerita banyak sama saya.”
Ibu Bintang kembali mengalihkan perhatiannya pada anak bungsunya. Disibaknya rambut anaknya itu lalu dibawanya ke dalam pelukan.
“Kamu sukanya bikin Bunda khawatir pas Bunda lagi sibuk. Untung ada Biru yang bisa nemenin. Lain kali kalo ada apa-apa bilang, jangan diem aja. Iya, kan, Ru?”
Biru mengangkat jempolnya setuju.
“Ya, udah. Bunda mau beres-beres dulu. Nanti ke meja makan, ya?” pinta ibunya sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamar Bintang.
Bintang menutup kembali pintu kamarnya dan segera menghampiri Biru.
“Ih, kok kamu nggak bilang muka aku coklat semua!” omel Bintang.
Biru terkekeh sambil berusaha membersihkan sisa coklat yang masih menghiasi sekitar bibir Bintang.
“Di kamu juga ada!” seru Bintang menunjuk wajah Biru. “Untung Bunda rabun jauh, nggak liat kamu belepotan coklat juga.”
Biru seketika mencondongkan wajahnya ke arah Bintang.
“Bersihin pake cara kayak tadi lagi, dong.”
“Apaan? Nggak. Malu ada Bunda.”
“Tadi katanya mau. Sekarang malah malu, gimana sih?”
Bintang mendesis gemas sebelum menoyor kepala Biru yang meringis sambil terkekeh puas. Sukses dibuatnya merah padam wajah pacar kesayangannya itu hingga ke telinga. Bintang lalu menyuruhnya untuk segera membersihkan wajahnya sebelum kakaknya yang datang ke kamar dan menginterogasi keduanya.