Life begins when we start learning colors.

Hari itu ruang kelas juga dipenuhi oleh gaduh yang menemani setiap hari. Tak lagi mengganggu, layaknya suara radio yang dibiarkan berbunyi untuk mengiringi kesibukanmu. Kepala kecilnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, kakinya yang menggantung di udara sebab kursi yang terlampau tinggi untuk tubuh mungilnya ia ayunkan sesuai irama lantunan lagu yang ia ciptakan sendiri pagi itu. Ia meletakkan pensil warna setelah berhasil mengisi laut dengan warna biru tua, tersenyum puas. Sekarang waktunya bagian terakhir yang ia tunggu-tunggu. Mengisi warna langit yang luas.

“Pinjam, ya!”

Seorang anak dengan tangan gempalnya menyerobot pensil warna biru muda yang hampir digunakannya untuk mewarnai langitnya yang luas.

“Ah-” Terlambat. Anak itu sudah mengambilnya dan membawanya lari bersamanya. Merasa sedih ayunan kakinya berhenti. Ia melihat sekeliling namun semuanya sibuk dengan gambar masing-masing. Siapa punya pensil warna biru muda?

“Hei, gambarmu bagus! Kenapa langitnya tidak diwarna?”

Mendongak untuk mendapati seorang anak laki-laki yang membawa buku gambarnya dalam dekapan, ia menjawab ragu-ragu.

“Aku nggak punya warna biru muda…”

Anak lelaki itu mengangkat alisnya heran. “Kan tidak harus biru muda?”

Namun ia tidak mengerti apa maksud ucapan anak itu. Langit harusnya warna biru, kan?

“Ayo, ke mejaku! Aku punya banyak sekali warna!”

Benar saja, begitu sampai di mejanya berbagai jenis pensil warna berserakan memenuhi permukaan mejanya. Matanya berbinar, mulutnya ternganga. Karena pensil warna miliknya hanya mempunyai dua belas warna saja. Di sini sepertinya ada berjuta-juta warna.

Oke, itu berlebihan.

“Aku boleh pinjam?” tanyanya hati-hati. Sedari tadi matanya sudah mengincar berbagai jenis warna biru.

“Boleh.”

Dengan semangat ia mengulurkan tangan kecilnya untuk menjangkau pensil warna biru sebelum anak itu menghentikan aksinya dengan pertanyaannya.

“Kamu beneran nggak mau coba warna lain?” tanyanya. “Apa warna kesukaan kamu?”

Berpikir sejenak untuk mengamati satu persatu pensil warna di atas meja, ia akhirnya menunjuk satu buah pensil dengan warna ungu muda. Anak itu mengambil dan menyerahkan untuknya.

“Ini? Kamu suka warna ungu?”

Mengangguk pelan sambil menerima pensil warna itu, ia tersenyum. Anak itu lalu menyuruhnya untuk mewarnai langitnya dengan warna ungu. Meskipun ragu karena bagaimana bisa langit memiliki warna ungu, namun ia tetap mencobanya. Lagipula ia tahu siapa anak ini. Namanya Kevin. Ia yang gambarannya selalu bagus di kelas. Jadi ia percaya saja padanya.

“Bagus, kan?” tanya Kevin setelah beberapa saat ia memenuhi kertasnya dengan warna kesukaannya.

“Bagus.”

Ia memandang takjub pada gambarannya sendiri. Ternyata langit tetap indah meski tidak harus berwarna biru.


Our eyes are attracted to the brighter ones.

“Changmin, cepetan! Bus-nya udah mau berangkat!”

“Iya, iya. Sebentar!”

Tergesa-gesa Changmin membawa toast-nya dalam gigitan lalu menyambar tasnya dan pontang-panting keluar dari rumahnya. Ia membagi toast miliknya dan menjejalkannya ke mulut Kevin yang terpaksa menerimanya dengan susah payah. Berlarian keduanya ke halte bus di mana pengemudinya sudah mengawasi mereka dengan wajah tak sabar.

Menghempaskan badan ke kursi bus, dua anak yang hampir kena marah itu menghela napas lega lalu tertawa cekikikan. Kevin mengeluarkan pemutar musiknya dan mulai menyumpal kedua telinganya. Kalau sudah begini biasanya Kevin akan sibuk dengan dunianya sendiri, jadi Changmin mencuri satu earbud-nya dan memasangnya ke telinga kiri. Lantunan musik mulai terdengar, menemani Changmin yang melemparkan pandangannya untuk menikmati pemandangan di luar jendela. Sesekali ia tersenyum melihat burung-burung yang terbang dan hinggap di pepohonan yang bunganya mulai bersemi. Warna merah muda yang indah.

Di sampingnya, Kevin juga menarik senyum. Namun pemandangan yang dilihatnya adalah sisi wajah Changmin yang tersenyum cerah.

*

Changmin selalu penasaran bagaimana rasanya jatuh cinta. Katanya hatimu akan berbunga-bunga, perutmu akan dipenuhi kupu-kupu. Tapi Changmin tidak mengerti itu semua. Menanyakannya pada Kevin juga sama saja, anak itu belum pernah jatuh cinta.

“Nggak tau, lah, Changmin. Aku belum pernah naksir orang,” ucap Kevin kala itu ketika Changmin mengganggunya yang sedang asyik membaca entah buku apa. Changmin hanya merengut lalu ikut merebahkan diri di sampingnya. Diamatinya awan dan langit dari sela-sela jari tangan yang diulurkannya.

“Tapi.” Kevin mulai menutup bukunya. “Katanya nggak semua orang mengalami itu kalau lagi jatuh cinta. Ada yang tiba-tiba merasa senang dan nyaman aja di sekitar orang itu.”

Changmin menolehkan kepalanya pada Kevin yang rupanya sudah lebih dulu menatap ke arahnya. “Kayak… gimana?”

“Kayak… kalau ada di deket orang itu, dia bisa ngerasa seneng dan pengen berlama-lama,” ucap Kevin sementara kedua pasang mata mereka bertemu untuk saling berkonversasi. Kevin melanjutkan ucapannya dengan suaranya yang semakin pelan sebab ia hanya bisa melihat wajah Changmin yang terfokus padanya. “Kayak- kalau liat ke dalam mata orang itu, dia bisa ikutan hanyut di dalamnya…”

Changmin dapat merasakan hembusan napas Kevin yang lembut menampar pipinya. Ia baru menyadari betapa Kevin terlihat sangat indah dari jarak sedekat ini. Tidak, Kevin selalu indah. Kevin selalu bertutur kata yang indah, gambarannya pun indah. Dari dulu Changmin selalu mengagumi Kevin. Itu sebabnya mengapa jantungnya saat ini tiba-tiba berdetak lebih kencang, kan?

*

Kevin tahu Changmin menyukai bunga matahari. Warna kuning dan oranye membuatnya bahagia, begitu kata Changmin. Ia memberikan biji bunga matahari yang kemudian berusaha Changmin tanam dan rawat hingga berbunga. Awalnya gagal karena Changmin terlambat menyiraminya, namun ia mencobanya lagi. Kevin memberinya segenggam biji bunga matahari lagi. Ada yang dimakan ulat, dan Changmin tetap tidak menyerah. Ia ingin menunjukkan bunga mataharinya nanti pada Kevin. Kevin seperti bunga matahari, kata Changmin.

Bagi Kevin, melihat Changmin setiap hari seperti melihat bunga matahari dari kecil hingga tumbuh bermekaran.

Hingga bunga matahari pertama Changmin mekar, ia memberikan itu pada Kevin. Hadiah ulang tahun. Changmin tidak tahu menyerahkan bunga matahari itu pada Kevin berarti ia menyerahkan hatinya juga. Karena di sepanjang waktu ia merawat bunga matahari itu, hanya ada Kevin dalam kepalanya. Ia ingin memberikan seluruh perasaan yang digunakan untuk merawat bunga itu hingga tumbuh kepada Kevin.

Sepertinya Changmin telah jatuh cinta.

*

Ternyata memang benar tidak semua orang merasakan kupu-kupu beterbangan di perut kala mereka sedang jatuh cinta. Alih-alih kupu-kupu, Changmin merasa dadanya berdesir aneh ketika anak kelas lain datang pada Kevin untuk meminta diajari sesuatu. Changmin tidak menyukainya.

“Kenapa diem aja?” Kevin akhirnya bertanya setelah sedari tadi ia hanya memperhatikan Changmin dari sudut matanya.

“Nggak apa-apa. Kenapa emangnya?” Changmin balas bertanya, nadanya ketus. “Kamu sibuk terus dari tadi.”

Kevin tersenyum geli. “Kan bantuin belajar masa nggak boleh?”

“Aku dicuekinnn,” keluh Changmin panjang-panjang.

Changmin itu mudah, Kevin hanya perlu memberinya hal-hal yang disukainya lalu ia akan kembali cerah. Kevin selalu tahu apa yang disukai Changmin. Hari ini adalah es krim vanila.

Kedai es krim berjarak satu blok dari sekolah selalu memberi mereka satu sekop lebih banyak karena mereka sering membeli es krim di sana. Tiga sekop untuk Changmin dan dua sekop untuk Kevin. Kevin tidak terlalu suka es krim.

“Ngajarin apa, sih, tadi?” celetuk Changmin dengan kerucut es krim di tangan. Ujung sepatunya membentuk garis-garis di tanah akibat badannya yang terayun pelan di atas ayunan taman.

“Bahasa,” balas Kevin singkat.

“Emangnya nggak bisa belajar sendiri?”

Kevin menatap ujung-ujung sepatunya yang terkena lelehan es krim. Jika tidak segera dibersihkan pasti akan meninggalkan noda. Tapi kepalanya lebih sibuk memikirkan sesuatu yang belakangan ini mengganggunya. Ia lalu menoleh pada Changmin yang masih berayun.

“Changmin, kamu naksir aku, ya?”

Tolehan cepat Changmin yang hampir membuat es krimnya terlempar malah membuat Kevin ingin tertawa. Ia hanya asal menebak. Namun reaksi Changmin membuatnya yakin kalo tebakannya benar.

Kalau dia beneran kaget berarti dia memang naksir kamu. Begitu kata teman-temannya.

Changmin bergumam pelan, tidak menjawab pertanyaan Kevin. Namun telinganya benar-benar merah. Seketika Kevin merutuk dalam hati. Sial.

“Itu es krimnya belepotan,” komentar Kevin beberapa saat kemudian. Ia bangkit dari ayunannya dan berjalan ke hadapan Changmin. Sedikit merendahkan badannya, tangan Kevin terulur untuk menyeka es krim di sudut bibir Changmin dengan ibu jarinya.

“Kevin, aku bisa bersihin sendi-”

A sudden kiss.

Rasanya tentu saja manis karena jejak es krim yang masih membekas di bibir mereka. Sensasi panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kali ini Changmin benar-benar paham apa yang dimaksud mereka mengenai kupu-kupu yang terbang dalam perutmu. Kupu-kupu dengan sayap yang paling besar.


Ignoring the bleak colors because they don’t seem pretty.

Jatuh cinta lalu menjalani hubungan dengan seseorang yang disayang rupanya tak selalu indah. Changmin pikir menjadi pacar Kevin adalah keinginan terbesarnya. Ternyata itu hanyalah awal dari inginnya yang selalu lebih dan lebih. Menginginkan seluruh perhatian Kevin padanya adalah awal dari rasa sakit yang diciptakannya sendiri.

Awan mendung berwarna abu-abu pekat. Langit pun semakin gelap. Hujan sebentar lagi akan turun. Tapi kaki Kevin masih sibuk melangkah untuk membawanya menemukan seseorang yang dicarinya. Khawatir yang bergelayut di pikirannya tak henti-hentinya membuat Kevin menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi.

Changmin hanya ingin pulang bersama. Berbagai klub kegiatan belajar yang diikutinya tak mengizinkannya untuk pulang lebih cepat. Ia terpaksa menyuruh Changmin untuk meninggalkannya, yang tentu saja ditolak. Anak itu memaksa untuk menunggu.

“Aku masih lama, Changmin. Kamu pulang aja.”

“Nggak mau. Kemarin-kemarin kamu pulang telat terus padahal kita udah rencana mau pergi beli peralatan melukis bareng. Aku tungguin kamu sampe selesai.”

“Ya, udah. Terserah. Aku pokoknya pulang sore banget.”

Kevin tak menemukan Changmin di manapun. Gerimis mulai turun membasahi seragam dan juga tasnya. Menyerah akhirnya ia berlari kecil menuju halte bus untuk pulang ke rumah. Mungkin Changmin juga sudah pulang.

Ia melihat anak itu di sana. Berteduh di dalam toko buku sambil mendekap kanvas juga sekantong alat lukis. Kevin terpaksa membawa badannya yang hampir basah kuyup ke dalam toko buku. Pendingin ruangan itu semakin membuatnya menggigil.

“Aku nyariin kamu ke mana-mana,” tegur Kevin saat ia sampai di dekat Changmin. Anak itu tak membalasnya, hanya sibuk memandangi hujan yang turun semakin deras di luar.

“Denger nggak, sih? Katanya mau nungguin, tapi malah pergi duluan.” Kevin melanjutkan lebih tajam. Ia menunggu Changmin untuk membuka suara tapi anak itu tetap bungkam. Hujan sore itu menemani hening keduanya.

Hingga tinggal titik-titik air hujan yang turun dengan jarang tersisa, Changmin memutar badannya. Barang yang ada dalam dekapannya ia jejalkan semuanya pada Kevin yang dengan sigap menerimanya.

“Buat klub gambar kamu.”

Setelahnya Changmin pergi meninggalkannya dengan semua peralatan lukis yang kini berpindah tangan. Kevin baru sadar ia memang membutuhkan barang-barang itu untuk kegiatan akhir minggu. Namun Kevin tidak sadar akan luka di siku Changmin hasil jatuh untuk berlomba lari dengan hujan mencapai toko buku.

Kevin semakin sibuk dengan segala kegiatan dan lomba yang diikutinya. Teman-teman dari klub belajarnya juga selalu menariknya ke perpustakaan saat jam istirahat tiba. Changmin terpaksa harus sendirian lagi.

Bunga matahari pemberian dari Changmin semakin pudar warnanya karena hampir layu. Tak sempat terurus oleh Kevin. Beberapa kali ia mencoba menyelamatkannya namun pada akhirnya bunga itu gugur juga.

Tak sampai seminggu setelahnya, hubungannya dengan Changmin yang kemudian harus ikut mati.


But there is always a reason why bright and bleak coexist, it makes life complete.

Menghirup udara di kota yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun membawa kembali semua memori yang menguap dari kepalanya. Jalanan sudah banyak berubah. Tetapi bangunannya masih terlihat sama. Kedai es krim di dekat sekolahnya dulu telah menjadi bangunan bertingkat satu, catnya masih sama. Warna merah muda.

Jalan menuju sekolah sudah banyak diperbaiki menjadi jauh lebih halus dari sebelumnya yang banyak rusak di sana-sini. Sepasang kakinya membawanya menyusuri jalanan itu menuju bangunan sekolahnya yang masih berdiri kokoh seperti beberapa tahun silam. Lagi-lagi hujan memori memenuhi kepalanya. Pelajaran menggambar setiap hari Rabu. Berlarian ke kantin begitu bel istirahat berbunyi untuk berebut makan siang. Ruang kelas yang tak pernah sepi kecuali saat hari libur. Bangku di dekat jendela di mana ia selalu duduk sambil melihat anak-anak kelas lain bermain bola di lapangan. Di depannya adalah punggung seseorang yang selalu menghabiskan waktunya membaca buku atau mencoret-coret buku gambarnya.

Mengembalikan sadarnya pada realita, ia berjalan mendekat ke ruang kelas yang ditempatinya dulu. Kali ini juga penuh dengan anak-anak berseragam seperti dulu. Ia hanya mengintip melalui sisi luar jendela paling jauh dari papan tulis.

Saat itu pelajaran menggambar juga. Ada anak yang menggambar lautan luas beserta burung-burung yang menggantung di langit jingganya. Sang guru mendekati anak itu dan menanyakan tentang gambarnya yang dijawab dengan antusias. Tanpa sadar ia ikut merekahkan senyum. Rasanya seperti melihat dirinya dahulu.

Dan Kevin yang kemudian menolehkan kepalanya ke arah jendela seusai menanyai muridnya tentang gambar lautnya. Tidak ada siapapun di sana.

Semenjak putusnya hubungannya dengan Changmin saat itu, tak sehari pun terlewat tanpa Kevin memikirkan Changmin. Karena itu juga terakhir kalinya ia melihat Changmin. Ia tidak tahu ke mana perginya anak itu. Semua orang yang ditanyainya hanya menjawab Changmin sudah pindah ke kota lain. Ditinggalkan seperti itu memberi sedih dan sesal yang begitu mendalam pada Kevin. Dan meski tempat ini selalu penuh dengan kenangannya bersama Changmin, Kevin tidak pernah ingin pergi. Ia yakin suatu saat Changmin akan kembali. Padanya, ke tempat ini.

Entah mengapa hari itu meskipun mendung Kevin ingin pergi ke kedai es krim setelah sekian lama. Dan meski ia tidak terlalu suka es krim, tetap dipesannya es krim rasa vanila. Kesukaan Changmin.

Kevin duduk di salah satu kursinya untuk menikmati es krimnya. Matanya yang hanya memandang kosong ke meja seketika kembali menemukan fokus akan sesuatu. Terkesiap Kevin bangkit dari duduknya secepat kilat, menyambar satu benda yang ditemukannya di atas meja itu lalu segera keluar dari kedai.

Langkah kakinya tak pernah berhenti hingga ia sampai di satu tempat. Taman dengan dua ayunan yang tak pernah diganti, dibiarkan menua hingga besinya berkarat dan berbunyi setiap ayunan itu bergerak. Kevin hampir menjatuhkan es krimnya.

Seseorang itu di sana. Mengayunkan kakinya seiring ayunannya bergerak pelan ke depan dan ke belakang. Memakai mantel juga syal tebal hingga setengah wajahnya tenggelam. Tapi Kevin tetap mengenalnya. Kakinya terasa berat ketika ia berusaha melangkah mendekati sosok itu.

Hingga ia tiba tepat di hadapannya. Tangannya terulur untuk mengangsurkan benda yang ditemukannya di kedai es krim tadi. Sebuah kertas gambar yang dihiasi pemandangan langit warna ungu.

“Punya kamu, kan?”

Benda itu diterima dengan senyum yang terpantul dari sorot matanya.

“Makasih, Kevin.”

Kevin membiarkan es krim miliknya jatuh ke tanah sebelum dirinya merengkuh seseorang itu kuat-kuat. Seakan takut ini hanyalah salah satu dari delusinya menunggu orang itu kembali.

Namun yang berada dalam dekapannya ini nyata. Hangat napasnya terasa di lehernya. Ia kembali mengeratkan peluknya.

“Changmin, bunga mataharinya tumbuh lagi. Warnanya bagus kayak yang selalu kamu bilang.”

Changmin mengangguk. Ia tahu bunga mataharinya pasti akan kembali mekar. Karena bunga itu tumbuh dari seseorang yang menghidupinya dengan seluruh perasaan.

ㅡfin.