Memori bahagia itu adalah sekumpulan gajah.
Suara motor berhenti di depan rumah Bintang bertepatan dengan Bintang yang selesai menyemprotkan parfum ke badannya. Disambarnya tas kecilnya dari atas meja lalu keluar dari kamar.
“Bunda, Abin pergi dulu yaa!” pamit Bintang sembari memakai sepatunya. Suara ibunya samar-samar terdengar dari dalam kamar.
Bintang berjalan cepat keluar rumah untuk menghampiri Biru yang menunggu di atas motor. Sosok kecil di balik punggungnya menyembulkan kepala begitu Bintang datang.
“Kak Abinnn!!!”
Bintang melebarkan mata melihat gadis mungil yang langsung menyerukan namanya itu. Diciumnya dengan gemas pipi gadis itu lalu dicubitnya pelan.
“Kak Abin, Kak Abin! Liat, rambut Dinda dikepang sama Ibu! Bagus, nggak?” tanya Adinda sambil menarik kedua kepangan rambutnya.
“Bagus! Cantik!” puji Bintang yang membuat Adinda terkikik senang.
“Dinda kakinya jangan goyang-goyang, nanti jatoh,” ucap Biru.
Bintang kemudian beralih kepada Biru. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga pacarnya itu sebelum membisikkan sesuatu.
“Selamat ulang tahun, Sayangnya Abin.”
Dihadiahinya Biru kecupan singkat di pipi. Biru menahan tangan Bintang sebelum cowok itu dapat menarik diri dan memberinya satu ciuman juga di pucuk hidungnya.
“Makasih, Sayang.” Biru merekahkan senyum. “Maaf ya, Dinda tiba-tiba pengen ikut pergi.”
“Nggak papa, dong. Biar makin seru. Iya kan, Din?” Bintang menoleh ke arah Adinda yang masih menggoyangkan kakinya lantaran tak sabar untuk segera pergi jalan-jalan hari ini.
Dari semalam Adinda sudah rewel kepingin melihat gajah asli. Selama ini ia hanya melihat dari buku pelajaran atau video di YouTube. Biru juga tidak sampai hati menolak keinginan adiknya demi acaranya sendiri dengan Bintang. Lagipula sudah lama juga Bintang ingin jalan-jalan bersama Adinda.
Sepanjang perjalanan Adinda terus mengoceh tentang gajah kepada Bintang. Saking gemasnya Bintang sampai menekan pipinya yang gembil berkali-kali. Tetapi Adinda sama sekali tidak terganggu, ia masih dengan semangat memberitahu semua informasi yang diketahuinya tentang gajah.
Begitu Biru menerima tiket masuk ke dalam kebun binatang, Adinda segera menarik tangan Biru dan Bintang lalu melompat-lompat tak sabar hingga kepang rambutnya ikut bergoyang kesana-kemari.
“Ayooo, mau ketemu gajah!!” seru Adinda.
“Pelan-pelan jalannya, Dinda,” tegur Biru. “Kasian Kak Abin ketarik-tarik tangannya.”
“Jalannya pada lambat,” protes Adinda. “Ayo, nanti gajahnya keburu tidur siang!”
Bintang tertawa mendengar ocehan adik Biru itu. Ia mengimbangi langkah kaki Adinda yang sudah sangat ingin sampai di kandang gajah.
Beruntung kandang gajah tempatnya di area depan dalam kebun binatang. Jadi mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh.
Adinda berseru kencang ketika ia melihat gerombolan berwarna abu dengan belalai panjang itu dari kejauhan. Dilepaskannya genggaman tangan Biru dan Bintang, kemudian ia berlari menuju sisi kandang yang dipagari dengan besi.
“Dinda, hati-hati! Ya, ampun.”
Biru segera mengejar adiknya yang sudah berlari lebih dulu, sementara Bintang hanya bisa tertawa melihat tingkah laku kakak beradik yang menurutnya sangat lucu itu. Ia melanjutkan langkahnya dengan tenang untuk menyusul keduanya yang sudah sampai di dekat kandang gajah.
“Gajah, Kak, gajah!” seru Adinda antusias ketika ia akhirnya melihat hewan yang biasanya hanya bisa dilihatnya di buku. Ia menunjuk ke arah salah satu gajah yang sedang mengulurkan belalainya.
“Keliatan, nggak? Sini Kakak gendong,” tawar Biru ketika ia melihat adiknya harus melompat-lompat untuk melihat gajah dari pagar besi yang terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya itu.
Adinda memekik girang ketika Biru mengangkat tubuhnya dan membiarkannya duduk di bahu. Sekarang ia benar-benar baru dapat melihat dengan jelas sekumpulan gajah di area yang besar itu. Ada induk gajah dan anak gajah yang sedang menikmati makanan mereka.
“Kak, ada yang kecil! Lucu banget!” pekik Adinda sembari memegangi kedua pipinya.
“Iya, kayak kamu itu yang kecil,” komentar Biru. “Yang agak gede di deketnya itu Kakak. Yang gede lagi itu Ibu.”
“Ayah mana?” tanya Adinda.
“Ayah yang itu, tuh.” Biru menunjuk seekor gajah yang sedang berteduh di pinggiran, hanya memandangi gerombolan yang lain. “Lagi istirahat sambil jagain keluarganya.”
Adinda tersenyum lebar sambil mengangguk lucu. Sedari tadi Bintang hanya memperhatikan keduanya dengan mata yang menyimpan sendu. Ia mengambil kameranya dari dalam tas dan mulai mengabadikan momen-momen berharga itu. Adinda yang tertawa lebar dengan semu merah di pipinya, Biru dengan senyum yang terpancar tak hanya dari bibir namun juga dari sepasang matanya.
“Yang itu Kak Abin!” seru Adinda tiba-tiba, menunjuk seekor gajah yang sedang menggesekkan kepalanya pada gajah yang ditunjuk sebagai Biru tadi. “Suka deket-deket sama Kak Biru, hehehe.”
Bintang sontak tersipu malu mendengar celetukan Adinda. Adik Biru itu memang suka diam-diam memperhatikan kedekatan Bintang dengan kakaknya.
“Iya, Din? Kak Abin suka deket-deket Kakak, ya?” ulang Biru, menggoda Bintang yang masih tersenyum rikuh. Ditariknya Bintang hingga pacarnya itu berdiri dekat di sisinya lalu dirangkul dengan sebelah tangannya.
“Deket-deket, semuanya deket-deket!” seru Adinda lalu merentangkan kedua lengan dan memeluk dirinya sendiri. “Kita adalah keluarga gajah!”
Biru dan Bintang seketika tergelak melihat tingkah Adinda yang kadang-kadang tak bisa ditebak itu. Bintang memeluk tubuh Biru dari samping, menunjuk ke arah gajah yang mulai berjalan mendekati mereka.
“Eh, tuh, gajahnya dateng dipanggil kamu, Din,” ujar Bintang.
Adinda mengerjapkan matanya cepat, seketika disergap kepanikan. Ia lalu menepuk-nepuk puncak kepala Biru.
“Ah, Kak, Kak! Kakakkk!!”
Biru segera menurunkan Adinda dari bahunya. Gadis itu berlari ke balik punggung Biru untuk bersembunyi.
“Lah, gimana sih, Din? Katanya mau liat gajah, kok malah takut pas didatengin?” komentar Biru sambil menahan tawa geli.
“Jangan terlalu deket gajahnya, Kakak! Gede banget Dinda takut! Nanti disemprot air pake belalai, gimana!?”
Bintang sudah terbahak sambil memegangi perutnya lantaran melihat ekspresi Adinda yang panik setengah mati.
“Kak Abin jangan ketawain Dinda!” protes Adinda yang membuat Bintang kembali tergelak. Ia lalu berusaha menghentikan tawanya sambil menyusut bulir air mata di sudut-sudut matanya.
“Habis Dinda lucu banget, sih,” ucap Bintang. “Padahal gajahnya mau ngajak kenalan.”
Adinda mengerucutkan bibirnya lalu mulai melangkah takut-takut ke sisi kandang. Gajah itu masih berdiri di sana dengan belalai yang bergoyang pelan.
“Gajah, jangan semprot Dinda, ya?” pesan Adinda sebelum gadis itu mengangkat tangannya. “Namaku Adinda. Nama kamu siapa, Gajah?”
“Namaku Dimas,” sahut Biru pelan dari belakang Adinda.
Mendengar suara kakaknya, Adinda langsung membalikkan badan dan memukul kaki kakaknya itu. “Bukan!”
Biru terkekeh geli atas reaksi adiknya. Bintang mengangkat alisnya bingung.
“Dimas siapa, Ru?” tanya Bintang.
“Temennya Dinda di sekolah yang suka dicie-ciein sama Dinda,” jawab Biru masih sambil tertawa kecil.
“Ih, Dinda nggak boleh pacaran dulu, ya?” ucap Bintang pada Adinda yang mengerutkan keningnya tak setuju.
“Siapa yang pacaran? Dinda nggak pacaran! Gara-gara Kak Biru, aaahhh!!!” protes Adinda kesal, namun pipinya bersemu merah menggemaskan.
Biru memang sengaja menggoda Adinda tentang teman lelakinya itu, tapi sebenarnya Bintang tahu kalau Biru juga yang paling overprotective pada adiknya. Ia bisa memprediksi bagaimana reaksi Biru kalau suatu hari nanti Adinda mempunyai gebetan betulan atau mengenalkan seseorang pada Biru. Membayangkannya saja sudah membuat Bintang ingin tertawa geli.
Bintang kembali menyaksikan pertengkaran kecil antara kakak beradik di depannya itu. Lagi-lagi ia mengabadikan momen itu, namun kali ini hanya melalui lensa matanya.
Hari sudah semakin sore ketika mereka akhirnya keluar dari pintu kebun binatang itu. Adinda terlalu banyak menghabiskan waktu di kandang gajah hingga ia terlalu lelah untuk melihat hewan-hewan yang lain. Namun setidaknya ia sudah puas menyaksikan makhluk bertelinga besar dan berhidung panjang itu, serta tak lagi rewel meminta Biru untuk mengajaknya ke kebun binatang.
Adinda berada di gendongan Bintang setelah ia minta dibelikan es krim. Mereka berjalan menuju bangku di dekat halaman parkir untuk duduk.
“Dinda tidur ya, Ru? Kok nggak ada suaranya?” tanya Bintang, meminta Biru untuk melihat Adinda yang meletakkan kepalanya di bahu Bintang.
“Iya, tidur,” jawab Biru setelah ia mengecek Adinda yang tertidur pulas di tengah-tengah ia memakan es krimnya. Diambilnya stik es krim yang masih digenggam adiknya lalu dibuang ke tempat sampah.
Bintang duduk di bangku dengan hati-hati, tak ingin membangunkan Adinda. Diusapnya kepala gadis itu dengan lembut. Biru ikut duduk di sampingnya. Pemandangan di hadapannya ini membuat hatinya terasa begitu hangat.
Bintang mendongakkan kepalanya setelah beberapa saat ia tak mendengar suara Biru. Cowok itu rupanya sedang memperhatikan Bintang dan Adinda dengan senyum yang tersemat di wajahnya.
“Kamu seneng nggak hari ini?” tanya Bintang, menjangkau tangan Biru untuk digenggam.
“Seneng banget,” ucap Biru tulus. “Sebenernya aku lebih seneng karena liat Dinda seneng. Udah lama aku nggak liat Dinda ketawa lepas kayak tadi.”
Bintang menarik napas sebelum membuka suara. “Aku juga seneng banget hari ini. Liat kamu sama Dinda kayak tadi, nggak tau kenapa rasanya pengen nangis.”
Biru tersenyum mendengar kalimat Bintang. Ia merapatkan dirinya pada pacarnya itu agar dapat menjatuhkan cium pada puncak kepalanya.
“Makasih udah jadi kakak yang baik buat Dinda,” bisik Bintang.
“Makasih juga udah bikin ulang tahun Biru hari ini jadi lengkap. Aku sayang kamu.” Biru balas berbisik.
Belum sempat Bintang membuka suara lagi, Adinda sudah terbangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya pelan.
“Kakak…”
“Dinda ngantuk, ya? Habis ini pulang, ya?” Biru mengambil Adinda dari gendongan Bintang untuk duduk di pangkuannya. Adinda langsung memeluk Biru dan meletakkan kepalanya di dada kakaknya.
“Dinda udah ngucapin selamat ulang tahun ke Kak Biru belom?” tanya Bintang.
Gadis itu mengangkat kepalanya lagi. Memandangi kakaknya yang tengah menunggunya berbicara.
“Selamat ulang tahun, Kak Biru,” ucapnya dengan suara yang masih serak.
“Hadiahnya mana?” todong Biru.
Adinda diam sejenak. Kemudian ia mengangkat tubuhnya untuk memberi satu ciuman singkat pada pipi kakaknya sebelum ia kembali tertidur di pelukan Biru.
Biru mendesahkan tawa. Adiknya memang selalu terlihat menggemaskan di matanya. Dipeluknya erat Adinda dan diciumnya puncak kepala gadis itu sebelum bangkit berdiri.
“Yuk, pulang,” ajak Biru pada Bintang yang kemudian ikut bangkit.
Corak jingga di langit mengiringi kepulangan mereka.
“Aku ada hadiah buat kamu sebenernya,” ucap Bintang setelah Biru kembali dari menidurkan Adinda di kamarnya.
“Eh, aku kan udah bilang nggak usah ngasih hadiah juga nggak papa. Kamu lagi sibuk banget kan, kemarin?”
“Iya, sih. Tapi rasanya kurang kalo nggak ngasih kamu sesuatu. Jadi aku bikinin kamu hadiah dari aku sendiri. Sederhana banget tapi semoga kamu suka.”
Biru akhirnya mulai penasaran dengan hadiah yang akan diberikan Bintang. Ia menerima bungkusan berbentuk segi empat itu dengan penuh harap.
“Aku buka, ya?”
Bintang menganggukkan kepalanya. Ikut harap-harap cemas selagi Biru mulai merobek kertas pembungkusnya. Tak henti ia memperhatikan ekspresi wajah Biru hingga benda itu terpampang nyata di depannya.
“Ini kamu bikin sendiri, Bin?” tanya Biru cepat. Matanya masih terpana melihat benda di tangannya.
“Iya. Nyontek dikit dari YouTube sih, tapi aku bikin semuanya sendiri,” ucap Bintang bangga.
Di tangan Biru adalah pigura foto sederhana dengan berbagai hiasan di tiap sisinya. Di dalamnya tersemat beberapa foto Biru dan Bintang yang sudah disusun sedemikian rupa dan dibubuhi beberapa coretan lucu dari Bintang.
“Lucu banget, sih. Nanti aku pajang di meja belajar.”
“Hehe, oke!”
Biru lalu meletakkan hadiahnya itu di atas meja sebelum meminta Bintang untuk mendekat.
“Sini, aku mau peluk.”
Biru menarik Bintang dan memeluknya erat seakan tak ada esok hari untuk memeluk pacarnya itu lagi. Diciuminya pipi Bintang berkali-kali hingga cowok itu mengeluh pelan.
“Biru, ih. Nanti Ibu tiba-tiba pulang gimana?”
“Lama Ibu kalo arisan,” ucap Biru. “Lagian siapa suruh kamu gemesin gini? Udah dibilang nggak usah ngasih hadiah malah dikasih pake bikin sendiri. Kan sayang?”
Bintang tersenyum memamerkan sederetan giginya. “Aku juga sayang Biru.”
“Kayaknya di kehidupan sebelumnya aku berhasil nyelametin negara, deh.”
Bintang mendengus geli mendengar candaan Biru. “Iya, kali?”
“Bin.”
“Yaa?”
“Jangan bosen sama aku, ya?”
“Enggak.”
“Eh, bosen nggak papa deng. Tapi jangan pergi.”
“Pergi ke mana? Pintunya udah ditutup, dikunci.” Bintang mengetuk dada Biru dengan telunjuknya. “Iya, kan?”
“Iya. Digembok juga, gemboknya tiga lapis.”
Bintang merebahkan kepalanya pada Biru sambil bergumam pelan. “Mau pergi ke mana juga? Ada-ada aja.”
Meski Bintang selalu menunjukkan rasa sayangnya pada Biru, dengan gamblang dan nyata, selalu ada setitik rasa takut yang tersimpan di belakang kepalanya. Semua kebahagiaan ini, Biru takut akan ada akhirnya. Takut bahagianya akan direnggut darinya. Entah perlahan atau dengan paksa.
Kebahagiaan yang ini. Kebahagiaan yang terdapat Bintang di dalamnya. Biru tidak tahu apakah ia sanggup untuk pulih jika suatu saat itu menghilang.
“Asal baliknya ke aku, nggak papa kamu mau pergi ke manapun. Asal kamu pulangnya tetep ke aku,” ucap Biru lirih.
Bintang mengangkat kepalanya dan mendapati Biru yang menatapnya dengan sepasang mata yang diselimuti selaput bening. Tangan Bintang terulur untuk menangkup sisi wajah Biru dan menjatuhkan ciuman lembut pada bibirnya.
“Kamu jangan mikir aneh-aneh. Itu bagian aku,” kelakar Bintang.
Biru menarik senyum tipis. Dibalasnya ciuman Bintang hingga ia lupa akan resahnya. Merasakan bibir Bintang rasanya seperti memasuki ruang yang pintu keluarnya hanya Bintang yang tahu. Biru terperangkap di dalam ruang yang waktu seakan mati di sana. Entah berjalan, entah berhenti. Yang Biru tahu ia bisa saja menghabiskan ribuan detik dalam ruang itu tanpa ia sadari. Sayangnya ia masih harus bernapas dalam ruangan itu. Paru-parunya masih butuh oksigen meski Biru siap mati.
“I wished every day was my birthday. So I could kiss you like this all day and just forget everything.”
“You're so silly. You can kiss me any day you want. I'm your boyfriend.“
“Mhm. You're Bintang and you're my boyfriend.“
“Mhm.”
“Damn, you're really my boyfriend.”
“Diem, ih. You're ruining the moment.“
“Udah selama ini tapi masih nggak percaya Bintang jadi pacarnya Biru. Inget nggak sih, dulu waktu kamu mergokin aku ngerokok-”
“Mulaiii.”
“Hahaha, terus aku impulsif bilang suka.”
“Sayang.”
“Hah, aku bilang sayang, ya?”
“Iya, haha.”
“Wah, parah…”
Percakapan yang hanya didengar oleh jam dinding, seekor cicak, dan sudut-sudut ruang yang mulai mendingin itu perlahan surut dan samar. Bertambah satu hari lagi yang akan tersimpan di dalam kotak memori masing-masing. Kali ini memori yang indah.