Changmin & The Boy No. 11

Rasa sakit langsung menyerang kepala ketika Changmin berusaha membuka kelopak matanya. Perlu beberapa waktu baginya mengenali ruangan di mana ia berada saat ini. Bau khas zat kimia memenuhi indra penciumannya saat ia menghirup napas.

Ini bukan lapangan basket.

“Changmin!” Seruan lega yang terlontar dari seseorang yang rupanya sejak tadi menunggui Changmin hingga temannya itu tersadar.

“Chanhee?” Changmin memanggilnya ragu, wajahnya menunjukkan ekspresi sakit saat ia mencoba untuk bangun. Chanhee buru-buru membantunya.

“Aduhhh, lo tuh ada-ada aja, deh! Bisa-bisanya pingsan di lapangan basket!”

Lapangan basket… Pingsan…

Otak Changmin menarik kembali serpihan ingatan sebelum ia tak sadarkan diri. Matanya melebar kala ia mulai menyatukan ingatannya.

“Chan! Gue mimpi aneh banget, sumpah.”

“Lagi pingsan sempet-sempetnya mimpi. Lo ini aneh banget Ji Changmin!”

“Serius. Gue mimpi… mimpi nembak Juyeon di tengah lapangan basket. Buset!”

Chanhee mengerutkan keningnya dalam sementara sahabatnya itu sibuk menepuk-nepuk pipinya, entah untuk menyadarkan diri bahwa itu hanyalah mimpi atau karena hal lain.

“Changmin, itu tuh-”

Kalimat Chanhee terpotong oleh suara pintu yang dibuka dari luar. Changmin yakin bola matanya hampir meloncat keluar ketika ia melihat siapa yang datang.

Lelaki dengan perawakan yang tinggi, masih ada sisa peluh di helai rambutnya. Lelaki yang setiap hari selalu memenuhi tak hanya lembar buku harian Changmin, namun juga pikirannya. Kini telah berdiri di hadapannya dengan sekotak susu dan sebungkus roti di tangannya.

“Kamu… nggak papa?”

Satu jam sebelumnya…

“Duh, orang-orang pada makan apa sih, kok bisa tinggi-tinggi banget begini?” keluh Changmin sembari berjinjit dengan susah payah untuk dapat melihat pertandingan basket yang sedang berlangsung di antara kerumunan siswa lain yang lebih dulu menguasai garis paling depan.

“Lo-nya yang boncel nggak, sih?” komentar Chanhee sambil mengipasi dirinya dengan tangan karena kepanasan. Kalau bukan karena Changmin sahabatnya, Chanhee tidak sudi harus berdesakan dengan banyak siswa yang bau keringatnya bercampur dengan parfum merk murahan.

“Hahh, gimana nih? Gue nggak bisa liat Juyeonnn.” Changmin menghela napas keras setelah akhirnya menyerah meloncat-loncat di balik punggung-punggung yang tingginya bak tembok besar cina.

“Besok kan masih ada pertandingan. Nonton besok aja, tapi datengnya lebih awal,” usul Chanhee.

“Nggak bisa, Chan. Sebagai fans sejati Juyeon gue nggak boleh ketinggalan satupun permainannya!” tekad Changmin.

Chanhee sudah tahu tabiat Changmin yang satu ini, tapi dirinya tetap pusing. Akhirnya dengan segala rasa kesal karena harus berada di bawah terik sinar matahari dan berjubel di padatnya manusia-manusia berkeringat daripada bersantai di ruang kelas yang ber-AC, Chanhee mengulurkan kedua tangannya untuk mendorong Changmin kuat-kuat.

“Udah sana lo maju ke depan!”

Tubuh mungil Changmin yang terkena dorongan tiba-tiba itu lantas merubuhkan beberapa anak yang menghalangi jalannya dan Changmin seketika jatuh terjerembap setelah menabrak punggung seorang pemain di lapangan. Kuat juga rupanya tenaga Chanhee kalau ia sedang emosi.

“ADUH!!!”

Seluruh lapangan seketika hening atau setidaknya itu yang tertangkap di telinga Changmin setelah dirinya jatuh. Suara bola yang membentur lantai lapangan beberapa kali hingga akhirnya berhenti membuat perasaan Changmin jadi tidak enak. Ia perlahan mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang barusan ditubruknya hingga terjatuh.

Demi laut dan seisinya… Changmin tiba-tiba mendengar suara malaikat bernyanyi di sekelilingnya. Sorot matahari yang menyinari sisi wajah cowok di hadapannya itu membutakan mata Changmin. Cowok dengan angka sebelas tercetak di bajunya.

Si cowok basket nomor sebelas! Lee Juyeon! Cowok yang sudah dikagumi Changmin sejak kelas sepuluh, yang lokernya penuh dengan surat setiap hariㅡsalah satunya dari Changmin, yang namanya tidak pernah absen dari buku harian Changmin di mana ia selalu mengawalinya dengan 'Hari ini Juyeon…'

Sekarang cowok itu hadir tepat di hadapannya. Ralat, tertabrak.

“Bolanya?”

Mata Changmin mengerjap saat Juyeon mengulurkan satu tangan untuk meminta bola yang berada di dekatnya. Buru-buru ia mengambil bola itu dan menyerahkannya pada sosok yang berusaha diyakininya dalam hati bahwa ia nyata. Berbagai skenario yang selalu Changmin mainkan dalam pikirannya dengan ia dan Juyeon sebagai pemeran utamanya, seperti skenario saat Changmin ingin menjadikan Juyeon sebagaiㅡ

”....pacar aku, ya…?”

Changmin sama sekali tak menyadari bibirnya telah menyuarakan apa yang sedang berlangsung di pikirannya. Alis Juyeon bertaut heran mendengar pertanyaan Changmin. Tangannya perlahan mengambil bola dari tangan Changmin, namun mulutnya juga mengucapkan sesuatu.

“Oke.”

Riuh sorakan dari seluruh lapangan yang sebelumnya hening memekakkan telinga Changmin lalu membawanya kembali ke realita.

Changmin seketika tak sadarkan diri.

“JADI BUKAN MIMPI??? CHANHEE, GUE BENERAN JADIAN SAMA JUYEON???”

“Mana gue tau!? Lo tanya aja langsung ke orangnya.” Chanhee mengurut pangkal hidungnya karena anak itu terus-terusan heboh setelah mengingat apa yang terjadi. Sungguh dirinya malu saat Changmin mengatakan itu di tengah-tengah lapangan basket yang penuh dengan manusia, namun menurutnya Juyeon lebih aneh sudah mengiyakan permintaan Changmin!

Changmin mencoba mengirimi Juyeon pesan karena ia sama sekali tak dapat berkutik saat tadi cowok itu datang untuk menaruh susu dan roti lalu pergi meninggalkannya.

[Changmin] Hai. Ini Changmin yang tadi pingsan. Juyeon, mau nanya- kita jadinya pacaran?

[Juyeon] Iya.

Membaca balasan pesan yang masuk akhirnya membuat Changmin berguling-guling hingga kasur rawatnya berdecit.

“Gue pacaran sama Juyeonnn!!!”

Tidak main-main, besoknya Changmin langsung dijemput Juyeon untuk berangkat ke sekolah. Malam sebelumnya Juyeon menanyakan alamat rumah Changmin supaya ia bisa menjemputnya. Changmin pikir cowok itu hanya basa-basi saja, tapi saat ia menemukan Juyeon di depan rumahnya lengkap dengan helm dan motornya, mulutnya seketika menganga.

“Makasih ya, Juyeon,” ucap Changmin setelah mereka sampai di parkiran sekolah.

Juyeon mengangguk singkat. “Saya ke kelas duluan, ya.”

Belum sempat Changmin menjawab, Juyeon sudah melenggang pergi meninggalkannya yang kebingungan.

Hah- 'saya'? Yang bener aja...

Tiba-tiba berubah status alias naik kasta menjadi pacar cowok yang digandrungi seluruh sekolah membuat Changmin otomatis jadi bahan pembicaraan. Kalau tadinya hanya teman sekelas yang mengetahui ada siswa bernama Changmin, kini bahkan sampai penjaga sekolah pun tahu siapa Changmin ini.

“Oh, yang katanya pingsan habis nembak nak Juyeon basket itu, kan?”

Kurang lebih informasi yang didapat mereka sama. Nembak, lapangan basket, pingsan. Kabar yang kurang elit sebenarnya, tapi Changmin hepi-hepi saja karena keinginannya untuk jadi pacar Juyeon terkabul walaupun dengan cara yang sangat absurd.

Sekarang Changmin jadi punya kebiasaan baru. Tiap istirahat kepalanya menyembul di pintu kelas Juyeon lalu dengan senyum lebarnya ia akan mengajak cowoknya itu ke kantin. Juyeon sempat terlihat kaget, namun akhirnya tetap diikutinya ajakan Changmin.

“Juyeon, mau makan apa?” tanya Changmin riang, memiringkan kepalanya saat melempar pertanyaan.

“Apa aja,” jawab Juyeon. Matanya memindai tiap sudut kantin, mencari tempat yang kosong.

“Hmm, aku pesenin bakso, ya?” usul Changmin yang langsung diangguki Juyeon sebelum cowok itu pergi mencari tempat. Changmin mengerutkan keningnya sejenak lalu beranjak untuk memesan dua mangkuk bakso.

Changmin menepukkan tangannya beberapa kali dengan binar di matanya saat menu mereka sudah terhidang di atas meja, lalu mengacungkan garpunya.

“Selamat makannn!!!”

Juyeon melirik ke arah Changmin yang mulai melahap bola-bola daging itu dengan semangat. Berdeham pelan, Juyeon kemudian mulai menikmati makanannya sendiri. Ia belum pernah memesan menu bakso di kantin ini, ternyata rasanya enak.

Diam-diam Changmin mengamati Juyeon yang sedang fokus pada mangkuknya. Tangannya menyambar botol kecap di atas meja.

“Mau pake kecap, nggak?”

Juyeon seketika mengangkat alisnya lalu menggeleng. “Enggak usah.”

“Oke.” Changmin menaruh kembali botol kecap itu ke tempatnya, lalu beralih menyiduk sambal. “Sambel?”

Lagi-lagi Juyeon menggeleng. “Saya nggak suka pedes.”

“Oh, oke…” Changmin menurunkan tangannya dengan perlahan. Batinnya langsung merutuk.

Argh! Bisa-bisanya gue nggak tau kalo Juyeon nggak suka pedes? Gue fans palsuuu!!! Oke, habis ini bakal gue tambahin di seratus fakta Juyeon.

Changmin mulai merasa jengah karena tidak ada pertukaran percakapan apapun yang terjadi kecuali saat ia menawari Juyeon tadi. Memang aturan saat makan kita tidak boleh banyak bicara, tapi kalau begini rasanya Changmin seperti makan bareng patung pahlawan.

Pahlawan penakluk hatinya Changmin. Hehe.

Kali lain kalau Juyeon sedang tidak ingin ke kantin, ia akan pergi ke perpustakaan. Changmin, sih, hanya bisa mengiyakan walaupun sebenarnya ia tidak pernah menginjakkan kakinya di sana. Pernah, satu kali saat pengenalan fasilitas sekolah masa orientasi.

Changmin berusaha memfokuskan perhatiannya pada deretan kalimat di novel yang diambilnya dengan asal di rak tadi. Baru beberapa menit membaca ia sudah merasa bosan. Changmin menoleh ke arah Juyeon yang tampak serius menekuni bukunya di sebelahnya. Sambil menopangkan kepalanya, Changmin beralih untuk fokus kepada Juyeon daripada bukunya. Lebih menarik.

Merasa ada sepasang mata yang terus melihat ke arahnya, Juyeon akhirnya mengangkat kepalanya. Didapatinya Changmin yang langsung nyengir lebar, memamerkan giginya.

“Kamu nggak baca?”

“Udah tadi dikit. Bosen,” ucap Changmin jujur.

Raut wajah Juyeon langsung berubah. “Kamu nggak suka di perpus, ya?”

“Eh, bukan gitu.” Changmin buru-buru mengibaskan tangannya. “Nggak biasa baca aja. Lebih suka baca webtoon.”

Juyeon mengangguk-angguk.

Webtoon… itu apa?”

HAH? Juyeon nggak tau webtoon!? Dia hidup di mana?

Changmin menganga karena terlalu syok. Ia kemudian langsung menjelaskan secara detail setelah sembuh dari keterkejutannya. Juyeon mendengarkan penjelasan Changmin dengan seksama, membuat Changmin menjadi salah tingkah karena seluruh perhatian cowok itu tertuju padanya.

“Kamu suka baca webtoon kayak apa?” tanya Juyeon setelah ia paham.

“Aku suka baca genre horor!”

Juyeon membuka mulutnya sejenak, mengangguk pelan. “Kamu sukanya baca yang kayak gitu.”

Setelah itu Juyeon kembali fokus pada bukunya tanpa berbincang dengan Changmin lagi, membuat Changmin seketika merasa gelisah.

Aduh, dia ilfeel ya? Tapi gue emang sukanya baca horor. Emang biasanya orang kayak dia baca yang gimana, sih?

Beberapa hari menjadi pacar Juyeon membuat Changmin sedikit banyak menyadari sesuatu. Ia tidak benar-benar tahu soal Juyeon. Semua hal yang ditulisnya tentang cowok itu di bukunya ternyata hanya sebagian kecil yang mungkin banyak orang sudah tahu. Changmin tidak tahu Juyeon tidak suka makan pedas, tidak tahu Juyeon lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca, tidak tahu Juyeon menyimpan makanan kucing di tasnya setiap hari agar ia bisa memberi makan kucing yang ditemuinya di jalanan. Changmin tidak tahu apa-apa selain fakta bahwa Juyeon adalah anak basket yang banyak dikagumi orang.

Selain itu Juyeon terlihat dingin padanya. Setiap Changmin mengajaknya bicara, Juyeon hanya menjawabnya singkat. Dan tidak seperti orang pacaran lainnya, jangankan berpelukan atau hal semacam itu, bergandengan tangan pun tidak pernah. Changmin jadi berpikir apa mereka ini benar-benar pacaran.

“Chan,” panggil Changmin di sela-sela makan siang mereka. Hari ini ia tidak menghampiri kelas Juyeon untuk mengajaknya makan.

“Hmm.” Chanhee masih sibuk mengunyah nasinya.

“Menurut lo aneh nggak sih, Juyeon mau pacaran sama gue?”

“Emang aneh,” ujar Chanhee tanpa basa-basi.

Changmin seketika mencebikkan bibirnya. “Aneh, ya?”

“Ya menurut lo aja. Dia nggak kenal sama lo sebelumnya, terus tiba-tiba ngeiyain ajakan lo buat pacaran. Menurut gue aneh?”

“Iya, sih…” Wajah Changmin langsung berubah murung. “Kira-kira kenapa ya, dia ngeiyain gue waktu itu? Apa jangan-jangan… dia cuma nggak enak karena gue nembak dia di depan banyak orang?”

Chanhee menjentikkan jarinya keras. “Bisa jadi!”

Changmin langsung menaruh kepalanya di atas kedua lengannya yang terlipat, merengek di sana. “Channn, jadi Juyeon nggak beneran suka sama gue?? Terus dia pacaran sama gue karena terpaksa???”

“Gue bingung Juyeon jadinya baik apa jahat kalo gini…” gumam Chanhee pada dirinya sendiri sebelum ia menarik lengan Changmin untuk menghadapnya lagi. “Tapi, Changmin. Ini semua baru spekulasi. Lo selama ini ngefans sama Juyeon sampe gue kenyang sama ocehan Juyeon lo sehari-hari. Sekarang lo udah sama dia, jadi nikmatin aja!”

Changmin menghela napas lesu. “Tau deh, Chan. Gue suka Juyeon tapi bukan kayak gini.”

Bel pulang sekolah berbunyi dan Changmin sedikit terkejut mendapati Juyeon menunggu di luar kelasnya. Mungkin cowok itu mencarinya karena tadi Changmin tidak mampir ke kelasnya seperti biasa. Changmin jadi lumayan senang.

“Changmin, saya ada latihan basket. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa?”

Changmin langsung memutar bola matanya kesal. Ia kira Juyeon mencarinya untuk mengajaknya pulang bersama.

“Aku tungguin kamu latihan, deh,” putus Changmin akhirnya.

Melihat Juyeon latihan basket memang sudah jadi rutinitas Changmin, tapi melihat cowok itu latihan dengan statusnya sebagai pacar rasanya berbeda. Changmin duduk di dekat tas ransel milik Juyeon sambil menonton cowoknya itu berlarian mengendalikan bola dan memasukkan ke ring lawan. Ia mengulas senyum tipis saat Juyeon berhasil mencetak poin lalu berseru senang bersama teman-temannya. Juyeon memang terlihat paling bersinar di lapangan basket, alasan mengapa Changmin jatuh hati waktu itu.

“Ini, minum.” Changmin mengulurkan sebotol air dingin yang dibelinya di kantin tadi saat latihan masih berlangsung. Juyeon menerimanya dengan sedikit ragu.

“Makasih.” Setelah Juyeon menghabiskan hampir setengah isi botol, ia bertanya kepada Changmin. “Kamu nggak mau pulang aja? Saya masih lama latihannya.”

Changmin mendesah. “Kan, aku pulangnya bareng kamu.”

“Oh…” Juyeon mengangguk kaku sebelum ia kembali ke lapangan atas panggilan kapten tim. Meninggalkan Changmin yang semakin dilanda rasa galau karena sikap Juyeon menunjukkan cowok itu tidak mau berlama-lama berada dekat Changmin.

Mengikuti langkah Juyeon ke parkiran membuat pikiran Changmin dipenuhi ketidakpastian dan keinginannya untuk menanyakan sesuatu pada Juyeon.

“Juyeon.” Panggilan Changmin serta-merta menghentikan langkah Juyeon. Cowok itu membalikkan badannya seraya mengangkat alisnya. “Kamu… kamu kenapa mau pacaran sama aku?”

Changmin memperhatikan raut wajah Juyeon yang tiba-tiba mengeras.

“Kamu nggak kenal sama aku, kan? Terus kenapa kamu iyain aku waktu itu?” cecar Changmin.

“Saya-”

Melihat Juyeon tergeragap untuk menjawab pertanyaannya membuat Changmin ingin menangis. Dugaannya ternyata benar bahwa Juyeon hanya terpaksa memacarinya.

Changmin seketika berjongkok sembari membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya, mulai menangis sungguhan. Juyeon melebarkan matanya kaget melihat Changmin yang tiba-tiba menangis di depannya.

“Ch- Changmin, jangan nangis.”

“Kita, tuh, nggak kayak orang pacaran. Kamu cuek banget sama aku. Jujur, kamu terpaksa kan jawab iya pas aku nembak kamu di lapangan basket? Biar aku nggak malu?”

Tidak ada jawaban dari mulut Juyeon hingga Changmin mendongakkan kepalanya mendesak cowok itu bersuara.

“Iya, sih…” ucap Juyeon akhirnya.

Changmin membenamkan kepalanya lagi, tangisnya semakin keras. “Tuh, kan, benerrr??? Kamu terpaksa jadi pacar akuuu!!”

Juyeon melangkahkan kakinya mendekati Changmin, kedua tangannya terhenti kaku di udara karena ia tidak tahu bagaimana menenangkan cowok yang menangis di hadapannya ini.

“Changmin, maksud saya bukan gitu…”

Serentak Changmin bangkit berdiri mengagetkan Juyeon. Kedua matanya sudah merah karena tangis.

“Tuh, kamu ngomong sama aku aja pake 'saya'. Kayak ngomong sama guru! Aku ini pacar atau guru kamu??”

Juyeon mengamati Changmin yang mulai melangkahkan kakinya cepat melewatinya. “Changmin, kamu mau ke mana?”

“Aku pulang sendiri aja!”

Sudah hampir seminggu Chanhee melihat Changmin tidak bersemangat lagi seperti biasanya. Nama Juyeon pun tak lagi terdengar dari mulutnya.

“Nanti ada pertandingan basket, tuh. Mau liat, nggak?”

“Nggak,” jawab Changmin singkat seraya menyambar tasnya sebelum beranjak pulang. Chanhee tidak tahu masalah apa yang terjadi antara Changmin dan Juyeon, tapi melihat sahabatnya itu tak lagi antusias membicarakan si anak basket nomor sebelas membuatnya sedikit sedih.

Changmin sebenarnya hanya merasa bingung pada dirinya sendiri. Dipikir-pikir lagi, ini semua adalah salahnya. Membangun imajinasi atas Juyeon dari secuil informasi yang diketahuinya tanpa benar-benar mengenal cowok itu. Sekarang saat semuanya tak sejalan seperti bayangannya, Changmin malah marah pada Juyeon. Tapi, kenapa cowok itu tak menolaknya kala itu di lapangan basket? Hanya karena sungkan? Memangnya Changmin siapa sampai Juyeon harus merasa tidak enak padanya?

“Dasar nyebelin!” Changmin menendang kerikil yang kemudian membentur ujung sepatu milik seseorang. Changmin seketika berhenti. Saat ia perlahan mengangkat wajahnya, dahinya langsung bertemu dengan sensasi dingin.

Juyeon mengulurkan satu cup es krim.

“Suka es krim, kan?”

Changmin menyambar es krim itu dari tangan Juyeon seraya menghela napas. “Suka.” Ia melihat sekilas pada wadahnya dan bertanya-tanya dari mana Juyeon tahu rasa es krim favoritnya.

“Changmin, saya mau ngomong sesuatu.”

Keduanya duduk di bangku panjang dekat taman belakang sekolah. Sepi saat jam pulang sekolah begini.

“Kamu bukannya ada pertandingan nanti?” tanya Changmin berusaha terdengar acuh tak acuh sambil menikmati es krimnya.

“Iya…” balas Juyeon lambat, ia kemudian melanjutkan. “Saya nggak mau tanding kalo kamu nggak nonton.”

“Hah?” Changmin menolehkan kepalanya cepat. Heran dengan ucapan Juyeon barusan.

“Changmin, saya-” Juyeon menjeda kalimatnya untuk menarik napas dalam-dalam. “Sebenernya saya udah lama merhatiin kamu. Surat-surat dari kamu juga saya simpen. Surat yang ada stiker senyumnya, sama kayak pin di tas sama seragam kamu. Saya juga sering liat kamu di antara anak-anak yang nonton basket.”

Changmin sama sekali tidak dapat bersuara. Semua pernyataan dari Juyeon bertubi-tubi menyerang kesadarannya, merasa ini hanyalah mimpinya di siang bolong seperti biasanya.

“Soal di lapangan basket itu, memang saya terpaksa bilang iya. Karena saya sebenernya pengen kenalan dulu sama kamu, bukan langsung pacaran. Tapi otak saya nggak bisa mikir. Saya kaget kamu tiba-tiba bilang begitu. Maaf, ya?” Juyeon mencoba membaca ekspresi wajah Changmin yang masih belum menanggapinya. “Saya sebenernya takut kalo kamu jadi nggak suka sama saya, karena yang kamu tulis di surat tentang saya itu bukan semuanya yang kamu tahu. Maaf kalo saya nggak kayak yang ada di pikiran kamu. Saya belum pernah pacaran juga, jadi saya nggak tahu gimana caranya memperlakukan kamu sebagai pacar. Saya selalu nervous kalo di deket kamu. Maaf kamu jadi nangkepnya lain.”

“Juyeon… kamu…”

“Tapi saya beneran suka sama kamu, Changmin.”

Wadah es krim Changmin yang isinya sudah meleleh itu terjatuh ke tanah. Changmin benar-benar tertegun tak mempercayai apa yang barusan didengarnya. Ini Lee Juyeon, cowok basket nomor sebelas yang selalu menghiasi buku hariannya. Dan barusan apaㅡ cowok itu bilang suka padanya!?

“Kamu nggak lagi mabok kan, Juyeon? Atau aku yang mabok, ya?” Changmin memukul pelan pelipisnya sendiri supaya ia sadar.

“Saya nggak suka minum-minum kok, Changmin,” jawab Juyeon serius. Mau tak mau membuat Changmin mendenguskan tawa tak percaya karena cowok ini sangat… polos?

Sekarang Changmin terheran karena Juyeon tiba-tiba memejamkan matanya erat. Lama Changmin hanya menunggunya tak melakukan apa-apa.

“Juyeon, kamu ngapain?”

Juyeon membuka satu matanya untuk mengintip Changmin. “Saya- mau nyium kamu.”

Changmin seketika terbelalak. “Mau nyium apa mau main petak umpet? Kalo aku kabur gimana? Kamu mau nyium tembok?”

“Habis temen saya bilang kalo mau ciuman harus tutup mata dulu.” Juyeon menggaruk kepalanya bingung.

Changmin mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan tawa. Pelan-pelan ia mengulurkan kedua lengannya untuk meraih sisi wajah Juyeon sebelum memberikan kecupan singkat pada bibir cowok itu. Juyeon mengerjapkan matanya kaget atas aksi Changmin yang tiba-tiba itu.

“Mulai sekarang kamu aku training dulu, deh. Buat jadi pacar.”

Juyeon merekahkan senyum mendengar ucapan Changmin.

“Kamu nanti mau nonton sa- eh, aku tanding?”

Changmin tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya.

“Oke! Saya jadi semangat kalo ada kamu yang nonton. Sekarang saya nggak perlu pusing lagi soal kamu yang jadi pacar saya. Kamu mau bantuin saya jadi pacar yang baik kan, Changmin? Eh- barusan aku ngomong 'saya' lagi, ya?”

Changmin menerima uluran tangan Juyeon yang mengajaknya berdiri. Ia akhirnya memecah tawa atas perilaku Juyeon yang menurutnya sangat lucu, yang tidak pernah ia ketahui selama bertahun-tahun mengagumi Juyeon dalam diam.

Tapi tidak apa-apa, sepertinya menjadi pacar Juyeon si cowok basket nomor sebelas akan menjadi suatu petualangan yang asyik.

ㅡfin.

(feel free to send your feedbacks here https://curiouscat.qa/gidigidiup)