“Selamat ulang tahun, Juyeon.”

Empat kata yang selalu aku ucapkan setiap hari kelimabelas di awal tahun. Hari yang spesial tidak hanya untuk sahabatku, tapi juga untukku. Duapuluh tiga tahun menemaninya tumbuh bersama, meskipun hari ulang tahunku jaraknya bagaikan ujung utara dan ujung selatan. Pokoknya kita seumuran! Yakinku padanya.

Merayakan ulang tahunnya yang ketujuh, kesepuluh, rasanya hanya seperti mengadakan pesta yang dihadiri teman-teman. Bertambah setahun lagi umurnya. Tapi aku tidak tahu sejak kapan, melihatnya bermain bola basket di bawah temaram sinar mentari yang mulai surut dan meninggalkan siluet atas figurnya, menggerakkan sesuatu di dalam batinku.

Juyeon bukan lagi seorang anak yang sering dikerjai oleh teman-temannya, yang selalu datang mengadu padaku supaya aku bisa memarahi mereka. Dialah yang sekarang menghadang bola basket dengan badannya agar tak mengenai kepalaku kalau aku sedang melihatnya bermain. Atau mengambilkan buku di rak tertinggi saat tanganku tak bisa meraihnya. Sambil, tentu saja, melontarkan ejekan 'dasar pendek' padaku seraya mengetukkan pelan ujung buku ke dahiku. Sejak kapan, sih, dia tumbuh tinggi menjulang seperti itu?

Buku adalah barang favoritnya. Tidak, sebenarnya bukan buku. Tapi bagaimana ia bisa menemukan pemikiran yang istimewa pada lembaran yang ia baca. Terkadang ia suka meminjam pangkuanku untuk meletakkan kepalanya dan mulai membaca, sambil sesekali berceletuk tentang sesuatu yang dianggapnya menarik walaupun aku tidak benar-benar mengerti. Namun aku tetap mendengarkan. Lalu ia akan terlelap dengan buku yang tertelungkup di dadanya.

Juyeon suka bertualang, menemukan tempat-tempat baru yang menarik. Tapi aku lebih suka diam di rumah, mendapatkan kebahagiaan kecil dari sekadar menonton film atau menggambar. Ia selalu menarikku untuk keluar dari kamar. Dulu aku sering mengeluh setiap kali ia melakukan itu, tapi sekarang aku lebih sibuk menata jantungku yang berisik karena tangan lebarnya yang menggenggam tanganku.

Aneh. Padahal ini cuma Juyeon.

Tapi lebih aneh lagi saat Juyeon mulai mendapat surat dari penggemar rahasianya, katanya. Juga coklat-coklat yang didapatnya saat hari kasih sayang. Ia akan menyimpan surat-surat beserta coklat yang dibungkus dengan apik itu ke dalam tasnya untuk disebar di atas meja saat pulang sekolah, mulai membaca satu persatu surat itu sembari mengunyah coklat di atas ranjang milikku. Ada perasaan aneh yang terlintas. Iri? Entahlah. Padahal aku juga mendapatkan coklat walaupun tidak sebanyak miliknya.

Ada saat di mana kami mulai bertemu dengan orang-orang baru, menjalin pertemanan dengan lingkaran yang baru. Sedikit membuat kami jauh, tak lagi banyak menghabiskan waktu bersama. Namun aku yang benar-benar awam ini, terpaksa harus mendapatkan patah hati pertama. Saat itu aku menghubungi Juyeon, ia segera datang tanpa banyak berucap. Hanya memelukku erat dan rasanya aku seperti kembali pulang ke rumah.

Juyeon juga sempat bertemu dengan beberapa orang, namun hubungan mereka tidak pernah berjalan lama. Aku sempat bilang padanya, kalau tidak serius mending tidak usah. Tapi Juyeon menjawab ia hanya sedang mencari. Aku tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya ia cari.

Cahaya yang memancar dari api yang menyala di lilin berbentuk angka dua dan tiga itu menerangi wajah Juyeon, membiaskan senyumnya yang selalu aku senangi. Ia memejamkan mata sejenak sambil menautkan kedua tangannya, memanjatkan doa.

Aku juga mengucap doa di dalam hati.

Tuhan, untuk menempatkan aku di keberadaan yang sama dengannya, aku berterima kasih. Tuhan, untuk masih bisa melihatnya bertambah satu tahun di sisinya, aku berterima kasih. Tuhan, untuk segala kasih dan sayang yang tercurah padanya, aku berterima kasih. Dan Tuhan, untuk menyadarkanku bahwa ia adalah seseorang yang aku inginkan ada di hidupku selama aku masih bisa bernapas, aku berterima kasih.

Setelah Juyeon meniup lilin, aku memberikan tepuk tangan yang riuh. Juyeon beralih menarik tanganku, menggenggamnya dalam kedua tangan. Aku menatap kedua matanya yang menyimpan harapan sebelum menarik diriku lebih dekat padanya, menumpukan beratku pada ujung kaki. Memberikan satu kecupan singkat pada ujung hidungnya yang dibalasnya dengan mendekapku erat dan ciuman yang dalam pada dahiku.

“For more years to come?”

“For more years to come.”

jukyu