Semuanya dimulai dari sini, di ruang UKS...

Cowok itu datang lagi. Dengan ujung seragam yang tak dimasukkan rapi, tak memakai dasi dan topi meski hari itu upacara, dan tali sepatu yang tidak terikat sempurna.

Changmin segera menghampiri cowok yang tengah membaringkan dirinya di kasur UKS itu.

“Sakit? Keluhannya apa?”

“Hmm… pusing.”

Alasan yang sama yang digunakannya hari Senin lalu. Changmin beranjak untuk mengambilkan obat namun cowok itu segera mencegahnya.

“Nggak usah. Gue, tuh, nggak bisa kena matahari.” Ia menggerakkan tangannya ke arah kepala, wajahnya terlihat serius. “Jadi kalo upacara suka pusing. Nggak perlu minum obat, kok. Gue cuma butuh baring sebentar aja.”

Changmin melipat tangannya, satu kakinya tak henti bergoyang selagi ia menunggu cowok yang katanya hanya “berbaring sebentar” itu untuk bangun. Upacara sudah hampir selesai tapi satu-satunya pasien di UKS itu masih tertidur pulas. Ngorok, lagi.

Bel masuk jam pertama berbunyi. Changmin harus segera masuk ke kelas. Mau tak mau ia membangunkan cowok yang sepertinya masih asyik di dunia mimpi itu.

“Sori, udah bel masuk. Lo masih mau istirahat di sini atau…?”

“Oh, udah kelar upacaranya, ya?”

Cowok itu mengusap air liur di sudut bibirnya yang membuat Changmin mengernyit jijik.

Gila, jorok banget!

Melompat turun dari kasur, cowok itu mengambil beberapa butir permen dari dalam wadah di atas meja UKS sebelum melambai singkat pada Changmin.

Thanks, ya!”

Changmin memperhatikan cowok itu keluar ruangan UKS sambil bersiul ringan. Setelah merapikan kembali kasur yang barusan ditempati, Changmin menutup ruang UKS sambil mengingat nama di seragam cowok tadi.

Kim Sunwoo. X-8.


“Changmin! Masuk les, kan, nanti?”

Pelajaran hari itu berakhir. Changmin tengah membereskan bukunya ketika Chanhee, teman sebangkunya bertanya.

“Iya. Kita makan siang dulu, yuk, di luar,” ajak Changmin.

Keduanya berjalan melewati lapangan depan sekolah yang kalau pagi hari berfungsi menjadi parkiran motor dan seusai sekolah baru kembali berfungsi sesuai kodratnya alias lapangan untuk olahraga seperti basket atau futsal. Siang itu lapangan dipakai oleh sekelompok anak-anak futsal. Chanhee menarik tangan Changmin untuk berjalan lebih cepat karena ia tidak mau terkena timpukan bola. Changmin melirik sekilas para siswa yang sedang berebut bola itu. Ia merasa melihat seseorang yang familiar hingga ia tolehkan kembali kepalanya dalam hitungan detik.

Bener, kan? Itu bocah yang tadi? Changmin kemudian mendongak ke arah langit yang jelas-jelas sedang panas-panasnya. Kok dia nggak kenapa-napa?

“Changmin! Ih, gue dari tadi ngomong sendiri,” protes Chanhee yang rupanya dibiarkan terus berjalan sementara Changmin berhenti untuk melihat anak-anak futsal itu. “Lo ngapain, sih?”

“Hah, engga,” kilah Changmin sebelum menggandeng Chanhee untuk melangkah kembali menuju gerbang. “Cuma bingung aja. Kalo ada orang bilang dia nggak bisa kena matahari, tuh, maksudnya apa?”

“Bukan orang itu, mah, vampir!”

Chanhee terbahak atas ucapannya sendiri. Namun Changmin justru larut dalam pikirannya hingga ia menarik satu kesimpulan yang membuatnya geram.

“Sialan, gue ditipu!!”


Changmin tak sabar menunggu hari Senin datang, ia ingin memastikan apakah cowok itu akan datang lagi ke UKS. Kalau benar berarti ia hanya memakai alasan alergi mataharinya untuk tidak mengikuti upacara.

Benar saja. Cowok dengan nama Kim Sunwoo yang tersemat di seragamnya itu lagi-lagi datang ke UKS. Kali ini ia melempar senyum kecil pada Changmin sebelum berjalan menuju kasur, seakan-akan menganggap Changmin sudah tahu tanpa ia harus menjelaskan lagi. Namun begitu kepala Sunwoo bertemu bantal, ia langsung disambut dengan seruan galak Changmin.

“Penipu lo, ya!”

“Hah?”

Sunwoo tidak jadi menaruh kepalanya. Ia duduk di atas kasur sambil menatap Changmin yang berkacak pinggang di depannya dengan bingung. Bukannya takut dengan ekspresi Changmin yang jelas-jelas sedang marah, Sunwoo malah mengira cowok itu sedang mengalami sesuatu yang buruk.

“Lo!” Changmin menunjuknya tepat di muka. “Lo bilang nggak bisa kena matahari, makanya lo nggak ikutan upacara. Tapi gue sempet liat lo main futsal siang-siang, pas matahari lagi panas-panasnya! Dan lo nggak ada, tuh, keliatan pusing sampe harus rebahan di kasur kayak gini??”

Sunwoo mengangkat alisnya takjub mendengar rentetan omelan Changmin yang menurutnya sudah seperti rapnya Eminem itu. Ia hanya mengerjapkan matanya beberapa kali setelah Changmin selesai mengomel lalu perlahan satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.

“Oh, udah tau, ya?”

Mendengar tanggapan yang sangat enteng dan tanpa rasa bersalah itu membuat Changmin membelalakkan matanya.

“Tapi gue masih boleh tidur di sini, kan?”

Sunwoo sudah bersiap untuk rebah kembali ketika tangannya tiba-tiba ditarik dengan kuat.

“Nggak boleh! Gue laporin ke guru BK, ya!”

Ancaman Changmin berhasil membuat Sunwoo panik. Ia melompat dari kasur dan melangkah lebar mendahului Changmin mencapai pintu. Dengan sigap dikuncinya pintu UKS lalu dikantonginya kunci itu.

“Weits, nggak boleh. Mau ke mana?”

“Heh, siniin kuncinya!”

Changmin berusaha menarik seragam Sunwoo namun cowok itu sangat lihai berkelit. Dua tangan Changmin terulur ke arah kepala Sunwoo dan berhasil menjambak rambutnya hingga tubuh cowok itu membungkuk. Namun tenaga Changmin yang berlebihan itu membuatnya terdorong mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak tepi kasur.

“Aduhhh!!!”

Keduanya berseru bersamaan. Changmin merasakan nyeri hebat di tulang punggungnya sementara Sunwoo merasa kulit kepalanya akan lepas. Beberapa detik kemudian mereka baru menyadari posisi tubuh mereka yang berhimpitan tanpa ada celah.

Changmin dapat merasakan hembus napas Sunwoo pada wajahnya. Bergerak sedikit saja kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Debaran jantung yang keras terasa di dadanya, Changmin tidak tahu itu milik siapa.

“Aaahhh, minggir, minggir!!” pekik Changmin heboh. “Lo mau ngapain!??”

Sunwoo refleks menarik diri lantaran suara Changmin yang nyaring menyakiti telinganya. Ia mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit hasil jambakan Changmin. Sunwoo yakin ada beberapa helai rambutnya yang tercabut.

“Eh, kok lo pake kekerasan, sih? Gue juga bisa aduin lo ke BK,” protes Sunwoo.

Mata Changmin melebar ketika Sunwoo melangkah menuju pintu. Tergesa ia mengejar cowok itu lalu menarik bagian belakang seragamnya hingga tubuhnya oleng. Namun yang terjadi kemudian membuat keduanya tercekat.

Pranggg!!!

Beberapa wadah obat jatuh ke lantai. Isinya berceceran keluar. Changmin menatapnya dengan horor.

“Kenapa lo jatohin semua obatnya???”

“Eh, gara-gara lo narik baju gue!”


Suara gaduh samar-samar terdengar dari ruang BK. Seorang guru perempuan tengah memberikan ceramah panjang lebar pada dua siswa yang menundukkan kepala. Yang satu tampak kesal sekaligus muram, sedangkan yang lain berkali-kali berusaha menahan uap kantuknya.

“Ngerti, ya, Changmin? Kamu sudah kelas dua belas. Fokus kamu harusnya ke persiapan ujian, bukannya bikin keributan seperti ini. Lebih prihatin lagi, jangan sampai kamu dapat catatan siswa berkelakuan buruk.”

“Iya, Bu. Saya minta maaf.”

“Dan kamu, Sunwoo.” Guru perempuan itu beralih pada Sunwoo yang segera mengatupkan mulutnya dari menguap lebar. “Sudah berapa kali kamu masuk ke ruangan ini?”

“Hmm…” Sunwoo menghitung dengan jarinya lalu menggaruk kepalanya. “Lupa, Bu.”

“Kamu masih kelas sepuluh. Tapi catatan buruk kamu sudah banyak. Kamu masih bawa kebiasaan kamu dari SMP ke sini? Mau jadi anak kecil terus?”

“Nggak, Bu…”

Guru perempuan itu menghela napas. Kelihatan lelah untuk menasihati Sunwoo lebih banyak karena anak itu tampaknya tak benar-benar mendengarkan.

“Ya, sudah. Ibu ada kelas habis ini. Kamu bantu Changmin bersihin UKS, nanti Ibu cek ruangannya.”


Sejak saat itu Sunwoo jadi musuh terbaru Changmin di sekolah selain Matematika. Sialnya, sejak itu pula wajah Sunwoo jadi lebih sering ditemui Changmin. Hampir setiap hari.

“Kayaknya bener, deh, semakin kita benci sama orang, orang itu malah sering nongol depan kita,” keluh Changmin pada Chanhee pagi itu.

“Kenapa lo?” tanya Chanhee heran. Pagi-pagi wajah temannya itu sudah kusut.

Changmin menjatuhkan dirinya di bangku sambil menghela napas keras. “Gue ketemu lagi sama tuh bocah di gerbang.”

“Oh, Su- Siapa namanya?”

“Sunwoo.”

“Iya, Sunwoo. Dia ada minta maaf sama lo, nggak?”

“Nggak!” seru Changmin kesal. “Tuh anak kayaknya nggak merasa bersalah sama sekali.”

“Anak kelas sepuluh zaman sekarang kelakuannya bisa begitu, ya? Padahal dulu mana berani kita bertingkah?” komentar Chanhee.

“Tau. Enaknya gue apain ya dia?”

“Hah, emangnya mau lo apain? Nggak usah aneh-aneh, deh. Kita juga bentar lagi lulus. Nggak bakal ketemu dia lagi.”

Omongan Chanhee ada benarnya. Tapi Changmin masih kesal kalau belum memberi cowok itu pelajaran.

Dan sepertinya hari itu memang Changmin sedang apes. Ketika ia mendapat giliran untuk jaga UKS saat istirahat, yang muncul di pintu adalah wajah yang tidak ingin dilihatnya. Keduanya langsung mendecakkan lidah begitu bertatap muka.

“Apa?” tanya Changmin ketus. Ia melipat tangannya di depan Sunwoo.

Bukannya menjawab, cowok itu malah berjalan melewati Changmin begitu saja.

“Eh, mau ngapain lo? Dilarang numpang tidur di UKS!”

Changmin berusaha menghalangi pergerakan Sunwoo. Hingga akhirnya cowok itu berbalik, ekspresi wajahnya dingin yang membuat Changmin sempat terkesiap.

“Gue mau ngobatin diri sendiri. Bisa nggak bawel, nggak?”

Sunwoo membalikkan badannya lagi untuk mencari benda yang dibutuhkan dari kotak obat. Changmin melongokkan kepalanya melalui bahu cowok itu.

“Emangnya lo kenapa?”

“Jatoh. Main futsal.”

“Ngibul lagi lo, ya?”

Setelah mendapatkan kapas dan obat, Sunwoo menatap Changmin dengan kesal. Ditunjukkannya siku kirinya yang lecet dan berdarah. Changmin membuka mulutnya namun ia tak menemukan respon yang dapat diberikan saat itu.

Sunwoo duduk di tepian kasur untuk mengobati lukanya sendiri. Changmin berdiri di dekatnya dengan canggung.

“Beneran jatoh?” tanya Changmin polos.

“Ck, nggak liat darah segini banyak? Lo kira apa? Saos?”

Changmin bersungut-sungut. Tersinggung dengan reaksi dari Sunwoo. Ia melihat cowok itu susah-payah mengobati lukanya.

“Bersihin dulu, nanti infeksi.”

Sunwoo mengangkat wajahnya kaget ketika Changmin memegang pergelangan tangannya lalu mengambil alih kegiatannya. Dengan telaten luka di sikunya dibersihkan sebelum diberi obat lalu diplester dengan rapi.

“Udah,” ucap Changmin setelah ia menempelkan plester gambar kartun di siku cowok itu.

Sunwoo mengusap sikunya lalu mengangguk singkat. “Beneran anak PMR lo ternyata.”

“Iya, lah! Lo pikir ngapain gue sering jaga UKS?”

“Numpang tidur?”

Changmin hampir melayangkan kepalan tangannya pada Sunwoo yang langsung terkekeh puas. Cowok itu turun dari kasur kemudian menaruh tangannya di puncak kepala Changmin. Sedikit memiringkan kepalanya, Sunwoo memberikan senyum manis pada Changmin.

“Makasih, ya. Kak Changmin!”

Lalu Sunwoo pergi begitu saja, meninggalkan Changmin yang masih terpaku di tempatnya. Ada angin yang tiba-tiba berhembus. Membelai wajah dan rambutnya.

Angin itu tak sekadar lewat, ada yang dibawanya serta. Yang hinggap dan bersarang di hati Changmin kemudian. Sebelum Changmin menyadarinya, pipinya sudah menghangat.


Kacau. Benar-benar kacau.

Sekarang wajah Sunwoo tak mau meninggalkan kepala Changmin. Ditambah dengan jantungnya yang berdetak aneh tiap kali Changmin mengingat senyum cowok itu. Bahkan Changmin masih dapat merasakan tangan yang pernah hinggap sepersekian detik di puncak kepalanya itu.

Apapun perasaan yang tiba-tiba muncul itu, Changmin tidak mau mengakuinya. Tetapi nasib baik rupanya tak berpihak padanya. Selalu saja ada momen yang membuat Changmin semakin merasa tersudut.

Seperti ketika Changmin melewati ruang musik dan sempat berhenti sejenak kala ia mendengar suara petikan gitar disertai lantunan lagu yang sumbernya adalah Sunwoo sendiri. Cowok itu dikelilingi teman-temannya yang ikut menyanyi atau sekadar bertepuk tangan untuknya. Seperti magnet sepasang mata Changmin tak dapat berpaling. Sunwoo terlihat berbeda. Tidak ada lagi cowok yang tampangnya mengesalkan tiap kali muncul di ruang UKS, hanya ada wajah yang cerah dengan senyum lebar. Sebelum Sunwoo menemukan Changmin berdiri di depan pintu ruang musik, Changmin buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

Kali lain Changmin menemukan cowok itu di kantin, mencomot gorengan sembari mengantri untuk memesan makanan. Namun ia langsung merelakan antriannya diserobot oleh siswa perempuan yang beralasan belum sempat sarapan. Dengan santai Sunwoo melipir duduk sambil menghabiskan gorengannya dan baru mengantri lagi setelah kantin mulai sepi.

Yang akhirnya membuat Changmin benar-benar harus pasrah akan perasaannya adalah kejadian beberapa hari yang lalu. Anak-anak kelas dua belas menjadi yang terakhir pulang karena ada jam tambahan. Changmin melewati kelas-kelas yang sudah kosong hingga ia menyaksikan sesuatu di parkiran yang hampir habis isinya. Ada seorang siswa yang Changmin sendiri tidak yakin kelas berapa, dikelilingi oleh tiga siswa lain yang badannya lebih besar. Entah apa yang mereka lakukan namun Changmin tahu pasti itu adalah tindakan yang jelas dilarang oleh sekolah. Changmin tidak bernyali untuk membantu anak itu langsung. Ia berniat melaporkan kejadian itu pada guru. Namun ketika Changmin membalikkan badannya ia menabrak seseorang yang membuatnya hampir terpental kalau saja orang itu tak menahan tangannya.

“Sana ke ruang guru, biar gue tahan dulu tuh anak-anak.”

Changmin terpaku melihat Sunwoo melangkah mantap menuju gerombolan anak di parkiran itu. Tak mau membuang waktu Changmin setengah berlari ke ruang guru dan melaporkan apa yang dilihatnya.

Ketika ia kembali bersama seorang guru yang langsung meneriaki anak-anak itu, Changmin terkejut melihat Sunwoo yang seragam bagian depannya berantakan sementara tangannya mencengkram kerah salah satu anak.

“Pak, Pak, Sunwoo nggak ikutan!” seru Changmin seketika, ia menghalangi sang guru yang hampir meringkus Sunwoo beserta anak-anak itu. “Tadi dia yang nyuruh saya buat segera lapor. Dia mau bantuin juga, Pak.”

Lelaki itu tampak tak peduli dengan penjelasan Changmin, ia tetap membawa Sunwoo dan yang lain ke ruang guru.

“Biar dia sendiri yang nanti memberi kesaksian.”

Satu jam lebih Changmin menunggu dengan gelisah di depan ruang guru. Ia sudah lupa dengan perutnya yang lapar dan kantuknya beberapa saat yang lalu. Ia hanya khawatir Sunwoo ikut diberi hukuman dan ia tak bisa berbuat apa-apa.

Pintu ruangan dibuka, tiga anak yang melakukan keributan lebih dulu keluar. Wajah mereka tampak pucat tapi Changmin tidak peduli. Ia melongokkan kepalanya untuk mencari Sunwoo. Tak berapa lama cowok itu muncul bersama anak yang sempat menjadi korban.

“Makasih, ya, Kak,” ucap anak itu tiba-tiba. “Kata Sunwoo, kakak yang manggilin guru buat nolong saya.”

Sunwoo mengangkat alisnya pada Changmin yang masih kebingungan.

“I- iya, sama-sama…” ucap Changmin.

Selepas anak itu pergi, Changmin segera mengejar Sunwoo yang mulai melangkahkan kakinya.

“Sunwoo,” panggil Changmin.

Seketika cowok itu berbalik hingga Changmin hampir menabraknya. Lalu sebuah kalimat meluncur dari bibirnya yang tak Changmin duga.

“Mau makan siang bareng, nggak?”

Padahal kejadian itu sudah lewat hampir seminggu tapi Changmin tak bisa berhenti memikirkannya. Tidak ada pula percakapan yang berarti ketika keduanya duduk berdampingan di bangku panjang warung bakso depan sekolah. Sunwoo benar-benar hanya mengajaknya makan bersama. Itu saja.


Changmin naksir Sunwoo. Pada akhirnya kenyataan itu tak bisa dielakkan lagi. Tetapi Changmin enggan memberitahu siapa-siapa, apalagi Sunwoo. Mengakui perasaannya pada diri sendiri saja sudah cukup sulit.

Siang itu anak-anak ekskul futsal sedang beristirahat di pinggir lapangan. Changmin tahu Sunwoo pasti ada di antara kumpulan siswa yang duduk melingkar itu. Matanya mencuri lihat diam-diam sebelum seseorang bertemu pandang dengannya dan mulai menyerukan sesuatu.

“Kak PMR! Saya sakit, nih, Kak. Obatin donggg!”

Changmin seketika membelalakkan matanya. Ada anak lain yang ikut menyahut.

“Saya juga ada luka lecet di kaki, Kak! Boleh minta dipakein plester luka nggak, Kak??”

“Iya, Kak! Saya juga mau plester luka kayak punya Sunwoo!”

Mata Changmin akhirnya menemukan Sunwoo yang sedang menoyor kepala teman-temannya. Sekumpulan anak futsal itu riuh tertawa. Sunwoo sempat melempar pandang ke arah Changmin sebelum kembali sibuk dengan teman-temannya, tampak tak begitu terpengaruh dengan candaan barusan. Sementara wajah Changmin sudah merah padam dan ia buru-buru melangkahkan kakinya menuju halte.

Changmin sebal karena tampaknya hanya ia sendiri yang kelabakan. Sunwoo bahkan tak terlihat peduli. Detak jantung Changmin berantakan dan itu semua hanya karena satu bocah ingusan yang tiba-tiba mencuri hatinya. Changmin benar-benar jengkel.

“Nggak usah dipikirin. Temen-temen gue emang suka bercanda.”

Changmin mendongak dan mendapati Sunwoo berdiri di dekatnya. Ia tidak tahu sejak kapan cowok itu ada di halte juga. Sepanjang pengetahuannya Sunwoo tidak pernah naik bus untuk ke sekolah. Cowok itu selalu membawa sepeda.

“Apaan, sih. Orang gue nggak mikirin itu. Ge-er banget,” cibir Changmin. Ia melirik ke arah Sunwoo yang tengah menyeka peluh di dahinya dengan ujung seragamnya. Cowok itu pura-pura tak mendengar.

Ketika sebuah bus akhirnya tiba, Changmin segera melompat naik. Tak diketahuinya kalau Sunwoo ikut naik bersamanya. Changmin terkejut ketika cowok itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Ia hampir memprotes tapi urung dilakukannya. Lagipula ini transportasi umum, siapa saja boleh naik.

Changmin melihat ke arah luar jendela untuk menghindari bertatap muka dengan Sunwoo atau harus berinteraksi dengannya. Ia tidak yakin bisa mengontrol ucapan atau ekspresinya kalau harus berbicara dengan cowok itu. Angin semilir dari jendela lama-kelamaan membuat kelopak mata Changmin terasa berat dan tak lama kemudian ia jatuh tertidur.

Bus yang direm mendadak membuat Changmin terbangun dari tidur singkatnya. Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya adalah seragam seseorang.

Sunwoo!?

Changmin baru menyadari dahinya menempel di lengan cowok yang duduk di sebelahnya itu. Sontak ia menarik dirinya lalu merapat ke sisi jendela. Sunwoo yang melihat gerak-gerik Changmin melalui sudut matanya itu berusaha menahan senyum geli. Ia rapatkan kedua lengannya yang terlipat di depan dada, berusaha mengabaikan reaksi Changmin yang berlebihan.

Sudah lima belas menit sejak bus itu meninggalkan sekolah, tetapi tidak ada tanda-tanda Sunwoo akan turun. Changmin jadi sewot karena ia harus duduk berlama-lama dekat cowok itu.

“Rumah lo di mana, sih?” tanya Changmin, berusaha untuk terdengar tak acuh.

“Lo nanya gue?”

“Ya, iya lah! Masa sama jendela?”

Sunwoo terkekeh pelan. “Itu lo madep ke jendela. Kalo nanya gue ya madepnya ke gue, dong?”

Changmin mendecih. “Nggak jadi nanya.”

“Rumah gue udah kelewat, sih.”

Jawaban Sunwoo serta-merta membuat Changmin menolehkan kepalanya.

“Lah, kok nggak turun?”

“Gue naik bus ini bukan buat pulang.”

“Terus?”

“Mau tau aja rumah lo di mana. Jauh juga, ya? Berarti lo harus berangkat pagi banget ke sekolah. Mana sekarang kelas dua belas udah mulai ada jam ke-0, kan? Pulangnya juga siang banget. Lo pasti capek.”

Changmin mengerjapkan matanya, tak sadar bibirnya terbuka tanpa ada kalimat yang muncul. Pikirannya terlalu terpaku pada fakta bahwa Sunwoo bahkan memikirkan hal-hal semacam itu. Sesuatu yang tak disangka oleh Changmin akan muncul dari cowok itu. Tak yakin tanggapan apa yang harus diberikan, Changmin akhirnya memilih untuk mengatupkan bibirnya lagi.

Pandangan Changmin kemudian jatuh pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di siku Sunwoo masih melekat plester luka yang pernah Changmin beri.

“Itu belum sembuh?” Changmin menunjuk siku Sunwoo.

Sunwoo ikut melihat ke arah sikunya yang masih dihiasi plester gambar kartun. Sudut bibirnya tertarik sejenak.

“Kayaknya udah, sih.”

“Kenapa belom dilepas plesternya?”

Terdiam sejenak sebelum berdecak pelan, Sunwoo akhirnya menjawab. “Banyak nanya deh, lo.”

Tak pelak Changmin merasa kesal. Ia memelototi Sunwoo yang kembali tertawa pelan, menyesal sudah melontarkan pertanyaan yang semestinya tak perlu.

Sunwoo ikut turun ketika bus berhenti di dekat rumah Changmin. Cowok itu lalu hanya melambaikan tangan sebelum menyeberang jalan dan menaiki bus yang melaju berlawanan arah. Changmin menatap kepergiannya dengan beribu tanya dalam kepala.

Dasar bocah aneh.

Meski begitu tetap ada degup jantung yang membawa perasaan itu kembali selagi Changmin melangkah menuju rumahnya. Perasaan yang menyenangkan.


Selama tiga tahun Changmin bersekolah di sini, belum pernah sekalipun ia naksir pada seseorang. Ada beberapa yang justru menaruh perasaan pada Changmin tapi ia lebih sibuk mengurus nilai akademisnya atau kegiatan ekstrakurikulernya. Baru kali ini jantung Changmin bereaksi aneh pada seseorang, dan parahnya lagi orang itu adalah adik kelas yang lebih muda dua tahun darinya.

“Hah!? Nggak salah denger gue? Coba ulangin lagi!”

Changmin menghela napas berat sebelum kembali berucap pada Chanhee.

“Gue naksir… Sunwoo.”

Chanhee menatapnya seakan-akan temannya itu sedang mengigau atau stress berat menjelang ujian. Butuh waktu beberapa menit bagi Chanhee untuk menyadari kalau Changmin bersungguh-sungguh atas ucapannya.

“Kok bisa, sih? Kayaknya lo, tuh, kena itu… Apa namanya? Ck, apaan ya? Oh, iya! Stockholm syndrome!!”

Changmin memutar matanya. “Duh, apaan sih? Gue serius ini, Chan.”

“Nggak, nggak. Lo lagi mumet aja, Changmin. Yang lo butuhin, tuh, hiburan! Habis ini kita pergi karaoke aja. Gimana?”

Chanhee pusing karena saat karaoke pun Changmin menyanyikan lagu-lagu bertajuk jatuh cinta dengan wajahnya yang sayu. Ia sudah mencoba memancing Changmin dengan lagu-lagu lain yang lebih bersemangat sambil melompat kesana kemari, tapi hasilnya nihil. Pada akhirnya Chanhee sendiri yang kelelahan dan tergeletak di sofa ruang karaoke. Ia menoleh ke arah temannya yang masih memilih lagu selanjutnya.

“Lo… beneran naksir tuh bocah, ya?”

Kerjapan mata Changmin membuat Chanhee menghela napas panjang.


Apa boleh buat jika memang kenyataan temannya naksir dengan adik kelas, Chanhee mau tak mau harus membantunya. Sebentar lagi mereka akan lulus, jadi Changmin harus mengutarakan perasaannya itu sebelum mereka berpisah.

“Emang harus bilang, ya?” tanya Changmin.

“Kalo beneran naksir ya bilang, lah! Lo emangnya mau mendem gitu aja sampe lulus? Bisa lo konsen ujian dengan kondisi kayak gini?”

Changmin mengeluh pelan. Memang belajarnya jadi sedikit terganggu gara-gara Changmin tak bisa berhenti memikirkan Sunwoo.

“Tapi kalo dia ternyata biasa aja sama gue gimana? Malu dong gue?”

“Tujuannya bukan buat dia naksir balik sama lo. Tapi biar lo ngerasa lega aja. Kalo ditolak ya udah, berarti lo bisa fokus buat ujian.”

“Hmm, tapi gimana bilangnya? Gue nggak bisa ngomong langsung, Chan. Malu banget.”

Chanhee menggaruk dahinya, ikut pusing. Ia sendiri belum pernah melakukan aksi menyatakan perasaan pada orang lain. Biasanya ia hanya melihat di film atau di novel-novel remaja.

“Ah, gue punya ide!” seru Chanhee kemudian. Sepasang matanya berbinar.

Ide Chanhee cukup sederhana. Hanya dengan menulis surat lalu menyerahkan surat itu pada Sunwoo. Tapi mana mungkin Changmin bisa memberikannya langsung pada Sunwoo?

“Lo aja yang ngasih, deh. Please???” pinta Changmin. “Nanti gue traktir. Ya, ya, ya??”

Sejujurnya Chanhee malas terlibat langsung, namun ia sudah berjanji untuk membantu temannya itu. Hari ini sepulang sekolah rencananya Chanhee akan memberikan surat dari Changmin pada Sunwoo. Cowok itu ada jadwal futsal yang berarti Chanhee dapat dengan mudah menemukannya di lapangan.

Para siswa berhamburan keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Chanhee segera bersiap menunggu di lapangan. Ia akan menyerahkan suratnya begitu Sunwoo muncul.

“Sunwoo!” panggil Chanhee ketika ia melihat cowok itu berjalan ke arah pinggir lapangan, tempat di mana anak-anak futsal lainnya sedang bersiap.

Sunwoo menolehkan kepalanya. Matanya menyipit untuk memastikan siapa yang tengah berlari kecil ke arahnya itu.

“Sunwoo.”

“Lo temennya Kak Changmin, kan?”

Chanhee mengangguk cepat. Ia mengambil surat yang sudah dibungkus amplop oleh Changmin dari dalam tasnya lalu mengulurkannya di hadapan Sunwoo.

“Buat lo.”

Sunwoo tak segera menerima. Ia mencermati amplop berwarna coklat muda itu.

“Apaan, nih?”

“Udah terima aja,” ucap Chanhee gemas sambil menarik satu tangan Sunwoo dan melesakkan amplop itu di sana.

Sunwoo melihat benda yang sudah berpindah tangan itu. Tampak ragu ia hanya membolak-balikkan amplop yang tak ada keterangan apapun. Ketika ia mengangkat kembali wajahnya, dari jauh matanya menangkap sosok Changmin. Tiba-tiba Sunwoo menyerahkan amplop itu kembali pada Chanhee.

“Eh, kok dibalikin? Itu buat lo.”

“Sori, gue nggak bisa nerima. Gue harus persiapan futsal.”

Chanhee bengong dengan amplop di tangannya sementara Sunwoo segera bergabung dengan teman-temannya. Kesadarannya kembali ketika Changmin berjalan cepat melewatinya. Buru-buru ia memanggil temannya itu.

“Changmin! Changmin, tunggu!”

Sampai di gerbang Changmin menghentikan langkahnya. Ia merebut amplop di tangan Chanhee lalu diremasnya menjadi gumpalan sebelum melemparnya ke tempat sampah.

“Jangan dibuang- Astaga, Changmin!” pekik Chanhee.

Changmin menoleh sejenak ke arah anak-anak futsal yang sedang pemanasan. Ada Sunwoo yang berdiri di antaranya. Cowok itu menatap balik ke arahnya, ekspresinya tak terbaca. Changmin langsung berbalik pergi dengan sejuta rasa kecewa dan malu, tak peduli pada Chanhee yang terus-terusan memanggilnya.


Tidak apa-apa kalau perasaannya ditolak. Tidak apa-apa kalau Sunwoo tidak memiliki perasaan yang sama. Tidak apa-apa kalau Changmin harus menghapus perasaannya. Tidak apa-apa….

Tidak. Changmin tidak tidak apa-apa.

Ternyata rasanya sakit. Suka pada adik kelas yang kelakuannya aneh itu ternyata mampu membuat Changmin merasakan banyak hal. Dan ditolak terang-terangan itu salah satu hal paling menyebalkan. Changmin jadi menyesal sudah menuruti kata Chanhee. Rasa sakit dan kecewanya dibarengi dengan rasa malu yang berkepanjangan. Bagaimana bisa Changmin menghadapi cowok itu lagi esok hari?

Kejadian itu terjadi hari Sabtu. Masih ada satu hari sebelum Changmin kembali bertemu Sunwoo. Ada harapan Sunwoo akan lupa tentang surat itu, menganggapnya angin lalu. Tapi justru semakin sakit kalau Sunwoo bahkan tak menganggap itu sebagai hal yang penting.

“AAAAAAAAAA!!!!!!!!” Changmin berteriak dengan wajahnya yang terbenam di bantal. “Ngapain, sih, gue harus nulis surat kayak gitu?? Malu-maluin aja!!”

Changmin menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai sambil terus mengeluh. Suara ketukan pintu kamarnya membuat Changmin berhenti.

“Changmin, ada temen kamu di depan!” ujar ibunya.

Changmin kembali mengeluh. Kalau itu Chanhee, ia tak tahu harus apa. Dirinya masih malas menghadapi temannya itu.

Namun begitu Changmin membuka pintu depan dan mendapati seraut wajah yang familiar, refleks ia menutup lagi pintunya. Usaha itu digagalkan oleh tangan cowok yang menahan pintu itu tetap terbuka.

“Kak Changmin.”

Changmin panik total. Jantungnya jumpalitan. Kenapa Sunwoo bisa ada di rumahnya?

Tangan Changmin ditarik pelan oleh Sunwoo hingga ia tak lagi tersembunyi di balik pintu. Ragu Changmin menatap wajah Sunwoo yang dihiasi senyum tipis.

“Lo- ngapain ke sini?” tanya Changmin sepelan mungkin.

“Lo lagi sibuk, nggak?” Sunwoo balik bertanya.

“Kenapa emangnya?”

“Gue mau ngajak lo pergi.”

Hah, apaan sih? Ngaco banget, nih, bocah!

Tapi pada akhirnya Changmin tetap membiarkan Sunwoo membawanya pergi. Keduanya berjalan saja menyusuri jalanan sambil Sunwoo menggandeng tangan Changmin. Sesekali mereka berhenti untuk membeli makanan dari pedagang keliling sebelum kembali melangkah.

Mungkin karena Changmin mulai curiga mereka sebenarnya tak memiliki tujuan, ia akhirnya bertanya pada Sunwoo.

“Mau ke mana, sih, sebenernya?”

Sunwoo bergumam pelan. Ia lalu menarik Changmin untuk duduk di bangku panjang pinggir jalan.

“Itu tadi roti apa? Enak, nggak?” tanya Sunwoo sambil meraih makanan yang sempat dibeli Changmin. Cowok itu mengambil gigitan besar sebelum mengembalikannya pada Changmin.

Diamatinya Sunwoo yang masih asyik mengunyah. Cowok itu tampak tak berniat menjawab pertanyaan Changmin sebelumnya. Sebuah pikiran mulai hinggap di kepala Changmin hingga ia berucap pelan.

“Lo nggak perlu kayak gini, tau.”

“Hm?” Sunwoo berhenti mengunyah, berusaha mendengarkan suara Changmin yang hampir tak terdengar.

Changmin menatap sisa rotinya, seakan itu adalah sisa-sisa hatinya yang belum dirampas seutuhnya oleh Sunwoo. Ia mulai sadar apa yang sedang dilakukan cowok di hadapannya ini.

“Gue nggak apa-apa lo nggak punya rasa yang sama kayak gue,” ucap Changmin. “Nggak perlu lo kayak gini. Gue nggak butuh dikasianin.”

Sunwoo tiba-tiba terbatuk hingga makanan dalam mulutnya muncrat keluar. Changmin buru-buru memberikan botol air minum yang sempat dibelinya.

“Ini minum dulu,” suruh Changmin.

Sunwoo menerima air itu lalu meneguknya banyak-banyak. Ia masih terbatuk sejenak sebelum mengembalikan botol pada Changmin.

“Gila lo, ya?” desis Sunwoo.

“Hah? Maksud lo apa?”

Sunwoo melirik sekilas ke arah Changmin sebelum mengusap wajahnya, berdecak pelan. Telinga cowok itu memerah namun Changmin tak tahu apakah itu karena cuaca panas atau efek tersedak makanan tadi.

Suara motor yang berlalu-lalang menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara keduanya. Changmin menunggu Sunwoo bersuara lagi, namun tampaknya cowok itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara.

“Sunwoo,” panggil Changmin. “Lo ngapain, sih, ngajak gue pergi?”

“Pengen aja,” balas Sunwoo singkat.

“Ck, lo tuh aneh, deh.” Changmin menghela napas, menundukkan kepala untuk berbisik pada dirinya sendiri. “Aneh…”

Di bawah naungan pohon yang rindang dan angin sepoi-sepoi yang berhembus, keduanya lalu menikmati suasana di sekitar. Jalanan yang tak terlalu ramai, kendaraan dan manusia yang sesekali lewat, juga langit yang terlihat cerah. Sebenarnya tidak buruk sama sekali. Changmin menikmati semua ini.

“Masih ada enam bulan lagi,” ucap Sunwoo tiba-tiba. “Enam bulan sebelum lo lulus.”

Changmin menoleh pada cowok itu. Sunwoo menatap ke kejauhan. Pada atap-atap bangunan yang tinggi menjulang dan saling berdampingan. Changmin penasaran atas kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari bibir Sunwoo.

“Gue nggak tau harus bersyukur atau nggak waktu gue telat dateng ke sekolah hari itu. Pas upacara. Gue nyelinap lewat barisan paling belakang dan langsung masuk ke UKS tanpa pikir panjang. Gue nggak bawa topi dan udah pasti gue bakal dihukum kalo sampe ketauan guru. Untung gue bisa alesan sakit dan tidur di UKS. Dan ada lo di situ.”

Pagi itu ada seorang cowok yang terlihat gelisah, muncul di pintu UKS. Changmin mempersilakannya masuk dan menyuruhnya berbaring ketika cowok itu mengatakan kalau kepalanya pusing.

“Lo mungkin ngira gue tidur, tapi gue sebenernya tau lo ngapain aja. Baca buku pelajaran, bengong sesekali, terus ngecek keadaan gue.” Sunwoo mendenguskan tawa. “Gue akhirnya jadi ngide buat ke UKS tiap upacara. Cuman buat liat lo.”

Sunwoo akhirnya menoleh ke arah Changmin yang masih takjub dengan ceritanya. Diulasnya senyum tipis sebelum kembali bersuara.

“Jadi ngaco banget kalo lo ngira gue ngelakuin semua ini karena kasian sama lo. Lo aja nggak tau gimana perasaan gue, bisa-bisanya ngomong begitu. Dasar sotoy.”

Changmin terperangah. Lalu ia teringat kejadian tempo hari dan buru-buru memprotes.

“Tapi lo nolak surat dari gue!”

“Surat apaan?”

“Surat… itu. Yang kemaren.”

Sunwoo mengerutkan keningnya sejenak.

“Yang dari temen lo?”

“Iya!”

“Hah, itu surat dari lo?”

Changmin mengangguk cepat. Sunwoo langsung menghela napas keras sebelum menjitak kepala Changmin.

“Kenapa dikasihnya sama temen lo? Gue kira itu dari temen lo, dan nggak gue terima karena gue liat lo di situ. Gue nggak mau lo jadi salah paham.”

“Ih, dasar begooo!!” seru Changmin. Dipukulnya lengan Sunwoo berkali-kali hingga cowok itu mengaduh. “Gue sedih banget, tauuu!! Gue kira lo-”

“Nggak naksir sama lo?” sahut Sunwoo.

Muka Changmin langsung merah padam. Ia memalingkan wajah sambil berpura-pura sibuk menghabiskan sisa roti di tangannya. Sunwoo tersenyum tipis, ia kembali melempar pandangannya jauh ke jalanan yang mulai ramai. Berusaha menyembunyikan kegugupannya sendiri.

“Udah sore, mau jalan lagi apa pulang?” tanya Sunwoo beberapa saat kemudian.

“Pulang aja.”

Changmin hanya ingin menata hatinya yang kacau berantakan setelah mendengar semua pengakuan dari Sunwoo.

“Yuk.”

Sunwoo bangkit berdiri lalu mengulurkan satu tangannya pada Changmin. Tangan itu disambut dan Sunwoo menggenggamnya lebih erat. Rasanya berbeda ketika keduanya telah mengetahui isi hati masing-masing. Perjalanan pulang itu juga terasa lebih menyenangkan. Changmin harus berusaha menahan sudut bibirnya agar tak terus-terusan tertarik ke atas. Sementara Sunwoo mengalihkan perhatiannya ke jalanan sekitar agar dirinya tak tiba-tiba memeluk kakak kelasnya yang mungil itu.


Ruang UKS menjadi tempat yang penuh kenangan. Changmin melihat ke sekeliling ruangan itu untuk terakhir kali sebelum ia melepas jabatannya sebagai anggota PMR. Sekarang fokusnya adalah untuk mempersiapkan ujian yang sudah di depan mata. Changmin merapikan rak obat sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Namun begitu ia berbalik, ada seseorang yang berdiri tepat di pintu.

“Sunwoo? Ngapain di sini? Lo sakit?”

Cowok itu membiarkan dirinya masuk ke dalam lalu menutup pintu di belakangnya. Didorongnya tubuh Changmin hingga merapat ke kasur dan dengan kedua tangannya ia mengangkat Changmin agar terduduk di tepi kasur itu. Changmin menutup mulutnya yang memekik pelan atas aksi spontan dari Sunwoo.

“Nu! Ngapain, sih?” omel Changmin.

Sunwoo hanya tersenyum jahil. Kedua tangannya melingkar di pinggang Changmin.

“Gue sakit, Kak. Sakit kangen.”

Changmin langsung mengernyit mendengar ucapan ngawur dari Sunwoo. Namun begitu cowok itu menaruh kepalanya di bahu Changmin dan memeluknya lebih erat, Changmin akhirnya luluh juga.

“Lo sibuk banget sampe nggak sempet ketemu gue. Gue takut bakal lupa sama muka lo.”

Sunwoo dihadiahi sebuah cubitan di pinggang yang membuatnya langsung memohon ampun.

“Ujiannya tinggal ngitung jari, Nu. Gue takut nggak bisa fokus kalo ketemu sama lo terus. Gue juga kangen, kok.”

Sunwoo memandangi wajah Changmin lama. Ia ingin menyimpan lebih banyak dalam kepalanya sebelum mereka harus jarang bertemu lagi. Sunwoo menempelkan dahinya pada dahi Changmin, menggesek ujung hidungnya pada milik Changmin.

“Jangan capek-capek, ya, Kak. Lo kalo belajar suka nggak tau waktu. Sekali-sekali rehat sambil telfonan sama gue. Nanti gue ceritain yang lucu-lucu biar lo nggak jenuh.”

“Iya, kalo sempet pasti gue telfon.”

“Harus sempet.”

Satu ciuman singkat di pipi Sunwoo selalu berhasil membuat cowok itu berhenti merajuk. Tapi sialnya cowok itu pasti akan meminta lebih.

“Yang satunya juga dong biar adil.”

Changmin terpaksa mengalah. Ia jatuhkan cium di sisi yang lain.

“Ini juga.” Sunwoo mengetuk pelan bibirnya.

“Nggak, ah.”

“Pelit.”

“Banyak mau.”

“Pacar sendiri juga.”

“Mana ada? Lo aja nggak nembak?”

“Mau ditembak sekarang?”

Changmin menjulurkan lidahnya sebelum melompat turun. Sunwoo buru-buru menarik pinggangnya dan tanpa aba-aba cowok itu mencuri ciuman dari bibir Changmin.

“Ih, rese banget,” protes Changmin sambil memukul punggung Sunwoo yang hanya cengengesan.

Suara ketukan di pintu membuat keduanya langsung menegakkan punggung. Ada anggota PMR yang meminta kunci ruangan.

“Oh, iya. Nanti gue kasihin ke lo kalo udah gue rapihin semuanya,” ucap Changmin pada anak itu.

Dengan canggung anak itu mengangguk lalu pergi meninggalkan UKS. Sunwoo dan Changmin saling bertukar pandang sebelum pecah dalam tawa. Mereka harap anak itu tak terlalu lama menyaksikan apa yang terjadi dalam ruang UKS.


Hari terakhir ujian. Rasanya Changmin ingin berteriak keras-keras begitu ia keluar dari ruang kelas. Tak ada lagi begadang semalaman, berkutat dengan rumus dan hapalan, juga pusing kepala yang tiap hari menyerang.

“Sst, Changmin.” Panggilan Chanhee menyita perhatian Changmin yang tengah menghirup udara banyak-banyak untuk menyegarkan pikirannya. “Ditungguin, tuh.”

Changmin melongokkan kepalanya ke balik punggung Chanhee. Ada seseorang yang tengah berdiri di sana, kedua tangannya tersimpan dalam saku jaketnya. Senyum Changmin langsung merekah.

Setengah berlari Changmin menghambur ke arah orang itu. Ia disambut dengan kedua lengan yang merengkuh tubuh kecilnya.

“Gimana ujiannya?”

“Yang penting udah selesai, udah bebasss!!”

“Gue traktir es krim, yuk?”

“Mauuu!!!”

Keduanya mampir di kedai es krim dekat sekolah. Hari itu cukup sepi karena kebanyakan siswa diliburkan untuk ujian kelas dua belas. Sunwoo menyempatkan datang hanya untuk menemui Changmin.

“Lo tadi dari rumah, Nu?” tanya Changmin sambil menikmati es krim rasa coklat vanilanya.

Sunwoo mengangguk. Sesekali ibu jarinya menghapus noda es krim di sudut bibir Changmin. Ia sendiri memilih untuk tidak membeli karena sudah cukup baginya dengan melihat Changmin menikmati es krimnya.

“Padahal bisa ketemu gue di rumah aja. Lebih deket, kan? Nggak harus nyamperin ke sekolah.”

“Tapi seneng, kan, liat gue abis keluar ruang ujian?”

Changmin tidak memungkiri kalau melihat wajah Sunwoo membuat bebannya langsung lenyap.

“Iya, sih.”

“Kak, berarti lo tinggal nunggu pengumuman kelulusan aja habis itu wisuda? Lo udah mikirin mau lanjut kuliah ke mana?”

“Itu, sih, udah harus dipikirin jauh-jauh hari.” Changmin menyendok suapan terakhir es krimnya sebelum memfokuskan perhatiannya pada Sunwoo. “Gue udah ada rencana, sih.”

Wajah Sunwoo tiba-tiba meredup. “Lo nanti kalo udah jadi mahasiswa, pasti lingkungannya juga berubah. Banyak ketemu orang-orang baru, sibuk kegiatan ini-itu. Nanti lo lupa sama gue, si bocah ingusan ini.”

Changmin tertawa pelan. Dijitaknya dahi Sunwoo.

“Nggak, lah. Kayaknya nggak ada yang lebih nyebelin daripada lo. Jadi tenang aja, lo pasti akan selalu gue inget.”

Sunwoo meraih satu tangan Changmin untuk digenggam. Kali ini ekspresi wajahnya terlihat serius.

“Kak, kalo gitu kita pacaran aja sekarang. Gue nggak mau nanti lo pas kuliah dideketin sama orang lain terus direbut dari gue. Kan, gue nggak ada di sana. Gue nggak bisa ngusir orang-orang yang mau deketin lo.”

“Duh, Sunwoo…” Changmin meraih sisi wajah cowok itu lalu menarik pipinya, gemas. “Beneran bocil banget lo, ya? Gue janji nggak akan meleng kemana-mana. Lo bisa pegang janji gue.”

“Jadi pacar gue dulu makanya.”

“Ih, lo tuh nembaknya nggak romantis banget.”

Sunwoo langsung cemberut. Changmin mengusak rambut cowok itu sambil tersenyum. Manis. Begitu manis hingga Sunwoo hampir tak bisa menahan diri untuk mencium pipinya yang bulat ranum itu.

Kalau Changmin memang menginginkan prosesi penembakan yang spesial, Sunwoo akan menyanggupinya.

Benar saja. Di hari kelulusan, momen yang menarik perhatian banyak orang itu terjadi. Awalnya Changmin tidak tahu-menahu kalau di halaman depan sudah ada barisan anak-anak futsal yang membawa sepotong kardus di tangan masing-masing. Chanhee yang langsung menariknya untuk menyaksikan apa yang terjadi di sana.

Ketika Changmin sampai di halaman depan sekolah, riuh sorak-sorai dan tepuk tangan anak-anak memenuhi telinganya. Ia masih tak mengetahui apa yang terjadi hingga ia menemukan Sunwoo di tengah-tengah barisan anak futsal yang tengah berlutut di halaman itu. Cowok itu membawa gitar di tangannya. Satu genjrengan membuat seluruh siswa yang menonton kembali ramai.

“Lagu ini gue persembahkan buat mantan anggota PMR yang udah ngerawat gue waktu gue sakit, orang yang bikin gue jatuh hati. Lagu ini buat lo, Kak Changmin.”

Sontak Changmin menutup mukanya, merasa begitu malu telah menjadi pusat perhatian orang sebanyak itu. Namun sepertinya Sunwoo tidak peduli. Ia tetap memetik senar gitarnya dan mulai menyanyikan sebuah lagu.

Melihat tawamu, mendengar senandungmu, terlihat jelas di mataku warna-warna indahmu

Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu, terlihat jelas bahwa hatimu anugerah terindah yang pernah kumiliki…

Seiring seruan heboh kembali muncul, Sunwoo melangkahkan kakinya mendekati Changmin. Ia memainkan gitarnya tepat di depan cowok itu. Perlahan diturunkannya tangan yang menutupi wajah Changmin.

“Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu, hangat peluk janjimu, anugerah terindah yang pernah kumilikiii.”

Changmin menatap Sunwoo dengan pandangannya yang hampir kabur oleh lapisan bening yang menyelimuti matanya. Sunwoo tersenyum sembari menghapus bulir air mata yang terbendung di sudut mata Changmin. Ia lalu menggerakkan jarinya pada anak-anak futsal di belakangnya, mengisyaratkan mereka untuk mengangkat potongan kardus yang rupanya membentuk serangkaian kalimat.

KAK PMR, TOLONG DITERIMA SUNWOO TEMAN KAMI!!!

Satu halaman sekolah terpingkal melihat tulisan itu, termasuk Changmin yang langsung menghambur untuk memeluk Sunwoo dengan erat.

“Gimana? Diterima, nggak?” bisik Sunwoo.

“Emangnya boleh nolak?”

“Jangan, dong. Tega bikin malu gue?”

Changmin tertawa. “Ya, udah. Diterima.”

Sunwoo langsung berbalik ke arah teman-temannya dan anak-anak yang memenuhi halaman depan itu.

“Berhasil, woiii!!! Diterimaaa!!!”

Siulan keras dan tepuk tangan kembali membahana. Beberapa guru sampai ikut keluar untuk melihat ada keributan apa di halaman sekolahnya. Penasaran apakah anak didiknya sebegitu senangnya menyambut kelulusan.

Sunwoo meletakkan gitarnya untuk membalas pelukan Changmin lebih erat. Ia membisikkan kata-kata yang membuat Changmin memerah dan memukul punggungnya lantaran malu.

Sementara itu di sudut halaman ada seseorang yang mengabadikan momen itu melalui ponselnya. Ia menggelengkan kepala melihat kisah kasih temannya tepat sebelum meninggalkan sekolah.

“Bener-bener, deh, Changmin. Bisa kepelet sama bocah kelas sepuluh.”

(fin.)