Seperti turunnya hujan rintik-rintik pada siang hari yang terik, layaknya menemukan mainan yang telah lama kau kira hilang saat kau membereskan kamarmu, atau saat kau masih berumur lima dengan senyum lebarmu menggenggam pensil warna yang kau dapat dari membantu ibu.

Bertemu Bintang adalah salah satu hal yang terasa spesial. Satu dari banyak hal istimewa yang dialami Bara selama hidupnya.

Mungkin kau pernah termangu dan bertanya-tanya, apakah hidup akan terus seperti ini? Apa kelam akan selalu menjadi selimut yang alih-alih memberi hangat namun malah menyesakkan dada?

Lalu mereka datang seperti sebuah keajaiban. Kau tidak ingin mempercayainya. Ini semua hanya sementara.

Tapi kau tetap berusaha meraihnya, dan tak ingin melepas.

Bara seperti itu pula.

Menggenggam tangan yang ditemukannya saat ia meraba-raba dalam gelap. Ia tahu tangan itu akan lepas, ia tahu ia dapat menggenggamnya lebih erat atau membiarkannya lepas.

Di situ gelap. Mereka tak dapat melihat apa-apa. Bara tidak menyalakan apinya.

Bara risau jika sosoknya terlihat dengan pijaran cahaya yang terang, Bintang akan melepas genggamannya. Namun Bara masih butuh menggenggam tangannya. Dipegangnya erat-erat hingga kesakitan.

Lorong gelap nan panjang ini, apakah akan ada ujungnya? Apakah ada titik terang di ujung sana? Apakah tangan Bintang menuntunnya untuk sampai ke tujuan?

Padahal tangan itu hanya terulur untuk memberitahu Bara bahwa dalam gelap ini, dirinya tidak sendirian.

“Bar, muka lo ada luka. Abis jatoh?”

“Ini? Iya, jatoh.”

“Lo ceroboh banget, ya. Masa sering banget jatohnya?”

Bara mengulum senyum tipis mendengar kalimat yang rasanya lebih mudah untuk ditanggapi dengan bualan. Bara dapat menjawab dengan 'Iya, emang hobi aja.' atau mungkin 'Ada yang namanya gravitasi bumi.'

Tapi Bara memilih bertanya balik. Entah untuk apa.

“Lo nggak bisa bedain luka jatoh sama ditonjok, ya?”

Bara tak melihat ke arah Bintang namun ia tahu ekspresi apa yang ditunjukkan cowok itu. Pasti sama persis dengan ekspresi Rendra ketika ia tahu Bara sering kena pukul.

Yang tidak Bara sangka adalah apa yang dilakukan Bintang kemudian. Tidak ada kata-kata kaget, penasaran, apalagi menenangkan. Hanya dua lengan yang tiba-tiba sudah terlingkar pada tubuhnya, melingkupinya dari samping.

And it speaks volumes.

Mungkin itu adalah saat di mana Bara membiarkan lengahnya mengambil alih, hati yang keras membatu itu sedikit demi sedikit bergeser menghadap sesuatu yang tak henti mengetuknya pelan. Hingga kemudian ia akan selalu ingin mengarah padanya. Seperti bunga matahari yang selalu melihat ke arah sang surya.

Bara akhirnya jatuh.