Seumur hidup Evan berandai-andai akan hadirnya seseorang yang mampu memberikan definisi bahagia. Ia sangsi. Kecil kemungkinan untuk menemukan seseorang yang mau melakukan banyak hal untuk dirinya seorang.

Tetapi ia bertemu Candra.

Evan tidak pernah menyangka Candra akan menjadi seseorang yang selalu diimpikannya setiap malam. Ia pikir bertemu dan menjalin hubungan dengan orang seperti itu adalah perkara susah.

Evan keliru. Candra begitu mudah. Candra terasa seperti teman lama yang selalu ada di setiap ia membutuhkan sesuatu. Candra melebihi semua ekspektasi yang digantungkannya pada seseorang. Dan Candra selalu membuatnya yakin bahwa ia sama berhaknya memiliki dan menyayangi Candra.

Loving Candra is easy.


“Kamu beneran nggak pulang minggu ini?”

Candra tengah mengemasi barang ke dalam tas ransel. Di tepi ranjangnya ada Evan yang sedang mengamati kegiatannya sambil bertopang dagu.

“Aku Sabtu ada rapat himpunan, Can,” keluh Evan.

Setelah menutup resleting ranselnya, Candra melangkah menghampiri Evan kemudian menumpukan kedua tangannya di sisi-sisi tubuh Evan, mengurung pacarnya di antara kedua lengannya.

“Rapat sampe malem?”

“Sore, sih. Tapi males kalo aku pulang hari itu juga.”

“Terlalu mepet, ya, kalo pulangnya Minggu pagi?”

“Iya. Sorenya harus udah balik kos. Bisa sih, balik Senin pagi soalnya aku kelas pertama siang. Tapi capek, kan.”

Candra mengangguk paham.

“Kamu harus pulang ke rumah, ya? Nggak bisa nemenin aku aja di sini?” tanya Evan setengah merajuk. Begitu Candra mengabarinya bahwa ia akan pulang besok pagi, Evan langsung mendatangi kosnya.

“Nggak bisa dong, Sayang,” jawab Candra setelah ia menjatuhkan cium pada hidung Evan. “Minggu kemarin aku udah nggak pulang. Mama ngomel terus, nyuruh aku pulang minggu ini.”

“Aku ikut pulang ke tempat kamu aja,” celetuk Evan.

“Ayo.”

“Ih, tapi aku nggak bisa absen rapat. Pasti kena ghibah sama kating.”

Candra terkekeh melihat pacarnya itu rewel. Dipeluknya Evan hingga keduanya rebah di atas ranjang. Ia benamkan wajahnya di ceruk leher Evan dan membiarkan dirinya menghirup aroma tubuh Evan yang selalu menjadi favoritnya.

“Gabut banget nanti kalo nggak ada kamu. Aku tidur seharian pasti di kos.”

Evan bermain dengan helai rambut Candra sementara ia masih mengeluhkan nasibnya di penghujung minggu nanti.

“Iya, nggak papa tidur aja seharian. Daripada kamu main-main sendiri tanpa aku,” balas Candra.

“Kok gitu, sih?”

“Mau gatekeeping kamu biar nggak diculik orang.”

Evan mendecih hingga Candra memecah tawanya lagi. Diciuminya leher Evan hingga pacarnya itu memprotes.

“Kalo gitu aku mau dikasih dulu biar aku nggak main ke mana-mana,” cetus Evan.

Candra mengangkat kepalanya. “Hm?”

Evan melempar senyum penuh arti pada Candra yang tanpa dijelaskan pun sesungguhnya telah lebih dari sekedar paham.

Kamar kos Candra ini lebih luas daripada milik Evan, dindingnya lebih tebal dan yang paling penting adalah kamar Candra difasilitasi sebuah air conditioner yang tak akan membuat keduanya gerah.

Hal yang paling disukai Evan ketika melakukannya dengan Candra ialah rasa aman yang ia dapatkan. Candra akan selalu memastikan Evan memberikannya izin sebelum mengambil suatu tindakan. Padahal Candra bisa saja melakukan apapun tanpa perlu bertanya lagi pada Evan karena cowok itu selalu memberinya lampu hijau. Tetapi Candra tetap ingin memastikan pacarnya merasa nyaman sebelum ia melakukan sesuatu.

“Can I do it?”

Bisikan Candra pada telinga Evan disambut dengan anggukan. Evan siap meluruh dalam kungkungan dua lengan, yang merengkuhnya dengan lembut meski keduanya kokoh. Bibirnya siap mencecap manis yang datang dari bilah bibir yang juga selalu membisikkan perasaan manis.

Candra bergerak lambat hingga Evan dapat merasakan tiap gesekan yang terjadi di dalam tubuhnya. Lembut dan memabukkan. Serupa dengan sepasang bibir yang tak henti membasahi bibir dan lehernya.

Hembusan napas yang dihela Candra menjadi alunan merdu setiap kali sensasi menyenangkan melanda sekujur tubuhnya. Ia memperdalam gerakannya pada Evan hingga cowok itu harus melemparkan kepalanya jauh ke belakang dan kuku-kukunya menghunjam kulit punggung Candra.

“Candra…hh” lenguh Evan sembari ia memejamkan matanya kuat-kuat.

“Yes, baby?”

Panggilan itu tak hanya memberikan efek yang gila untuk pikiran Evan, tetapi tubuhnya juga mulai merespon dengan spontan.

“Kenapa, sayang?” Candra mengulangi ucapannya. Kali ini ia singkirkan helai rambut dari kening Evan dan mulai membelai wajahnya.

“Bisa cepetan dikit, nggak? I think I'm going crazy if you move slowly like that.

Candra menyeringai tipis. Dikecupnya bibir Evan sebelum ia berbisik.

“Aku yang gila gara-gara kamu.”

Candra mengalihkan bibirnya untuk menyusuri permukaan kulit tubuh Evan yang seputih susu. Ciuman-ciuman kecil itu jatuh pada selangka lalu turun ke dada hingga terseret ke perut. Evan mengeluarkan desahan pendek kala Candra menekankan bibirnya di sana.

“Can.”

Candra sengaja tak menyingkirkan bibirnya dari sana. Ia tahu titik-titik sensitif Evan dan berniat untuk memanjakannya.

Disusurinya dengan lembut bagian perut Evan hingga ke area paling bawah yang membuat tubuh Evan akhirnya bergetar. Candra menjepit kulit perut Evan di antara kedua bibirnya dan memberinya basah dengan lidahnya.

”...Ah!” Evan spontan menarik rambut Candra yang terselip di jemarinya.

Hold on, aku belum ngapa-ngapain,” ucap Candra setengah menggoda ketika ia akhirnya mulai bergerak lagi di dalam tubuh Evan.

Kali ini dipenuhinya permintaan Evan. Candra melesakkan miliknya begitu dalam lalu menarik diri sejenak hanya untuk mendorongnya lagi lebih dalam. Evan membuka mulutnya lebar-lebar tanpa ada suara yang muncul. Kedua kakinya menjepit pinggul Candra begitu erat.

Engahan napas yang tercipta oleh Candra mengiringi gerakannya yang semakin cepat. Ujung miliknya menabrak titik kenikmatan Evan hingga cowok itu hampir bertemu putih. Dinding di sekitar miliknya terasa semakin sempit dan hangat.

“God. I'm really going to go insane, Evan.”

Perut dan paha Evan sudah basah oleh cairan bening yang terus mengalir keluar dari miliknya. Evan mendesah keras. Disentuhnya miliknya yang sudah meminta untuk diberi pelepasan.

Candra menjatuhkan dahinya pada dahi Evan sembari ia mengejar nikmatnya. Suara desahannya terputus-putus.

“I love- you, I love you, I love you-”

Bagai rapalan mantra bisikan Candra membuat Evan lupa akan segalanya. Tak ada realita di sekitarnya, hanya ada Candra yang kukuh penuh dalam kepala. Hingga putih memenuhi bagian dalam kelopak matanya.

Hembus angin dari air conditioner menyentuh lembut permukaan kulit mereka yang terekspos. Evan mulai merasakan dingin. Ia merapatkan dirinya pada Candra yang masih memejamkan mata di sampingnya.

Menyadari pergerakan Evan, Candra membuka kelopak matanya. Kesayangannya itu tersenyum. Ia membalas.

“Hei.”

“Hei.”

“Was that enough?”

Evan mendekat untuk mengecup bibir Candra beberapa saat lamanya.

“Kamu selalu cukup buat aku.”

Candra menghela tawa. “Maksud aku, cukup buat kamu besok nggak ke mana-mana selagi nggak ada aku.”

“Sama aja, kan. Kamunya sendiri udah lebih dari cukup. Aku nggak mungkin mau aneh-aneh.”

“Good to know.”

Candra mencium puncak kepala Evan lalu membawanya dalam pelukan.

“Besok aku anterin ke stasiun.”

“Pagi banget, loh. Kamu bisa bangun pagi?”

“Kamu bangunin aku.”

“Nggak usah, deh. Sleeping beauty needs their beauty sleep.”

“Ya, udah. Salam aja buat mama kamu. Buat semuanya.”

“Hari Minggu walaupun kamu bakal tidur seharian tapi hapenya jangan dimatiin, ya? Nanti aku kangen kalo nggak ngobrol sama kamu.”

“Iyaa.”

Bagi Evan, menjalani hidup bersama Candra tak sesulit mimpi dan harapan yang selalu digantungkannya dahulu. Hari-harinya berjalan dengan ringan meski tak selalu mulus. Menjalaninya dengan Candra mematahkan idenya bahwa mustahil untuk menemukan seseorang yang mau berkorban demi dirinya.

Loving Candra is so, so easy.

And Evan will keep doing it until God knows when.