Stage 3: Meluk pacar orang sampe berhenti nangis


Juyeon menghentikan motornya di depan bangunan yang megahnya sudah seperti apartemen mewah. Juga tepat di depan Changmin yang berdiri sambil menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Ayo,” ajak Juyeon meminta Changmin untuk naik ke atas motor.

Namun sepertinya Changmin masih belum sepenuhnya sadar maksud kedatangan cowok itu. Dirinya tetap diam di tempatnya.

“Gue disuruh Younghoon. Mau pulang, kan?” ujar Juyeon lagi untuk meyakinkan Changmin. Yang ditanya mengangguk kecil sebagai jawaban. “Buruan naik. Keburu gue dikira tukang ojek nyasar ke sini terus diusir.”

Changmin akhirnya segera beranjak menuju motor Juyeon sebelum cowok itu membawanya pergi dari acara yang sudah membuat hatinya kacau.


Meskipun masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, namun Juyeon tetap berusaha untuk tidak terlalu ikut campur. Tugasnya hanyalah mengantar Changmin pulang.

Hingga Changmin yang kemudian membuka suara. “Ju, berhenti di situ bentar.”

Juyeon menuruti permintaan Changmin, menepikan motornya dari jalan ke sisi yang tidak terlalu ramai. Ia mengira Changmin akan melakukan sesuatu, tapi anak itu tetap tak beranjak dari jok motor. Hanya menutupi wajah dengan sebelah tangan.

“Kelilipan, ya?” Juyeon memiringkan kepalanya untuk mengecek cowok itu yang masih terdiam. Sontak dirinya terkejut ketika Changmin tiba-tiba mengeluarkan isakan pertamanya.

“Eh, kenapa?” tanya Juyeon panik.

“Sori, Ju. Kalo nangis di kos gue dimarahin Kevin.”

“Hah?” Juyeon semakin dibuat bingung. Namun isakan Changmin yang menjadi tanpa henti itu memaksa Juyeon untuk berpikir melakukan sesuatu.

“Udah, udah, jangan nangis... Sst... Udah, ya...” tenang Juyeon sambil menepuk bahu Changmin dengan canggung. Ia tidak pernah ahli masalah menenangkan orang yang sedang menangis.

Mendapat perlakuan seperti itu dari Juyeon rupanya membuat Changmin jadi terisak lebih kencang. Juyeon seketika kelabakan.

“Eh, kok, malah makin nangis, sih. Changmin, nanti dikira gue ngapa-ngapain lo.”

“Lo diem aja makanya. Gue jadi makin sedih!”

“Iya, iya, gue diem. Tapi lo juga diem, jangan nangis lagi.”

“Gue, tuh, sedihhh!” rengek Changmin. “Pengen nangis!!”

Juyeon melihat ke sekitarnya untuk memastikan orang-orang tidak mencurigainya. Sebelum kemudian otaknya memerintahkan kedua lengannya untuk bergerak menjangkau cowok yang masih terisak itu, menenggelamkan kepalanya dalam dekapan untuk meredam suaranya.

“Buruan nangis,” bisik Juyeon setelah ia berhasil merengkuh Changmin dalam kedua lengan kokohnya.

Merasa mendapatkan tempat yang aman, Changmin menangis sejadi-jadinya. Suaranya teredam oleh kaos milik Juyeon yang mulai basah oleh air matanya. Setidaknya orang-orang tidak akan melihat.

Banyak pertanyaan yang ingin Juyeon lontarkan.

Kenapa nangis?

Kenapa nggak dianter pulang sama pacar lo?

Namun tak satupun yang berani Juyeon utarakan, selain,

“Nangis aja sampe lo lega. Habis itu gue anter pulang.”