Teruntuk Langit Hari Ini
cw // kissing
-
Tak henti-hentinya Biru menyuruh Arka untuk memacu mesin mobilnya lebih cepat. Kepalanya sudah penuh dengan kemungkinan terburuk yang mungkin akan dihadapinya dan Biru tidak siap.
“Rumah sakit mana, sih? Kok jauh banget?” tanya Biru gusar ketika mobil masih melaju meskipun mereka sudah cukup jauh jaraknya dari rumah Biru.
“Dia kecelakaannya pas udah deket lokasi tujuan, Ru. Emang agak jauh tempatnya,” jelas Hanan dari kursi depan.
Biru berdecak pelan. “Ini idenya siapa? Kalo jauh kenapa dibiarin berangkat sendirian? Ka, lo biasanya yang paling perhitungan masalah kaya gini. Kenapa nggak nganterin Bintang?”
Tidak berani menghadapi Biru secara langsung Arka hanya melihat sekilas dari spion depan sebelum menanggapi. “Maaf, ya, Ru. Gue juga nggak tau bakalan ada kejadian kayak gini.”
Biru memperhatikan Arka dan Hanan yang sempat bertukar pandang dengan sorot mata penyesalan. Tapi tidak ada gunanya lagi untuk berdebat. Semuanya sudah terjadi.
“Keluarganya Bintang udah dikabarin belum?” Serentak Biru merogoh ponselnya dari saku celana. “Ck, bundanya pasti kaget banget kalo gue kabarin. Gue telfon kakaknya aja, kali, ya?”
“Eh, udah dikabarin, kok!” sahut Hanan. “Tadi Arka udah ngabarin mereka juga, katanya mau otewe.”
“Oh- iya, Ru. Tadi udah dikabarin juga… kakaknya.”
Mendengar penjelasan dari temannya Biru tak jadi menghubungi Bulan dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Kemudian ia menyuruh Arka untuk mempercepat laju mobilnya lagi.
Biru memicingkan matanya ketika mobil mulai melamban dan akhirnya berbelok ke suatu pelataran luas yang Biru yakini bukan seperti area rumah sakit. Keningnya semakin berkerut ketika Arka benar-benar menghentikan mobilnya di sana dan mematikan mesinnya.
“Kok berhenti di sini? Mana rumah sakitnya?” tanya Biru langsung.
“Gue haus, Ru. Beli minum bentar, ya?”
“Hah? Apaan, sih, Nan? Lagi genting begini sempet-sempetnya lo beli minum?” protes Biru. “Ka, langsung ke rumah sakit aja.”
“Gue… juga haus, sih. Turun bentar beli minum, ya?” pinta Arka sembari membuka pintu mobilnya dan beranjak keluar.
Biru semakin gusar dibuatnya. Ia ikut turun dari mobil dan berusaha mengejar kedua temannya yang sudah jauh meninggalkannya.
“Ka, siniin kuncinya!” seru Biru. “Biar gue berangkat sendiri aja kalo kalian nggak mau ke sana. Bintang di rumah sakit ap-”
Kalimat Biru terputus bersamaan dengan dirinya yang terpental beberapa langkah ke belakang sebab menabrak punggung temannya yang berhenti tiba-tiba. Ia mengumpat pelan di balik napasnya.
“Ngapain, sih!?” seru Biru lagi.
Hanan dan Arka membalikkan badan untuk menghadapi Biru yang sudah semakin terlihat kesal. Arka berdiri di tempatnya dengan canggung sementara di sebelahnya Hanan hanya cengengesan.
“Maaf, ya, Ru.”
“Maaf kenapa-”
Hanan tak memberikan Biru kesempatan untuk melanjutkan ucapannya saat ia menarik Arka ke arahnya dan membiarkan apa yang ada di belakang mereka terlihat oleh Biru. Baru disadarinya bahwa tempat yang dimasukinya ini adalah sebuah kedai minuman yang memiliki nuansa laut biru yang teduh dipandang oleh mata. Bahkan Biru baru sadar di bagian belakang kedai yang tempatnya terbuka itu terhampar pantai sejauh mata memandang.
Seketika fokus mata Biru kembali pada apa yang ada di hadapannya. Balon-balon beraneka bentuk dan warna memenuhi penglihatannya. Kemudian satu wajah yang tak disangkanya menyembul di antara balon-balon itu. Tersenyum lebar padanya.
“HAPPY BIRTHDAY, BIRU!!!“
Kepala Biru terasa pening untuk sepersekian detik. Ia terpaksa bertumpu pada kedua lututnya untuk menopang dirinya.
“Eh, Biru kenapa??” seru Bintang panik.
Arka dan Hanan buru-buru menghampiri temannya itu.
“Ru, lo nggak papa?” tanya Hanan.
“Jangan nanya ke gue, tanya ke Bintang,” sahut Biru tajam. “Apaan, sih, maksudnya?”
“Kenapa…” ucap Bintang pelan, mulai merasa khawatir atas reaksi Biru yang berada di luar dugaannya.
Alih-alih menjawab, Biru malah sibuk memeriksa keadaan Bintang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bintang semakin kebingungan.
“Ada apa-”
“Kamu nggak papa?” sela Biru.
Bintang hanya mengangguk lambat sebagai jawaban. Ia melempar pandangan memelas ke arah Hanan dan Arka untuk meminta bantuan, mulai merasa bahwa Biru mungkin tidak menyukai kejutan darinya.
Setelah memastikan bahwa Bintang benar-benar utuh tanpa ada lecet sedikitpun, Biru baru dapat menghela napas keras. Namun tatapannya masih tajam tertuju pada pacarnya yang semakin menciutkan badannya.
“Sumpah nggak lucu, Bin. Ngapain sih harus bohong soal kecelakaan kayak gitu?”
“Hah? Kecelakaan?” Bintang balik bertanya penuh kebingungan.
Decakan pelan muncul dari mulut Arka sebelum ia memutuskan untuk menengahi dua orang yang sama-sama tidak tahu-menahu tentang apa yang sedang terjadi.
“Biru, tadi tuh kerjaannya si Hanan,” beber Arka akhirnya. “Dia yang tiba-tiba ngide tanpa ngasih tau Bintang atau gue. Dan gue terpaksa playing along karena si kampret satu ini udah terlanjur boongin lo. Gue minta maaf banget.”
Hanan menyembulkan kepalanya dari balik badan Arka, meringis canggung.
“Sori, ya, Ru. Sumpah gue nggak tau lo bakal segini keselnya. Lo tau sendiri gue kalo berbuat suka nggak mikir dulu. Beneran spontan aja tadi, tuh. Biar kejutannya makin berkesan,” jelas Hanan. “Bintang nggak tau apa-apa, kok. Dia cuman pengen ngasih kejutan ulang tahun biasa. Yang masalah kecelakaan itu ide gue. Sori, Ru.”
“Hanan…” bisik Bintang gemas. Ia menghentakkan kakinya pelan akibat tindakan Hanan yang selalu membuatnya sebal. Kejutan ulang tahun untuk Biru jadi berantakan gara-gara cowok itu.
“Jangan marah sama Bintang, Ru,” tambah Hanan lagi.
Biru menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan candaan temannya yang telah membuatnya panik setengah mati.
“Gue nggak tau lagi mau ngomong apa,” ucap Biru lelah.
“Ya, udah. Lo gue tinggal sama Bintang, ya? Gue sama Arka cabut dulu daripada lo makin kesel liat kita,” pamit Hanan sembari perlahan menarik Arka sebelum kena semprot lagi oleh Biru.
Tersisa Bintang yang masih berdiri canggung sambil menggenggam tali balon di kedua tangannya. Juga Biru yang tak tahu harus berbuat apa setelah semua kekacauan yang terjadi barusan.
Satu tangan Bintang terulur untuk memberikan balon yang dibawanya kepada Biru, yang kemudian diterima oleh Biru juga akhirnya. Perlahan Bintang mengaitkan lengannya pada Biru dan mengajaknya untuk menuju tempat yang sudah disiapkannya. Sepanjang langkah yang mereka ambil, Bintang terus memeluk satu lengan Biru dengan erat sambil menyandarkan kepalanya pada Biru. Tidak ada percakapan yang muncul hingga mereka tiba di salah satu tempat yang berbatasan langsung dengan area pantai.
Bintang menyuruh Biru untuk duduk sementara dirinya mengikatkan balon-balon di tangannya pada salah satu tiang penyangga. Hembusan angin membuat balon-balon itu bergoyang pelan dan bertabrakan bahkan menampar wajah Bintang dan membuatnya memekik pelan.
Selesai berkutat dengan balon, Bintang kembali menghampiri Biru dan merendahkan badannya di depan cowok itu. Wajah pacarnya masih belum cerah hingga Bintang mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup sisi wajah Biru, diusapnya pelan dengan ibu jarinya.
“Maaf, ya…” ucap Bintang. “Kejutan ulang tahunnya jadi kayak gini. Nanti aku marahin si Hanan, deh.”
Biru menarik napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya keras. Berkali-kali hingga ia merasa dapat menguasai dirinya kembali.
“Kamu tau, kan, aku paling takut denger kata rumah sakit?”
Biru mulai membuka suara. Bintang menanggapinya dengan anggukan cepat.
“Iya, aku tau.” Bintang menyisir helai rambut Biru yang terjuntai menutupi dahinya dengan jemari tangannya. “Tapi aku di sini sekarang, kan? Nggak kenapa-kenapa.”
“Bintang…” Biru menarik tubuh Bintang hingga ia bangkit berdiri lagi lalu memeluk pinggangnya dengan kedua lengan. “Kemarin-kemarin aku sibuk buat ngejar nilai sampe nggak sempet buat cek keadaan kamu. Kamu yang selalu ngehubungin aku duluan. Terus dapet kabar dari Hanan soal kamu kayak tadi, aku ngerasa ketampar banget.”
“Biru…”
“Pertama kali aku dapet kabar soal Ayah di rumah sakit, itu juga waktu aku lagi sibuk-sibuknya ngurus organisasi. Aku terlalu fokus sama duniaku sendiri sampe lupa ada orang-orang di sekitar aku yang harus aku perhatiin juga. Orang-orang yang aku sayang.” Biru menengadah menatap wajah Bintang yang masih mendengarkan ucapannya dengan seksama. “Aku nggak mau ada kejadian kayak gitu lagi, Bin. Aku beneran takut.”
Bintang akhirnya menempelkan dahinya pada Biru, memejamkan matanya seiring Biru yang juga melakukan hal serupa.
“Semuanya bukan salah kamu,” lirih Bintang. “It happened because God said so.“
Dikecupnya ujung hidung Biru sebelum ia berucap kembali. “Kalo kamu udah mulai sibuk sampe lupa sama sekitar kamu, aku yang bakal ngingetin. Aku bakal bawelin kamu terus biar kamu nggak lupa kalo masih ada aku, Ibu, Dinda, Hanan, Arka. Semuanya.”
Biru mengulas senyum tipis mendengar kalimat Bintang. “Please. Please do. Bawelin aku sampe aku tua, ya?”
Bintang tertawa kecil sebelum melepas dirinya dari Biru.
“Capek di akunya, dong? Kamu, mah, tinggal dengerin doang aku ngebawel.”
“Dengerin bawelan kamu, tuh, memperpanjang umur aku.” Biru meluncurkan kekehan pelan. “Nih, kamu bawelin aku sekarang udah nambahin satu lagi perayaan ulang tahun yang harus kamu siapin.”
“Oke, nggak papa. Aku bawelin kamu terus sampe kamu bosennn!!” Bintang menenggelamkan kepala Biru dalam dekapannya kuat sebelum membebaskannya kembali saat dirinya teringat akan sesuatu. “Eh, lupa kuenya!”
Biru mengangkat alisnya penasaran melihat Bintang yang tergesa bergegas mengambil kotak berukuran sedang dari atas meja tak jauh dari mereka. Dibukanya tutup kotak itu yang rupanya berisi kue ulang tahun untuk Biru. Ada tulisan 'Selamat Ulang Tahun, Langit Biru.' yang menghiasi permukaan kue berwarna biru cerah itu. Di pinggirannya ada kumpulan awan putih yang melingkari. Tak luput mata Biru menangkap satu buah bintang kecil berwarna kuning di bawah namanya.
“Ini apa? Kok ada bintang nyasar di sini?” canda Biru.
“Itu akuuu! Sengaja cuman satu bintangnya karena nggak boleh ada bintang yang lain lagi.”
Biru tidak kuasa menahan gemas akibat kelakuan pacarnya itu. Diraihnya kepala Bintang dengan satu tangannya lalu diberinya satu ciuman kuat pada dahinya.
“Biru, tiup lilin duluuu.” Bintang berusaha membebaskan dirinya kemudian mengambil pemantik api untuk diserahkan kepada Biru. “Biru, nyalain sendiri, ya? Aku takut nyalainnya.”
“Yah, gimana, sih? Masa yang ulang tahun disuruh nyalain lilin?”
Namun tetap diambilnya pemantik api dari tangan Bintang dan menyalakannya untuk membakar lilin yang sudah Bintang tancapkan di atas kue ulang tahunnya. Setelahnya ia meraih tangan Bintang untuk dirangkum dalam genggaman tangannya sendiri dan mulai memanjatkan doa.
“Tiup lilin!” seru Bintang usai Biru membuka matanya kembali. Biru meniup kedua lilin yang menyala dalam sekali hembusan napasnya.
“Biru.”
“Hm?”
“Aku ada sesuatu buat kamu.”
Biru tersenyum penuh ekspektasi melihat Bintang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Hadiah buat aku, ya?”
Bintang mengangguk dengan semangat.
“Asikk! Aku perlu tutup mata, nggak?”
“Boleh, deh. Tutup mata dulu.”
Perlahan Bintang menaruh benda yang dibungkusnya rapi dalam tas kecil itu di hadapan Biru. Lalu ditariknya satu tangan Biru hingga menyentuh bungkusan hadiahnya. Cowok di hadapannya itu meraba-raba untuk menebak apa isinya.
“Boleh diliat sekarang, nggak?” tanya Biru tak sabar.
Bintang menggigit bibirnya menahan rasa gugup sekaligus senang atas hadiah yang diberikannya pada Biru. “Boleh buka mata sekarang.”
Begitu kelopak mata Biru terbuka, cowok itu merogoh ke dalam tas kecil di hadapannya dan merasakan benda yang cukup berat di tangannya. Hati-hati sekali dikeluarkannya benda itu dan mulutnya seketika ternganga melihat apa yang ada di tangannya.
“Bin, ini-”
“Arka yang bantuin aku buat nyari,” jelas Bintang sebelum Biru sempat merangkai kalimat. Ia masih takjub memandangi benda berwarna gelap yang kini ada di tangannya itu. Sebuah kamera keluaran lawas yang sangat mirip dengan milik ayahnya dulu. Yang sempat membuat Biru kecil harus memohon untuk dibelikan kamera dengan model yang sama.
“Ini…” Biru masih kehilangan kata-katanya.
“Katanya kamu pengen nyobain motret pake kamera kayak punya ayah kamu, kan? Tapi punya ayah kamu udah rusak dan nggak bisa diperbaikin lagi. Jadi aku minta tolong Arka yang lebih ngerti soal kamera buat bantuin aku cari yang mirip sama kamera punya ayah kamu.”
Pandangan Biru mengabur tertutup lapisan bening yang mulai merebak di matanya. Kamera ayahnya itu menyimpan banyak sekali memori untuknya semenjak ia masih kecil dan mulai diajak sang ayah untuk berburu objek foto. Maka hatinya sedih sekali saat kamera itu sudah tidak berfungsi lagi beberapa saat setelah kepergian ayahnya. Dan melihat kamera yang sama meski bukan milik ayahnya di tangannya sekarang ini, membuat Biru kembali dipenuhi kenangan yang sempat tertinggal di belakang.
“Makasih, ya, Bintang. Aku makasih banget,” ucap Biru tulus. Matanya masih belum dapat lepas dari benda yang berulang kali diusapnya di tangan itu.
“Cobain, dong,” ujar Bintang.
Biru mengangguk lalu mengangkat kamera itu untuk membidikkan lensanya ke arah Bintang.
“Mau motret aku?” tanya Bintang kaget.
Biru hanya menjawab dengan gumaman sebelum menekan tombol pembidik pada kameranya. Wajah Bintang yang dihiasi dengan senyum lebar memenuhi lensanya.
Click.
Menghabiskan kue ulang tahun hingga tersisa setengahnya, menikmati menu yang mereka pesan dari kedai, keduanya kini duduk di gazebo mini yang menghadap langsung ke arah pantai. Menyaksikan ombak yang bergulung kemudian pecah bertemu putih pasir pantai menjadi buih.
Obrolan tanpa henti yang dilemparkan keduanya membuat mereka tidak sadar matahari sudah mulai turun ke arah barat. Bias warnanya kali ini tidak menjadikan langitnya jingga, tetapi semburat keunguan yang lembut. Berkali-kali Bintang mengambil gambarnya.
“Bintang.”
“Iya?”
“Makasih, ya, buat hari ini.”
Bintang mengangguk ringan. Kakinya berayun kecil seirama dengan senandung nada yang diciptakan bibir mungilnya.
“Sebenernya aku pengen ngajak kamu ke itu, Ru. Pantai yang dulu kamu pertama kali ngajakin aku buat hunting foto,” ungkap Bintang. “Tapi ke sananya jauh dan susah.”
“Kenapa pengen ke sana?”
“Pengen. Banyak kenangannya.”
“What kind of memories?“
“Yaa, banyak.” Bintang berhenti sejenak untuk berpikir. “Tapi kebanyakan kenangan soal kamu, sih.”
“Waktu itu pikiran kamu masih kebagi, tuh.”
“Kebagi apa?”
“Sama orang yang satu lagi. Inisialnya B-”
“Iyaa.” Bintang memotong kalimat Biru dengan tawa. “Kamu pasti kesel, deh, waktu itu aku ajakin pulang tiba-tiba. Iya, kan?”
“Bukan kesel karena kamu ngajak pulang. Tapi karena ada yang lebih kamu prioritasin yang nggak mau kamu bagi ke aku. Aku jadi tau posisi aku di situ gimana.”
“Ih, Biruuu.” Seketika Bintang mencondongkan tubuhnya untuk bergelayut memeluk Biru. “Tapi aku beneran nikmatin waktu aku di situ sama kamu, loh. Serius.”
“Iya, percaya.” Biru mengusak rambut Bintang pelan. “Kamu lari-larian kesana-kemari buat motret apa aja yang kamu temuin. Lucu banget. Untung kita belom deket-deket amat waktu itu, kalo nggak kamu udah aku pelukin sama aku unyel-unyel saking gemesnya.”
“Berarti kamu emang udah ada niat begitu, ya, dari awal?” Bintang menyipitkan matanya jenaka pada Biru, mendorong wajahnya lebih dekat ke arah cowok itu hingga ia menerima satu ciuman kilat tepat di bibir yang tidak diduganya.
“Biru!” pekik Bintang pelan sambil memukul lengan pacarnya. “Ini di tempat umum.”
“Nggak keliatan, kok,” balas Biru tak mau kalah. “Udah mau gelap juga, tuh.”
Bintang mencebikkan bibirnya karena ucapan Biru ada benarnya. Tidak terlalu banyak orang yang berada di deretan gazebo mini itu, juga langit yang semakin meredup membuat suasana di sekitar hanya terlihat remang-remang dengan pencahayaan yang sangat minim.
“Ya udah, ulang,” ucap Bintang cepat.
“Yah, dia minta nambah.”
“Hih, berisik??”
Biru mengaduh pelan karena Bintang menyerang pinggangnya dengan cubitan tanpa ampun.
“Iya, iya. Sini deketan makanya,” suruh Biru sambil menarik tangan Bintang agar merapat ke arahnya. Bintang menurut untuk mendekatkan dirinya pada Biru yang kemudian malah membahas hal lain. “Eh, tadi udah bilang ke Arka belum-”
Bintang mendesis kesal karena Biru masih juga mengoceh yang akhirnya membuat Bintang harus mengambil tindakan pertama untuk menghentikan ocehan dari mulut Biru. Serentak Biru terdiam namun tak ayal bibirnya juga menyimpan senyum tatkala Bintang menyerangnya lebih dulu dengan ciuman. Tangan Biru merengkuh tengkuk pacarnya sebelum ia membalas ciuman itu lebih dalam, membuat Bintang terpaksa limbung ke belakang jika tak segera ditahan oleh tangan Biru yang lain.
Suara obrolan manusia yang masih sempat terdengar di telinga seketika lenyap tergantikan oleh debur ombak yang merdu menggema di balik hangat dan lembutnya rasa yang menyentuh juga menyelimuti bilah bibir keduanya. Ketika perasaan sayang semakin besar maka semakin terasa pula makna sentuhan yang menyapu permukaan hangat itu. Bukan hanya sekedar bertaut dan merasa. Ada bahagia, percaya, rapuh, dan berserah yang saling dibagikan dengan sama banyak untuk masing-masing.
Bintang menangkup satu sisi wajah Biru selagi ia mengecup, menyesap, menyalurkan rasa teruntuk seseorang di hadapannya ini hingga lidahnya merasakan sesuatu yang asing. Perlahan Bintang menarik kepalanya untuk memperhatikan wajah Biru.
“Biru, kenapa nangis?” bisiknya halus. Ibu jarinya mengusap jejak air mata di wajah Biru. “Hari ini ulang tahun kamu. No more tears, please.“
Biru menggeleng pelan. Membiarkan wajahnya dibelai dengan lembut oleh Bintang.
“Aku sayang banget sama Bintang,” balas Biru dengan bisikan pula. Biar hanya didengar oleh keduanya.
Kalimat Biru membuat Bintang ingin merebakkan air mata yang berhasil ditahannya meski masih memaksa muncul di sudut-sudut matanya.
“Bintang juga sayang sama Biru. Nol koma satu lebih banyak dari sayangnya Biru.”
“Kenapa cuma nol koma satu?”
“Biar tetep seimbang tapi porsi sayangnya Bintang lebih banyak. Aku nggak mau kelebihannya terlalu banyak dari punya Biru karena aku mau disayang Biru sama banyaknya.”
Biru memejamkan matanya beberapa saat sebelum merengkuh tubuh Bintang dalam dekapannya. “Stop gemes atau aku harus sembunyiin kamu kayak gini terus dari orang-orang. Bahaya.”
“Aku cuma begitu sama kamu doang, kok. Tapi kalo kamu mau simpen aku di sini terus juga nggak papa. Betah akunya.”
Biru terkekeh geli atas komentar lucu yang dilontarkan pacarnya itu. Diciuminya puncak kepala Bintang tiada henti.
“Biru, are you happy today?“
“Mhm. Very.“
“Selamat ulang tahun, Biru.”