This is a commission work for anonymous, written by @onebitekyu. Pairing: Hyunjae (Hanan) × Younghoon (Arka) Length: 1233 words


Siang itu panas seperti biasa. Dan kalau bukan karena lagi nunggu orang, Arka sekarang pasti sudah balik ke kosnya. Rebahan sambil ngadem.

Berisik obrolan dan tawa segerombolan orang di dekatnya nggak membuat Arka tertarik. Perhatiannya baru tersita waktu bahunya ditepuk.

“Ka, cek grup angkatan, deh.”

“Apaan?” balas Arka. Meski malas ia tetap merogoh ponsel di saku celananya.

Arka jarang membuka grup WhatsApp angkatannya kecuali jika ada hal-hal yang penting saja. Karena kebanyakan isinya cuma guyonan receh yang nggak bermutu. Sering out of topic, lagi.

Jempol Arka menggulirkan layar ponsel hingga muncul stiker-stiker yang saling dikirimkan oleh teman-temannya. Mata Arka melebar melihat stiker seorang cowok yang sedang menangis itu dijadikan meme di dalam grup. Ia seketika merasa kesal. Bukan karena ia tahu kalau stiker yang dipakai itu adalah mukanya, tapi karena ia tahu siapa pelakunya!

“Sumpah, kocak banget muka lo, Ka!” Lagi-lagi temannya terbahak. “Tuh anak dapet foto lo nangis gini dari mana, dah?”

Nggak butuh waktu lama hingga manusia tengil yang diduga pelaku penyebaran stiker itu muncul. Arka ingin sekali mengacak-acak mukanya sebelum tangannya seketika ditarik.

“Misi, yaa. Arka-nya pulang dulu, yaa!”

Hanan. Cowok yang diberi tampang hampir sesempurna dewa, tetapi sifat yang menyerupai titisan anak setan itu adalah alasan hari-hari Arka terasa seperti wahana roller coaster. Nggak perlu, deh, keluar duit buat beli tiket naik wahana itu. Cukup menghadapi manusia bernama Hanan saja pengalamannya dijamin sama. Bahkan lebih ekstrem.

“Mau makan di mana? Aku laper banget. Bimbingan sama Tony Stark nguras energinya dobel. Gila! Untung hari ini dia nggak lagi jadi Iron Man.”

Hanan lagi ngomongin dosen pembimbingnya yang menurut dia mirip Tony Stark, Iron Man dari film superhero kesukaannya itu. Cowok itu bahkan yakin kalau dosennya ini mungkin punya perusahaan besar seperti di film itu dan berubah menjadi superhero di malam hari. Sangat konyol.

Menyadari nggak ada respon dari cowok di belakangnya itu, Hanan membalikkan badan. Arka masih belum memakai helm yang diberikan Hanan beberapa saat lalu. Cowok itu menatap tajam ke arahnya, bibirnya cemberut.

“Dih, kenapa sih?” tanya Hanan, tersenyum geli melihat ekspresi Arka. Ditusuknya pipi cowok itu dengan telunjuknya beberapa kali, lalu ditariknya pelan.

Arka akhirnya merespon. Kali ini dengan pukulan bertubi-tubi yang mendarat di kepala Hanan yang, untungnya, sudah terbungkus helm.

“Ngeselin banget! Ngeselin, ngeselin!” seru Arka, menggeplak helm Hanan tanpa ampun.

“Yanggg, kenapa sih?? Aku salah apaa??” Hanan berusaha bertanya di sela-sela dirinya melindungi kepala dari serangan Arka.

Arka menghentikan aksinya. “Kamu ngapain nyebar foto aku? Mana pas lagi nangis! Mana dijadiin stiker meme!”

Hanan seketika melongo.

“Kamu… Kok tumben liat grup angkatan?”

Net not. Jawaban salah.

Arka kembali menghujani Hanan dengan tabokan sementara cowok yang sepertinya nggak terlalu merasa bersalah itu sibuk menghindar.

Hari biasa di kehidupan Arka.


“Sayang, jemurannya diangkat sekarang apa nanti? Udah agak mendung.”

“Terserah.”

“Tapi celana aku ada yang belum kering.”

“Ya udah, nanti aja.”

“Nanti keburu keujanan. Nanti basah. Terus aku nggak pake celana.”

“Celana kamu nggak satu doang ya, Hanan!? Nggak usah cari gara-gara!”

Berhasil mengganggu pacarnya yang lagi sibuk revisian itu, Hanan ngibrit pergi sambil cekikikan. Arka menghela napas kesal. Kepalanya pening akibat menatap layar laptop berjam-jam. Dia pengen pesan minuman, tapi nggak mau kalau cuma sendiri. Sementara pacarnya yang usil tadi kabur entah ke mana. Mungkin mengambil jemuran.

Arka masih belum memesan apa-apa ketika Hanan muncul di pintu kamar kos mereka dengan segunung pakaian yang barusan diambil dari jemuran. Cowok itu berjalan terhuyung ke arah Arka yang sedang rebah di atas kasur.

“Awas, barang panas! Barang panas!”

Dengan sengaja Hanan menjatuhkan tumpukan pakaian itu di atas badan Arka. Tak pelak suara erangan juga umpatan mulai memenuhi kamar yang luasnya nggak seberapa itu. Disambut dengan suara tawa yang nggak kalah menjengkelkan.

Arka menyingkirkan tumpukan pakaian itu dari badannya hingga matanya bertemu wajah Hanan yang sedang menyeringai lebar. Rasa kesalnya perlahan surut. Hari ini pikiran Arka banyak capeknya. Cowok itu merentangkan kedua lengan. Ia ingin dipeluk.

Menghabiskan banyak waktu bersama Arka membuat Hanan hapal dengan tabiat cowok itu. Tanpa bertanya lagi Hanan menghampirinya dan memberinya pelukan erat dengan kedua lengan. Arka balas memeluk, matanya terpejam dan dihirupnya napas dalam-dalam. Aroma tubuh Hanan selalu familiar untuk Arka. Selalu nyaman. Selalu menenangkan.

“Jangan capek-capek,” bisik Hanan pada telinga Arka. “Aku mau kamu lulus dapet gelar S sarjana, bukan S stress.”

“Gimana caranya lulus tanpa stress?” gumam Arka. “Nan, kira-kira aku bisa nggak ya, sidang minggu depan?”

Hanan menciumi pipi Arka sebelum membalas. “Halah, apa sih yang kamu nggak bisa?”

Kalau Arka boleh jujur, dia mau setiap hari mendengar omongan Hanan yang sukses bikin dia tenang. Arka nggak mudah percaya sama sesuatu, tapi kalau itu Hanan rasanya dia bisa mempercayakan seluruh hidupnya. Tapi Arka sengaja nggak bilang itu ke Hanan, nanti dia besar kepala.

“Kamu termasuk salah satu mahasiswa pertama di angkatan kita yang skripsinya cepet, lho. Tinggal dikit lagi. Aku aja baru mau mulai sempro.”

“Skripsi bukan ajang lomba cepet-cepetan.”

“Emang bukan, aku cuma ngasih tau kalo kamu keren. Pacar aku keren.”

Arka membenamkan wajahnya di ceruk leher Hanan.

“Aku nggak mau cepet-cepet. Nanti aku lulus terus kamu sendirian di sini. Ngadepin Tony Stark sendiri, ngomel-ngomel sendiri. Kasian.”

Hanan terkekeh. “Siapa bilang kalo kamu lulus terus bisa pergi gitu aja? Aku tahan, lah, di sini. Jokiin skripsiku.”

“Ngawur. Dibayar berapa emangnya?”

“Mahal bayarannya.”

“Semahal apa?”

“Semahal ini.”

Arka bingung karena Hanan cuma melihat ke arahnya. Lalu dia sadar maksud cowok itu. Tiba-tiba rasanya pengen nangis. Arka sayang Hanan banget.

“Aku masih kesel sama kamu, by the way.”

Bukan Arka namanya kalau nggak menyembunyikan perasaan pakai topeng sok nggak peduli.

Dan bukan Hanan namanya kalau nggak segera menyadari.

“Kesel kenapa sih, Sayang?”

“Kamu jadiin aku stiker meme!!!”

Lagi-lagi Arka menunjukkan ekspresi yang bikin Hanan susah buat nggak nyubit pipinya. Pipi Arka kayak adonan roti yang mengundang tangan Hanan buat menariknya.

“Aduhh, sakit tau!” omel Arka dengan kedua pipinya yang melar akibat ditarik dua tangan Hanan.

Hanan terkekeh. Ia malah bermain-main dengan pipi pacarnya itu sambil sesekali menjatuhkan ciuman singkat di bibirnya yang membentuk huruf 'o'.

“Tapi kamu lucu banget kalo nangis.”

Hanan nggak bohong. Arka kemarin menangis gara-gara liat video penyelamatan kucing. Tanpa pikir panjang dia abadikan momen itu lewat kamera ponsel. Yang kemudian jadi bahan reaksi di grup angkatan.

Tapi Hanan berani sumpah, dia cuma ingin pamer pacarnya yang super menggemaskan itu.

“Emangnya kalo lucu boleh disebarin? Kalo ada yang naksir aku gimana?” tantang Arka.

Hanan diam sebentar, mikir. “Nggak takut. Aku bisa berantem.”

Fair. Tapi kalo dibalik aku kayaknya kalah, deh. Aku nggak bisa berantem.”

“Maksudnya? Kamu nggak usah berantem?”

“Maksudnya…” Arka berucap lambat-lambat. “Kalo ada yang naksir kamu.”

Nggak gampang menyembunyikan ekspresi kelewat senangnya kalau Arka lagi begini. Hanan menutup mulut rapat-rapat biar nggak nyengir terlalu lebar. Gantinya dia peluk lagi pacarnya lebih kencang sambil menyerang pipinya yang merah dengan ciuman bertubi-tubi.

“Jangan gemes, jangan lucu, diem aja udah. Nggak usah ngapa-ngapain kamu. Nggak usah berantem juga, aku usir kalo ada yang naksir sama aku.”

Arka memprotes di sela-sela tawanya karena pacarnya itu menciumnya tanpa ampun. Pikirannya sudah nggak sekusut tadi. Agenda pesan minuman juga sudah diabaikan. Manusia yang masih bertengger di atas tubuhnya ini sudah lebih dari asupan gula yang ia butuhkan dari minuman apapun. Manis.

Hari-hari bersama Hanan itu kayak naik roller coaster. Naik, turun, teriak, ketawa. Tapi di situ tetap aman karena ada sabuk pengamannya. Biar nggak kelempar dan jatuh terus luka. Hanan memastikan kalau kedua tangannya selalu siap buat Arka kapanpun dia merasa mau jatuh.

Dan buat yang satu ini, Arka nggak mau roller coaster-nya berhenti.

(fin.)