This is a commission work for #TeamEdgar written by @onebitekyu. Pairing: Juyeon × Changmin Casts: Juyeon, Changmin, Hyunjae Length: 2031 words
‘Sampai nanti, aku akan terus di sini menemani kamu. Menulis berlembar-lembar kisah tentang kita.’
Tetapi bibir itu kini terkatup dan dingin. Tangannya tak lagi membalas genggamannya.
Juyeon menatap kursor yang berkedip di layar laptopnya. Sudah lewat satu jam sejak tangannya berhenti menyentuh keyboard. Beberapa bulan belakangan ini ia sulit untuk berkonsentrasi. Pikirannya terus mengunjungi memori yang seharusnya ia lupakan.
Cangkir kopi Juyeon kosong ketika tangannya meraih benda itu. Di balik jendela kafe, rintik hujan masih turun membasahi jalanan. Juyeon memutuskan untuk memesan secangkir kopi lagi.
“Hei, mau pesen kopi lagi?”
Juyeon hampir lupa betapa ramah dan menyenangkannya pemilik kafe itu. Beberapa kali Juyeon mampir ke tempat ini dan ia selalu disambut dengan senyum lebar oleh lelaki berwajah manis dan lesung di pipi. Ada tato bunga dan kupu-kupu yang mengintip dari balik lengan pakaiannya yang tergulung. Indah, menurut Juyeon. Sangat cocok dengan kepribadiannya.
“Iya. Satu cangkir aja.”
Juyeon tahu nama lelaki itu karena tersemat di pakaiannya. Tetapi ia sungkan untuk menyebut namanya lantaran belum berkenalan secara langsung.
Secangkir kopi yang masih mengepul beserta sepiring kue hadir di hadapan Juyeon.
“Maaf, kayaknya saya tadi nggak pesan kue?” ucap Juyeon.
“Gratis, kok.”
“Memangnya nggak apa-apa?”
Lelaki manis itu kembali merekahkan senyum yang membuat Juyeon sejenak lupa akan penatnya.
“Gue yang punya kafe ini. Nggak akan ada yang marah.”
Juyeon akhirnya tertawa kecil. Ia mengangguk sambil menerima menu yang disajikan. Setelah mengucapkan terima kasih, lelaki itu kembali ke tempatnya meninggalkan Juyeon yang harus berkutat lagi dengan layar laptopnya. Kali ini pikirannya penuh oleh senyum lelaki manis yang baru saja berbicara padanya.
Sudah lama lelaki jangkung itu kerap mengunjungi kafe kecilnya sambil membawa laptop. Changmin selalu hapal siapapun yang datang ke kafenya. Tak terkecuali lelaki itu yang belum ia ketahui namanya.
Terkadang Changmin penasaran apa yang membuat lelaki itu terlampau fokus dengan laptopnya. Sesekali ia mencoba mengintip ketika ia mengantarkan pesanannya. Namun hanya ada halaman kosong.
Hari ini lelaki itu datang lagi. Memesan menu yang sama.
“Ngerjain apa, sih?” lontar Changmin sambil menaruh secangkir kopi di atas meja. “Jangan sepaneng nanti stress, loh!”
Lelaki itu tampak terkejut sejenak atas komentar spontan dari Changmin. Matanya teralih dari layar.
“Saya lagi nulis,” ucap lelaki itu. “Lebih tepatnya, lagi nyoba nulis lagi.”
Sepasang mata Changmin membulat. “Lo penulis? Keren banget!”
Ucapan Changmin sepertinya membuat lelaki itu sedikit rikuh. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu diletakkannya di atas meja.
“Buku saya yang sudah pernah terbit sebelumnya.”
Dengan kedua tangan Changmin meraih buku itu. Mengamati cover-nya yang cantik.
“Juyeon…” gumam Changmin pelan, membaca nama yang tertera di sana.
“Itu nama saya.”
Changmin mengangguk kecil. Ia membuka-buka halaman buku itu untuk beberapa saat sebelum berucap pada Juyeon.
“Hmm, Juyeon. Gue boleh pinjem buku ini, nggak? Gue pengen baca.”
“Boleh. Buku itu buat kamu aja.”
Changmin memekik senang. Didekapnya buku itu sambil mengucapkan terima kasih pada Juyeon yang membalas senyumnya.
Kekosongan itu selalu terasa menyiksa. Acap kali Juyeon mencoba untuk menuangkan isi kepalanya dalam tulisan, tangannya enggan untuk bergerak. Seakan jari-jarinya beku dan dingin seperti jemari yang coba digenggamnya beberapa bulan yang lalu.
“Kenapa sedih banget, Ju?”
Suara seseorang membuyarkan lamunan Juyeon. Rupanya Changmin sudah duduk di dekatnya sambil membaca satu paragraf yang berhasil ditulisnya selama beberapa hari.
“Ini lanjutan dari buku kemarin?” tanya Changmin lagi.
“Kamu udah selesai baca?” Juyeon balik bertanya.
“Belom, sih. Baru seperempat buku. Tapi gue suka banget chemistry dua tokoh utamanya! Kayak kerasa banget kalo dua-duanya saling sayang.”
Tanpa sadar ada senyum tipis yang terulas di bibir Juyeon.
“I'm glad. Berarti pesan yang saya tuangin di buku itu sampai ke kamu.”
“Tapi lo dapet inspirasinya dari mana, sih?” tanya Changmin penasaran. “Pengalaman pribadi, ya??”
Senyum yang sempat muncul di bibir Juyeon perlahan memudar. Lelaki itu berdeham pelan.
“Dari orang-orang di sekitar saya aja. Saya suka merhatiin sekeliling saya.”
Changmin menggembungkan pipinya. Ia kembali melihat deretan tulisan di layar laptop Juyeon.
“Berarti lo orang yang peduli sama sekitar, Juyeon.”
Lembar demi lembar telah dibaca oleh Changmin. Semakin ia terhanyut dalam cerita, semakin Changmin merasa sedih. Bukan karena buku itu mengisahkan cerita yang sedih, tapi karena Changmin mulai membandingkan dengan kisah miliknya sendiri. Andai saja kisahnya sama seperti karakter di dalam buku itu, pasti ia merasa sangat bahagia.
Changmin bertanya-tanya apakah Juyeon juga merasakan bahagia ketika menulis buku itu. Atau mungkin seperti dirinya, merasa iri dengan kisah bahagia yang dialami oleh karakter dalam buku itu.
Kafe sudah sepi. Hanya ada Changmin dengan secangkir kopi yang diseduhnya sendiri. Ia mulai memadamkan lampu satu persatu.
Suara pintu yang dibuka membuat Changmin menolehkan kepalanya. Seseorang datang.
“Udah mau pulang?”
Changmin tersenyum kecil. Ia menganggukkan kepala. Segera dimasukkan buku yang dibacanya ke dalam tas lalu dihampirinya lelaki yang melingkarkan lengannya di bahu Changmin, mengusak rambutnya lembut.
“Kak Hyunjae lembur lagi hari ini?”
“Iya.”
“Besok?”
“Besok juga. Dan besok-besoknya.”
Juyeon berdiri di depan pintu kafe yang terdapat tulisan 'TUTUP'. Ia datang di hari dan jam biasa, namun rupanya kafe itu sedang libur. Juyeon merasa sedikit khawatir. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Mau minum kopi?”
Suara Changmin terdengar di dekatnya. Lelaki itu tersenyum sambil membukakan pintu kafe.
“Tumben bukanya terlambat,” komentar Juyeon. Ia mengikuti Changmin masuk ke dalam.
Changmin tak segera menjawab. Lelaki yang lebih pendek itu kembali menutup pintu kafe, membiarkan tulisan 'TUTUP' terpampang di sana.
“Emang sengaja tutup. Tapi gue khawatir lo dateng hari ini. Jadi, pengunjung kafe hari ini cukup lo aja.”
Dengan kening berkerut Juyeon mengamati Changmin yang sedang sibuk membuatkan secangkir kopi untuknya. Lelaki itu tidak tampak seceria biasanya. Gerak-geriknya lamban.
Secangkir kopi dengan uap tipis mengepul di depan wajah Juyeon. Di hadapannya Changmin duduk sambil bertopang dagu. Juyeon memperhatikan sepasang matanya yang terlihat sayu.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Juyeon pelan. “Sebenernya kamu nggak perlu buka kafe cuma buat saya.”
Changmin menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan.
“Tapi lo butuh tempat buat lanjutin tulisan lo, kan? Dan tempat itu di sini.”
Juyeon mengangguk pelan. “Makasih udah biarin saya nulis di sini.”
“Gimana progress tulisan lo? Udah sampe mana?”
Juyeon menyadari sejak ia mulai mengobrol dengan Changmin, kepalanya tak lagi memikirkan hal-hal menyakitkan di masa lampau. Ide cerita mengalir begitu saja melalui jemarinya yang bergerak lincah di atas keyboard.
“Saya kayaknya perlu sering-sering ngobrol sama kamu,” ucap Juyeon.
“Kenapa?”
“Entah. Mungkin kamu salah satu dari sedikit orang yang benar-benar paham tulisan saya.”
Changmin berpikir sejenak. Ia lalu menggelengkan kepalanya tidak setuju.
“Atau, mungkin lo emang penulis yang hebat. Lewat tulisan lo, mereka bisa nangkep apa yang lo maksud.”
Juyeon tidak tahu mana yang lebih tepat. Namun yang jelas, keduanya sengaja dipertemukan untuk mengerti satu sama lain. Pasti ada alasan mengapa mereka mulai mengobrol meski Juyeon sudah sering mengunjungi kafe itu sebelumnya.
Changmin membiarkan Juyeon mulai menulis lagi hingga ia tertidur di dekatnya. Ada desir di dada Juyeon kala ia melihat pemandangan itu. Ditanggalkan jaketnya lalu diselimuti badan lelaki mungil itu. Dahulu ada yang menemaninya menulis seperti ini. Hari ini Juyeon bersyukur ia tidak sendirian.
Changmin selesai membaca halaman terakhir buku dari Juyeon. Tiba-tiba saja hatinya dilanda kekosongan yang membuat air matanya menetes tanpa permisi.
Dua tokoh utama di buku itu memiliki akhir yang bahagia. Jadi untuk apa Changmin menangis?
Mungkin ia hanya sedih karena kisah bahagia itu berakhir. Mungkin ia hanya ingin hal itu terjadi padanya.
“Tega banget Juyeon bikin cerita kayak gini,” keluh Changmin sambil mengusap sisa air matanya. Ia mematikan lampu bacanya kemudian terlelap. Malam itu ia memimpikan kisah bahagia yang sama. Ada wajah Juyeon yang menyertai.
Hari itu Juyeon melangkahkan kakinya lebih cepat menuju kafe. Ia tak sabar untuk memberitahu Changmin bahwa tulisannya sudah hampir selesai.
Namun yang didapatinya adalah sesuatu yang tak ingin dilihatnya.
Changmin bersama entah siapa, terlibat dalam percakapan serius di balik meja kasir. Ekspresi Changmin menunjukkan amarah. Juyeon belum pernah melihat Changmin seperti itu. Ia seketika memalingkan pandangan ketika Changmin menyadari kehadirannya.
Kopinya diantarkan ke meja oleh orang lain. Juyeon masih tak melihat Changmin setelah lelaki yang berdebat dengannya meninggalkan kafe beberapa saat yang lalu. Batinnya mulai resah.
Ketika satu persatu pengunjung kafe mulai surut, Juyeon memberanikan diri untuk mendatangi seseorang yang membawakan kopi untuknya tadi.
“Permisi. Apa boleh saya bertemu pemilik kafe ini?”
Lelaki yang sedang menata cangkir itu terlihat bingung.
“Saya nggak ingin komplain. Ada yang mau saya sampaikan ke dia.”
“Oh, tunggu sebentar, ya?”
Juyeon menunggu dengan tidak sabar sembari lelaki itu masuk ke dalam untuk memanggil Changmin. Tak lama Changmin muncul dengan mata sembab yang begitu kentara.
“Ju, ada apa?” tanya Changmin dengan nada yang berusaha dibuatnya ceria. “Mau nambah kopi, ya? Bentar gue bikinin-”
“Changmin.” Juyeon menahan tangannya. “Boleh temenin saya aja? Duduk di situ.”
Hanya alasan Juyeon untuk meminta Changmin menemaninya. Sejujurnya ia ingin memastikan kalau Changmin baik-baik saja.
“Mata kamu sembab. Kamu habis nangis?” tanya Juyeon tanpa bermaksud mengganggu privasi Changmin.
Changmin menghela napas. “Masih keliatan, ya? Padahal gue udah cuci muka berkali-kali.”
“Kenapa?”
Changmin menyusun kalimat dalam kepalanya sebelum bibirnya mulai meluncurkan cerita yang tak pernah dibaginya pada siapapun.
“Lo pasti udah liat tadi. Cowok yang ngobrol sama gue. Berantem, lebih tepatnya.”
“Dia pacar kamu?”
“I wished.” Changmin tersenyum pahit. “Namanya Kak Hyunjae. Kita kenal dari kecil. Dan sama-sama tau perasaan masing-masing. Tapi dia nggak pernah bawa hubungan ini kemana-mana. Gue nggak tau apa dia beneran sayang sama gue. Atau cuman perasaan gue yang tersisa sementara punya dia udah hilang.”
“Kalian berantem soal itu?”
“Gue tanya ke dia kenapa nggak ada waktu buat gue. Ujungnya Kak Hyunjae ngomong kalo kami berdua nggak terikat hubungan apapun.”
Changmin menutup wajahnya lantaran air mata yang kembali merebak. Perlahan Juyeon menggeser kursinya lebih dekat ke Changmin. Dengan satu gerakan lembut ditariknya tubuh Changmin dalam pelukannya. Changmin terisak di sana.
“Kenapa, sih, kisah hidup gue nggak kayak cerita di buku lo, Ju?”
Juyeon termenung. Diusapnya kepala Changmin sambil memikirkan jawaban yang tepat.
“Karena cerita itu memang milik orang lain.”
Changmin mendongakkan kepalanya demi menatap sepasang mata Juyeon yang teduh.
“Saya pernah punya seseorang yang saya sayang. Saya kira saya bakal terus hidup sama dia. Ternyata saya keliru. Tapi dia pernah bilang sama saya, katanya seseorang boleh melepas sesuatu yang nggak lagi bikin mereka bahagia. Dan itu nggak salah.”
“Dia- ninggalin lo?”
“Terpaksa ninggalin saya. Dan saya harus melepas.”
Juyeon menghapus air mata di pipi Changmin dengan ibu jarinya.
“Jadi, kamu boleh pake saran saya buat ikut melepas. Atau kamu mau bertahan tanpa ada kepastian.”
Entah apa yang membuat Changmin akhirnya kembali menyurukkan wajahnya ke dada Juyeon, memeluk lelaki itu lebih erat. Berada dalam pelukan Juyeon rasanya seperti saat ia membaca bukunya. Hangat dan menenangkan. Mungkin Juyeon bukan hanya penulis yang hebat, tetapi eksistensinya saja sudah mampu memberikan ketentraman di hati orang lain.
“Saya sampe lupa mau kasih tau kamu sesuatu,” ucap Juyeon setelah ia memastikan Changmin telah merasa lebih baik.
“Apa?”
Dengan senyum dan binar yang tersirat di matanya, Juyeon berkata. “Buku saya yang selanjutnya udah hampir selesai.”
Tak henti-hentinya Changmin mendesah kagum pada tiap bagian cerita di buku yang sedang dibacanya. Terakhir ia membaca draft di laptop Juyeon, cerita itu terasa begitu sedih. Tetapi tulisan yang dibacanya saat ini tidak serta-merta membuatnya sedih meski dua tokoh utama dalam cerita itu harus berpisah. Karena masing-masing menemukan kebebasannya sendiri.
“Hei, kamu di sini ternyata. Aku nyariin kamu dari tadi.”
Changmin mengangkat wajahnya dan senyumnya seketika mengembang. Ia mengangkat buku di tangannya.
“Bagus banget. Kamu berhasil bikin satu mahakarya lagi.”
Ucapan Changmin melengkapi kebahagiaan Juyeon hari itu. Digenggamnya kedua tangan Changmin erat.
“Buku itu bisa lahir berkat kamu juga.”
“Kok aku?”
“Changmin, kamu inget nggak pertama kali aku dateng ke kafe kamu? Kamu juga pasti sadar beberapa kali kamu liat layar laptop aku bersih tanpa tulisan. Sampe akhirnya kamu ngajak aku ngobrol. Dari situ aku ngerasa dapetin nyawaku lagi. Kamu yang bikin aku sadar kalo aku nggak perlu ngerasa sendirian walaupun ditinggal seseorang yang berharga. Kamu yang selalu ngasih senyum terbaik kamu, kamu yang selalu hapal menu pesenanku, kamu yang bilang kalo aku penulis hebat. Kamu yang bantu aku dan tulisanku buat hidup lagi.”
Changmin ingat semuanya. Ia ingat kapan pertama kali Juyeon muncul di kafenya dan melamun di depan layar laptop sembari menunggu hujan reda. Bercangkir-cangkir kopi yang ia pesan. Juga tulisannya yang membuat hati Changmin tak terasa dingin lagi.
“Juyeon, kenapa bukunya dikasih judul Let You Break My Heart Again?”
“To remind myself that I shouldn’t be scared of falling in love again.”
“Is it worth it?”
“With you, it is.”
(fin.)