This is a commission work for @terjuyo, written by @onebitekyu. Pairing: Juyeon × Changmin Casts: Juyeon, Changmin, Hyunjae, Sangyeon Length: 3508 words
Papan kayu bertuliskan “Rumah Kopi” yang diukir dengan apik itu tersemat tepat di atas pintu masuk yang mulai banyak dilewati pengunjung. Juyeon melangkahkan kakinya masuk ke sebuah kafe yang bisa dibilang cukup sederhana namun nyaman. Sebagian besar meja sudah terisi oleh mahasiswa kampus sebelah dan beberapa orang kantoran. Juyeon melempar senyum pada tiap pengunjung yang dilewatinya sebelum masuk ke dapur kafe.
“Lama amat, sih.” Hyunjae, yang bertugas sebagai chef di kafe itu langsung menyambut Juyeon dengan keluhan. “Dapet nggak?”
“Tenanggg.” Juyeon mengambil sepaket biji kopi dari dalam tasnya lalu ditaruh di atas meja. “Temen gue masih punya stok tadi. Tapi ngutang dulu soalnya buru-buru. Bang Sangyeon ada di ruangan?”
“Nggak tau. Tadi sempet gantiin lo bikin kopi.”
Sambil membawa seplastik biji kopinya, Juyeon berjalan menuju meja tempat kopi dibuat. Sangyeon, manajer kafe ini ada di sana, sibuk menyeduh kopi.
“Bang, ini gue udah dapet biji kopinya,” ucap Juyeon. “Gue lanjutin aja. Makasih, ya, Bang.”
Sangyeon mengangguk. “Oke. Gue balik ke ruangan.”
Sepeninggal Sangyeon, Juyeon langsung sibuk memproses biji kopi menggunakan alat penggiling hingga menjadi bubuk yang siap untuk dituang air panas. Dengan penuh perhitungan Juyeon menuang air panas dari teko hingga tetesan pekat berwarna coklat itu jatuh dari kertas penyaring. Aroma kopi yang khas perlahan menguar, mengisi indra penciuman dan merelaksasi otot yang tegang.
“Ju, americano-nya udah ada belom?”
Suara seseorang membuyarkan fokus Juyeon. Lelaki itu mengangkat wajahnya dan perlahan uap kopi yang membumbung di sekitarnya menipis lalu lenyap, menampakkan paras seorang lelaki manis dengan lesung di pipi kanan.
Setengah tergeragap Juyeon menjawab. “Udah, kok, udah. Ini bentar lagi jadi.”
Changmin, lelaki berparas manis yang kerap membuat jantung Juyeon jumpalitan itu kembali berkutat dengan kertas orderan pengunjung. Memastikan tidak ada pesanan yang terlewat. Sesekali ia mengetukkan ujung bolpoin ke pelipisnya dan ekspresinya berubah lucu.
Juyeon menghela napas dan kembali fokus pada kegiatannya. Karena bisa memakan waktu seharian hanya untuk memperhatikan Changmin, sedangkan ada banyak cangkir kopi yang harus ia buat.
Biasanya kafe baru mulai sepi ketika jam makan siang berakhir. Waktu yang agak senggang itu digunakan untuk beristirahat. Juyeon duduk di salah satu kursi dekat dengan jendela. Apron dengan noda kopi masih melekat di badannya.
“Mau, nggak? Udah dingin, sih.” Hyunjae tiba-tiba datang sambil menawarkan sepiring pasta yang sudah kaku. “Salah pesenan gara-gara Changmin.”
Juyeon mendenguskan tawa pelan sebelum menarik piring itu ke hadapannya. Di sebelahnya Hyunjae mengambil tempat duduk lalu meneguk sebotol air mineral dingin.
“Keliatan makin deket nggak, sih?” celetuk Hyunjae di sela-sela Juyeon berperang dengan pasta yang kalau diciduk dengan garpu langsung terangkat semuanya itu.
“Hm?”
Hyunjae menggerakkan dagunya ke arah meja kasir. “Dari tadi ngobrol seru banget gue liat-liat.”
Juyeon mengikuti arah pandang Hyunjae. Di balik meja kasir itu Changmin dan Sangyeon tampak sedang asyik berbicara, sesekali melempar tawa atas sesuatu yang tidak Juyeon ketahui. Ia memandangi momen itu beberapa saat sebelum menundukkan pandangannya kembali ke pastanya.
“Cemburu?” tanya Juyeon. Nadanya jelas sekali sedang meledek.
“Sialan. Emangnya lo, nggak?” balas Hyunjae. “Nunggu mereka jadian?”
Juyeon menertawai sindiran Hyunjae sekaligus nasibnya yang bisa dibilang kurang beruntung. Ia memang sudah lama naksir Changmin. Jauh sebelum mereka berempat akhirnya menjadi dekat dan memutuskan untuk membuka kafe bersama.
Di hari coffee workshop itu Juyeon bertemu dengan seseorang yang cerahnya belum pernah ia temukan pada manusia manapun. Senyumnya yang terpantul lebih terang melalui mata ketimbang bibir, membuat Juyeon harus meminta nomor ponselnya sebelum mereka tak akan bertemu lagi.
Yang untungnya terpatahkan karena sejak itu, setiap hari, obrolan ngalor-ngidul dengan lelaki bernama Changmin itu terus berjalan. Berbekal topik awal tentang kopi hingga akhirnya mulai nyaman membahas hal-hal trivial semacam kabar hari itu, menu makan siang, dan ajakan makan siang bersama.
Changmin orang yang menarik, menurut Juyeon. Alasannya mengikuti coffee workshop bukan karena ia menyukai kopi, tapi karena ia tidak menyukai kopi. Dan Changmin ingin tahu apakah ada kopi yang akhirnya akan ia sukai?
Sejak itu pula Juyeon rajin mengajak Changmin mengunjungi berbagai macam tempat untuk mencoba kopi. Dan di sepanjang perjalanan itu mereka bertemu Hyunjae serta Sangyeon.
Empat orang yang akhirnya berkumpul atas satu ketertarikan yang sama, meski dengan latar belakang yang berbeda.
“Lo mau gerak?”
Pertanyaan Hyunjae memecah kilas balik memori di kepala Juyeon. Ia menoleh pada temannya yang terlihat lebih serius dari biasanya.
“Maksud lo?” Juyeon balik bertanya.
“Dapetin Changmin.”
Juyeon paham. Ini bukan hanya solidaritas seorang teman. Sebulan yang lalu Hyunjae baru mengaku padanya kalau ia menyimpan perasaan pada lelaki yang sedang mengobrol dengan Changmin saat ini. Ini adalah simbiosis mutualisme.
“Gimana caranya?” tanya Juyeon meskipun ia tidak yakin akan keputusannya.
“Yang jelas kita bikin jauh mereka berdua dulu. Recokin, lah, apalah. Biar nggak berduaan mulu kayak begono, noh.”
Juyeon menyadari dua orang di balik meja kasir itu masih mengobrol seru. Ia dan Hyunjae pun tahu Sangyeon memiliki perasaan pada Changmin lebih dari sekedar teman. Dengan intensitas obrolan yang seperti itu, bukan tidak mungkin kalau besok ada kabar keduanya sudah jadian.
Suara kursi berderit mengiringi Juyeon yang tiba-tiba bangkit sambil membawa piring berisi pasta yang baru dimakan sedikit. Hyunjae mengawasi perginya Juyeon dengan senyum di wajah. Sedikit provokasi darinya dan temannya itu akhirnya mengambil tindakan.
Juyeon hampir sampai di meja kasir ketika tawa dari kedua orang itu surut. Mereka menolehkan kepalanya pada Juyeon.
“Kenapa, Ju?” tanya Changmin.
“Bantuin abisin, dong,” ucap Juyeon, menaruh piring pasta di depan Changmin. “Kasian Hyunjae capek masaknya. Katanya lo tadi salah baca pesenan?”
Changmin mengerjapkan matanya panik. Ia melempar pandang ke arah Hyunjae yang seketika menaikkan alis pada Changmin.
“Oh- iya. Sori, sori. Nanti gue makan, deh.”
“Sekarang aja. Udah dingin begini ntar makin nggak enak.”
“Hmm, ya udah,” ucap Changmin akhirnya.
Juyeon melihat Sangyeon yang tampak terganggu dengan kedatangannya namun berusaha disembunyikan dengan rapi.
“Mau juga, Bang?” tanya Juyeon.
Sangyeon menggeleng, menolak dengan halus sebelum kembali ke ruangannya. Juyeon menengok ke arah Hyunjae yang langsung mengangkat jempolnya. Ditahannya tawa agar Changmin tak curiga.
Berkurang satu kesempatan Sangyeon untuk mengajak Changmin jadian.
Rupanya Juyeon terlalu meremehkan kenekatan Sangyeon dalam mendekati Changmin. Ketika ia mengira bahwa menginterupsi obrolan mereka tiap jam istirahat saja dirasa sudah cukup, Sangyeon ternyata mengambil tindakan yang lebih berani.
“Changmin, mau pulang bareng gue aja?”
Perhatian Changmin yang tertuju pada barang yang sedang dimasukkan dalam tas seketika tersita. “Eh, nggak papa emangnya? Rumah kita kan, nggak searah, Kak?”
“Nggak papa. Gue mau mampir juga ke rumah temen, searah sama rumah lo.”
“Oh, gitu. Boleh deh, Kak.”
Tidak ada yang menyadari kehadiran Juyeon di antara keduanya. Lelaki itu dengan santai mengancingkan jaketnya lalu berucap. “Jadi beli stok dapur, kan, Changmin?”
“Hah?” Changmin melebarkan mata lantaran bingung. “Stok dapur?”
Juyeon menunjuk Hyunjae di belakang punggungnya. “Kata Hyunjae lo mau belanja buat stok dapur.”
Hyunjae memang sempat memberitahu Changmin soal persediaan dapur yang habis, tapi Changmin tidak mendengar Hyunjae menyuruhnya belanja hari ini.
“Beli sama gue aja. Yuk?” lanjut Juyeon.
Changmin akhirnya meminta maaf pada Sangyeon lantaran tak jadi pulang bersama. Ia lalu mengekor di belakang Juyeon sambil sesekali menengok ke arah Sangyeon dan Hyunjae yang mengamati kepergian keduanya.
Lumayan banyak yang harus dibeli dan sebenarnya Changmin bisa saja pergi sendiri. Tapi hari sudah agak malam, Changmin merasa lebih aman ada Juyeon yang menemani.
Keduanya berada di supermarket, berdiri di depan rak yang berisi berbagai macam bumbu dapur. Juyeon membiarkan Changmin mengambil bahan yang butuh dibeli. Ia menunggu di sebelahnya sambil memperhatikan wajah lelaki itu.
“Ju? Juyeon?”
Panggilan Changmin mengejutkan Juyeon yang sedang melamunkan skenario dalam kepalanya. Lelaki di depannya itu tengah berjinjit untuk mengambil benda di rak paling atas. Dengan tanggap Juyeon segera mengulurkan tangannya dan membantu Changmin.
“Makasih.” Changmin tersenyum manis pada Juyeon sebelum melanjutkan kegiatannya.
Juyeon mengikuti langkah Changmin dengan jantung yang berisik. Masih ada beberapa bahan yang harus dibeli, Juyeon harus bisa bertahan.
Keranjang belanja mulai penuh. Changmin membawanya dengan kedua tangan.
“Sini gue bawain aja kalo berat,” tawar Juyeon tanpa menunggu persetujuan dari Changmin. Keranjang itu seketika berpindah tangan.
“Lo biasanya kalo belanja sendiri, bawa barangnya gimana?” tanya Juyeon ketika keduanya kembali berjalan bersisian.
“Yaa, pake tangan. Masa pake kaki?”
Candaan garing tapi Juyeon tetap tertawa. “Besok-besok belanja bareng gue aja kalo bawaannya seberat ini.”
“Ngeremehin gue lo, ya? Segini doang gue juga bisa, kali.”
“Takut lo makin pendek bawa barang belanjaan sendiri.”
Changmin memukul pelan lengan Juyeon sambil tertawa. Mereka tiba di antrian kasir yang lumayan penuh. Lengan keduanya hampir bersentuhan dan Juyeon sesekali memandangi tangan kiri Changmin yang sedang menganggur. Ia ingin sekali menautkan jemarinya dengan jemari Changmin. Apakah rasanya hangat seperti dalam pikirannya?
Setelah beberapa kali berkontemplasi akhirnya Juyeon nekat menggandeng tangan Changmin, menariknya lebih dekat ke arahnya.
“Awas nanti ilang,” komentar Juyeon, berusaha menutupi kegugupannya.
Changmin mendelik geli. “Emangnya gue anak kecil?”
Namun tetap digenggamnya tangan Juyeon lebih erat. Antrian masih banyak di depan, dan hangat tangan Changmin menyelimuti miliknya. Rasanya Juyeon bisa pingsan saat itu juga.
Belakangan ini Hyunjae merasa ada yang lain dari Changmin. Awalnya ia tidak bisa menebak apa yang membuatnya merasa seperti itu. Tetapi kejadian beberapa jam yang lalu seakan menyadarkannya akan sesuatu. Senyum yang diberikan Changmin padanya setelah memberitahu bahwa Sangyeon sedang mencarinya, membuat Hyunjae tertegun.
“Changmin aneh, dah,” celetuk Hyunjae siang itu, mendekati Juyeon yang tengah membuat kopi untuk dirinya sendiri.
“Aneh kenapa?” tanggap Juyeon enteng.
“Kayaknya dia tau soal gue sama Sangyeon deh, Ju.”
Juyeon mengangkat alisnya, mulai tertarik. “Soal lo naksir Bang Sangyeon maksudnya?”
Hyunjae mengangguk cepat. “Tadi Changmin manggil gue, ngasih tau kalo Sangyeon nyuruh gue ke ruangan. Terus dia kayak senyum-senyum nggak jelas gitu.”
“Hmm.” Juyeon bergumam pelan, menyeruput kopinya sambil berpikir. “Kalo dia tau harusnya dia nggak deket-deket sama Bang Sangyeon lagi.”
“Makanya. Apa jangan-jangan…”
“Nggak sih, Je. Menurut gue nggak.”
“Iya, sih. Kayaknya nggak mungkin.” Hyunjae menghela napas berat. “Nggak mungkin Sangyeon tiba-tiba naksir sama gue dan curhat ke Changmin.”
Juyeon sebenarnya iba pada temannya itu. Tapi nasibnya juga tidak jauh berbeda. Jadi ia tidak bisa memberikan solusi yang berarti selain menepuk bahunya.
“Jangan nyerah dulu.”
Ada kalanya Changmin merasa lelah menjalani rutinitasnya. Menjadi seseorang yang harus terus melayani membuat ia capek fisik dan mental. Tetapi ia harus tetap memasang senyum di wajah.
Secangkir kopi hinggap di atas meja. Changmin menoleh dan mendapati Juyeon sudah ada di sebelahnya.
“Bentar ya, Ju. Gue cek dulu ini pesenan meja berapa.” Changmin kembali sibuk memeriksa kertas pesanan.
“Buat lo, kok.”
Tangan Changmin berhenti dari membuka lembaran kertas. Dilihatnya secangkir latte dengan gambar hati di permukaannya itu.
“Cobain, deh. Gue yakin lo bakal suka yang ini. Nggak pahit.”
Changmin akhirnya bebas dari rasa tertegunnya. Dilemparnya senyum kecil pada si barista kafe.
“Thanks ya, Ju.”
Juyeon benar. Kopi itu rasanya pas di lidah Changmin. Tidak terlalu pahit maupun manis.
“Tau nggak, sih? Lo pinter banget bikin kopi,” ujar Changmin jujur. “Nggak cuma karena lo jago pake teknik apapun, tapi karena lo bikin kopi yang sesuai sama selera orang lain.”
Juyeon berusaha keras agak tidak salah tingkah di depan Changmin.
“I just wanna try my best. But, thanks. Really.”
Entah apa yang membuat mata Changmin terperangkap dalam tatapan Juyeon ketika mendengar ucapan itu. Sudah cukup lama mereka berteman, Changmin selalu kagum atas kerja keras Juyeon dan bagaimana ia menghadapi tiap rintangan dalam hidupnya. Changmin merasa ia banyak belajar dari Juyeon.
“Wah, ternyata dari tadi bikin itu buat Changmin. Punya gue mana, nih?”
Seruan Hyunjae memutus kontak mata antara keduanya. Changmin segera menoleh ke arah Hyunjae.
“Kak Hyunjae mau?” tawar Changmin, hendak memberikan cangkirnya.
“Nggak mau yang itu. Juyeon kan bikin itu pake cin-”
“Berisik banget!” sela Juyeon, mendorong Hyunjae kembali ke dalam. “Sini gue bikinin biar nggak rewel.”
Changmin melanjutkan menikmati kopinya sambil sesekali tertawa melihat perdebatan dua orang itu.
Sedikit mengejutkan ketika Changmin tiba-tiba mendatangi Juyeon suatu hari untuk meminta diajari membuat kopi.
“Lo nggak keberatan, kan?”
Juyeon sama sekali tidak keberatan. Justru ia menunggu momen itu datang agar ia bisa berlama-lama dengan Changmin. Dan meminimalisir interaksi antara Changmin dan Sangyeon pastinya.
“Kalo udah jadi bubuk begini, tinggal dituang air sambil disaring. Harus sabar nuang airnya.”
Juyeon mengarahkan tangan Changmin yang memegang teko untuk bergerak dengan pelan. Tubuhnya hampir menempel pada Changmin kalau ia tidak mengambil jarak beberapa senti darinya. Jangan sampai Changmin merasakan degup jantungnya yang menggedor dadanya.
“Gue juga pengen bikin gambar-gambar gitu, Ju. Boleh ajarin?”
“Boleh. Gambar apa?”
“Hati.”
Percobaan pertama Changmin belum sempurna, tapi ia tidak menyerah. Hari demi hari ia terus berlatih agar gambar hatinya sempurna. Hingga suatu hari Changmin berseru senang dan berlari pada Juyeon untuk menunjukkan hasilnya.
“Bagus. Sekarang lo bisa bikin sendiri.”
Changmin mulai sering sibuk membuat kopi sendiri hingga Hyunjae merasa heran, apa yang menjadi motivasinya. Di antara mereka berempat hanya Changmin yang tidak terlalu suka kopi. Hyunjae jadi penasaran.
“Udah suka kopi sekarang?” tanya Hyunjae.
“Nggak terlalu, sih.”
“Terus ngapain bikin kopi mulu?”
“Suka-suka. Lagian kopinya bisa diminum sama Kak Sangyeon.”
Hyunjae terdiam sejenak. “Sangyeon nggak suka latte. Mending lo bikin yang lain.”
“Hmm. Kalo Kak Hyunjae gimana? Suka latte?”
“Suka.”
Setelah memberikan jawaban singkat, Hyunjae beranjak pergi. Ia harus memberitahu Juyeon kalau kemungkinan hubungan Changmin dan Sangyeon akan berkembang. Dan ia cukup merasa tak ada harapan.
Kafe sudah sepi. Semuanya bersiap untuk pulang tak terkecuali Juyeon yang sedang mengemasi barangnya. Ia sempat melihat Changmin masih berkutat dengan mesin kopi beberapa saat yang lalu. Senyum tipis terulas di bibir Juyeon, setelah ini ia harus menghentikan kegiatan Changmin walau lelaki itu terlihat asyik.
“...Gue suka sama Kak Hyunjae.”
Ruangan yang hening itu seketika menjadi lebih hening setelah kalimat itu menggema ke sudut-sudut kafe. Tubuh Juyeon membeku. Apa yang barusan didengarnya?
“Changmin, gue-” Itu suara Hyunjae. “Lo serius ngomong ini?”
Juyeon membalikkan badannya dan mendapati Hyunjae serta Changmin sedang berhadapan di dekat meja tempat membuat kopi. Changmin mengulurkan cangkir dengan kedua tangan. Tak jauh dari mereka, Sangyeon berdiri di depan pintu ruangannya.
Waktu seakan berjalan dengan lambat. Cangkir di tangan Changmin tak kunjung diterima Hyunjae. Juyeon dan Sangyeon menatap pemandangan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Gue suka sama lo dari pertama kita ketemu, Kak,” ucap Changmin. “Gue nggak tau gimana cara nunjukkinnya. Tapi belakangan ini gue belajar bikin kopi, biar gue bisa bikinin kopi kesukaan lo.”
Ada rasa ngilu yang menjalar di dada Juyeon. Tak sekalipun menyangka bahwa Changmin menyimpan perasaan untuk Hyunjae. Semuanya terlalu sulit dicerna otaknya.
“Sori, Changmin.” Hyunjae lalu mengarahkan pandangannya ke arah Sangyeon. “Ada orang yang gue suka.”
Changmin mengikuti arah pandang Hyunjae. Ia menggigit bibirnya yang bergetar.
Sangyeon melihat Hyunjae seakan tak percaya. Dengan ekspresi wajah yang kaku ia berjalan mendekati Hyunjae lalu berbicara di depannya.
“Harusnya lo bilang dari awal.”
Hyunjae tak sempat mencegah kepergian Sangyeon. Lelaki itu membuka pintu kafe dan menutupnya dengan sedikit bantingan.
Suasana menjadi sangat canggung. Hyunjae sadar masih ada Juyeon di sana. Dan ia tak sanggup melihat ke arah temannya itu.
“Gue balik duluan,” ucap Juyeon tiba-tiba. Nada suaranya rendah menyimpan getar emosi yang ditekan. “Besok gue nggak masuk. Terserah lo pada tetep mau kafe buka tanpa barista atau nggak. Lagian Changmin juga udah tau caranya bikin kopi sendiri.”
“Ju, gue nggak-” Ucapan Changmin tak didengar Juyeon karena lelaki itu sudah beranjak pergi.
“Ju!” Hyunjae ikut memanggil namun sia-sia.
Atmosfer terasa begitu berat setelahnya. Hyunjae melihat ke arah Changmin yang menundukkan kepalanya dalam. Dihelanya napas berat sebelum berucap pelan.
“Juyeon udah lama suka sama lo, Changmin.”
Meski tak mengangkat wajahnya namun tubuh Changmin bereaksi atas pengakuan Hyunjae. Perlahan Hyunjae meraih cangkir kopi dari tangan Changmin dan meminumnya sampai habis.
“Kopinya enak. Makasih. Tapi maaf, gue nggak bisa.”
Changmin menolak ketika Hyunjae menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ia memilih untuk tinggal di kafe lebih lama. Setelah kafe benar-benar sepi dan hanya ada dirinya di sana, Changmin menaruh kepalanya di atas kedua lengannya yang terlipat lalu terisak sejadi-jadinya.
Ia merasa begitu buruk. Ia telah menghancurkan semuanya.
Pada akhirnya tidak ada yang datang ke kafe. Selama dua minggu mereka putus kontak dan membiarkan kafenya tutup. Selama dua minggu pula mereka mencoba mencerna apa yang telah terjadi meskipun rasanya sulit.
Changmin tak pernah merasa begitu gelisah sebelumnya. Sejak kejadian hari itu, tidurnya tak pernah nyenyak. Dan bukan karena Hyunjae menolak perasaannya. Tapi karena kepalanya sibuk memikirkan Juyeon.
Menit demi menit terlewat dan Changmin hanya memandangi sederet nomor di ponselnya. Satu sentuhan saja dan panggilan ke nomor Juyeon akan terhubung. Berbekal nekat Changmin akhirnya menghubungi Juyeon.
“Ju…”
“...Kenapa nelfon?”
Juyeon tak pernah terdengar sedingin ini. Changmin menggigit bibirnya.
“Gue pengen ngobrol sama lo. Boleh?”
“Mau ngobrolin apa?”
“Banyak. Tapi yang paling penting soal kejadian di kafe.”
Agak lama sebelum Juyeon memberikan jawaban. “Ketemu di Rumah Kopi aja.”
Langit sudah semakin redup ketika Juyeon sampai di Rumah Kopi. Ia melihat Changmin dari balik kaca jendela, duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponselnya. Lelaki itu langsung mendongak ketika mendengar pintu dibuka.
Tanpa bicara Juyeon duduk di hadapan Changmin. Keduanya membiarkan keheningan yang menguasai, seakan menunggu siapa yang angkat bicara lebih dulu.
“Gue minta maaf.” Ucapan itu meluncur dari bibir Changmin dengan cepat.
Juyeon menegakkan punggungnya lalu menautkan dua tangannya di atas meja. Diamatinya Changmin dengan seksama. “Kenapa minta maaf?”
Changmin terlihat bimbang untuk menjawab. “Gue… Soalnya gue…”
“Lo confess ke Hyunjae,” tegas Juyeon. “Lo nggak salah. Nyatain perasaan ke orang yang disuka itu nggak salah, kan?”
Changmin menggeleng. “Tapi gue udah bikin semuanya kacau, Ju. Persahabatan kita. Kafe ini. Rumah Kopi itu ide lo, kan, awalnya. Lo yang bikin semua ini terwujud. Dan gara-gara keegoisan gue, semuanya jadi hancur berantakan. You didn’t deserve that.”
Juyeon menatap permukaan meja yang berdebu akibat kafe tutup beberapa minggu lamanya. Pikirannya kalut. Sebenarnya memang bukan salah Changmin. Justru Changmin yang paling berani jujur di antara mereka semua yang pengecut. Namun tetap ada rasa kecewa dan sakit yang menggores hatinya.
“Kenapa lo nggak bilang waktu itu?” tanya Juyeon kemudian.
“Bilang apa?”
“Alasan lo minta diajarin bikin kopi itu karena Hyunjae.”
Sakit hati itu akhirnya kentara dari kalimat dan tatap mata Juyeon. Dari awal Changmin juga sudah menangkap luka itu. Sejak Hyunjae memberitahunya perihal perasaan Juyeon padanya, Changmin tak pernah sekalipun berhenti memikirkannya. Bertahun-tahun mereka bersama dan Changmin harus menyakiti Juyeon dengan cara seperti ini.
“Ju, gue sama sekali nggak tau soal perasaan lo. Seandainya gue tau, gue nggak akan-”
“Stop.” Juyeon menghentikan kalimat Changmin. “Gue nggak bermaksud bikin lo merasa bersalah karena nyimpen perasaan buat Hyunjae. Gue cuma-”
Juyeon berdecak keras. Ia mengacak rambutnya frustrasi. Siapa yang bisa ia salahkan atas sakit hatinya?
“Gue sayang sama lo, Changmin. Sejak awal gue ketemu lo, gue ngerasa nyaman ada di deket lo. Gue seneng ngejalanin hari-hari di mana ada lo di situ. Gue cuma nyesel kenapa gue nggak bilang dari awal. Kalopun lo akhirnya nolak gue, seenggaknya gue nggak akan ngerasa sakit yang berlarut-larut kayak gini.”
Changmin tertegun melihat Juyeon melontarkan rentetan kalimat yang selama ini dipendamnya.
“Waktu gue tau kalo Bang Sangyeon naksir sama lo, gue ngerasa kesel. Kesel sama diri gue sendiri karena gue nggak bisa apa-apa. Kalo bukan Hyunjae yang nyuruh gue buat maju, gue kayaknya bakal tetep nyimpen perasaan ini sendirian. Tapi setelah semua usaha yang gue lakuin, lo… Shit, gue bahkan nggak tau selama ini lo suka sama Hyunjae!”
“Ju-”
“I feel so pathetic.”
Changmin tak sanggup melihat Juyeon seperti ini. Ia akhirnya bangkit dari kursinya untuk menghampiri Juyeon dan memeluknya. Ia memeluk dengan begitu erat hingga tak ada lagi suara yang muncul dari bibir Juyeon.
“I’m sorry. I’m so sorry.” Changmin membisikkan kalimat itu pada Juyeon. Tangannya tak henti mengusap punggung lelaki barista itu. “Ju, selama kita temenan, gue selalu bersyukur lo ada di samping gue. Lo ngajarin gue banyak hal. Tentang kopi, tentang cita-cita, tentang nggak pernah nyerah. Gue seneng lo ada di hidup gue, Ju.”
Juyeon menarik tubuhnya dari pelukan Changmin. Kedua tangannya meraih sisi wajah lelaki manis itu, menyapunya pelan dengan ibu jari. Kedua anak manusia itu saling menatap. Luka dan harap terpancar dari sepasang netra yang saling mengunci.
“Kopi yang waktu itu gue bikinin buat lo. Lo suka?” tanya Juyeon beberapa saat kemudian.
Changmin mengangguk. “Iya, gue suka.”
Juyeon menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bersuara. “Changmin, gue bisa bikin kopi itu karena gue merhatiin setiap hal yang lo suka. Dan kalo lo akhirnya bisa suka sama kopi yang gue bikin, kira-kira lo bolehin gue buat bikin lo suka sama yang lain nggak?”
“Yang lain apa?” tanya Changmin. Ada senyum samar yang terselip di bibirnya.
“Nggak jauh-jauh dari kopi juga. Orang yang suka banget sama kopi, tapi lebih suka sama cowok yang namanya Changmin.”
Hangat merambat di pipi Changmin. Mungkin selama ini ia hanya belum menyadari, perasaan yang tersimpan untuk Juyeon letaknya di sudut paling jauh dalam hatinya. Tersimpan rapat di sana sebab tak ingin ada apapun yang mengusiknya. Hingga akhirnya terlupa.
Namun hari ini, kotak perasaan itu kembali ditemukan. Isinya mungkin masih sama. Bisa jadi asing, atau familiar. Changmin hanya perlu mengingatnya saja.
“Gue jawab kalo lo mau bikinin gue kopi lagi yang gue suka. Tapi kali ini gue harus liat cara bikinnya.”
“Boleh.”
Juyeon mengulurkan tangannya yang disambut Changmin, kemudian keduanya melangkah menuju mesin kopi. Rumah Kopi kembali hidup, aroma kopi mengisi sudut-sudut ruangan, hangat yang tak hanya hadir dari uap kopi namun juga dari sepasang lelaki yang saling bertukar cerita di balik mesin kopi.
Juyeon jatuh hati dengan seorang lelaki yang tak menyukai kopi. Changmin belajar untuk menyukai hal-hal yang ia kira tak disuka. Hanya dengan secangkir kopi, ia dapat melihat banyak hal melalui perspektif yang berbeda.
Bahwa ternyata, hal-hal yang disukainya ada di dekatnya, menunggu untuk ditemukan.
(fin.)