yang hilang, yang tumbuh, dan yang istimewa
Motor Biru berhenti tepat di depan rumah Bintang. Jantungnya yang sedari tadi tak mau tenang seketika agak redam begitu Bintang muncul membukakan pagar.
“Bawa masuk aja motornya, Ru. Nanti berangkat pake mobil Ayah.”
Mendengar ayah Bintang disebut, Biru jadi gugup lagi. Untungnya Bintang mengatakan kalau serumah bakalan ikut pergi juga. Jadi setidaknya Biru ada yang menemani.
“Buat kamu,” ucap Biru, mengangsurkan setangkai mawar merah pada Bintang sebelum pacarnya itu masuk ke rumah. “Selamat ulang tahun.”
“Makasih, ya.” Bintang menerimanya dengan senyum di wajah, menghirup sejenak kuntum bunga yang semerbak itu.
“Maaf nggak sempet nyiapin apa-apa,” tambah Biru lagi.
Bintang memukul pelan bahu Biru dengan bunga mawarnya sebelum mengusap sisi wajahnya. “Kan udah aku bilang, nggak apa-apa. Kamu mau dateng hari ini aja udah lebih dari cukup.”
Biru mengangguk, meyakinkan dirinya sendiri. “Penampilan aku gimana?”
Sepasang mata Bintang menelusuri Biru dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu ia memberikan dua jempolnya pada cowok itu. Biru tidak bisa berkomentar lagi selain percaya.
Meski sudah beberapa kali melihat ayah Bintang melalui foto yang ditunjukkan Bintang, Biru tetap tidak siap bertemu secara langsung. Begitu Bintang mengajaknya masuk, Bunda dan Kak Bulan yang pertama kali menyambut Biru. Di tengah perbincangan mereka, ayah Bintang muncul dari dalam dengan satu tangan yang menenteng tas berisi peralatan memancing lengkap. Biru langsung ketar-ketir.
“Halooo! Ini yang namanya Biru, ya?”
Tanpa diduga ayah Bintang lebih dulu mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Biru. Cowok itu sampai membungkukkan badannya.
“Iya. Saya Biru, Om.”
Ayah Bintang manggut-manggut sambil memperhatikan Biru. Meski lelaki itu kelihatan lebih ramah dari dugaan Biru, tetap saja ia merasa gugup. Senyum di wajahnya seperti menguliti Biru, ingin tahu seperti apa anak itu sebenarnya.
“Yuk, berangkat. Keburu siang,” ucap Bunda kemudian, memutus hingar-bingar di ruang tamu.
Biru benar-benar pasrah kala Bintang meninggalkannya berdua saja dengan ayahnya. Cowok itu harus memesan makanan bersama dengan Bunda dan Kak Bulan selagi mereka membiarkan Biru dan ayah Bintang pergi memancing di waduk tak jauh dari restoran yang mereka datangi. Bintang sempat mengacungkan kepalan tangannya, memberi semangat diam-diam pada Biru sebelum menghilang.
“Cari tempat yang agak teduh, Ru. Biar kulitnya nggak gosong.”
“Nggak papa, Om. Ini tadi udah dipakein sunblock sama- Abin…”
Ayah Bintang menahan senyum mendengar kalimat Biru yang terbata. Ia sengaja memfokuskan perhatiannya mencari tempat yang tidak begitu terkena sinar matahari langsung. Digelarnya alas untuk dirinya dan juga Biru.
“Om bawa payung cuma satu, kamu pasang deket kamu aja. Om sudah pake topi.”
Biru menurut. Ia kelupaan membawa topi. Cowok itu lalu memperhatikan dengan seksama bagaimana ayah Bintang menyiapkan alat pancingnya. Semalaman ia menonton YouTube untuk belajar cara merakit alat pancing. Tapi ia memilih untuk diam menunggu ayah Bintang daripada salah rakit lalu dicap sok tahu.
Ayah Bintang memberikan satu alat pancing yang sudah disiapkannya pada Biru. “Nih, umpannya boleh pilih sendiri. Bisa masangnya, kan?”
“Bisa, Om,” jawab Biru lugas. Tak ragu cowok itu mencomot cacing sebagai pilihan umpannya. Menurut salah satu video yang ditontonnya semalam, umpan hidup akan lebih menarik perhatian ikan.
Setelah melempar kail pancingnya jauh-jauh, Biru menyamankan duduknya sembari menunggu. Waduk tempatnya memancing ini terhitung luas, dan meskipun lumayan terik tapi angin sepoi-sepoi tak berhenti berhembus.
“Kamu suka mancing, Ru?” tanya ayah Bintang. Sedari tadi memang lelaki itu yang berinisiatif membuka obrolan karena ia menyadari ketegangan dalam diri Biru.
“Belum pernah coba sebenernya, Om. Ini pertama kali,” ungkap Biru. Dulu ayahnya walaupun kerap mengajaknya ke danau atau waduk, yang diincar adalah objek foto.
“Dulu Om hobi banget mancing. Sebelum makin sibuk dan nggak ada lagi waktu mancing. Tiap ada kesempatan pulang ke rumah pengen pergi mancing tapi nggak ada temennya.”
“Serumah nggak ada yang hobi mancing selain Om?”
Ayah Bintang menggeleng. “Pernah dulu Om ngajak Abin, tapi waktu dia masih kecil. Masih segini.” Lelaki itu mengangkat telapak tangannya, menunjukkan tinggi anak bungsunya saat itu. “Awalnya dia seneng karena mau lihat ikan. Tapi habis Om dapet ikannya, dia malah nangis.”
“Kenapa tuh, Om?” tanya Biru penasaran. Ia sudah bisa membayangkan Bintang kecil menangis di pinggir waduk sementara ayahnya mendapat ikan.
“Kasian, katanya.” Ayah Bintang setengah tertawa. “Kan dia lihat mulut ikannya kena mata kail. Nangis kenceng banget sampe Om malu diliatin orang-orang. Habis itu Om ajak pulang aja, tapi mampir dulu ke pasar ikan hias. Beli dua ekor.”
Biru jadi ikutan tertawa. Bintang kecil pasti lucu sekali.
“Kalau Biru, waktu kecil suka diajak ayahnya ke mana?” Ayah Bintang mengalihkan topik pembicaraan, mengganti umpannya dengan yang baru.
Biru terdiam sejenak sebelum menjawab, “Ke mana aja, Om. Ayah saya suka jalan-jalan. Soalnya sambil motret.”
“Oh, iya,” cetus ayah Bintang, seakan baru teringat sesuatu. “Kamu juga suka motret, kan? Sama kayak ayah kamu? Abin cerita sama Om.”
Biru tersenyum tipis, mengangguk. “Tapi saya sukanya motret pemandangan, Om. Langit kebanyakan. Kalo ayah saya lebih suka ngambil gambar objek hidup.”
“Abin pemandangan, dong?” tembak ayah Bintang tiba-tiba. Biru mengangkat alisnya, hampir tersedak. “Soalnya Abin pernah ngasih lihat foto-foto dia. Bagus. Waktu Om tanya siapa yang motret, katanya Biru yang motret. Dia pamer terus foto jepretan kamu depan Om, depan bundanya, kakaknya.”
Merah di wajah Biru bukan hanya hasil dari terik matahari. Ia merutuk dalam hati, sudah sebanyak apa yang diceritakan pacar ceriwisnya itu pada ayahnya?
“Tapi foto kamu memang bagus, kok, Ru,” ucap lelaki itu tulus.
“Makasih, Om…” Biru tidak tahu harus merespon pujian itu seperti apa. Ia tidak menyangka akan perlakuan ayah Bintang yang menurutnya kelewat baik, padahal semalaman Biru sudah overthinking bakal diinterogasi habis-habisan.
Sudah hampir dua jam dan belum ada satu pun yang pancingnya dihampiri ikan. Tapi Biru menikmati momen itu. Terus terang Biru jadi kangen ayahnya. Kangen akan hal-hal yang hanya dilakukan berdua dengan sang ayah.
“Abin, tuh, seneng banget tiap Om pulang,” ucap Biru tiba-tiba. Ayah Bintang menoleh padanya. “Walaupun cuma sebentar, Abin pasti nungguin hari Om pulang ke rumah. Saya juga jadi ikutan excited, Om. Berasa ikutan nungguin ayah saya sendiri pulang. Karena ayah saya udah nggak ada, di rumah cuma ada Ibu sama Adek.”
Ada pendar haru dan kesedihan yang menyatu di sorot mata ayah Bintang. Perasaan yang Biru alami, baik untuk Bintang maupun dirinya sendiri.
“Udah dapet berapa ikannya?”
Suara Bintang memecah keheningan. Cowok itu berjongkok di antara Biru dan ayahnya, melihat ke dalam ember yang masih kosong.
“Tujuannya mancing bukan buat dapet ikan, Bin. Tapi ketenangan,” ujar Biru.
“Ih, kamu baru berapa jam sama Ayah omongannya udah persis kayak Ayah,” komentar Bintang. Ia lalu menyodorkan segelas es soda gembira pada Biru. “Minum dulu. Ntar dehidrasi.”
“Buat Ayah mana?” tagih ayah Bintang sambil cemberut.
“Ayah, kan, bawa air minum? Nggak boleh minum es sama Bunda.”
“Tapi Ayah haus banget, pengen es.”
“Ini, minum punya saya aja, Om.” Biru hampir memberikan gelasnya pada ayah Bintang sebelum Bintang mencegahnya.
“Jangan, itu buat kamu. Ayah nanti kalo mau es teh ke resto aja, udahan mancingnya. Emangnya nggak pada laper?”
Perut Biru baru terasa lapar karena sedari pagi ia lebih sibuk panik memikirkan pertemuannya dengan ayah Bintang.
“Ya, sudah. Ayo, Ru. Kapan-kapan cari tempat yang lebih banyak ikannya.”
Ayah Bintang bangkit berdiri dan mulai membereskan peralatan pancingnya. Biru sempat terpana sejenak sebelum buru-buru membantu lelaki itu. Ternyata masih akan ada lain kali. Ajakan lelaki itu bagi Biru sangat berarti.
Bintang sudah berjalan lebih dulu, meninggalkan ayahnya dan Biru yang melangkah beriringan. Ayah Bintang melingkarkan satu lengannya pada Biru, menariknya mendekat.
“Abin akhir-akhir ini gimana? Banyak senyumnya, ya?”
Pertanyaan itu dilempar tanpa aba-aba. Meski Biru belum menangkap maksud lelaki itu, ia tetap mengangguk pelan.
“Kadang Om cemburu, Abin keliatan hepi banget tiap ngomongin kamu.” Biru melebarkan matanya, ia sudah hampir berkilah namun ayah Bintang melanjutkan kalimatnya. “Tapi Om juga senang, kalau Abin ketemu orang yang bisa bikin dia bahagia. Kebahagiaan Abin, buat Om di atas segala-galanya.”
Biru menatap lelaki yang tersenyum lembut di dekatnya itu. Dan sebelum akalnya bisa diajak bekerja sama, mulutnya sudah lebih dulu berbicara.
“Saya boleh panggil Om- Ayah?”
Keterkejutan membuat langkah kaki ayah Bintang terhenti. Biru menyadari kekonyolannya. Ia buru-buru menggelengkan kepala.
“Maaf, Om. Maksud saya-”
“Boleh.” Jawaban lelaki itu membuat Biru tertegun. “Tadinya Om juga nungguin, kamu manggil bundanya Abin pake Bunda. Tapi manggil Om bukan Ayah. Haha.”
Biru malu berat. Karena menurutnya tidak sopan asal memanggil ayah Bintang dengan sebutan Ayah. Padahal, kan, belum tentu hubungannya dengan Bintang direstui.
Keduanya kembali melangkah sebelum ayah Bintang merundukkan kepala, berbisik pada Biru.
“Tapi, Biru… Kamu itu, temennya Abin…” Lelaki itu melambatkan suaranya. “Atau… pacarnya?”
Biru langsung gelagapan. Ia sama sekali belum pernah menanyakan hal itu pada Bintang. Bunda dan Kak Bulan jelas sudah tahu status Biru, tapi ayahnya? Biru sama sekali tidak kepikiran.
“Hmm- itu… Tergantung Abin bilangnya apa, Om- eh, Yah…”
“Tergantung Abin? Kalau Abin bilangnya temen?”
“Ya- berarti… temen.”
“Yakin? Temen aja, nih?”
Biru menelan ludah sambil mengangguk kaku.
“Temen apa pacar? Nanti Ayah bilang ke Abin, tadi Biru bilang kamu sama Biru itu temenan, gitu ya?”
Biru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung. Takut nanti Bintang marah.
“Enggak, deng. P-Pacar, Yah,” ucap Biru pelan sekali hampir tak terdengar.
“Gimana?” Ayah Bintang mendekatkan telinganya.
“Pacar. Pacarnya Abin.”
Ayah Bintang tersenyum puas. Ditepuknya bahu Biru beberapa kali sebelum lelaki itu melangkah meninggalkan Biru yang masih membeku di tempatnya. Baru beberapa menit setelahnya Biru dapat menghela napas lega, kembali melanjutkan langkahnya.
Rasanya aneh merayakan ulang tahun Bintang bersama dengan keluarganya. Seakan Biru juga menjadi bagian dari keluarga yang hangat itu.
Melihat Bintang di antara keluarganya membuat Biru sadar bahwa cowok itu benar-benar bungsu dari keluarga itu. Sifat kekanakannya muncul. Bintang yang mau tiup lilin dan potong kue, Bintang yang menagih kado dari Kak Bulan, Bintang yang ngambek karena Ayah belum menyiapkan kado apa-apa. Padahal tadi Bintang bilang tidak apa kalau Biru tidak bawa apapun.
“Abin nggak mau nemenin Ayah mancing, sih. Jadi Ayah males nyiapin kado.”
“Mancing nggak dapet apa-apa, juga,” balas Bintang. “Lagian Abin nggak mau liat ikannya kena pancing. Kasian.”
“Kasian liat ikan kepancing tapi sendirinya ngabisin ikan bakar sampe nambah,” timpal Kak Bulan.
Ayah dan Bunda tertawa. Sementara Bintang tidak mau kalah memberikan argumentasi. Biru hanya menikmati keriuhan itu setelah menghabiskan porsi makanannya. Ia beringsut ke pojok untuk mengambil kamera dari dalam tasnya dan mulai memotret.
Benar kata ayah Bintang. Bintang itu pemandangan.
Hari hampir malam ketika mereka kembali pulang. Bintang sudah tertidur di dalam mobil, kepalanya bersandar pada bahu milik Biru. Satu tangannya digenggam oleh cowok itu.
“Bin, udah sampe.” Biru mengusap pelan pipi Bintang dengan jemarinya.
Ayah Bintang memarkirkan mobilnya ke dalam garasi setelah semuanya turun. Memastikan semuanya benar-benar telah masuk rumah, Biru menarik Bintang ke dekat motornya. Bayang-bayang pepohonan melingkupi area tersebut yang menjadikannya temaram.
Dengan kedua rentang tangannya, Biru memeluk Bintang. Erat. Menenggelamkan tubuh mungilnya dalam dekapan. Memberi hangat pada Bintang yang mulai diterpa angin malam.
“How was today?” tanya Bintang, mendongakkan wajahnya pada Biru. Pacarnya itu tak mampu untuk tak mengecup dahinya.
“Great. Much much better than I thought. Harusnya aku yang tanya ke kamu, gimana hari ini?”
Bintang tersenyum. “Seneng. Seneng banget.”
“For real? Aku nggak ngasih apa-apa, padahal.”
“Kamu ada hari ini. Kamu ketemu Ayah. Aku seneng.”
“Ayah kamu keren. Kayak yang kamu bilang.”
“Tadi nggak ditanyain aneh-aneh sama Ayah, kan?”
Yang aneh-aneh pun Biru sudah lupa. Hanya hal-hal menyenangkan yang Biru ingat. Jadi Biru hanya menggeleng.
“Bener kata orang, hilang satu tumbuh seribu. Aku mungkin kehilangan Ayah. Tapi aku dapet satu keluarga baru.”
Bintang tersenyum samar. Ia mendengar bagaimana Biru memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Ayah’. Dan itu membuat hatinya terasa hangat.
“Kapan-kapan ajak Ibu sama Dinda. Liburan bareng-bareng, ya?” ucap Bintang.
Biru mengangguk. Ia merendahkan wajahnya seiring Bintang menutup mata. Bibirnya menyentuh milik Bintang, dikecup dengan segala rasa sayang, terima kasih, dan puja-puji. Jika kata-kata tak bisa mengungkapkan perasaannya pada Bintang, biarlah dengan cara ini saja. Betapa hidupnya kembali menemukan warna dan napasnya begitu lega semenjak ia mengenal Bintang.
Biru ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih.
‘Aku sayang kamu’ yang dibisikkan berulang-ulang oleh Biru ditelan melalui ciuman yang salah satu tak ingin melepas.
Bintang, kamu memang istimewa. Bahkan di hari bahagiamu pun, akulah manusia yang merasa paling bahagia.