Younghoon tak luput memperhatikan Juyeon yang terlihat lebih gugup selang beberapa saat giliran mereka untuk tampil di atas panggung. Dan ia sangat tahu apa yang membuat temannya seperti itu.

“Udah, nanti juga pasti dateng,” tenang Younghoon, merangkul Juyeon dengan sebelah tangannya. “Telat dikit mungkin.”

Juyeon menarik napas lalu menghembuskannya cepat melalui mulutnya sebelum mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri. Namun ucapan Younghoon maupun pikirannya yang berusaha meyakinkan bahwa Changmin hanya sedikit terlambat tidak mampu menenangkan batinnya kala sepasang matanya tetap tak menangkap sosok Changmin di antara penonton yang masih bisa dihitung itu.

Mungkin karena hari ini adalah hari yang begitu penting bagi Juyeon, absennya Changmin dapat membuatnya begitu kecewa. Tetapi konyolkah alasannya untuk merasa kesal hanya karena Changmin tidak dapat datang hari ini?

Butterfly Effect menyelesaikan lagu kedua dan Juyeon tetap tak menemukan wajah Changmin di antara wajah-wajah yang dihiasi senyum lebar menonton aksi panggung mereka. Harapannya sudah semakin pupus.

Suara Sunwoo yang memberitahukan penonton bahwa mereka akan menutup penampilan kali ini dengan lagu ketiga terdengar samar di balik kerasnya suara-suara dalam kepala Juyeon, menyuruhnya untuk menelan kekecewaan. Dalam hitungan ketiga tangan Juyeon kembali menggebuk drum, memulai lagu penutup mereka hari ini. Dan merelakan ketidakhadiran seseorang yang amat sangat diharapkannya.

Hold up Hold on Don't be scared You'll never change what's been and gone

May your smile Shine on Don't be scared Your destiny may keep you warm

'Cause all of the stars are fading away Just try not to worry, you'll see them someday Take what you need, and be on your way And stop crying your heart out


Efek yang masih sama seperti terakhir kali Changmin melihat cowok itu. Gemetar yang tiba-tiba menyelimuti badannya saat sosok yang baru turun dari mobil melangkah semakin dekat ke arahnya.

Suaranya hampir tak terdengar saat Changmin memohon dengan sangat, kedua tangannya mencengkram tali tasnya dengan erat. “Kak, aku mau pergi...”

Kali ini Sangyeon tidak berusaha mengulurkan tangannya untuk menyentuh Changmin. Ia masih teringat pesan dari Jacob semalam.

Only talking.

“Sebentar aja.”

“Aku udah telat banget, Kak.” Changmin melirik ke arah kamar Kevin yang masih tertutup rapat. Tidak dapat meminta bantuan.

Sangyeon menunggu hingga Changmin benar-benar melihat ke arahnya dan mengunci tatapannya dengan sepasang iris matanya. Seakan memohon melalui sorotnya.

Just this once, and I won't disturb you again. Ever.

Kalimat itu terasa sulit terlontar dari bibir Sangyeon. Ini pertama kalinya ia merasa sangat gelisah berbicara dengan Changmin. Dan mungkin Changmin merasakan perbedaan itu pada mantan pacarnya hingga akhirnya ia menyerah dan memberikan cowok itu kesempatan untuk berbicara.

Entah apa yang membuat Sangyeon perlu mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan ini pada Changmin. Kenyataan bahwa ia mungkin benar-benar telah kehilangan Changmin menikamnya tepat di ulu hati.

“Aku mau minta maaf dulu sama kamu,” ucap Sangyeon pelan. “Aku bener-bener minta maaf. Aku bahkan nggak tau mau mulai dari mana tapi aku udah banyak nyakitin kamu, kan, Changmin?”

Hati Changmin serasa diremas dengan kuat. Ia tidak ingin menumpahkan air mata di sini, di depan seseorang yang sudah menghancurkannya.

“Aku sadar sikapku ke kamu berubah beberapa tahun belakangan dan itu karena aku semakin yakin aku bener-bener nggak bisa ngebantah perintah Papa sama Mama. Pada akhirnya aku nyerah sama kenyataan kalo aku memang salah satu dari mereka, aku nggak bisa lepas dari itu. Lebih gampang buat nyerah dan ngejalanin apa yang disebut normal oleh mereka daripada berusaha keluar dari kurungan, Changmin.”

Changmin memperhatikan Sangyeon yang menekan keningnya dengan kuat, berusaha menumpahkan semuanya. Melihat rapuhnya dengan kedua matanya sendiri seperti ini rasanya aneh. Biasanya ia yang selalu merasa lemah dan rendah di hadapan Sangyeon.

“Kamu tau kenapa aku sering sama Jacob di saat seharusnya aku ngasih waktu aku buat kamu?” Sangyeon melempar tanya yang kemudian ia beri jawaban yang selama ini berusaha Changmin cari. “Aku pengen lupa kalo aku punya kamu. Aku pengen lupa kalo aku pernah ketemu sama kamu dan ngelakuin hal-hal yang aku pengen.”

“Terus kenapa kamu nggak mutusin-”

Because I'm so freaking selfish, Changmin,” sahut Sangyeon tajam. “Udah berkali-kali Jacob bilang ke aku buat mutusin kamu kalo aku terus-terusan memperlakukan kamu kayak gitu. Tapi aku belum bisa, aku nggak bisa. Aku pengen nahan kamu sampe tanganku udah bener-bener gabisa megangin kamu lagi.”

Changmin mengerjapkan matanya yang mulai terasa panas. “You should've treated me better.

Sangyeon tak menjawab apapun, tak mampu menatap Changmin tepat di manik matanya lagi. Penyesalan dan rasa bersalah semakin membebani pundaknya.

“Walaupun kamu tahu kita nggak bakal berakhir bareng-bareng, harusnya kamu tetep memperlakukan aku dengan baik. Harusnya waktu yang kamu punya itu bisa dipake buat ngelakuin hal-hal yang kamu pengen, yang nantinya nggak bisa kamu lakuin lagi setelah nggak ada aku. Kamu, tuh, cuma nyakitin diri sendiri pelan-pelan, Kak. Dan ngebiarin aku buat ngerasain sakit itu juga.”

Sangyeon menyadari itu semua dari bawah sadarnya namun ia memilih mengabaikannya. Karena menurutnya akan lebih mudah untuk segera menyerahkan diri pada keadaan yang menuntut hidupnya untuk mematuhi aturan yang sudah ada ketimbang membiarkan dirinya bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Masih ada rasa berat untuk memilih orang lain daripada keluarganya.

“Kakak beneran sama Kak Jacob, kan?” cetus Changmin beberapa saat kemudian. “Karena dia yang dapet persetujuan dari orangtua Kakak. Dan menurut Kakak itu jalan yang paling gampang buat hidup Kakak.”

Diamnya Sangyeon sudah cukup memberi jawaban untuk Changmin, ia tidak perlu penjelasan apapun lagi. Sekarang semua risau dan tanya yang selalu menghantui pikirannya telah bertemu jalan pulangnya. Meski rasanya tentu saja sakit mengetahui kenyataan bahwa alasan Sangyeon melakukan ini semua adalah untuk melindungi egonya sendiri, tanpa mempedulikan perasaan Changmin namun ia tahu setiap orang memiliki pertarungannya masing-masing. Changmin bersyukur ia telah bertemu seseorang yang menariknya dari lingkaran rumit yang tak berkesudahan itu.

Dan ia harus menemui seseorang itu sekarang.

Sangyeon akhirnya memutuskan untuk kembali setelah ia yakin sudah mengatakan apa yang perlu ia sampaikan pada Changmin. Kalimatnya sebelum ia benar-benar melangkah meninggalkan Changmin sempat membuat cowok itu membeku di tempatnya.

I never really dated Jacob, Changmin. And I did love you at some point in our relationship. I think you deserved to know that.


Last Stage: Nyium pacar-wait, scratch-mantan orang

Menuruni satu persatu tangga yang menghubungkan panggung dengan backstage, kaki Juyeon terhenti pada anak tangga terakhir. Penyebabnya adalah seseorang yang berdiri di depan sana, lengkap dengan senyum manis dan lesung pipi yang membuat Juyeon menjatuhkan pemukul drumnya tanpa sadar.

Perlahan Juyeon melanjutkan langkahnya untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalannya semata atas rasa kecewanya yang mendalam. Hingga ia benar-benar bisa menatap lekat wajah yang ia harap untuk dilihatnya di antara penonton hari ini itu, Juyeon membuka suaranya.

“Kamu dateng...”

Changmin tertawa kecil melihat ekspresi Juyeon yang masih kebingungan.

“Dateng, lah. Aku nggak ingkar janji.”

“Tapi aku nggak liat kamu di barisan penonton.”

“Kamu bilang suruh ke backstage, kan?” Changmin mengerling lucu pada Juyeon. “Dulu kamu pernah ngeluh kalo aku nggak liat kamu soalnya drummer posisinya di belakang. Tapi tadi aku bisa liat kamu jelas dari sini.”

“Jadi kamu liat aku main?” Kali ini Juyeon mulai terlihat senang, matanya memancarkan binar yang tak dapat disembunyikannya.

Changmin mengangguk cepat. “Stop Crying Your Heart Out, lagu yang jadi ending di film Butterfly Effect. Keren juga kalian pilih lagunya.”

Senyum mulai tersungging di bibir Juyeon. Tak menyadari Changmin memperhatikan keringat yang membasahi dahinya dan segera merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil tisu. Disekanya bulir-bulir keringat yang menghiasi wajah Juyeon dengan seksama.

Juyeon menahan pergelangan tangan Changmin lalu menurunkannya pelan-pelan. “Katanya kamu mau ngomong sesuatu sama aku?”

Changmin membulatkan matanya mengingat salah satu tujuannya menemui Juyeon selain untuk melihat penampilannya. Tiba-tiba rasa gugup menyergapnya.

“Oh, iya-”

“Mau ngomong apa?” Juyeon memiringkan kepalanya menunggu Changmin untuk menyampaikan sesuatu padanya.

Cowok mungil di depannya itu sempat melihat ke sekeliling sebelum mengatur napasnya berulang kali. Membuat Juyeon semakin penasaran mengapa Changmin terlihat begitu gugup.

“Changmin?” panggil Juyeon untuk mencuri perhatian Changmin padanya lagi.

Akhirnya dengan satu tarikan cepat pada bagian depan kaos Juyeon yang membuat cowok jangkung itu terpaksa merendahkan badannya, Changmin mendaratkan ciuman pada pipinya lalu membisikkan sesuatu pada telinga Juyeon.

“Ayo jadian!”

Juyeon mengerjapkan matanya berkali-kali setelah ia berhasil menegakkan punggungnya kembali. Membiarkan dua kata yang meluncur dari bibir Changmin dicerna oleh otaknya dengan benar. Wajah Changmin yang dihiasi senyum dan sepasang matanya yang menyimpan harap sama sekali tak membantunya.

Hal berikutnya yang dilakukan Juyeon adalah mendorong dirinya untuk memeluk Changmin kuat-kuat. Tak dapat menahan rasa bahagianya yang seketika memenuhi dadanya. Kalau ia bisa menangis mungkin ia akan menangis saat itu juga lantaran terlalu bahagia.

“Changmin, makasih,” ucap Juyeon sambil menahan Changmin dalam dekapannya.

“Kok makasih?”

“Nggak tau pokoknya pengen bilang makasih. Aku seneng banget.”

Changmin menahan tawanya lalu menganggukkan kepalanya. Ia membiarkan Juyeon memeluknya meskipun beberapa pasang mata sempat mencuri pandang ke arah mereka.

“Changmin.”

“Hm?”

“Aku boleh nyium kamu nggak, sih?”

Seketika Changmin mengangkat alisnya atas permintaan spontan dari Juyeon, yang sekarang secara resmi sudah berubah status menjadi pacarnya itu.

“Yah, tadi aku juga udah nyium kamu, kan-” balas Changmin ragu.

Mendengar jawaban dari Changmin, Juyeon menarik dirinya untuk kemudian menangkup kedua pipi Changmin. Yang tidak disangka Changmin adalah Juyeon tidak menjadikan pipinya sebagai target seperti apa yang telah dilakukannya tadi, melainkan cowok itu menjadikan bibir Changmin sebagai target ciumannya.

“Ju-”

Protes dari Changmin tertahan tanpa bisa tersampaikan karena Juyeon sudah membungkam suaranya. Kini tak hanya beberapa pasang mata saja yang memperhatikan mereka, namun seluruh penghuni backstage termasuk anggota Butterfly Effect yang sedari tadi mengawasi mereka dari sudut ruangan.

Juga satu orang lagi yang berani membuka suara di tengah ketercengangan itu.

“Emang nggak berubah dari dulu suka ciuman di backstage.”


Get up Come on Why're you scared? You'll never change what's been and gone

'Cause all of the stars are fading away Just try not to worry, you'll see them someday Take what you need, and be on your way And stop crying your heart out

We're all of the stars, we're fading away Just try not to worry, you'll see us some day Just take what you need, and be on your way And stop crying your heart out Stop crying your heart out

(Oasis – Stop Crying Your Heart Out)