purplish

commissioned by anonymouspairing : bbangmilword count : 2124 wordstags : angry sex, angsty sex, nipple play, unprotected sex, consensual sex, creampie, angst with happy ending.


Ruangan itu hening. Hanya terisi deru napas seseorang yang baru saja menjatuhkan barang dari tangannya. Sebuah kardus berisi pakaian. Lelaki itu menatap lantai dengan kedua matanya yang nanar. Beberapa detik ia mencoba mengendalikan napasnya yang memburu sebelum menolehkan kepalanya pada seseorang yang tengah duduk di kursi, sama tegangnya.

“Aku paling nggak suka debat sama kamu, Hyunjae.”

Lelaki yang duduk di kursi itu menghembuskan tawa hambar, hampir tak percaya. Ia menggeleng pelan.

“Yang mulai siapa, sih? Kamu, loh, yang tiba-tiba ngebanting barang?”

“Tiba-tiba? Emangnya kamu nggak ngerasa kalo omongan kamu, tuh, nggak ngenakin?”

“Nggak ngenakin gimana, Younghoon? Aku cuma-”

Younghoon menendang pelan kardus di dekat kakinya itu. “Kamu nyuruh aku ambil semua barang-barangku di sini. Kesannya kamu pengen hapus semua jejak aku dari tempat kamu.”

Sekarang Hyunjae benar-benar tertawa. Ia melayangkan tangannya di udara. “Kamu yang bilang pengen ambil barang ke sini?”

“Barang yang aku butuh,” tegas Younghoon. “Bukan semuanya.”

“Apa bedanya, Hoon? Kita udah selesai,” ucap Hyunjae pelan. Ada letih dalam suaranya, seakan ia enggan mengucapkan kalimat itu.

Younghoon menangkap lengan Hyunjae yang beranjak dari kursinya, menahannya untuk tidak pergi.

“Walaupun kita selesai tapi aku mau hubungan kita tetep baik, Je. Jangan tiba-tiba berlagak jadi orang asing dan nyuruh aku kemasin semua barang sampe nggak ada lagi bagian dari aku yang kesisa. Kamu pengen lupa sama aku?”

Hyunjae mendecakkan lidahnya kesal. Kesal karena ia tak tahu bagaimana menjelaskan rumit perasaannya. Jadi yang keluar dari mulutnya hanyalah rentetan kalimat tanpa makna.

“Ngerti arti putus nggak, sih? Selesai. Nggak ada lagi hubungan yang harus di—!!”

Kalimat Hyunjae diputus oleh Younghoon yang membungkam mulutnya tiba-tiba dengan ciuman. Begitu tak terduga hingga punggungnya menabrak meja. Ciuman Younghoon penuh dengan amarah yang bercampur dengan putus asa. Lalu lelaki itu berhenti untuk menempelkan dahinya pada Hyunjae.

“Kamu suka banget bikin aku sakit,” bisiknya. “Kenapa?”

Pertanyaan Younghoon tak dapat Hyunjae jawab. Ia hanya menggigit bibirnya sementara Younghoon menarik napas dengan berat lalu kembali mencumbui wajah Hyunjae, lehernya, bahunya, dan kembali ke bibirnya.

Bohong kalau Hyunjae tak rindu sentuhan Younghoon. Lelaki itu selalu memiliki cara untuk menyentuhnya dengan penuh kelembutan, kehangatan, dan mendamba. Pada akhirnya ia hanya membiarkan pakaiannya luruh satu persatu ke lantai bersama dengan milik Younghoon. Jemari Younghoon jatuh ke permukaan kulitnya dan mengirim gelenyar yang memabukkan ke sekujur tubuh.

“Aku kangen banget sama kamu, Je…”

Entah itu ditujukan padanya atau raganya, Hyunjae tak tahu. Untuk kali ini ia tak mau tahu. Akan diambilnya kesempatan yang mungkin adalah terakhir kali.

Hyunjae melemparkan kepalanya ke belakang kala Younghoon menjatuhkan kecup demi kecup pada permukaan dadanya, menyusuri tiap jengkalnya dengan penuh perhitungan. Sementara tangannya berkelana ke bagian bawah tubuh Hyunjae, menangkup apa yang ada di antara pahanya.

Hyunjae kesulitan untuk meredam apapun yang muncul dari balik tenggorokan. Badannya pun mulai merespon dengan sukarela atas sentuhan-sentuhan Younghoon. Lelaki itu menekan tubuhnya hingga benar-benar terpaku pada meja dan tak mampu ke mana-mana. Kemudian ia mulai bergerak.

Napas yang dihembus Hyunjae melalui bibirnya yang terbuka kecil menyertai penyerahan dirinya. Ia pasrah dan berserah. Menaruh nasibnya di tangan Younghoon untuk mengendalikannya.

Younghoon menggesekkan milik keduanya dengan gerakan yang begitu lambat. Mengingatkan Hyunjae pada dirinya, pada miliknya.

“Sini. Pegang.” Younghoon meminta Hyunjae untuk mengulurkan tangan, menyentuh miliknya. Yang dengan patuh Hyunjae penuhi. Ia membiarkan Younghoon menuntun tangannya untuk meremas penisnya dan mendengar erangan lelaki itu.

Menyadari bahwa Younghoon cukup basah, tubuh Hyunjae seketika dibalikkan hingga kini ia menghadap ke arah meja. Kedua lengan Younghoon mendekap tubuhnya dari belakang dan lelaki itu menciumi leher serta tengkuknya. Hyunjae menggigil.

Younghoon tahu langit di luar mulai gelap sebab cahaya di kamar Hyunjae juga semakin remang. Tangannya meraba-raba lampu duduk di meja lalu mencari tombolnya. Seketika ruangan itu dihiasi bias warna kuning yang lembut. Tubuh Hyunjae terlihat jelas di depan mata Younghoon.

“Hoon, we don’t have to do this…

“Kenapa? You don’t want it?” Bibir Younghoon masih sibuk menciumi leher Hyunjae. “Atau udah ada orang lain?”

Hyunjae menggeleng pelan. “Nggak…”

So?” Younghoon menggesekkan penisnya di belahan pantat Hyunjae, seakan menunggu kepastian sebelum melanjutkan aksinya.

“Kita udah putus, Younghoon.” Lagi-lagi Hyunjae mengucapkan kata yang Younghoon benci.

Shut up. Just- shut up.” Kalimat yang muncul dari bibir Younghoon sarat dengan luka, namun entah Hyunjae menyadari atau tidak. “Do you want it or not?”

Pada akhirnya Hyunjae tak mampu menjawab. Dan Younghoon menganggapnya sebagai persetujuan untuk meneruskan apa yang tertunda. Hyunjae terkesiap begitu milik Younghoon memasuki dirinya. Napasnya tertahan hingga lelaki itu terbenam sempurna.

“Udah lama aku nggak masukkin kamu. I miss this so much.”

Younghoon mulai bergerak dengan perlahan. Memaju-mundurkan pinggulnya hingga lubang Hyunjae kosong dan terisi, menggesek dindingnya berulang kali.

Hyunjae tak sepenuhnya memahami kalimat Younghoon. Ia tahu mantan pacarnya itu banyak temannya, banyak kenalannya. Di mana-mana. Yang dekat dan akrab. Mungkin satu-dua pernah tidur bersama. Mungkin. Lebih mudah menerima asumsi itu daripada memercayai bahwa Younghoon hanya hadir untuknya saja. Jadi maksud kalimatnya bisa jadi karena Younghoon lama tak menikmati tubuh ini. Tubuh Hyunjae, bukan Hyunjae.

Kedua tangan Hyunjae bertumpu pada permukaan meja selagi Younghoon memasukinya. Napasnya mulai berantakan dan tak pelak desahnya juga terbit ke permukaan.

“Hhh… Young-hoon…”

“Hm? Kamu kangen juga, kan?” Younghoon berbisik di telinganya. “Enak, Sayang?”

Kepala Hyunjae terasa pening. Ia pejamkan matanya kuat-kuat. Jangan panggilan itu lagi…

Tangan Younghoon hinggap di puncak dadanya dan memainkan putingnya hingga Hyunjae memekik tertahan. Lututnya gemetar menahan tubuhnya yang semakin sulit ditopang oleh kedua kakinya sendiri. Ia bisa ambruk kapan saja.

“Hoon, aku- nggak kuat-” rengek Hyunjae meminta Younghoon untuk berhenti. Namun Younghoon membungkam mulutnya dengan ciuman sembari memeluk tubuhnya erat, meredakan kegelisahannya. Tubuhnya masih bergerak menghentak keseluruhan tubuh Hyunjae.

Posisi Hyunjae yang terhimpit meja dan Younghoon tak ayal membuatnya tak berkutik. Apalagi ketika penisnya bergesekan dengan sisi meja hingga cairan bening mulai menetes ke permukaan mejanya.

Entah karena Younghoon yang terus bergerak di belakangnya atau karena Hyunjae memang merindukan semua ini, ia akhirnya keluar. Bercak-bercak putih pekat itu terciprat ke atas meja.

Younghoon merasakan tubuh Hyunjae melemas dalam dekapan lengannya. Ia menyadari lelaki itu telah memuntahkan spermanya. Diciumnya lembut sisi wajah Hyunjae sebelum digendongnya menuju ranjang.

Merebahkan tubuhnya ke ranjang, Hyunjae mengira Younghoon sudah selesai dengan dirinya. Ia telah mempersiapkan diri apabila lelaki itu kemudian memakai pakaiannya dan pulang. Meninggalkan Hyunjae dalam kesendirian di kamarnya lagi sama seperti sebelum kedatangannya.

Tetapi dugaan Hyunjae salah besar. Younghoon justru tetap melekat padanya. Melumat bibirnya dan menautkan lidahnya, berusaha untuk mengosongkan oksigen di dalam paru-parunya.

Pendingin ruangan di kamar Hyunjae mati. Tapi sedari tadi ia malah menggigil akibat perlakuan Younghoon. Mantan pacarnya itu selalu bisa membuatnya merasakan sensasi yang tak mampu dinalar otaknya. Sama seperti yang tengah dilakukannya sekarang.

Puas menikmati bibir Hyunjae, kini Younghoon menyusuri kulit tubuhnya. Dengan bibirnya ia ciumi tiap lekuk tubuh Hyunjae. Mulai dari tangannya, lalu dadanya hingga turun ke perutnya. Younghoon menghabiskan waktu lebih lama di sana. Hyunjae sama sekali tak dapat berkutik.

Pendaratan terakhirnya adalah paha Hyunjae. Younghoon mengangkat kedua kaki Hyunjae dengan tangannya lalu menciumi bagian dalam pahanya. Titik sensitif lelaki itu.

“Mmh…” Hyunjae hanya mampu melenguh pelan sementara Younghoon menggesekkan bibirnya di sana. Ia berusaha keras tak menarik rapat pahanya.

Lalu wajah Younghoon terangkat, pandangannya tertuju tepat pada Hyunjae. Ia tersenyum manis.

“Kamu cantik, Hyunjae.”

Seketika Hyunjae merasa kepalanya kosong dan ia jauh lebih tak berdaya dari sebelumnya. Apakah itu pujian? Apa maksud ucapannya? Raga dan jiwanya sama-sama membeku. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Sepertinya Younghoon juga tak mengharapkan apapun dari Hyunjae sebab lelaki itu tak lama kemudian kembali memuja tubuhnya dengan penuh kelembutan. Hyunjae hanya mampu menatap ke langit-langit kamarnya selagi Younghoon melanjutkan kegiatannya. Bertanya-tanya apa yang akan terjadi saat semua ini berakhir. Mungkin Younghoon akhirnya akan tersadar bahwa ia tak menginginkan ini, ia tak menginginkan Hyunjae. Lalu pergi tanpa pernah kembali lagi.

“Mikirin apa?”

Suara Younghoon tiba-tiba sudah dekat dengan telinganya. Rupanya lelaki itu telah beranjak dari menciumi paha Hyunjae menuju ke lehernya lagi. Ia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Hyunjae sedari tadi namun tak diungkapkan.

“Nggak, cuma…” Hyunjae menjeda kalimatnya sejenak. “Kamu bakal nyesel nggak, habis ini?”

“Nggak.” Jawaban Younghoon datang lebih cepat dari yang Hyunjae kira. Bahkan lelaki itu tampak yakin. “Kamu nyesel ngelakuin ini?”

Tak menyangka atas pertanyaan balik itu, Hyunjae menjauhkan wajahnya dari bibir Younghoon yang mulai menyusuri sisinya. Ia menelan ludah yang terasa pahit di mulutnya.

“Kenapa sih, Je?” Hela napas dihembus dari bibir Younghoon. “Kenapa susah banget kamu nerima rasa sayang aku?”

Pertanyaan itu bagai belati yang menghunjam tepat di ulu hati Hyunjae. Ngilu. Sakit. Padahal seharusnya mudah untuk menerima seluruh perasaan Younghoon. Namun bagi Hyunjae, sekuat apapun ia berusaha tetap saja rasanya sulit.

“Kamu nggak kayak aku, Hoon. Kamu punya dunia kamu sendiri. Dunia yang isinya kamu sama orang-orang yang emang pantes ada di sekitar kamu.”

Younghoon mendecakkan lidahnya kesal. “Hyunjae, aku beneran capek dengerin alasan kamu yang itu. Dunia apa yang kamu maksud? Dunia aku ya kamu, Je.”

“Nggak. Aku bukan dunia kamu. Tapi kamu paksa aku masuk. Aku yakin hidup kamu bakal baik-baik aja walaupun nggak pernah ketemu aku.”

Kalimat Hyunjae memantik gemuruh dalam diri Younghoon. Dalam sekejap bibir Hyunjae dilumat habis dan Younghoon kembali memasukinya. Kali ini ada luapan perasaan yang ingin Younghoon bagikan pada Hyunjae. Berharap ia akan mengerti.

“Ah- Hoon- Aah!” Hyunjae meremas kuat sprei di ranjangnya seiring Younghoon melesakkan miliknya berulang kali. Satu dorongan tajam ke ke dorongan tajam yang lain terus bersahutan tanpa henti.

“Sebut namaku.” Younghoon terengah. “Sebut namaku, Hyunjae.”

Stimulasi yang didapat Hyunjae terlampau kuat hingga ia tak mampu berpikir jernih. Penis Younghoon terus menggesek dindingnya dan membuatnya penuh.

“Younghoon- Ngh- Hoon… Di situ-”

Younghoon menemukan titik kenikmatan Hyunjae. Difokuskannya untuk menghunjam satu titik itu hingga Hyunjae lupa diri.

“Di sini? Enak di sini?” tanya Younghoon. Suaranya berat dan dalam. Hyunjae menjawab dengan anggukan. Matanya terpejam kuat. “Aku bakal bikin kamu enak, Je. Aku selalu bikin kamu enak.”

Ranjang Hyunjae berderit akibat kencangnya hentakan yang dihasilkan keduanya. Bibir Hyunjae juga tak henti mengeluarkan lenguhan keras yang tak mampu ia tahan. Apa yang dikatakannya beberapa saat lalu berbanding terbalik dengan bagaimana tubuhnya merespon tiap gerakan dan sentuhan Younghoon.

“Hyunjae… Hyunjae…” Younghoon memanggil dengan suaranya yang hampir pecah. “Aku sayang kamu, Je… Hh- Aku masih sayang…”

Hyunjae tak ingin berasumsi apapun ketika ia merasakan sesuatu yang hangat di ceruk lehernya, tempat Younghoon membenamkan wajah. Ia ingin menjemput nikmatnya untuk kedua kali. Dipeluknya tubuh Younghoon dengan kedua kaki dan tangannya lalu pinggulnya ikut serta terangkat bertemu dengan tiap hentakan Younghoon.

“Sayang, enak banget, Sayang…” Suara Younghoon terdengar serak di telinga Hyunjae. Ia tetap memanggil Hyunjae dengan sebutan yang sudah lama Hyunjae larang. Hingga panggilan itu pada akhirnya membuat Hyunjae memuncratkan putihnya ke mana-mana. Lalu ia sibuk mengatur napasnya yang berantakan sembari mendengar desahan Younghoon yang masih bergerak di dalamnya. Dengan ragu ia menaruh satu tangannya pada kepala lelaki itu, mengusapnya pelan.

Tak lama Hyunjae merasakan hangat di dalam lubangnya, diiringi dengan erangan panjang Younghoon. Ia membiarkan lelaki itu berdiam menindih tubuhnya untuk sementara waktu. Terlalu takut untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah ini.

Namun ketakutan Hyunjae berubah menjadi kebingungan tatkala Younghoon mengangkat wajahnya. Sepasang mata lelaki itu merah dan wajahnya basah. Ternyata benar dugaan Hyunjae sebelumnya, Younghoon menangis. Tapi untuk alasan apa?

“Kamu…” Hyunjae meraih sisi wajah Younghoon dengan tangannya, mengusap pipinya dengan ibu jari. “Kenapa nangis?”

Younghoon memegang tangan Hyunjae yang menyentuh wajahnya. Untuk sepersekian detik ia hanya ingin merasakan belaian lelaki itu. Cairan bening kembali merebak di pelupuk matanya.

“Aku bener-bener nggak bisa kehilangan kamu, Je,” lirih Younghoon. “Aku sayang kamu. Sayang banget. Gimana caranya biar kamu percaya?”

Kalau Hyunjae boleh jujur, melihat Younghoon menangis di depannya adalah suatu pemandangan yang tak pernah ia duga. Selama mereka berpacaran jarang sekali Younghoon meneteskan air mata untuk alasan apapun. Hampir tidak pernah. Namun melihat lelaki itu menunjukkan rapuhnya di depan kedua matanya seperti ini membuat batin Hyunjae tergores pilu.

“Jangan nangis…” Hyunjae menghapus jejak tangis di sudut mata Younghoon. “Aku nggak suka lihat kamu nangis.”

Kemudian direngkuhnya keseluruhan raga Younghoon. Didekap erat dengan lengan dan perasaannya. Dikecupnya wajah lelaki itu kemudian berbisik pelan.

“Aku juga sayang kamu, Younghoon. Selamanya aku sayang. Mungkin rasa sayangku ini lebih dari kamu, makanya aku selalu takut. Aku pikir dengan jauh dari kamu bakal bikin aku terbiasa kalo sewaktu-waktu kamu pergi.”

Younghoon menggelengkan kepalanya dalam pelukan Hyunjae. “Mana mungkin aku pergi, Hyunjae? Tiap ada apa-apa aku selalu dateng ke kamu.”

Hyunjae merasa seperti orang bodoh. Ia terlalu sibuk dengan kekhawatirannya sendiri hingga tanpa sadar telah menyakiti orang yang selalu disayangnya. Seberapa jauh ia menyakiti Younghoon demi berlindung di balik tamengnya sendiri?

“Maafin aku,” bisik Hyunjae. “Aku nggak akan pergi ke mana-mana.”

Mungkin hanya itu yang dibutuhkan Younghoon. Mendengar langsung dari bibir Hyunjae bahwa ia akan tetap tinggal. Tidak perlu ada yang pergi. Tidak perlu saling menjauh dan menyakiti.

Untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir, malam itu Younghoon akhirnya dapat tertidur pulas tanpa mimpi buruk. Ia tertidur di pelukan Hyunjae tanpa takut lelaki itu tak ada di sisinya begitu matanya terbuka.