purplish

disclaimer: potongan cerita ini TIDAK berhubungan dan TIDAK berpengaruh pada cerita utama, cerita ini terjadi DI LUAR JDAS universe. hanya ditulis untuk memenuhi keinginan pribadi penulis.


Wajahnya jadi sering muncul di kelebat pikiran. Namanya jadi sering terngiang sewaktu-waktu tanpa permisi. Kata orang semakin kita membenci seseorang, semakin melekat pula eksistensinya dalam kepala kita.

Tapi Edgar tidak membenci. Tidak. Hidupnya sudah terlalu rumit untuk menyisakan kebencian yang tidak berguna. Lalu kata apa yang tepat untuk menjelaskan perasaannya pada orang itu?

Jealousy?

Edgar enggan mengakui bahwa mungkin ia memang iri. Apa yang tidak dapat diraihnya, orang itu mendapatkannya dengan mudah.

Satu ciuman di pipi kiri.

“Eh, sori. Lo nyariin gue ya, Gar?”

Pertanyaan itu berlalu saja di telinga Edgar. Ia lebih sibuk melihat rona merah di pipi orang itu, bekas diberi cium oleh cowok yang cengengesan di depannya ini.

“Iya. Tapi kalo lo lagi ada urusan nggak jadi aja, deh.”

“Ooh, gue mau nyari makan sama Arka aja sih habis ini.”

Arka. Cowok itu. Namanya selalu membawa sensasi pahit yang aneh di benak Edgar.

“Sekalian aja.”

Arka angkat bicara. Memandang Edgar dengan sorot mata yang tak dapat Edgar baca. Entah itu ajakan tulus atau sekedar basa-basi.

Toh, Edgar duduk di sini juga. Dengan dua sejoli yang asyik mengobrolkan sesuatu tentang taburan kacang di makanan mereka yang dianggap salah sambung. Lalu Edgar melihat ekspresi itu. Rasa bahagia yang terpantul dari matanya. Mungkin seperti itu efeknya disayangi seseorang seperti Hanan.

Senyumnya terulas di wajah. Manis. Edgar tidak dapat memungkiri. Semua yang ada pada Arka, Edgar memaklumi mudah bagi Hanan untuk jatuh suka.

“Bengong aja lo ngeliatin Arka. Awas ye sampe naksir?”

Celetukan Hanan membuat Edgar mendaratkan tangannya untuk menoyor cowok itu.

Bodoh.


Yang tidak bodoh adalah Arka. Dari awal ia sudah tahu. Mungkin bukan hanya dirinya, namun semuanya. Ada hati yang ditaruh Edgar diam-diam pada Hanan. Kesal? Mungkin. Benci? Tidak juga. Bagi Arka setiap orang berhak untuk jatuh cinta. Lagipula belum ada status yang jelas antara dirinya dan Hanan. Kalau Edgar memang punya nyali untuk maju pun, Arka tak menyalahkan.

Namanya juga Arka. Semakin berusaha ia mengabaikan semakin ia kepikiran juga. Kepalanya jadi sering dilewati nama Edgar. Hari ini Edgar mampir ke sekre mencari Hanan, kemarin Edgar ketemu Hanan di parkiran, besok Edgar mungkin mengajak Hanan nongkrong di warung kopi.

Kira-kira Hanan tertarik sama cowok modelan Edgar nggak, ya?

Berisik pikiran Arka terputus oleh tepukan pelan di pundak. Terkejutnya begitu ia berbalik. Edgar dengan senyum kecil di wajah menyambut pandangannya.

“Sori, cuma mau nitip ini.” Edgar menyerahkan kunci motor pada Arka. “Tangkinya udah gue isi penuh.”

Arka menatap kunci motor milik Hanan di tangannya. Entah untuk alasan apa Edgar mengisikan bensin motor Hanan, dan mengapa harus Edgar. Tapi pada akhirnya Arka hanya mengangguk.

Mata Arka masih tertancap pada benda di telapak tangannya ketika Edgar berbalik pergi. Selang beberapa detik nama Edgar dipanggil hingga langkah cowok itu terhenti.

“Ya?”

“Besok dateng ke ulang tahun Hanan.”

Edgar mengangkat alisnya menganggap kalau ia salah dengar. Tapi Arka tak mengulangi kalimatnya. Hanya melambaikan kunci di tangannya sebelum meninggalkan Edgar.

Yang tidak dilihat Edgar adalah air muka Arka yang berubah risau. Cowok itu kembali dipenuhi pikiran berisik tentang Edgar.


Acara ulang tahun anjing.

Bukan Hanan anjingnya. Atau mungkin memang iya.

Edgar seperti orang bodoh memergoki bibir-bibir yang saling melumat. Tapi kakinya seakan terpaku ke lantai, tak bisa bergerak apalagi berlari. Mungkin memang niat Arka menyuruhnya datang untuk melihat ini semua.

Pandangan Edgar masih terpatri pada bibir yang belum saling lepas itu, hingga akhirnya matanya bertubrukan dengan Arka yang tiba-tiba melihatnya. Edgar buru-buru menggerakkan kaki menuju tempat yang tersembunyi dari penglihatan mereka. Diturunkan pandangannya ke arah celana jinsnya.

Well, shit. He’s hard.


Rupanya Arka memang sengaja. Menarik Hanan lalu menciumnya ketika dilihatnya Edgar berjalan mendekati tempat mereka. Lalu ia melepas ciumannya begitu tatapan mereka bersirobok sebelum Edgar pergi.

“Gue istirahat di sini dulu aja, Nan. Lo turun temuin temen-temen lo,” ucap Arka ketika Hanan mengajaknya kembali ke acara.

Setelah memastikan Hanan benar-benar hilang dari pandangan, Arka segera beranjak keluar ruangan untuk mencari seseorang.

“Bang Edgar…” panggilnya pada cowok yang tengah bersandar di tembok itu.

Tanpa diduga Edgar menarik lengan Arka agar ia terhindar dari pandangan sekitar. Punggung Arka menabrak tembok di belakangnya.

“Udah tau kan, Ka?” todong Edgar langsung.

Arka menentang sorot mata Edgar.

“Emang sengaja, kan?” tambah Edgar.

Bibir yang mulai bergerak membentuk senyum tipis penuh kemenangan itu ditatap Edgar dengan gemuruh di dada.

“Bang Edgar,” panggil Arka manis. Terlalu manis. “Gue nggak papa, kok. Serius. Asal jangan jadi pengecut aja. Dan hipokrit.”

Aneh. Ada bagian dalam diri Edgar yang terpancing oleh kalimat Arka. Selain bagian bawah perutnya, tentu saja.

Edgar mendekatkan wajahnya pada Arka, mengintimidasi. Ingin ditelitinya setiap inci wajah yang dikagumi Hanan itu. Hidungnya menghirup aroma tubuh Arka. Memang pantas Hanan jadi mabuk.

Arka sama sekali tidak gentar. Ia malah merapatkan badannya hingga bersentuhan dengan Edgar. Lalu ia merasakan tonjolan di bawahnya itu. Arka ingin mendengus geli.

“Separah ini ternyata?” Arka menyapukan ujung-ujung jarinya pada bagian yang tumbuh itu, lembut saja. “Imajinasi lo sejauh apa, sih?”

Arka tidak perlu tahu kalau tidak ingin kesal. Yang paling liar pun pernah diimpikan Edgar.

Tapi yang di depannya ini adalah kesukaan Hanan. Menu favorit Hanan. Edgar ingin mencoba menyukai apa yang Hanan sukai.

Maka Edgar mulai mencicip.

Satu sapuan lidah pada permukaan bibir Arka sebelum habis dalam sekali lumat. Ini adalah bibir yang disukai Hanan. Masih ada jejak-jejak Hanan di sana. Edgar ingin menghabiskannya.

Sempat Edgar tangkap keterkejutan di mata Arka. Tapi cowok itu tak berontak. Edgar menikmati kebekuannya. Mulai detik ini adalah perang.

Lutut Edgar menyelinap di antara paha Arka, memaksanya untuk membuka. Lalu ia tempelkan miliknya yang sudah meminta untuk diperhatikan pada Arka. Edgar menelan desah yang sempat dilontarkan Arka dengan lidahnya.

Edgar terus menciptakan gesekan yang pelan dan menyakitkan. Ia memperhatikan bagaimana Arka mulai gelisah, tangannya menyambangi pinggang Edgar dan menarik-narik celananya.

“Apa lo segini nafsunya sama Hanan?” bisik Edgar yang membuat telinga Arka memerah. “Atau memang nggak cuma Hanan?”

Tangan Arka berhenti menarik. Ia menatap Edgar tajam lalu mendesis pelan.

“Jangan sok tau soal gue.”

“Bukan sok tau. Gue cuma pengen tau sama apa yang disukai Hanan.”

“Jangan harap lo tau apa-apa soal gue.”

“Gitu?” Edgar menekan selatan Arka dengan lututnya.

“Ah-” Kelabakan Arka menutup mulutnya. Ia tak melewatkan senyum puas Edgar yang tercetak di bibir. “Sialan lo.”

Tanpa permisi Edgar membuka kancing celana Arka dan menyelipkan tangannya masuk, menangkup milik Arka dalam satu genggam.

“Ini favoritnya Hanan?”

Lutut Arka lemas bagai tak bertulang kala Edgar meremas miliknya. Ngilu yang nikmat. Arka pun menyerah. Ditaruhnya kepala di dada Edgar sementara cowok itu bermain dengan miliknya. Arka sudah basah.

“Gue juga bisa ngasih ini ke Hanan,” ucap Edgar. “Gue bisa bikin Hanan lemes kayak lo sekarang.”

Kalimat yang seharusnya mendidihkan darah Arka itu tersalur ke bagian bawah perutnya, membuat apa yang dimainkan Edgar mengejang.

“D-Diem…” Arka terengah. “Jangan sebut nama Hanan… depan gue…”

“Kenapa?” Edgar sengaja memperkuat remasannya. Puas melihat Arka sekuat tenaga menahan desah yang ingin keluar. “Takut ngerasa bersalah lo nggak cuma bereaksi kayak gini ke Hanan?”

Arka mencengkram kemeja Edgar kuat-kuat. Menahan dirinya agar tak merosot ke lantai. Batinnya sibuk mengutuk diri.

Kenapa enak? Sial, memang enak.

Celana Arka sudah melorot hingga setengah pahanya. Memberikan akses yang mudah bagi tangan Edgar untuk mencapai bagian belakang punggungnya.

Jemari itu menelusup ke lubangnya.

“Ahh! Ah!” Keras desahan Arka tak terbendung lagi. Jari tengah Edgar masuk begitu saja. Dalam dan bergerak.

“Ini juga… kesukaan Hanan,” ucap Edgar. Ia biarkan Arka menggelinjang oleh stimulasi yang dibangunnya. “Tapi gue bisa bikin Hanan lebih suka.”

Hingar-bingar suara manusia bercampur musik di bawah sana menenggelamkan suara rengekan Arka yang semakin berisik. Lubangnya diisi jari Edgar, tapi ia ingin lebih. Ia ingin tahu seberapa besar kemampuan Edgar untuk menyenangkan Hanan.

“Masukin gue. Please.

Terkejutnya Edgar bukan tak beralasan. Ia memang tak berniat untuk sejauh itu. Hanya ingin pamer sedikit untuk orang yang disuka Hanan itu. Namun mendengar Arka meminta, itu adalah urusan lain. Jauh di luar kepentingannya.

“Bentar, Ka. Gue nggak-”

Please.” Tangan Arka sibuk membuka resleting celana Edgar sebelum cowok itu menyadari. “Masukin punya lo ke gue. Gue nggak butuh jari lo.”

Edgar masih mematung, belum dapat mencerna keinginan Arka. Hingga tangan Arka mengeluarkan milik Edgar dan mengarahkannya ke lubangnya sendiri.

“Ayo,” desak Arka.

Edgar akhirnya tersadar. Ini bukan apa-apa. Ini hanyalah cara untuk mengenali musuh.

Perlahan Edgar melesak masuk ke dalam Arka. Kulit bergesekan dengan kulit. Hangat seketika melingkupi Edgar. Kemudian sempit, terjepit. Pada akhirnya Edgar mengeluarkan desah kenikmatannya.

“A-Arka…” Canggung Edgar menyebut namanya. Yang disebut menatap Edgar penuh waspada. Menunggu setiap reaksi yang tercipta.

Dan lagi-lagi Edgar tersadar. Bahwa kekaguman Hanan pada Arka memang sangat beralasan. Belum pernah ia se-kehilangan kata-kata ini akibat seseorang. Arka memang spesial. Caranya menatap, caranya menyentuh, caranya bereaksi.

Caranya menelan keseluruhan Edgar.

Edgar hampir gila.

Dan ia harus segera bergerak. Tak boleh dirinya yang dikendalikan. Edgar harus mengambil alih.

Pada tembok yang dingin itu Edgar menghajar Arka. Menunjukkan pada musuh bagaimana ia bertindak.

Akan tetapi niatnya selalu kalah. Karena Arka juga melawan.

Enak. Enak. Enak.

Arka enak.

Hingga hunjaman kuku Arka pada punggung Edgar tak lagi terasa, hingga Edgar melesak dalam tak bersisa, hingga yang terdengar di telinga Edgar hanya desah napas Arka dan bagaimana cowok itu memanggil namanya.

“Mau k-keluar…” ucap Arka susah payah. “Bang Edgar… mau keluar…”

Bahkan suara rengekan itu membuat Edgar semakin lupa bahwa yang ada dalam kurungan lengan ini adalah rivalnya. Edgar seperti sukarela memberikan semua untuk Arka. Menuruti setiap inginnya.

Cairan itu membasahi kemeja Edgar. Ia tak mau memikirkan bagaimana menjelaskan itu pada orang-orang di bawah nanti. Yang penting Arka puas dulu. Yang penting Arka.

Setelah tubuh itu terkulai lemas dalam pelukan, Edgar kembali bergerak untuk menjemput puncaknya. Engahan napas Edgar menampar telinga Arka. Keras dan jelas.

Fuck-” umpat Edgar bersamaan dengan keluarnya cairan yang memenuhi Arka, hangat dan menetes. Kepala Edgar jatuh di bahu Arka, napasnya memburu.

Tetapi Arka memang manusia yang penuh kejutan. Dua lengannya melingkari tubuh Edgar untuk memeluk erat. Suaranya parau berbisik.

“Lo enak. Tolong jangan ambil Hanan dari gue… Cukup pake gue aja.”

Kalimat Arka membuat Edgar merenung. Sebenarnya apa tujuan dari semua ini? Sudah berhasilkah ia mengenali musuhnya? Berhasilkah ia mengenali kesukaan Hanan?

Atau mungkin ia malah berhasil menikmati musuh?

Maka saat bibir Edgar bertemu dengan pipi Arka, lalu beralih ke bibirnya, Edgar mematikan seluruh kesadaran. Semua logika. Edgar hanya butuh berpikir secara sederhana.

Ia memang menikmati ini.

“Gue nggak akan ambil Hanan dari lo.”

tags ; nyepong, hanan sange, fingering, toilet gym, nelen peju, hanan sange ((sawrry i'm not good at giving tags it is what it is))


Sudah satu jam lebih Arka duduk di sudut ruangan sambil scroll timeline dan pura-pura sibuk. Sesekali ekor matanya mencari keberadaan Hanan yang rajin berpindah tempat. Kali ini cowok itu sedang rebah sambil menarik beban dari atas sebelum melepasnya lagi, dilakukan berulang-ulang.

Arka bete parah. Karena sejam sebelumnya Hanan menyuruh Arka mampir ke tempat gym-nya saja untuk menjemput.

“Sini, Ka. Samperin aku. Nanti sekalian makan.”

Nyatanya sampai di lokasi Hanan masih punya serangkaian sesi yang belum selesai. Terpaksa Arka harus menunggu seperti orang bodoh di pojokan. Ia bertekad kalau sepuluh menit lagi Hanan masih belum selesai, ia bakal cabut dari tempat itu.

“Sayanggg, nunggu lama, ya?”

Sembilan menit, lima belas detik.

Hanan menghampirinya dengan kedua lengan terbuka lebar, intensi untuk memeluk. Arka buru-buru menghindar sementara tangannya kilat melempar handuk ke muka Hanan.

“Keringin dulu, tuh,” perintah Arka tajam.

Hanan langsung menurut meskipun sambil cemberut. Kaosnya basah total oleh keringat hingga melekat ke kulit. Ia mengambil tempat duduk di dekat Arka.

“Lama, ya?” tanya Hanan lagi. Ia sudah tahu dari ekspresi Arka yang bete maksimal.

“Pake nanya,” sewot Arka. “Udah nyuruh jemput malah harus nunggu sejam sampe kering.”

“Kamu, sih. Kan niatnya aku tadi mau ngajak kamu nge-gym juga.”

“Udah dibilangin aku nggak suka nge-gym, Hanannn.” Arka sampai harus menahan rasa gemasnya agar tak menjambak rambut cowoknya yang masih meneteskan bulir keringat itu.

“Diajakin sehat sama pacarnya kok nggak mau? Biar badan kamu berisi, nggak kerempeng kayak gini.”

“Siapa yang kerempe-”

Aksi di depannya membuat suara Arka surut. Hanan menanggalkan kaosnya seakan tak peduli sekitar. Disekanya kulit tan-nya yang mengkilap oleh keringat itu dengan handuk.

“Kamu bilang apa tadi, Ka?”

“Nggak.”

Satu hal yang membuat Arka kadang-kadang merasa kurang nyaman. Cowoknya itu suka dengan mudahnya mengekspos badannya di publik. Alias Hanan gampang sekali bertelanjang dada tanpa merasa malu.

Okelah kalau tubuh Hanan memang bagus. Arka tidak memungkiri. Tetapi kemungkinan bahwa Hanan sengaja melakukan itu untuk pamer membuat Arka sedikit senewen. Pasalnya yang punya mata dengan kejernihan seratus persen bukan dia saja. Yang rabun saja kemungkinan masih bisa melihat, apalagi yang lain.

Bukan sekali dua-kali Arka menangkap pasang mata yang mengamati lebih dari lima detik sebelum pura-pura melengos. Seperti yang barusan, instruktur yang mendampingi kegiatan Hanan hari ini melihatnya dari kejauhan tepat setelah kulit yang basah itu terekspos.

Entah, Arka risih saja.

“Mandi dulu sana,” suruh Arka setelah Hanan menyeka keringat di badannya dengan asal-asalan.

“Ayo, temenin.” Hanan mendekatkan wajahnya dengan senyum menyebalkan. Aroma khas tubuhnya tercium oleh Arka.

“Temenin apaan?”

“Bawain tas aku, maksudnya,” kekeh Hanan sebelum mencuri cium pipi Arka. Yang dicium cuma bisa mencak-mencak karena pelakunya sudah ngibrit ke belakang.


Bilik kamar mandi tidak begitu ramai. Hanya ada satu hingga dua orang yang membilas diri tak begitu lama sebelum pergi. Arka menunggu di luar pintu bilik Hanan sambil membawa tasnya di bahu kanan.

“Ka, ambilin sabun di kantong depan, dong.” Suara Hanan terdengar dari dalam bilik. Arka meraba bagian depan tas Hanan untuk mencari barang yang dimaksud sebelum pacarnya itu berseru lagi. “Eh, apa di dalem ya? Kantong samping nggak ada, kan?”

Arka urung melanjutkan kegiatannya. Diketuknya pintu kamar mandi agar Hanan memberi celah. Begitu Hanan membuka sedikit pintunya, tanpa permisi Arka menyelinap masuk.

“Kenapa? Sabunnya nggak kebawa, ya?” tanya Hanan.

Tanpa kata Arka menggantungkan tas Hanan di pintu sebelum menatap cowoknya itu. Hanan yang masih bertelanjang dada dan belum melepas celananya itu balik menatap Arka dengan bingung.

“Kenapa?” ulangnya. Kali ini setengah berbisik karena ia merasa was-was.

Arka yang masih diliputi perasaan setengah jengkel itu tak menjawab. Satu tangannya mendarat di dada Hanan lalu bergerak menyusuri bahu dan berhenti di sisi wajah Hanan. Melangkah mendekat hingga lutut keduanya bersentuhan, Arka menarik wajah Hanan untuk menciumnya tepat di bibir.

Meskipun lumayan kaget Hanan tak kehilangan refleksnya. Tangannya melingkari pinggang Arka sementara dirinya balas mencium. Hanan memiringkan kepala untuk mendapat akses yang lebih leluasa. Pada akhirnya Hanan juga yang memegang kendali.

Ciuman yang cukup panjang itu terpaksa diputus oleh Hanan. Ia mengatur napasnya sebelum berucap.

“Ka, emangnya kamu mau ngelakuin di sini?”

Dengan tampang tanpa dosa Arka balik bertanya. “Ngelakuin apa?”

“Jangan bilang kamu cuma pengen ciuman.”

“Kalo iya kenapa?”

Hanan langsung mengeluh. “Udah terlanjur kebelet, Ka.”

Arka mendengus setengah mengejek. “Bukan urusan aku.”

Panik Hanan menahan pergelangan tangan Arka ketika cowok itu hendak keluar bilik.

“Jangan kemana-mana dulu. Sumpah jahat banget Arka,” rengek Hanan. “Tanggung jawab, dong. Udah nggak tahan banget. Minimal sepong, deh.”

Arka mendelik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Melihat Hanan memohon padanya dengan muka memelas membuat dirinya merasa di atas angin.

“Nggak minta tolong mas-mas yang tadi aja?”

“Hah? Yang mana?”

“Yang bantuin kamu tadi.”

“Lah, ngapain dia?”

“Demen liat badan kamu tadi kayaknya. Apalagi pas kamu buka baju. Sampe melotot tuh tadi aku liat.”

Hanan menautkan alisnya. “Sayang cemburu, ya?”

“Hmm, nggak sih. Males aja liat kamu telanjang di publik.”

“Iya, maaf. Aku nggak tau kalo ada yang merhatiin. Aku juga nggak peduli sama orang lain, kok. Kan yang bisa megang cuma kamu.”

“Megang ini?”

Napas Hanan tercekat begitu tangan Arka menyentuh miliknya yang sudah mengeras, membentuk tonjolan yang kentara dari balik celananya. Hanan melenguh dalam saat Arka meremas dan memijat miliknya pelan.

“Sepongin ya, Ka? Please?” mohon Hanan.

Mendengar itu Arka langsung menarik tangannya. “Nggak mau.”

Hanan merengek lagi seperti anak kecil yang tidak boleh makan permen. Bagian bawah perutnya sudah bergejolak hebat minta diberikan pelepasan.

“Kalo nggak mau jangan mancing, Ka,” protes Hanan. “Tau sendiri aku nggak bisa nahan kalo sama kamu.”

“Sangean, sih.”

“Iya, sama kamu. Disenyumin kamu aja aku udah pengen buka celana,” oceh Hanan ngawur.

Komentar Hanan sukses membuat Arka merah padam. Ia lalu menyuruh Hanan melepas kain terakhir yang tersisa di tubuhnya, yang langsung dipenuhi Hanan sebelum Arka berubah pikiran.

Arka menanggalkan kaos dan celana jinsnya sebelum berlutut di depan Hanan.

“Kok dilepas?”

“Biar nggak kotor, lah.”

“Nggak papa, nanti mandi sama aku. Aku bawa spare banyak di tas.”

Arka menyuruh Hanan diam sebelum tangannya meraih milik Hanan dan memasukkannya ke dalam mulut. Dibasahinya dengan saliva yang dibawa oleh lidahnya, dikulum dengan hangat.

Beberapa hal yang membuat Hanan hampir mencapai puncaknya, dan salah satunya adalah melihat wajah Arka yang mendongak di antara kedua kakinya. Tangan Hanan menyibakkan helai rambut yang menutupi wajah Arka dan menariknya ke belakang hingga wajahnya benar-benar terangkat.

Ibu jari Hanan mengusap liur yang menetes di sudut bibir Arka. Arka-nya yang berusaha keras melumat miliknya, menahan sedakan acap kali milik Hanan menabrak bagian belakang rongga mulutnya.

“Cantik…” komentar Hanan sementara pinggulnya bergerak mengikuti ritme mulut Arka. Milik Hanan berdenyut nikmat dalam kuluman lidah Arka, membuat Hanan tak kuasa untuk tak mendorong dirinya hingga ujungnya terus-menerus menabrak bagian dalam mulut Arka. Tangan Arka mencengkram erat pinggang Hanan, matanya sudah berair menahan hasrat untuk tersedak.

“Aku mau keluar,” ucap Hanan. Ia hampir mencabut miliknya ketika dilihatnya Arka menggeleng samar. “Ka?”

Sebagai gantinya Arka menghisap milik Hanan lebih kuat, membuat Hanan mengerang dalam.

Fuck.” Hanan mengumpat di antara napasnya yang memburu. Beberapa kali ia menyemburkan cairan ke dalam mulut Arka. Tak lama pacarnya itu menarik diri dan terduduk hingga punggungnya menyentuh dinding bilik.

Hanan buru-buru berlutut untuk mengecek Arka yang terbatuk. Diusapnya dagu dan bibir Arka yang masih basah oleh saliva.

“Sayang, nggak papa kan?”

Arka mengangguk sebelum membuka mulutnya, memperlihatkan bagian dalamnya pada Hanan. Seketika Hanan menghela napas pasrah.

“Kamu bener-bener nggak mau kotor, ya?”

“Aku udah bilang, kan.”

Hanan memandangi pacarnya yang masih terduduk itu sambil tersenyum tipis. Ia lalu mendekatkan wajahnya untuk berbisik di telinga Arka.

“Tapi aku pengen bikin kamu kotor. Biar bisa mandi bareng aku.”

Belum sempat Arka menanggapi ucapan Hanan, cowok itu sudah melucuti celananya yang menyembunyikan milik Arka yang merah dan basah. Dengan satu gerakan cepat Hanan membalikkan tubuh Arka hingga sisi wajahnya menempel pada dinding bilik yang dingin.

“Nan- Ah!” Arka mendesah keras begitu jari Hanan memasuki lubangnya. Refleks Arka menunggingkan bagian belakang tubuhnya untuk mencari gesekan yang didambakannya. Hanan tahu satu jarinya saja tak cukup, maka ia menambahkan jarinya yang lain. Bergerak mencari titik kenikmatan Arka.

“Hanan… please…”

“Bentar, sayang.” Jemari Hanan tak henti menghujam hingga tubuh Arka mengejang. Cowok itu tersenyum puas. “Di sini, ya? Hm?”

Arka merengek panjang karena Hanan tak memberinya jeda. Ia hampir menyentuh dirinya sendiri namun ditepis oleh Hanan.

“Biar aku aja. Soalnya kamu udah jadi anak pinter, anak manis hari ini. Nggak ada yang nyuruh kamu buat nelen tapi kamu inisiatif buat nelen sendiri. Pinter.”

Kelemahan Arka kalau Hanan sudah melontarkan pujian-pujian yang meninggikannya. Rasanya Arka rela mau dibikin berantakan oleh Hanan saat itu juga.

Stimulasi yang didapat Arka dari jemari Hanan di dalam lubangnya dan telapak tangan Hanan yang merangkum miliknya membuat Arka tak bisa berpikir lagi.

“Enak?” tanya Hanan. Bibirnya menempel di tengkuk Arka. Belum sempat Arka merespon, Hanan menambahkan. “Enak udah ngerjain aku? Sengaja bikin aku sange terus mohon-mohon buat disepong kamu?”

“A- Ah… Kamu duluan y-yangh- mulai…” balas Arka tersendat.

“Makanya kalo cemburu itu bilang, sayang.”

Punggung Arka terasa basah oleh keringat yang entah milik Hanan atau dirinya sendiri. Arka sebal tapi ia tidak bisa berhenti. Ia tak mau.

“Enak? Yang ini enak juga, kan?” Hanan tak berhenti menggoda Arka. “Dijawab jangan diem aja.”

“Enak…” ucap Arka pelan. “Bawel.”

Hanan terkekeh. Ia sengaja mendorong jarinya lebih dalam hingga Arka kembali mendesah keras. Tak peduli apakah ada orang di luar yang mendengar.

“Nan, mau keluar…”

“Keluarin aja, sayang.” Hanan menyapukan ibu jarinya di lubang pelepasan Arka, membuat Arka mengumpat di balik napasnya sebelum menyemburkan cairan putih yang membasahi tangan Hanan dan dinding bilik.

Hanan mencium pipi Arka. “Gemes.”

Arka terpaksa ikut membersihkan diri bersama Hanan sambil berharap tidak ada orang yang akan melihat keduanya keluar dari bilik yang sama.

“Lain kali ikutan nge-gym aja, Ka,” celetuk Hanan sesaat setelah ia mengeringkan rambutnya. “Biar nggak keliatan aneh, orang nggak ngapa-ngapain kok ikutan mandi.”

“Mandi sebilik berdua aja juga udah aneh, dodol,” kesal Arka.

Hanan mencium gemas pipi pacarnya yang masih menggerutu itu. Kalau lagi marah-marah Arka jadi kelihatan seribu kali lebih menggemaskan, Hanan jadi kepengen cium terus.

Nyatanya begitu keduanya keluar dari bilik, ada beberapa pasang mata yang mengawasi mereka dengan tanda tanya yang kentara. Hanan masa bodoh saja, sementara Arka berusaha tidak bertatap muka dengan orang-orang itu.

“Mas Hanan, makasih udah mampir! Besok lagi, ya?”

Suara seseorang membuat Hanan dan Arka yang hampir melangkahkan kaki keluar dari tempat gym, terhenti sejenak.

“Oh, iya Mas,” sahut Hanan. Satu tangannya yang merangkul Arka menarik cowok itu agar merapat. “Besok gue bawa pacar gue lagi, ya? Biar dilatih bareng. Boleh, kan?”

Arka mendapati ekspresi lelaki itu berubah masam sebelum buru-buru memaksakan senyum.

“Boleh, kok.”

“Sipp!” Hanan mengacungkan jempolnya. “Duluan ya, Mas. Pacar gue udah kelaperan, nih. Mau cari makan dulu.”

Seakan belum cukup dengan menyebut Arka pakai embel-embel pacar, Hanan malah terang-terangan mencium Arka sebelum pamit pulang. Sampai di luar Hanan cuma cengengesan ketika Arka mengomelinya.

Tapi di dalam hati Arka juga lumayan lega. Yang penting orang sudah tahu kalau Hanan ada yang punya. Punya Arka.

yang hilang, yang tumbuh, dan yang istimewa


Motor Biru berhenti tepat di depan rumah Bintang. Jantungnya yang sedari tadi tak mau tenang seketika agak redam begitu Bintang muncul membukakan pagar.

“Bawa masuk aja motornya, Ru. Nanti berangkat pake mobil Ayah.”

Mendengar ayah Bintang disebut, Biru jadi gugup lagi. Untungnya Bintang mengatakan kalau serumah bakalan ikut pergi juga. Jadi setidaknya Biru ada yang menemani.

“Buat kamu,” ucap Biru, mengangsurkan setangkai mawar merah pada Bintang sebelum pacarnya itu masuk ke rumah. “Selamat ulang tahun.”

“Makasih, ya.” Bintang menerimanya dengan senyum di wajah, menghirup sejenak kuntum bunga yang semerbak itu.

“Maaf nggak sempet nyiapin apa-apa,” tambah Biru lagi.

Bintang memukul pelan bahu Biru dengan bunga mawarnya sebelum mengusap sisi wajahnya. “Kan udah aku bilang, nggak apa-apa. Kamu mau dateng hari ini aja udah lebih dari cukup.”

Biru mengangguk, meyakinkan dirinya sendiri. “Penampilan aku gimana?”

Sepasang mata Bintang menelusuri Biru dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu ia memberikan dua jempolnya pada cowok itu. Biru tidak bisa berkomentar lagi selain percaya.

Meski sudah beberapa kali melihat ayah Bintang melalui foto yang ditunjukkan Bintang, Biru tetap tidak siap bertemu secara langsung. Begitu Bintang mengajaknya masuk, Bunda dan Kak Bulan yang pertama kali menyambut Biru. Di tengah perbincangan mereka, ayah Bintang muncul dari dalam dengan satu tangan yang menenteng tas berisi peralatan memancing lengkap. Biru langsung ketar-ketir.

“Halooo! Ini yang namanya Biru, ya?”

Tanpa diduga ayah Bintang lebih dulu mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Biru. Cowok itu sampai membungkukkan badannya.

“Iya. Saya Biru, Om.”

Ayah Bintang manggut-manggut sambil memperhatikan Biru. Meski lelaki itu kelihatan lebih ramah dari dugaan Biru, tetap saja ia merasa gugup. Senyum di wajahnya seperti menguliti Biru, ingin tahu seperti apa anak itu sebenarnya.

“Yuk, berangkat. Keburu siang,” ucap Bunda kemudian, memutus hingar-bingar di ruang tamu.


Biru benar-benar pasrah kala Bintang meninggalkannya berdua saja dengan ayahnya. Cowok itu harus memesan makanan bersama dengan Bunda dan Kak Bulan selagi mereka membiarkan Biru dan ayah Bintang pergi memancing di waduk tak jauh dari restoran yang mereka datangi. Bintang sempat mengacungkan kepalan tangannya, memberi semangat diam-diam pada Biru sebelum menghilang.

“Cari tempat yang agak teduh, Ru. Biar kulitnya nggak gosong.”

“Nggak papa, Om. Ini tadi udah dipakein sunblock sama- Abin…”

Ayah Bintang menahan senyum mendengar kalimat Biru yang terbata. Ia sengaja memfokuskan perhatiannya mencari tempat yang tidak begitu terkena sinar matahari langsung. Digelarnya alas untuk dirinya dan juga Biru.

“Om bawa payung cuma satu, kamu pasang deket kamu aja. Om sudah pake topi.”

Biru menurut. Ia kelupaan membawa topi. Cowok itu lalu memperhatikan dengan seksama bagaimana ayah Bintang menyiapkan alat pancingnya. Semalaman ia menonton YouTube untuk belajar cara merakit alat pancing. Tapi ia memilih untuk diam menunggu ayah Bintang daripada salah rakit lalu dicap sok tahu.

Ayah Bintang memberikan satu alat pancing yang sudah disiapkannya pada Biru. “Nih, umpannya boleh pilih sendiri. Bisa masangnya, kan?”

“Bisa, Om,” jawab Biru lugas. Tak ragu cowok itu mencomot cacing sebagai pilihan umpannya. Menurut salah satu video yang ditontonnya semalam, umpan hidup akan lebih menarik perhatian ikan.

Setelah melempar kail pancingnya jauh-jauh, Biru menyamankan duduknya sembari menunggu. Waduk tempatnya memancing ini terhitung luas, dan meskipun lumayan terik tapi angin sepoi-sepoi tak berhenti berhembus.

“Kamu suka mancing, Ru?” tanya ayah Bintang. Sedari tadi memang lelaki itu yang berinisiatif membuka obrolan karena ia menyadari ketegangan dalam diri Biru.

“Belum pernah coba sebenernya, Om. Ini pertama kali,” ungkap Biru. Dulu ayahnya walaupun kerap mengajaknya ke danau atau waduk, yang diincar adalah objek foto.

“Dulu Om hobi banget mancing. Sebelum makin sibuk dan nggak ada lagi waktu mancing. Tiap ada kesempatan pulang ke rumah pengen pergi mancing tapi nggak ada temennya.”

“Serumah nggak ada yang hobi mancing selain Om?”

Ayah Bintang menggeleng. “Pernah dulu Om ngajak Abin, tapi waktu dia masih kecil. Masih segini.” Lelaki itu mengangkat telapak tangannya, menunjukkan tinggi anak bungsunya saat itu. “Awalnya dia seneng karena mau lihat ikan. Tapi habis Om dapet ikannya, dia malah nangis.”

“Kenapa tuh, Om?” tanya Biru penasaran. Ia sudah bisa membayangkan Bintang kecil menangis di pinggir waduk sementara ayahnya mendapat ikan.

“Kasian, katanya.” Ayah Bintang setengah tertawa. “Kan dia lihat mulut ikannya kena mata kail. Nangis kenceng banget sampe Om malu diliatin orang-orang. Habis itu Om ajak pulang aja, tapi mampir dulu ke pasar ikan hias. Beli dua ekor.”

Biru jadi ikutan tertawa. Bintang kecil pasti lucu sekali.

“Kalau Biru, waktu kecil suka diajak ayahnya ke mana?” Ayah Bintang mengalihkan topik pembicaraan, mengganti umpannya dengan yang baru.

Biru terdiam sejenak sebelum menjawab, “Ke mana aja, Om. Ayah saya suka jalan-jalan. Soalnya sambil motret.”

“Oh, iya,” cetus ayah Bintang, seakan baru teringat sesuatu. “Kamu juga suka motret, kan? Sama kayak ayah kamu? Abin cerita sama Om.”

Biru tersenyum tipis, mengangguk. “Tapi saya sukanya motret pemandangan, Om. Langit kebanyakan. Kalo ayah saya lebih suka ngambil gambar objek hidup.”

“Abin pemandangan, dong?” tembak ayah Bintang tiba-tiba. Biru mengangkat alisnya, hampir tersedak. “Soalnya Abin pernah ngasih lihat foto-foto dia. Bagus. Waktu Om tanya siapa yang motret, katanya Biru yang motret. Dia pamer terus foto jepretan kamu depan Om, depan bundanya, kakaknya.”

Merah di wajah Biru bukan hanya hasil dari terik matahari. Ia merutuk dalam hati, sudah sebanyak apa yang diceritakan pacar ceriwisnya itu pada ayahnya?

“Tapi foto kamu memang bagus, kok, Ru,” ucap lelaki itu tulus.

“Makasih, Om…” Biru tidak tahu harus merespon pujian itu seperti apa. Ia tidak menyangka akan perlakuan ayah Bintang yang menurutnya kelewat baik, padahal semalaman Biru sudah overthinking bakal diinterogasi habis-habisan.

Sudah hampir dua jam dan belum ada satu pun yang pancingnya dihampiri ikan. Tapi Biru menikmati momen itu. Terus terang Biru jadi kangen ayahnya. Kangen akan hal-hal yang hanya dilakukan berdua dengan sang ayah.

“Abin, tuh, seneng banget tiap Om pulang,” ucap Biru tiba-tiba. Ayah Bintang menoleh padanya. “Walaupun cuma sebentar, Abin pasti nungguin hari Om pulang ke rumah. Saya juga jadi ikutan excited, Om. Berasa ikutan nungguin ayah saya sendiri pulang. Karena ayah saya udah nggak ada, di rumah cuma ada Ibu sama Adek.”

Ada pendar haru dan kesedihan yang menyatu di sorot mata ayah Bintang. Perasaan yang Biru alami, baik untuk Bintang maupun dirinya sendiri.

“Udah dapet berapa ikannya?”

Suara Bintang memecah keheningan. Cowok itu berjongkok di antara Biru dan ayahnya, melihat ke dalam ember yang masih kosong.

“Tujuannya mancing bukan buat dapet ikan, Bin. Tapi ketenangan,” ujar Biru.

“Ih, kamu baru berapa jam sama Ayah omongannya udah persis kayak Ayah,” komentar Bintang. Ia lalu menyodorkan segelas es soda gembira pada Biru. “Minum dulu. Ntar dehidrasi.”

“Buat Ayah mana?” tagih ayah Bintang sambil cemberut.

“Ayah, kan, bawa air minum? Nggak boleh minum es sama Bunda.”

“Tapi Ayah haus banget, pengen es.”

“Ini, minum punya saya aja, Om.” Biru hampir memberikan gelasnya pada ayah Bintang sebelum Bintang mencegahnya.

“Jangan, itu buat kamu. Ayah nanti kalo mau es teh ke resto aja, udahan mancingnya. Emangnya nggak pada laper?”

Perut Biru baru terasa lapar karena sedari pagi ia lebih sibuk panik memikirkan pertemuannya dengan ayah Bintang.

“Ya, sudah. Ayo, Ru. Kapan-kapan cari tempat yang lebih banyak ikannya.”

Ayah Bintang bangkit berdiri dan mulai membereskan peralatan pancingnya. Biru sempat terpana sejenak sebelum buru-buru membantu lelaki itu. Ternyata masih akan ada lain kali. Ajakan lelaki itu bagi Biru sangat berarti.

Bintang sudah berjalan lebih dulu, meninggalkan ayahnya dan Biru yang melangkah beriringan. Ayah Bintang melingkarkan satu lengannya pada Biru, menariknya mendekat.

“Abin akhir-akhir ini gimana? Banyak senyumnya, ya?”

Pertanyaan itu dilempar tanpa aba-aba. Meski Biru belum menangkap maksud lelaki itu, ia tetap mengangguk pelan.

“Kadang Om cemburu, Abin keliatan hepi banget tiap ngomongin kamu.” Biru melebarkan matanya, ia sudah hampir berkilah namun ayah Bintang melanjutkan kalimatnya. “Tapi Om juga senang, kalau Abin ketemu orang yang bisa bikin dia bahagia. Kebahagiaan Abin, buat Om di atas segala-galanya.”

Biru menatap lelaki yang tersenyum lembut di dekatnya itu. Dan sebelum akalnya bisa diajak bekerja sama, mulutnya sudah lebih dulu berbicara.

“Saya boleh panggil Om- Ayah?”

Keterkejutan membuat langkah kaki ayah Bintang terhenti. Biru menyadari kekonyolannya. Ia buru-buru menggelengkan kepala.

“Maaf, Om. Maksud saya-”

“Boleh.” Jawaban lelaki itu membuat Biru tertegun. “Tadinya Om juga nungguin, kamu manggil bundanya Abin pake Bunda. Tapi manggil Om bukan Ayah. Haha.”

Biru malu berat. Karena menurutnya tidak sopan asal memanggil ayah Bintang dengan sebutan Ayah. Padahal, kan, belum tentu hubungannya dengan Bintang direstui.

Keduanya kembali melangkah sebelum ayah Bintang merundukkan kepala, berbisik pada Biru.

“Tapi, Biru… Kamu itu, temennya Abin…” Lelaki itu melambatkan suaranya. “Atau… pacarnya?”

Biru langsung gelagapan. Ia sama sekali belum pernah menanyakan hal itu pada Bintang. Bunda dan Kak Bulan jelas sudah tahu status Biru, tapi ayahnya? Biru sama sekali tidak kepikiran.

“Hmm- itu… Tergantung Abin bilangnya apa, Om- eh, Yah…”

“Tergantung Abin? Kalau Abin bilangnya temen?”

“Ya- berarti… temen.”

“Yakin? Temen aja, nih?”

Biru menelan ludah sambil mengangguk kaku.

“Temen apa pacar? Nanti Ayah bilang ke Abin, tadi Biru bilang kamu sama Biru itu temenan, gitu ya?”

Biru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung. Takut nanti Bintang marah.

“Enggak, deng. P-Pacar, Yah,” ucap Biru pelan sekali hampir tak terdengar.

“Gimana?” Ayah Bintang mendekatkan telinganya.

“Pacar. Pacarnya Abin.”

Ayah Bintang tersenyum puas. Ditepuknya bahu Biru beberapa kali sebelum lelaki itu melangkah meninggalkan Biru yang masih membeku di tempatnya. Baru beberapa menit setelahnya Biru dapat menghela napas lega, kembali melanjutkan langkahnya.


Rasanya aneh merayakan ulang tahun Bintang bersama dengan keluarganya. Seakan Biru juga menjadi bagian dari keluarga yang hangat itu.

Melihat Bintang di antara keluarganya membuat Biru sadar bahwa cowok itu benar-benar bungsu dari keluarga itu. Sifat kekanakannya muncul. Bintang yang mau tiup lilin dan potong kue, Bintang yang menagih kado dari Kak Bulan, Bintang yang ngambek karena Ayah belum menyiapkan kado apa-apa. Padahal tadi Bintang bilang tidak apa kalau Biru tidak bawa apapun.

“Abin nggak mau nemenin Ayah mancing, sih. Jadi Ayah males nyiapin kado.”

“Mancing nggak dapet apa-apa, juga,” balas Bintang. “Lagian Abin nggak mau liat ikannya kena pancing. Kasian.”

“Kasian liat ikan kepancing tapi sendirinya ngabisin ikan bakar sampe nambah,” timpal Kak Bulan.

Ayah dan Bunda tertawa. Sementara Bintang tidak mau kalah memberikan argumentasi. Biru hanya menikmati keriuhan itu setelah menghabiskan porsi makanannya. Ia beringsut ke pojok untuk mengambil kamera dari dalam tasnya dan mulai memotret.

Benar kata ayah Bintang. Bintang itu pemandangan.


Hari hampir malam ketika mereka kembali pulang. Bintang sudah tertidur di dalam mobil, kepalanya bersandar pada bahu milik Biru. Satu tangannya digenggam oleh cowok itu.

“Bin, udah sampe.” Biru mengusap pelan pipi Bintang dengan jemarinya.

Ayah Bintang memarkirkan mobilnya ke dalam garasi setelah semuanya turun. Memastikan semuanya benar-benar telah masuk rumah, Biru menarik Bintang ke dekat motornya. Bayang-bayang pepohonan melingkupi area tersebut yang menjadikannya temaram.

Dengan kedua rentang tangannya, Biru memeluk Bintang. Erat. Menenggelamkan tubuh mungilnya dalam dekapan. Memberi hangat pada Bintang yang mulai diterpa angin malam.

How was today?” tanya Bintang, mendongakkan wajahnya pada Biru. Pacarnya itu tak mampu untuk tak mengecup dahinya.

Great. Much much better than I thought. Harusnya aku yang tanya ke kamu, gimana hari ini?”

Bintang tersenyum. “Seneng. Seneng banget.”

For real? Aku nggak ngasih apa-apa, padahal.”

“Kamu ada hari ini. Kamu ketemu Ayah. Aku seneng.”

“Ayah kamu keren. Kayak yang kamu bilang.”

“Tadi nggak ditanyain aneh-aneh sama Ayah, kan?”

Yang aneh-aneh pun Biru sudah lupa. Hanya hal-hal menyenangkan yang Biru ingat. Jadi Biru hanya menggeleng.

“Bener kata orang, hilang satu tumbuh seribu. Aku mungkin kehilangan Ayah. Tapi aku dapet satu keluarga baru.”

Bintang tersenyum samar. Ia mendengar bagaimana Biru memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Ayah’. Dan itu membuat hatinya terasa hangat.

“Kapan-kapan ajak Ibu sama Dinda. Liburan bareng-bareng, ya?” ucap Bintang.

Biru mengangguk. Ia merendahkan wajahnya seiring Bintang menutup mata. Bibirnya menyentuh milik Bintang, dikecup dengan segala rasa sayang, terima kasih, dan puja-puji. Jika kata-kata tak bisa mengungkapkan perasaannya pada Bintang, biarlah dengan cara ini saja. Betapa hidupnya kembali menemukan warna dan napasnya begitu lega semenjak ia mengenal Bintang.

Biru ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih.

‘Aku sayang kamu’ yang dibisikkan berulang-ulang oleh Biru ditelan melalui ciuman yang salah satu tak ingin melepas.

Bintang, kamu memang istimewa. Bahkan di hari bahagiamu pun, akulah manusia yang merasa paling bahagia.

Hanan yang tengah cekikikan melihat layar ponselnya seketika menaruh benda itu begitu ia mendengar suara Arka.

“Nannn! Hanannn!”

Pintu kamarnya dibuka dan Hanan menyambut cowoknya itu dengan senyum menyebalkan.

“Nggak sopan banget, sih, main nyelonong aja. Kalo aku lagi telanjang, gimana?” goda Hanan.

Arka tak mempedulikan ocehan Hanan. Ia melangkah mendekati ranjang cowok itu.

“Mana liat,” suruh Arka.

“Liat apa?” Hanan mengangkat alisnya, pura-pura bodoh.

“Cepetan buka. Buka, nggak?” Arka menarik ujung kaos hitam yang dipakai Hanan. Buru-buru Hanan menyilangkan tangannya di depan dada, melindungi dirinya sendiri.

“Ih, beringas banget pacar aku. Takut.”

Arka mendelik geli melihat kelakuan Hanan. Dilepasnya ujung kaos yang tadi sempat ditariknya. Lagipula ia sudah pasti kalah tenaga. Arka melipat kedua tangannya di depan dada, menghakimi.

“Mau liat apa, sih?” ulang Hanan. “Tadi kan udah dikasih liat?”

“Beneran apa boongan? Trust issue.”

Hanan ketawa. Ditariknya satu tangan Arka hingga cowok itu jatuh di atasnya. Arka memekik. Sebelum ia sempat melontarkan protes keras pada Hanan, tubuhnya sudah berubah posisi dengan satu tarikan cepat oleh Hanan. Cowok itu menyeringai lebar di atas Arka.

Mengira Hanan akan melakukan sesuatu, Arka sudah bersiap-siap untuk mengantisipasi. Namun cowok itu justru diam memandanginya saja. Lama-lama Arka jadi jengah.

“Kenapa, sih, cantik banget?” tanya Hanan tiba-tiba.

“Apa-”

“Kamu.”

Hanan meraih dagu Arka dengan satu tangannya lalu mendaratkan ciumannya di bibir. Mengikuti insting Arka memejamkan mata dan membalas ciuman Hanan, membiarkan cowok itu menikmati bibirnya.

Dua menit kemudian Hanan menarik dirinya kembali. Di depan mata Arka ia menanggalkan benda yang sejak awal menjadi target cowok itu.

“Beneran, kok. Bukan boongan,” ucap Hanan setelah ia melempar kaos hitamnya ke samping ranjang.

Ukiran tato itu terpampang jelas di sepanjang dada Hanan. Arka tanpa sadar menelan ludahnya. Sudah berkali-kali ia melihat Hanan bertelanjang dada, dan berkali-kali juga jantungnya bertingkah. Tapi kali ini berbeda. Efeknya berkali-lipat lebih dahsyat.

Sebelum Arka sempat menyadari, jemarinya sudah bergerak menjangkau sapuan tinta hitam legam yang melekat di kulit Hanan. Merabanya garis demi garis. Mengagumi.

“Suka?” tanya Hanan. Arka hanya membalas dengan anggukan pelan. Hanan tersenyum puas sebelum kemudian berbisik pada satu telinga Arka. “Kalo gitu kamu bakal suka yang ini juga.”

Pakaian Arka direnggut dari pemiliknya. Meninggalkan cowok itu dengan sepasang celananya. Hanan menyerang leher Arka. Mencium, menjilat, menggigit. Hingga suara favorit Hanan berkumandang ke seluruh ruangan.

“Mmh- Hanan…” Bagian bawah perut Arka terasa sesak, sakit tertahan kain yang masih membungkus kakinya. Gesekan yang timbul akibat pergerakan Hanan sama sekali tidak membantu.

Susah payah Arka mencoba mengurai pengait celananya. Di atasnya Hanan masih berkutat dengan leher kemudian turun ke dadanya, menjilat dan mengulum puting Arka. Lagi-lagi Arka mendesah keras.

Tak butuh waktu lama bagi Hanan untuk membebaskan miliknya dan membantu Arka. Seringainya muncul atas apa yang terlihat di depannya. Arka tegang dan basah. Egonya serasa diberi asupan.

“Basah begini cuma gara-gara liat tato aku?” Pertanyaan menyebalkan dari Hanan namun Arka tidak bisa menyangkal. Ia benci mengakui bahwa cowoknya yang rese itu memiliki sex appeal yang tidak main-main.

“Mau gesekin ke sini?” Arka hampir tersedak mendengar tawaran Hanan. Untuk sepersekian detik ia hanya menatap tato di dada Hanan. Entah bagaimana tawaran itu tidak terdengar terlalu buruk. Bahkan mungkin, Arka memang menginginkannya.

Jangan tanya bagaimana Arka berada di atas Hanan, menggesekkan miliknya di dada cowok itu. Karena Arka juga tak tahu sejak kapan posisinya berubah. Yang ia tahu sekarang hanyalah hasrat untuk memenuhi nikmatnya saja.

Hanan memang kurang ajar. Seakan tak cukup membuat wajah dan telinga Arka merah karena cowok itu menyaksikan pemandangan di atasnya dengan kedua tangan sebagai alas kepalanya, ia juga memberikan komentar-komentar yang sangat asusila.

‘Enak banget, ya? Sampe gigit bibir gitu.’ ‘Desahnya keluarin, dong. Jangan ditahan.’ ‘Arka kalo lagi keenakan mukanya bikin sange.’

Arka berusaha tak memedulikan celotehan Hanan karena dirinya benar-benar dipenuhi keinginan untuk segera bertemu nikmat. Gesekannya semakin cepat. Ritme lenguhan napasnya juga semakin pendek dan rapat.

“Ha-nh- Mau keluar- Nanhh.”

Cairan putih menyembur mengotori dada Hanan. Arka tersengal. Sementara Hanan sama sekali tak membantu, hanya tersenyum lebar. Sangat puas.

Sebelum Arka sempat menjatuhkan dirinya pada Hanan, dengan kilat Hanan menangkap dua lengan Arka lalu menggulingkan tubuhnya. Cowok yang masih berusaha mencari oksigen itu terkurung di bawahnya.

Arka tak melewatkan kilatan semangat di mata Hanan kala cowok itu berbisik, “My turn.”

Baru Arka sadari ia sudah mengisi penuh ego Hanan dan kini cowok itu akan melampiaskannya. Secara terang-terangan dan brutal.

Arka baru saja mengeluarkan desahan paling memalukan begitu milik Hanan menghantam titik kenikmatannya. Sekali, dua kali, berkali-kali.

“Anjingg, kamu selalu enak, Ka. Aku bisa gila.”

Kini tak hanya tato yang menghiasi dada Hanan. Ada cairan kenikmatan milik Arka dan peluh Hanan yang bercampur menjadi satu. Sesuatu tentang itu semua membuat Arka kembali merasakan desir pada miliknya. Ia masih sensitif dan Hanan tanpa ampun menghujaninya dengan lesakan nikmat di dalamnya.

“Nan… Aku mau keluar lagi…” lirih Arka sambil menahan pahanya yang bergetar hebat.

“Hh.. Aku juga mau- keluar,” ucap Hanan terengah. Ia masih bergerak maju-mundur dengan tenaga penuh. “Keluar bareng-bareng, ya..”

Arka memejamkan matanya kuat-kuat. Ada sensasi hebat menjalar di perutnya. Rasanya asing.

“Ahh-” Hanan mengerang nikmat kala miliknya melepas cairan putih di dalam Arka. Umpatannya terdengar di balik napasnya yang memburu.

Tak tertahankan lagi, Arka akhirnya mengeluarkan miliknya juga. Banyak. Banyak sekali. Rasanya hangat. Dan…

Hening di ruangan itu begitu kentara. Arka tak lagi mendengar deru napas Hanan yang berisik. Entah mengapa ia merasa was-was ketika membuka mata.

Hal pertama yang dilihatnya adalah tatapan terpana Hanan. Lalu pandangannya turun dan seketika Arka terkesiap. Ranjang Hanan basah. Basah di mana-mana.

“Kamu…..pipis?”

Seperti tanpa dosa Hanan melontarkan tanya itu dengan enteng. Arka hampir menyerukan sumpah serapah pada cowok itu kalau ia tidak kepalang malu. Ia tidak sanggup mengucap atau bereaksi apapun selain menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Arka malu. Malu sekali.

Tapi Hanan justru sebaliknya. Lagi-lagi egonya diberi makan. Ia memeluk pacarnya itu sembari tertawa pelan.

“Hei, kenapa?”

Masih dengan wajah tertutup rapat Arka menggeleng cepat. Rasanya ia ingin menghilang saja. Tapi Hanan benar-benar menguncinya dengan pelukan erat. Mencium kepalanya kuat berkali-kali.

“Gemes banget, sumpah. Ka, gemes banget aku pengen mampus. Sampe pipis-”

“Diemmm!!” seru Arka dengan suaranya yang teredam.

Hanan berusaha menyingkirkan tangan Arka dari wajahnya lalu mengurungnya agar tak kembali menutupi wajah cowok itu. Arka merah semerah-merahnya.

“Diem. Jangan komen lagi,” ucap Arka meskipun ia tahu Hanan tak peduli. Cowok itu malah cekikikan, kegirangan sendiri karena menemukan satu hal baru yang sudah pasti akan dikejarnya dari Arka.

Menyetubuhi Arka sampai Arka pipis.

Beberapa saat berlalu untuk Arka kembali menguasai diri. Rasa malunya masih tinggal tapi untungnya Hanan sudah tak membahas lagi. Antara kasihan tapi juga gemas total pada pacarnya itu.

“Nan, ini nanti bersihinnya gimana?” tanya Arka pelan. Biasanya Arka selalu memiliki perhitungan atas setiap situasi. Tapi yang tadi benar-benar di luar ekspektasinya. Arka tidak menyiapkan rencana.

“Ah, gampang nanti. Bisa dicuci atau beli baru.”

Arka tidak yakin. Namun ia belum bisa berpikir lebih panjang. Kepalanya masih ruwet. Yang bisa dilakukannya hanyalah berdiam di pelukan Hanan sembari memainkan telunjuknya di dada cowok itu, menyusuri tato Hanan.

“Ini permanen atau nggak?”

“Pengennya permanen, ya? Boleh kalo aku tato permanen?”

“Jawab dulu,” desak Arka.

“Enggak, sayang.” Hanan mencium dahi Arka gemas. “Palingan tahan dua minggu aja.”

“Oh, dua minggu ya..” Arka berkomentar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Hanan menatap pacarnya yang masih fokus pada tato di dadanya itu. Sebuah pikiran jail terlintas di kepalanya.

“Jadi…dua minggu aku bisa, dong, bikin kamu pipis? Bayanginnya aja udah mau ngaceng lagi aku.”

Tak ayal Arka memukul pelan dada Hanan sebelum menyembunyikan wajahnya di leher cowok itu, lagi-lagi mengeluh. Hanan terkekeh geli sembari menarik erat Arka dalam dekapannya.

“Gemes banget Arka gemes. Jadi pacarku terus, ya?”

“Nggak mau.”

“Kok nggak mau? Nanti aku diambil orang lain gimana?”

“...Eh, kamu masih berangkat nge-gym?”

“Masih, lah.”

“Jangan telanjang dada, ya. Awas aku pukul kamu.”

“Suka-suka aku, dong.”

“Hanan, ih!”

Tawa Hanan dan omelan Arka memenuhi ruangan. Untuk menit-menit selanjutnya yang hanya berisi perdebatan dan peluk cium, setidaknya ada kekhawatiran yang terlupa. Seperti bagaimana membersihkan ranjang Hanan, misalnya.

Kemeja kotak-kotak milik Bintang ditanggalkan sebelum Biru kembali mencium bibir pacarnya itu. Di pikiran Biru cuma ada satu kata yang berulang.

Kangen. Kangen. Kangen.

“Ru, udah dikunci belom?” bisik Bintang, menahan aksi Biru lebih lanjut.

Biru mengusap sudut bibirnya. Memang gila. Kalau sampai Hanan tahu ia memanfaatkan toilet kampus untuk kepentingan mendadaknya ini, pasti temannya itu tak akan berhenti mengoloknya sampai lulus.

“Udah.”

Disebut mendadak karena memang seperti itu. Niatnya cuma menemani Bintang mengganti bajunya yang ketumpahan air minum. Tapi hari itu pacarnya terlihat lebih menggemaskan dari biasanya. Dan lagi, Biru kangen.

“Ahn-” Bintang memekik pelan kala Biru menyesap lehernya.

Biru menatap jenaka pada Bintang. “Sstt, jangan berisik.”

Bintang mau protes tapi Biru sudah menariknya dari dinding bilik. Cowok itu mendudukkan dirinya di atas kloset tertutup lalu menepuk pahanya.

“Sini.”

Bintang menurut. Ia duduk di pangkuan Biru yang melingkarkan lengannya di pinggang Bintang, menatap wajah manis pacarnya.

Ada kalanya melihat Bintang membuat Biru ingin mengikuti suara-suara di kepalanya. Seperti sekarang ini. Bintang gemas. Gemas sekali. Kalau tidak sedang berada di area kampus mungkin Biru sudah… Ah, cukup Biru yang tahu.

Biru kembali melumat bibir pacarnya. Manis. Entah lip balm rasa apa yang dipakai Bintang hari itu. Lidah Biru menjelajah rongga mulut Bintang, bertaut dengan lidahnya. Tak ingin berhenti hingga dada Bintang terasa sesak.

Tangan Bintang mendorong dada Biru hingga ciumannya terpaksa lepas. Cowok mungil itu terengah. Ada basah liur di sudut bibirnya.

“Nggak bisa napas…” ucap Bintang pelan, masih berusaha mengisi paru-parunya dengan oksigen.

Biru menahan senyum. Ia menarik Bintang dalam pelukan lalu menciumi sisi wajahnya. Hujan ciumannya turun ke leher sambil sesekali cowok itu merapalkan kangen.

“Kangen… Kangen banget sama Bintang…”

Usapan tangan Biru di kulitnya serta ciuman di lehernya membuat Bintang mendesah-desah pelan.

“Mmh… Biru…” rengek Bintang. Tubuhnya lalu menggelinjang ketika tangan Biru menyapu ujung putingnya. Ibu jarinya mengusap dua titik yang mulai mengeras itu.

Biru sengaja ingin melihat ekspresi di wajah Bintang sementara tangannya memainkan putingnya. Seperti dugaan, wajahnya merah. Bibirnya digigit kuat berusaha menahan desah yang memaksa lolos.

Biru menghela napas. “You're so cute. You're so cute when you try to hold back like this.”

Bintang benar-benar merah. Beberapa kali tubuhnya mengejang tiap Biru menekan ibu jarinya.

“Kalo nggak di kampus kamu boleh berisik sesuka kamu, Sayang. Tapi sekarang tahan dulu, ya,” ucap Biru di telinga Bintang sebelum cowok itu tanpa permisi menyapukan lidahnya di puting kiri Bintang. Kemudian mengulumnya dan menyesapnya kuat-kuat.

Refleks Bintang membusungkan dada, menahan pekikan yang hampir terlontar dari bibirnya. Tangannya menggenggam rambut Biru dengan kuat.

“Biru- Hhh… Bi-ru.” Sensasi yang didapat di ujung putingnya itu dalam hitungan detik menjalar seketika ke seluruh tubuhnya. Biru menyesapnya bagai kehausan, seperti Bintang benar-benar bisa memberikan apa yang diinginkannya.

Gundukan yang terbentuk di bawah pangkuan Bintang tak luput dirasakannya. Sendirinya pun tak kuasa menolak hasrat untuk menggesekkan dirinya di pangkuan Biru.

Merasakan selatannya mendapat stimulasi dari Bintang yang mulai bergerak, tak ayal Biru mengerang pelan. Bibirnya tetap tak melepas apa yang sedang dinikmatinya.

“Enak nggak, Bin?”

Bintang yang tengah kepayahan menggesek di paha Biru hanya bisa mengangguk sebelum menjawab. “Ngh… E- Enak…”

Menodai Bintang seperti ini membuat Biru sedikit merasa bersalah. Tapi egonya selalu berteriak bahwa cowok itu adalah milik Biru seutuhnya. Hanya Biru yang boleh melakukan ini.

Biru berbisik di antara isapannya. “Abin cuma boleh kayak gini sama aku. Cuma aku yang boleh ngelakuin ini sama Abin. Ngerti?”

Lagi-lagi Bintang mengangguk. Pikirannya sudah tidak fokus. “Iya… Abin- Abin cuma mau Biru yang- giniin Abin… Ah-”

Masih belum puas menyusu di puting kiri Bintang yang sekarang sudah basah, bengkak, dan merah, Biru beralih pada puting kanan Bintang yang belum terjamah. Dijilatnya beberapa kali dengan lidahnya sebelum dikulum nikmat.

Bibir, lidah, dan saliva Biru terasa hangat melingkupi puting kanannya. Bintang terpaksa harus menggigit bagian belakang tangannya agar tak melepas desah keras. Bunyi cecapan basah dari mulut Biru tiap kali ia menyesap terdengar begitu erotis di telinga Bintang. Hingga akhirnya Bintang tak kuasa lagi.

“Biru, aku pengen keluar-”

“Hm?” Biru mendongakkan wajahnya. Menatap Bintang yang ekspresinya resah. “Mau keluar?”

Bintang mengangguk malu.

Dalam sedetik Biru menanggalkan kemejanya lalu mulai melucuti kancing celana Bintang, membantu cowok itu membebaskan miliknya.

“Aku bantuin, ya,” tawar Biru setelah ia berhasil menangkup keseluruhan milik Bintang dengan satu tangannya. Tanpa menunggu jawaban dari Bintang, Biru sudah mengocok pelan milik pacarnya sembari ia kembali menyesap apa yang tadi ditinggalkan.

Lenguhan Bintang tak terkendali. Tak pernah ia tahu bahwa sensasi puting susunya dimainkan seperti itu akan begitu masif. Rasanya asing, aneh, tapi enak. Or maybe because it's Biru. Biru will always make him feel good.

“B- Biru… Enak, Ru… Enak banget…”

Isapan Biru semakin kuat. “Kamu juga enak, Bin. Susu kamu enak.”

Telak. Bintang menyemburkan putihnya yang mengotori dada Biru. Cowoknya itu buru-buru menyambar beberapa lembar tisu untuk mencegah Bintang menetes kemana-mana. Sebelum kemudian ia mengelap dadanya sendiri.

Bintang menjatuhkan dahinya pada bahu milik Biru, terengah. Sesekali badannya masih bergetar, sisa-sisa klimaksnya. Selatan dan putingnya berdenyut bersamaan.

“Udah?” tanya Biru. Tangannya kembali menggerayangi dada Bintang, membuat cowok itu menggelinjang.

“Udah…”

“Sini aku bersihin kamu, terus ganti baju yang baru.”

Bintang masih belum beranjak dari pangkuan Biru, memandang cowoknya dengan bingung.

“Tapi, kamu kan belum-”

Biru tersenyum. “Nanti aja. Jangan di sini, punggungku pegel.”

Bintang baru menyadari posisi mereka dan buru-buru bangkit. “Maaf, maaf.”

Setelah memastikan Bintang mengenakan kemeja yang bersih dan menyimpan kemeja yang ketumpahan air sebelumnya, Biru menahan kedua pergelangan Bintang.

“Bin.”

“Hm?”

“Kayaknya aku ketagihan, deh.”

“...Apa?”

“Ini.”

Kedua ibu jari Biru mengusap puncak dada Bintang, membuat titik di balik kemejanya kembali bereaksi.

“Ih, Biru.” Bintang menepis tangan Biru. Mukanya merah padam.

“Nanti lagi boleh, kan?” kejar Biru.

Bintang pura-pura berpikir padahal ia sendiri juga menikmati. Melihat ekspresi memohon Biru membuatnya menahan senyum.

“Boleh, lah. Apa sih yang nggak boleh buat Biru?”

“Yes, asikk,” seru Biru pelan lalu mencuri cium pada bibir Bintang, cukup lama.

Setelah mematikan keran air yang sengaja dihidupkan, Biru membuka pintu bilik. Toilet masih sepi. Menarik napas lega ia menggandeng Bintang keluar. Namun langkahnya sontak terhenti ketika ia menyadari ada seseorang di depan wastafel, sedang mencuci tangan. Tatapan keduanya bertemu melalui cermin.

“Lho, lho?”

Hanan seketika membalikkan badan dan menunjuk dua sejoli yang barusan keluar dari bilik yang sama itu. Cengirannya pelan-pelan terkembang dan ekspresi menyebalkannya muncul.

“Apa, sih, nggak usah rese. Bintang ganti baju tadi bajunya ketumpahan air,” kilah Biru langsung.

“Eits, gue belom bilang apa-apa. Gue belom bilang apa-apa,” cetus Hanan sambil mengangkat kedua tangannya bak ditodong polisi. “Tapi kalo langsung membela diri sih, yah…”

“Ah, berisik.” Biru mendorong muka Hanan dengan tangannya sambil berjalan melewati temannya itu, menarik Bintang rapat di sisinya.

Hanan cuma ketawa geli. Ia kembali membasuh tangannya sambil teriak.

“Bin! Nggak sia-sia Biru konsultasi ke gue, Bin! Mantap!”

Hanan suka Arka. Hanan suka Arka jadi pacarnya. Sebab Arka selalu perhatian bahkan untuk hal-hal kecil. Seperti merapikan rambut Hanan yang belum disisir di pagi hari.

“Kamu, tuh, nggak pernah ngaca dulu sebelum berangkat apa? Rambut kayak sarang burung begini.”

Jemari Arka menyusup di sela helai-helai rambut Hanan yang jatuh semaunya saja. Sedang empunya rambut hanya duduk manis, menurut seperti anak anjing yang sedang di-grooming.

“Nggak ada kaca aku, yang. Hehe.”

“Masa?”

“Eh, ada deng. Tapi di kamar Mamah.”

“Kamu sama sekali nggak punya? Yang kecil aja, gitu?”

Hanan menggeleng. “Nggak ada. Paling cuma pake kamera hape. Lagian mau ngaca apa nggak juga tetep ganteng kok aku.”

Arka menoyor muka Hanan yang langsung terkekeh.

“Nanti pas pulang beli.”


Benar-benar seorang Arkhafa Rayandra. Pulang kuliah Hanan sudah membawa oleh-oleh sebuah cermin besar yang diletakkan di dekat pintu kamar mandi. Cermin itu beberapa senti lebih tinggi dari Hanan, jadi Hanan tidak perlu khawatir lagi untuk mengecek penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum keluar rumah.

“Nah, gini kan kamu bisa ngaca dulu sebelum berangkat. Yang penting benerin rambutnya.”

Arka berdiri dengan puas di depan cermin yang ia belikan untuk Hanan. Pacarnya tersenyum geli sembari menggelengkan kepala sebelum berjalan mendekati Arka.

“Arka,” panggil Hanan. Cowok itu memeluk Arka dari belakang lalu menaruh dagunya di bahu Arka. “Kenapa, sih, kamu perhatian banget sama aku?”

Arka memutar bola matanya. “Aku pengen liat kamu rapi, lah. Biar enak diliat orang-orang juga.”

“Nanti banyak yang naksir sama aku gimana?”

“Tenang aja. Tiap kamu buka mulut, kadar kenaksiran mereka berkurang sepuluh persen.”

“Kok gitu, sih? Berarti kamu kadar naksirnya udah nol persen? Eh, apa malah minus?”

Arka tertawa. “Iya. Minus sejuta.”

“Hngg, nggak mau!” Hanan mendusel di leher Arka, menggesek ujung hidungnya dengan brutal. “Maunya Arka naksir terus! Kalo bisa makin nambah!”

Arka terkikik kegelian karena Hanan mengusapkan wajahnya di ceruk leher. Sedang tangannya sibuk menghalau tangan Hanan yang melanglang-buana ke seluruh badannya, hingga…

“Ih, Hanan!” pekik Arka. Menampik kuat tangan Hanan yang hinggap di bagian depan celana jinsnya. “Udah, ah.”

Tapi Hanan seperti tuli. Dipeluknya erat pinggang Arka dengan tangan kiri sementara tangan kanannya bergerak mengusap kemaluannya yang masih terbalut celana. Tangan Hanan meremas gundukan di bawah perut Arka hingga tubuhnya mulai bergerak gelisah.

“Nan…” lirih Arka. Matanya semakin terpejam seiring kuatnya Hanan memainkan tangannya.

Leher dan pipi Arka diciumi, membuat Arka mau tak mau menyapanya dengan bibirnya. Keduanya saling memagut hingga kecipak basah dari bibir dan lidah yang saling bertaut mengisi kamar Hanan. Arka hampir membalikkan tubuhnya menghadap Hanan agar ia bisa sepenuhnya mencium cowok itu, namun tangan Hanan lebih sigap menahan Arka di tempatnya.

“Sst,” bisik Hanan, mengisyaratkan Arka untuk tak bergerak sementara tangannya dengan cekatan melucuti celana cowok itu.

“Hanan, mau ngapain?” pekik Arka tertahan. Ia panik melihat celana jins beserta celana dalamnya meluncur bebas dari kakinya dan jatuh ke lantai. Dingin seketika menyergap kemaluannya.

Mengabaikan kegelisahan Arka, tangan Hanan beralih untuk melepas jaket dan kaos dari tubuh pacarnya itu. Tak begitu sulit dilakukan karena Arka masih terlalu bingung untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam sekejap tubuhnya sudah telanjang bulat di depan cermin.

“Nah, sekarang keliatan semua cantiknya,” ucap Hanan. Ia menatap wajah Arka melalui cermin. Menyeringai karena cowok itu memerah hingga ke telinga. Malu.

“Mau ngapain sih, Nan…” Arka mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara yang terdengar lebih rikuh. Ia berusaha untuk menghindari menatap refleksinya sendiri di cermin.

“Mau…” Tangan kiri Hanan hinggap di puting kanan Arka, mengusap dan memelintirnya. Sedangkan tangan kanannya menangkup penis Arka yang memerah. “...liat Arka berantakan.”

Refleks tubuh Arka menggelinjang seperti tersengat listrik. Usapan ibu jari Hanan di ujung penisnya membuat Arka melenguh berat. Jempolnya terus mengusap dengan gerakan memutar dan sesekali menekan tepat di lubang pelepasan Arka, membuat cowok itu bergetar hebat dan Hanan harus menahannya kuat dengan tangannya agar tak oleng.

“Hhh- Hanan- P-Pindah ke kasur aja-” mohon Arka setengah merengek. “Jangan di sini.”

No. Kamu beliin aku cermin buat dipake, kan?”

“Bukan- buat ini- Ah!” Arka memejamkan matanya ketika jempol Hanan tiba-tiba mengusap lubangnya dengan kuat.

“Jangan merem, Sayang. Buka matanya.” Tangan kiri Hanan menangkup wajah Arka, memaksanya untuk melihat ke cermin. Mau tak mau Arka memandang refleksinya sendiri di cermin besar yang memperlihatkan keseluruhan tubuhnya. Titik-titik keringat mulai bermunculan di sekujur kulitnya.

Tangan Hanan kembali bekerja untuk memanjakan Arka. Penisnya yang semakin memerah itu diremas hingga lubangnya mengeluarkan cairan bening yang lengket di jemarinya.

“Mmh… Nan… Aahn- Aahh-” Arka mendesah keenakan hingga Hanan mulai mengocok penisnya. “Hah- Ah… Enak- Anjing, Nan kencengin lagi- Aahh!”

Tangan Hanan bergerak lebih cepat sementara matanya terfokus pada bayangan Arka di cermin. Tak lama Arka menyemburkan cairan putih yang sebagian menodai cermin bening itu dengan bercak-bercak pekat.

Hanan terkekeh pelan. “Cepet banget kamu keluarnya.”

Arka menumpukan satu tangannya di dinding sebelah cermin sambil mengatur napasnya. Hanan sialan, batinnya. Idenya untuk membeli cermin demi kebaikan Hanan malah jadi bumerang untuknya.

“Liat kamu telanjang dan berantakan gini bikin aku sange banget tau, Ka,” oceh Hanan seakan dirinya tak terangsang sejak awal saja. “Lagi, ya? Sampe kamu pipis kayak kemaren.”

Serta-merta Arka menyorot tajam ke arah Hanan yang tersenyum lebar. Cowok itu sudah mulai menanggalkan pakaiannya sendiri dan melemparnya sembarang ke lantai.

“Nan, please di kasur aja, ya? Aku nggak kuat berdiri.”

“Aku pegangin.”

“Hanan-”

Kalimat Arka terputus kala ia merasakan penis Hanan yang sudah tegak sempurna menggesek di belahan pantatnya. Hanan tak segera memasukkan, hanya terus menggesek di lubangnya sambil menggeram pelan.

Kali ini Arka benar-benar bertumpu dengan kedua tangan. Ia tak memercayai kakinya yang bisa goyah kapan saja. Karena digesek Hanan seperti ini sudah membuatnya lemas.

Hanan menangkup dua bongkah pantat Arka agar semakin menekan penisnya yang masih bergerak di antaranya. “Ahh seksi banget kamu, Ka. Untung cuma aku yang bisa liat dan ngerasain.”

Arka sudah tak mampu menggubris ocehan Hanan karena ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Penisnya berdenyut kembali dan jarak wajahnya yang begitu dekat dengan cermin sama sekali tak membantu. Melihat wajahnya yang dihiasi peluh serta ekspresinya yang kacau terasa sangat overwhelming bagi Arka. Apalagi penyebab utamanya ada di balik punggungnya.

“Segini aja enak apalagi dimasukkin,” ujar Hanan. “Aku masukkin ya, Ka?”

Anggukan singkat dari Arka menjadi lampu hijau untuk Hanan melesakkan miliknya sepenuhnya.

“Aarghh-” Hanan mendesah panjang seiring penisnya terbenam sempurna di lubang Arka. “Anget, Ka. Sempit banget.”

Pundak Arka naik turun setelah Hanan memasukinya dan membuat lubangnya terasa penuh. Lengan Hanan kemudian meraih pinggangnya dan memeluknya erat, tahu bahwa Arka mulai tak sanggup menopang dirinya sendiri.

“Liat ke cermin, Sayang,” ingat Hanan sebelum cowok itu mencium bahunya dan mulai bergerak. Kebanggaannya yang besar itu keluar masuk lubang Arka dengan kecepatan yang konsisten. Cukup untuk membuat Arka membiasakan diri sebelum ia bergerak lebih kuat.

Menuruti perintah Hanan, Arka mengangkat wajahnya. Di sana, di cermin itu ia menyaksikan Hanan yang memeluk erat pinggangnya dan memasukinya dari balik punggungnya. Tubuh keduanya yang melekat oleh keringat terhentak seirama. Namun hal lain yang membuat jantung Arka berdesir tak karuan adalah raut wajah Hanan. Dari cermin ia bisa melihat jelas hidung Hanan yang mengerut tiap kali cowok itu mendorong masuk, matanya yang sesekali terpejam akibat kenikmatan yang didapat, dan bibirnya yang terbuka mengeluarkan desah berat yang selalu Arka suka. Melihat dirinya dan Hanan melalui cermin hampir membuat Arka keluar untuk kedua kalinya.

Hanan is too…hot for his liking. And it’s bad.

“Kamu sempit banget, Arka… Fuck! Enak banget lubang kamu. Enak- Aah-”

“Penuh… Lubang aku penuh, Nan… Ngh- Hah- Enak banget dipenuhin sama kamu, Hanann…”

“Aku enakin ya, Sayang? Di mana? Bilang sama aku. Hm? Di sini?”

Hanan bergerak mencari titik kenikmatan Arka. Penisnya terus menggesek dinding Arka hingga cowok itu akhirnya memekik kencang.

“A-Ah! Sayang- Sayang- Di situ. Enak bangett, tusukin di situ-” rengek Arka hampir menangis.

Tanpa berpikir dua kali Hanan menghunjam di titik kenikmatan Arka. Berharap membuat pacarnya kacau sekacau-kacaunya.

“Di sini? Enak ditusukkin di sini?” Suara Hanan rendah, napasnya menderu.

“Haa- Hh- E-nak… Enak… Fuck… Sayang, enak- Ah! Enak banget, Sayangg!”

Kepala Hanan sudah pening total oleh desahan dan panggilan sayang dari Arka. Rasanya ia ingin menghabisi pacarnya seharian demi mendengar itu dari mulutnya. Tatapannya kembali ke cermin. Arka sudah setengah menjulurkan lidah dan titik-titik air muncul di sudut matanya, siap tumpah.

Sial. Pacarnya terlihat sangat kacau. Dan menggoda.

“Liat diri kamu di cermin, Ka. Liat betapa cantik dan berantakan kamu gara-gara aku enakin.”

Tiba-tiba satu tangan Hanan ditarik oleh Arka, dibawanya ke penisnya yang sudah basah meneteskan cairan ke lantai. Arka menuntun tangan Hanan untuk menyentuhnya, meremasnya hingga kenikmatannya bertambah berlipat ganda.

“Anjing… Kamu bikin aku sange banget, Arka…” bisik Hanan. Suaranya parau. Dan menakutkan. Sekujur tubuh Arka seketika merinding.

Benar saja. Hanan kemudian bergerak dengan dorongan-dorongan yang tajam. Tepat di titik nikmat Arka. Rengekan Arka telah berubah menjadi tangis. Penisnya yang berdenyut semakin ngilu oleh remasan tangan Hanan. Arka benar-benar menjadi berantakan.

“Hanan, aku mau pipis-” racau Arka cepat. “Mau pipis-”

Masih dengan hentakan yang kuat Hanan menjawab, “Pipis aja, Sayang. Keluarin. Aku mau liat kamu pipis.”

Arka mendesah panjang ketika cairan bening itu menyembur kuat ke tangan Hanan, perut Arka, dan cermin di depannya. Sekali, dua kali. Lalu membanjiri lantai di bawah kakinya.

Hanan yang menatap genangan di bawahnya itu seketika merasakan aliran darahnya meluncur deras. Ia memejamkan matanya kuat-kuat saat penisnya menyemburkan cairan pekat di dalam lubang Arka. Kemudian gejolak yang lain dengan segera menyusul.

“Sayang, aku juga mau pipis.”

Dicabutnya penis dari lubang Arka hingga spermanya merembes keluar lalu diselipkannya di antara kedua paha Arka. Tangannya memaksa paha Arka menjepit kuat penisnya kemudian ia menggesek cepat di sana.

“Aahhh~ Ssh- Aah- Anjinggh…”

Hanan bergetar hebat seiring cairan bening dari penisnya membasahi paha Arka dan mengalir turun hingga ke mata kakinya. Badannya lalu ambruk di punggung Arka, memeluk pacarnya itu erat. Sementara Arka masih menunduk memandangi pahanya. Pipi dan telinganya terasa sangat panas.

Keduanya berusaha mencari oksigen yang sempat dirampas paksa dari rongga dada. Hingga Hanan yang lebih dulu bergerak, membalikkan tubuh Arka untuk menghadapnya sebelum menjatuhkan satu ciuman lembut pada pipinya.

“Pinter pacar aku.”

Arka menjatuhkan diri ke pelukan Hanan, merengek pelan. “Aku capek…”

Dibopongnya Arka menuju ranjang dan direbahkannya di sana. Lalu Hanan menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Arka agar tak terkena dinginnya AC.

“Kamu rebahan aja, nanti aku yang bersihin kamu,” tenang Hanan sebelum cowok itu mulai membereskan kekacauan yang diakibatkannya di kamarnya.

“Cerminnya jangan lupa,” komentar Arka selagi kelopak matanya setengah menutup.

Hanan terkekeh pelan mendengar celoteh pacarnya. Cermin yang baru saja dibeli itu sudah ternoda di sana-sini. Tapi Hanan sama sekali tak menyesal. Di kepalanya bahkan sudah terputar rencana akan berapa kali lagi ia harus menggunakan cermin itu untuk kepentingan pribadinya.

Arka sudah terlelap kala Hanan selesai membersihkan ruangan serta tubuh pacarnya itu. Ia naik ke ranjang dan berbaring rapat di sebelah Arka. Disentuhnya tulang pipi Arka dengan ibu jarinya, diusap-usap dengan lembut hingga Arka akhirnya terjaga dari tidurnya.

“Aku bangunin kamu, ya? Tidur lagi, gih.”

Arka menyadari badannya sudah terbalut pakaian dengan hangat. Ia menggeleng, tangannya menggenggam tangan Hanan yang masih menyentuh wajahnya. Arka suka saat-saat seperti ini. Saat di mana waktu berjalan lambat, hanya ada kedamaian di antara dirinya dan Hanan, serta momen langka ketika Hanan tidak berisik.

“Arka,” panggil Hanan setelah beberapa saat pacarnya itu hanya memandanginya dalam diam.

“Sst.”

“Kenapa?”

“Jangan berisik.”

“Aku nggak beri-”

Tanpa aba-aba Arka membekap mulut Hanan dengan tangannya lalu berguling menindih cowok itu. Aksinya memang berhasil membuat Hanan diam tak berkutik. Namun Hanan memprotes dengan suaranya yang teredam di balik telapak tangan Arka.

“...Fwah- Hah, kenapa sih main bekep aja?” protes Hanan begitu Arka menyingkirkan tangannya.

“Berisik kamu,” cibir Arka. Ia lalu menaruh kepalanya di dada Hanan, memejamkan matanya kembali. “Aku pengen habis having sex tuh, disayang-sayang dengan tenang.”

“Lah, ini kan juga disayang?” bela Hanan seraya melingkarkan lengannya untuk memeluk Arka. “Kurang sayang gimana, sih, aku tuh?”

“Iya disayang tapi mulut kamu yang nggak tenang.”

“Oh, aku disuruh mingkem? Diem aja gitu?”

Arka mengangguk. “Tapi jangan tidur.”

“Iya, nggak tidur- eh, lupa, mingkem ya.”

Arka terkikik geli. “Nan, tapi cerminnya beneran dipake, loh. Buat ngaca. Buat benerin rambut. Kalo besok aku liat rambut kamu masih kayak sarang burung, aku balikin aja cerminnya. Janji, ya?”

Hening.

“Nan?” Arka mengangkat kepalanya, memeriksa apakah pacarnya itu sudah ngorok. Tapi Hanan masih melek, melihat ke arah Arka dalam diam.

“Jawab, dong.”

“Tadi katanya suruh mingkem?”

Arka menghela napas, tersenyum tipis. “Tau, ah.”

Hanan menarik kepala Arka ke pelukannya lalu mencium puncak kepalanya. “Iya, nanti dipake. Buat rapiin rambut, rapiin penampilan, sama buat yang lain-lain juga kayak tadi.” Sebelum Arka sempat memprotes Hanan sudah mengeratkan pelukannya agar cowok itu tak berkomentar lagi.

Hangatnya peluk Hanan membuat Arka terlelap kembali tak lama setelahnya. Hanan masih mengusap kepalanya lalu melihat pantulan diri mereka dari cermin. Senyum tipis terulas di bibirnya. Ia berharap, yang seperti ini akan abadi dari sekian banyak yang fana.

  • commissioned by @preciosasum
  • pairing : ridho x gita
  • word count : 2000 words
  • tags : nipple play, fingering, dick riding, protected sex

Matahari mulai tenggelam dan digantikan oleh lampu jalanan ketika Gita keluar dari bangunan kantornya yang tidak terlalu besar itu. Ia mengambil ponselnya dari dalam tote bag warna krem sambil sesekali menganggukkan kepala pada teman-temannya yang berseliweran pulang dengan motornya.

“Pulang naik apa, Git?” tanya seorang cowok, teman satu divisinya.

“Dijemput cowok gue,” balas Gita lalu melambaikan tangannya pada cowok itu yang melaju pulang lebih dulu.

Dengan bibir mengerucut Gita menekan-nekan layar ponselnya karena sejak tadi pacarnya tidak ada kabar. Tepat sebelum jempolnya menyentuh layar untuk membuat panggilan, sebuah sedan putih berhenti di depannya. Gita menghela napas pendek lalu menyimpan kembali ponselnya.

“Kok WA kamu nggak respon, sih?” gerutu Gita begitu ia masuk ke dalam mobil.

“Iya. Maaf.” Ridho, pacar Gita yang hanya beda dua tahun di atasnya itu menjawab singkat. Gita yang hampir melancarkan serangan protesnya seketika urung. Muka Ridho tampak lelah dan kesal.

“Kenapa? Ada masalah di kerjaan kamu?” tanya Gita akhirnya.

Ridho melajukan mobilnya sebelum angkat bicara. “Biasa. Dapet klien lagaknya kayak sultan. Maunya desain rumah yang mewah. Nggak peduli fungsional rumah sama kondisi lapangan kayak apa. Dikasih saran malah nyolot, ngapain hire arsitek kalo gitu. Lo bangun aja tuh istana sendiri!”

Ocehan Ridho membuat Gita tertawa kecil. “Lagian kamu juga terlalu idealis, Kak. Aturan kamu dibayar, ya udah turutin aja maunya. Kerja jangan dibikin pusing.”

“Lah, bukan masalah idealis, Git. Arsitek tuh nggak bisa sembarangan ngeiyain maunya klien. Kita dibayar buat diskusi, ngasih masukan. Kalo saran kita aja nggak didenger ya ngapain?”

“Iya, deh, iyaa.” Gita menyamankan punggungnya pada jok sambil melipat tangannya. Ia melempar pandangannya ke jendela, tersenyum tipis. “Kamu kebanyakan musingin desain rumah orang. Kapan bikinin rumah buat kita?”

Untuk pertama kalinya Ridho memutus fokusnya dari jalanan padat. Ia menoleh ke arah Gita. Ekspresinya melembut melihat cewek itu. Rambut Gita yang diikat satu itu terlihat lepek oleh keringat, namun helai-helai yang jatuh di samping wajahnya membuat cewek itu terlihat manis.

Ridho meraih satu tangan Gita dan membawanya ke bibir. Diciumnya lembut beberapa kali.

“Makanya ini aku berpusing-pusing dulu ngumpulin uang biar bisa bikin rumah buat kita. Biar kalo kita mau having sex nggak perlu khawatir tiba-tiba ada Ari atau Oji masuk ke kontrakan.”`

Tak lama mobil Ridho berhenti di halaman kontrakan yang dimaksud. Setelah memarkirkan mobilnya, Ridho keluar dan membukakan pintu untuk Gita. Keduanya lalu masuk ke rumah yang bisa dibilang cukup luas dibanding rumah-rumah di sekitarnya.

Rumah kontrakan ini ide dari Ari. Dia ngotot pengen hidup bareng dua sahabatnya, jadi Ari cari kontrakan yang letaknya di tengah-tengah tempat mereka bekerja. Walaupun akhirnya Ari jarang menempati kontrakan itu, tapi setidaknya masih berguna buat Ridho dan Oji.

“Kamu udah bilang ibu kos belum, kalo malem ini nggak pulang?” tanya Ridho yang tengah menanggalkan kaosnya.

“Udah, kok.” Gita duduk di tepi ranjang milik Ridho. Cowok itu menghampirinya lalu mencium dahi, hidung, dan bibirnya.

“Padahal kamu tinggal di sini nggak papa, lho. Gratis.”

“Nggak bisa. Pasti Mama ngomel, lah. Isinya cowok semua.”

Ridho mendorong tubuh Gita hingga rebah ke ranjang kemudian mulai menciumi lehernya.

“Kak, bentar. Nggak mau beberes dulu?”

Cowok itu masih sibuk menyusuri leher dan tulang selangka Gita dengan bibirnya. Ia hanya menggumam kecil sebelum akhirnya buka suara. “Nanti aja, lah. Aku kangen banget sama kamu, Git. Kangen diangetin sama kamu.”

Mudah sekali membuat seorang Anggita Prameswari memerah seperti kepiting rebus. Setelah itu tak ada lagi kalimat yang muncul dari bibir Gita. Hanya Ridho yang mengurai ikat rambut Gita dan melepas kancing kemejanya hingga bra warna hitamnya menyembul. Ridho memeluk tubuh mungil Gita hingga hangat kulitnya menempel pada cewek itu. Dicumbui lekuk lehernya, lidahnya menjilat hangat pada permukaan kulit sebelum ia menggigit pelan leher Gita. Itu adalah bagian favoritnya, bahkan saat di tempat umum Ridho tak menahan diri untuk menikmati leher Gita. Aroma khas parfum dan manis tubuh cewek itu membuat Ridho mabuk.

“Kak…” Gita mulai bergerak gelisah sementara tangan Ridho menggerayangi punggung dan pinggangnya. Tak butuh waktu yang lama sampai kait branya terlepas dan tubuh bagian atasnya kini polos tanpa sehelai benang pun. Udara dingin menyambut kedua putingnya yang menegang.

Puas menjelajahi leher Gita, Ridho turun ke dadanya. Dibenamkan wajahnya di antara kedua payudara cewek itu. Dihirup dalam-dalam aroma tubuhnya hingga cowok itu mabuk. Kemudian mulutnya mulai beraksi. Beberapa saat ia menciumi payudara kanan Gita lalu mengulum putingnya, dihisap dan dimainkan dengan lidahnya.

Gita mengeluarkan desahan pertamanya. “K-Kak Ridho…”

Tangan Ridho tak membiarkan payudara kiri Gita tak tersentuh. Diremas dan dimainkannya hingga tubuh Gita semakin menggelinjang. Kaki cewek itu bergerak menggesek sprei dengan gelisah. Ridho bisa merasakan suhu tubuhnya yang memanas. Dengan tangannya yang bebas cowok itu meraih remote AC dan menurunkan suhunya.

Ruangan itu mulai dingin ketika Ridho bangkit untuk melucuti celana jins Gita. Sepasang paha yang mulus terekspos di depan mata Ridho. Nafsunya untuk menikmati paha Gita sudah meluap-luap. Maka tanpa aba-aba Ridho merendahkan kepalanya dan mulai mencumbui bagian dalam paha cewek itu. Spontan Gita merapatkan pahanya hingga menjepit kepala Ridho di antaranya.

“Kak, geli di situ,” protes Gita yang memang merasa bagian itu terlalu sensitif untuknya. Namun Ridho seakan tidak peduli. Bibirnya tetap bermain-main di kulit paha Gita hingga pandangannya jatuh pada kain di antara paha cewek itu. Ada area yang menggelap karena basah. Ridho seketika menyeringai.

“Udah basah, Git?” Pertanyaan Ridho sontak mengembalikan semburat merah di pipi Gita. “Ternyata ada yang lebih kangen daripada aku. Bentar, ya.”

Ridho meninggalkan Gita sejenak untuk melepas celananya sendiri. Meski sudah bukan sekali-dua kali Gita menyaksikan kejantanan cowok itu, ia tetap merasa rikuh. Bagian bawah perutnya lagi-lagi berdenyut.

Kak Ridho hot banget. Gue beneran pengen meledak. Gita mengeluh dalam hati.

Ridho menyambar bungkusan kondom di laci mejanya lalu kembali berlutut di hadapan Gita. Namun belum sempat ia memasang kondomnya, tangan Gita sudah menahannya.

“Bentar, Kak,” sela Gita. Alis Ridho terangkat, bertanya-tanya. “Mau…pake tangan kamu dulu.”

“Oh-” Ridho berucap pendek seperti baru saja tersadar. Ceweknya itu memang paling suka dibikin nikmat dengan jemarinya. Agaknya memang Ridho yang kepalang pengen memasuki pacarnya. Namun tentu saja ia tak menolak permintaan Gita, akan dituruti semua kemauan kekasihnya itu.

Kondomnya jatuh ke ranjang kala Ridho mencium bibir Gita sementara tangannya hinggap di permukaan celana dalam cewek itu, mengusap lembut lalu menekan. Jempolnya bergerak dengan gerakan memutar pada serat kain yang sudah terasa basah itu. Gita mendesah-desah sambil menggigit bibirnya. Enak.

“Buka mulut kamu,” perintah Ridho lalu melesakkan dua jarinya ke dalam mulut Gita. Cewek itu sudah tahu apa yang harus dilakukan. Telunjuk dan jari tengah Ridho dikulum dalam rongga mulut Gita yang hangat dan basah. Lidah cewek itu menyelimuti jemarinya.

Dengan satu tangannya yang bebas, Ridho menarik turun celana dalam Gita yang sudah basah. Lalu kedua jari yang telah dilingkupi saliva Gita itu mulai menyentuh bibir vagina, menggesek pelan. Rintihan Gita terdengar merdu di telinga Ridho. Hingga akhirnya jari cowok itu mendarat di klitoris dan bermain dengan gerakan yang cukup membuat Gita membalikkan matanya.

“Enak, Kak…” Pinggul Gita terangkat seiring Ridho menggerakkan jarinya. “Mmh- Enak, Kak Ridho-”

“Segini aja enak?” ejek Ridho. “Gimana nanti pas aku masukin?”

“Mau, please,” rengek Gita. “Mau dimasukkin Kak Ridho.”

Rasanya kepala Ridho langsung pening tiap kali Gita memohon dengan nada seperti itu. Ceweknya yang mungil dan tak berdaya itu meminta dengan penuh desperasi. Siapalah Ridho untuk menolak?

Merobek bungkus kondom dengan giginya, Ridho secepat kilat memakai pengaman itu pada penisnya yang sudah menegang sedari tadi. Ingin segera dijepit di dalam kemaluan Gita yang sempit dan hangat.

“Aku masukkin ya, Sayang? Bilang kalo sakit.”

Gita hanya mengangguk sebelum kemudian Ridho melesakkan miliknya pelan-pelan. Diperhatikan ekspresi wajah pacarnya agar ia tak melewatkan tanda jika cewek itu tidak nyaman. Cowok itu berhenti sejenak ketika Gita mengerutkan wajah, namun Gita menyuruhnya untuk lanjut hingga miliknya terbenam sempurna.

Ridho memeluk tubuh Gita dan menjatuhkan ciuman-ciuman kecil di wajahnya. Ia singkirkan helai-helai rambut yang menutupi wajah agar ia dapat melihat cewek itu dengan lebih jelas.

“Kamu cantik banget sih, Git,” puji Ridho. “Pacar aku kenapa cantik banget, sih? Untung kamu jadiannya sama aku, bukan sama yang lain.”

“Apa sih, Kak Ridho?” Gita tersenyum jengah. “Pacar aku juga ganteng. Udah ganteng, jago di ranjang lagi.”

“Iya?” Ridho serasa diberi makan egonya.

“He-eh. Buruan gerak dong, Kak. Pengen enak.”

Ridho memberikan satu kecupan terakhir di bibir Gita sebelum berucap, “As you wish.”

Awalnya cowok itu bergerak lambat namun dalam, cukup untuk menggesek dinding Gita dan membuat cewek itu terasa penuh. Ridho benar-benar memenuhi lubangnya.

“Aah- Kak… Enak…” desah Gita. Tangannya memeluk leher Ridho selagi cowok itu bergerak keluar-masuk. Hembus napas Ridho menampar kulit wajahnya.

“Enak, Sayang?”

“Enak banget.”

Ridho haus validasi. Dan Gita senang memupuk egonya.

“Terus, Kak. Iya kayak gitu. Ngh- Enak banget. Punya kamu enak banget, ahh-”

Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di dahi Gita. Wajah cewek itu juga sudah sarat oleh nikmat. Sesuatu dalam diri Ridho semakin membuncah, membuat ritme gerakannya juga semakin cepat. Ia ingin membuat cewek itu kacau total.

“Aah! Kak Ridho- Kak Ridho-” Tubuh Gita terhentak-hentak bersamaan dengan ranjang yang berderit kencang. Punggungnya sudah melengkung sempurna, meminta tubuhnya menempel sekuat-kuatnya pada Ridho.

Ridho menggerakkan pinggulnya dengan sentakan tajam berulang kali. Menghunjam dalam ke lubang Gita hingga cewek itu tak mampu lagi membentuk kata-kata.

“Enak, Git?” Napas Ridho terengah-engah. “Enak, Sayang?”

Tak sanggup menjawab Gita hanya menggerakkan kepala sembarang arah. Pikirannya sudah diselimuti kabut hingga titik kenikmatannya tiba-tiba diserang.

“Aaahh!!”

“Di sini? Iya?” tanya Ridho. “Enak ditusukkin di sini?”

Gita mengangguk cepat. “Di situ. Enak- Fuck!”

Ridho memusatkan penisnya pada satu titik yang membuat ceweknya mendesah keenakan. Sementara dirinya juga terstimulasi sebab lubang Gita terlampau sempit untuk miliknya. Rasanya Ridho hampir gila.

“Anjing… Enak banget kamu, Gitaa. Sempit banget- Hh!”

Suara desahan Ridho jatuh tepat di dekat telinga Gita. Rendah dan dalam. Suara favorit Gita di seluruh dunia. Dada telanjang Ridho sudah basah oleh keringat dan itu semakin membuat Gita mendekati puncaknya.

“Kencengin lagi, please. Aku mau keluar-” rengek Gita. Ridho memenuhi permintaannya. Hentakan pinggulnya cepat dan tajam. Tak lama Gita bertemu putih. Cairan pekat itu menyembur beberapa kali dan memenuhi lubangnya, membuat penis Ridho terasa makin hangat. Begitu Ridho menarik miliknya, cairan itu merembes keluar.

“Kamu keluar banyak banget, Sayang,” ucap Ridho. Ada rasa bangga dalam intonasinya. Gita masih berusaha mengatur napas, badannya lemas seperti tak bertulang. Ridho berguling ke sampingnya untuk mencium Gita. “Sekarang gantian, ya.”

Ada posisi yang disukai Ridho. Yaitu ketika ia dapat menikmati pemandangan Gita dari bawah. Setelah mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya, Ridho membantu Gita untuk duduk di atasnya. Tangannya memegangi sisi tubuh Gita selagi cewek itu bergerak naik-turun.

“Dalem banget, Kak…” komentar Gita setengah khawatir.

“Iya, nggak apa-apa. Gerak aja,” tenang Ridho. Ia tak bisa melewatkan indahnya payudara Gita yang montok memantul naik-turun sembari cewek itu bergerak di atas penisnya. Benar-benar pemandangan sempurna.

“Sumpah, Git. Aku sange banget kalo diginiin sama kamu.” Kelopak mata Ridho hampir menutup saking enaknya. Berkali-kali ia menjilat bibirnya di antara desah yang muncul. “Ah- gila. Enak banget, Git. Terusin. Jangan berhenti. Ah- Ah- Dikit lagiii. Ngh, Sayangg…”

Seketika Ridho lupa akan semua masalahnya. Masalah di rumah, masalah kerjaan, klien yang super rese. Semuanya digantikan oleh sejuta nikmat yang bertubi-tubi. Dan itu hanya berlaku dengan Gita, tidak bisa yang lain.

Satu erangan yang panjang dan dalam menjadi pertanda bahwa Ridho telah mencapai klimaksnya. Cowok itu memejamkan matanya rapat-rapat selagi euforia mengisi kepalanya. Ekspresi wajah cowok itu setelah pelepasan juga menjadi salah satu kesukaan Gita.

Gita sengaja mengedutkan lubangnya agar Ridho semakin kacau. “Enak banget ya, Kak?”

Shit! Gita… Hhh…” Ia bahkan tak mampu berkomentar lebih lanjut. Kondomnya terasa sangat penuh. Entah berapa banyak sperma yang disemburkannya.

Setelah kembali dari puncaknya, Ridho menarik Gita ke pelukannya. Tubuh keduanya basah oleh peluh namun Ridho tidak peduli. Ia ingin memberi perhatian pada ceweknya yang sudah begitu hebat malam itu. Tanpa mencabut penisnya dari Gita, Ridho merapatkan pelukannya sembari mengecup bibir cewek itu.

“Capek?” bisik Ridho.

Gita mengangguk kecil. “Tapi seneng.”

“Aku juga. Lanjut ronde kedua?” Ridho tertawa ketika Gita memukul pelan lengannya.

“Kak,” panggil Gita. Ridho menjawab dengan gumaman. “Aku sayang Kak Ridho.”

Tatapan mata Ridho dalam dan lembut ketika ia menjawab dengan, “Aku juga sayang kamu, Git. Sayang banget.”

Keduanya kembali sibuk dengan ciuman panjang hingga Ridho mendengar suara Oji di pintu depan. Cowok itu menghela napas. Setidaknya kawannya itu tidak datang di tengah-tengah keseruannya.

commissioned by @97featherpairing : jukyuword count : 1000 wordstags : fluff


Juyeon finds Changmin cute, especially when he sleeps.

Mungkin dari semua usahanya untuk mengerti apa itu cinta, Juyeon akhirnya paham dengan cara ini. Ternyata tak perlu serumit menjelajahi seluruh isi hati dan pikiran. Karena merasakan hangatnya hati kala melihat Changmin terlelap, Juyeon tersadar. Inilah bentuk cinta yang paling sederhana itu.


Ada banyak kesempatan Juyeon menyaksikan Changmin tertidur. Di mana saja, kapan saja. Meringkuk, terlentang, berselimut jaket, menunduk, miring ke kiri, di mobil, dipeluk sofa, atau seringkali di pelukan Juyeon.

Tiap selesai latihan Juyeon selalu mengikuti yang lebih kecil duduk di sudut ruangan. Keduanya bermain ponsel hingga salah satunya menjatuhkan kepala di bahu yang lain. Biasanya Juyeon tak lagi menoleh, hanya sibuk dengan ponselnya. Namun bibirnya tersenyum tipis. Kecilnya tertidur.


Kalau jadwal sedang padat-padatnya, kerap kali mereka mencuri waktu tidur di perjalanan. Juyeon sering meminta untuk berada di satu mobil dengan Changmin. Karena bahunya sudah dirancang sedemikian rupa menjadi bantal untuk lelaki itu. Mendengarkan playlist lagu dengan headset yang mereka bagi bersama, Changmin selalu menjadi orang yang pertama memejamkan mata. Seberapa lelahnya Juyeon, ia selalu bersyukur sebab ia dapat menikmati pemandangan tepat di dekatnya. Lalu diusapnya lembut kepala Changmin sebelum dirinya menyusul ke alam mimpi.


Juyeon dan Changmin sama-sama pemakan yang lambat. Makanya mereka sering melipir untuk makan berdua saja. Changmin bilang, melihat orang yang makannya secepat kilat membuatnya tak bisa menikmati makanannya. Juyeon setuju. Juyeon suka kalau makannya sambil dinikmati, berdua dengan Changmin.

Kadang Changmin makan sambil menonton sesuatu di ponsel. Film berdurasi panjang agar tak habis sebelum makanan Changmin habis. Tapi seringnya Changmin ketiduran tak lama setelah ia mengunyah suapan terakhir. Lalu Juyeon mematikan ponsel Changmin dan menggendong lelaki itu ke ranjangnya. Tangannya mengusap kuah tteokbokki buatannya yang menempel di sudut bibir Changmin sebelum menyelimutinya. Malam itu Changmin bermimpi masuk ke mangkuk besar berisi tteokbokki buatan Juyeon.


Changmin suka sekali mengobrol hingga larut malam dengan Juyeon ditemani sebotol wine. Tentang anak anjing yang ditemuinya di stasiun pagi tadi, tentang drama yang sedang ditontonnya, tentang kapibara, tentang gantungan kunci kesayangannya yang putus, tentang karakter fiksi baru favoritnya, tentang donat yang ia beli dengan iseng siang tadi, tentang banyak hal. Dan Juyeon mendengarkan semuanya sambil sesekali menuang wine ke gelas Changmin yang cepat kosong. Tentang hal-hal baik, dan juga hal-hal yang membuat Changmin berhenti sejenak untuk menarik napas.

I don’t wanna grow old, Juyo. I don’t wanna get sick and die. Banyak banget hal-hal yang belum aku lakuin, yang pengen aku lakuin. Sama kamu.”

You won’t grow old. You’ll still be a kid at heart. And even if you get old and sick, I’ll still stay here. We would do everything you wanna do. Together.

Suara Changmin kecil ketika bertanya, “Janji nggak bakal pergi?”

“Janji.”

Juyeon menarik Changmin yang kemudian terisak dalam pelukannya. Diusap dan dicium kepala mungilnya yang kadang penuh dengan khawatir itu. Didekap hangat hingga dengkur halusnya terdengar. Changmin terlihat damai saat tertidur. Juyeon harap mimpi indah hinggap dalam tidurnya.


Ada satu hari di mana Changmin tak membalas pesan Juyeon. Insting pertama Juyeon adalah khawatir. Takut kalau sesuatu terjadi pada mungilnya.

“Demam aja kok, Juyo.”

Changmin merapatkan selimut tebalnya dan berubah menjadi bola di ranjangnya. Tubuhnya menggigil dan titik-titik keringat muncul di dahinya. Mau tak mau Juyeon begadang malam itu untuk merawat Changmin. Mengompres dahinya secara berkala, meminumkan obat, mengganti pakaiannya. Hingga demamnya mulai turun baru Juyeon dapat membaringkan dirinya di sebelah Changmin yang masih meringkuk di balik selimut.

Tangan Juyeon terulur untuk menyibak rambut Changmin yang menempel di wajah oleh keringat. Ia mengusap kulit pipinya yang merah dengan ibu jarinya. Masih terasa hangat. Bibirnya yang mungil bergerak-gerak seperti mengigau. Juyeon bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa terlihat begitu lucu saat demam. Semalaman Changmin yang demam tidur dipeluk Juyeon, sesekali mengigau.


Juyeon mengenal Changmin sudah lama. Sudah tahu apa yang disuka dan apa yang tidak. Sudah tahu juga kalau Changmin terkadang ngambek tanpa sebab.

Chanhee menunjuk pintu kamar Changmin begitu Juyeon tiba di tempatnya. Lelaki itu segera menuju kamar Changmin dan mendapati kesayangannya sedang duduk bersandar pada kaki ranjang, mukanya ditekuk sambil bermain dengan ponselnya.

“Changmin.”

Yang dipanggil langsung mengeluh lalu beranjak naik ke ranjang, bersembunyi di balik selimut.

“Ngapain ke sini? Udah dibilangin aku capek.”

“Aku nggak bakal bisa ninggalin kamu yang ngambek kayak gini. Kepikiran aku nanti.”

“Siapa yang ngambek?”

Juyeon tahu Changmin suka ngambek tanpa sebab dan Juyeon tahu cara mengatasinya. Ia berbaring di dekat Changmin dan memeluknya dari belakang. Meski Changmin terus menggerutu tapi ia tidak menolak pelukan Juyeon.

“Dibilangin lagi capek. Males ngapa-ngapain. Makan juga males. Jangan dipaksa makan. Jangan disuruh-suruh. Emangnya aku anak kecil? Kalo laper juga nanti aku makan sendiri. Kamu, tuh…”

Juyeon hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapinya dengan gumaman. Ia biarkan kecilnya itu mengoceh sampai puas, sampai akhirnya tenaganya habis dan ocehannya mulai melambat lalu hening.

“Ngantuk?” tanya Juyeon. Changmin mengangguk kecil. Ditariknya Changmin hingga menghadap ke arahnya lalu kembali dipeluk erat. “Udah nggak kesel?”

No… Sorry… Did I hurt you?” Changmin bertanya dengan gumaman kecil. Kelopak matanya sudah menutup.

Never.”

Juyeon mengecup dahi Changmin yang tak lama kemudian terlelap karena lelah. Ia tak segera menyusulnya ke alam mimpi, hanya sibuk menikmati indah wajahnya saat tertidur. Juyeon suka bagaimana bulu mata Changmin yang lentik jatuh dengan sempurna saat matanya terpejam. Juyeon suka menyapukan jemarinya pada wajah Changmin, menghitung beauty marks yang menghiasi wajahnya seperti konstelasi. Titik-titik yang banyak jumlahnya itu, Juyeon penasaran seberapa sering Changmin dicium di wajahnya di masa lampau. Dan berharap semoga ia-lah yang selalu memberikan cium itu.

Ada kerutan halus di antara kedua alis Changmin, sisa-sisa ngambeknya tadi. Ibu jari Juyeon jatuh di sana, mengusap kerutnya sampai sirna. Agar mimpi buruk tak mampir ke tidurnya tapi kumpulan kelinci yang berloncatan bersamanya di atas awan selembut kapas.

You look so pretty when you sleep,” bisik Juyeon, mengusap lembut bibir Changmin. “So peaceful like an angel. And so, so cute, like a baby. My baby.”

Changmin bergerak dalam tidurnya, membuat Juyeon berdiam sejenak. Lalu terdengar dengkur halus Changmin. Juyeon tersenyum.

Entah di masa lampau, saat ini, atau nanti. Juyeon tetap ingin menyaksikan Changmin terlelap. Karena meskipun itu adalah bentuk cinta yang sederhana, itu juga sesungguh-sungguhnya cinta.