disclaimer: potongan cerita ini TIDAK berhubungan dan TIDAK berpengaruh pada cerita utama, cerita ini terjadi DI LUAR JDAS universe. hanya ditulis untuk memenuhi keinginan pribadi penulis.
Wajahnya jadi sering muncul di kelebat pikiran. Namanya jadi sering terngiang sewaktu-waktu tanpa permisi. Kata orang semakin kita membenci seseorang, semakin melekat pula eksistensinya dalam kepala kita.
Tapi Edgar tidak membenci. Tidak. Hidupnya sudah terlalu rumit untuk menyisakan kebencian yang tidak berguna. Lalu kata apa yang tepat untuk menjelaskan perasaannya pada orang itu?
Jealousy?
Edgar enggan mengakui bahwa mungkin ia memang iri. Apa yang tidak dapat diraihnya, orang itu mendapatkannya dengan mudah.
Satu ciuman di pipi kiri.
“Eh, sori. Lo nyariin gue ya, Gar?”
Pertanyaan itu berlalu saja di telinga Edgar. Ia lebih sibuk melihat rona merah di pipi orang itu, bekas diberi cium oleh cowok yang cengengesan di depannya ini.
“Iya. Tapi kalo lo lagi ada urusan nggak jadi aja, deh.”
“Ooh, gue mau nyari makan sama Arka aja sih habis ini.”
Arka. Cowok itu. Namanya selalu membawa sensasi pahit yang aneh di benak Edgar.
“Sekalian aja.”
Arka angkat bicara. Memandang Edgar dengan sorot mata yang tak dapat Edgar baca. Entah itu ajakan tulus atau sekedar basa-basi.
Toh, Edgar duduk di sini juga. Dengan dua sejoli yang asyik mengobrolkan sesuatu tentang taburan kacang di makanan mereka yang dianggap salah sambung. Lalu Edgar melihat ekspresi itu. Rasa bahagia yang terpantul dari matanya. Mungkin seperti itu efeknya disayangi seseorang seperti Hanan.
Senyumnya terulas di wajah. Manis. Edgar tidak dapat memungkiri. Semua yang ada pada Arka, Edgar memaklumi mudah bagi Hanan untuk jatuh suka.
“Bengong aja lo ngeliatin Arka. Awas ye sampe naksir?”
Celetukan Hanan membuat Edgar mendaratkan tangannya untuk menoyor cowok itu.
Bodoh.
Yang tidak bodoh adalah Arka. Dari awal ia sudah tahu. Mungkin bukan hanya dirinya, namun semuanya. Ada hati yang ditaruh Edgar diam-diam pada Hanan. Kesal? Mungkin. Benci? Tidak juga. Bagi Arka setiap orang berhak untuk jatuh cinta. Lagipula belum ada status yang jelas antara dirinya dan Hanan. Kalau Edgar memang punya nyali untuk maju pun, Arka tak menyalahkan.
Namanya juga Arka. Semakin berusaha ia mengabaikan semakin ia kepikiran juga. Kepalanya jadi sering dilewati nama Edgar. Hari ini Edgar mampir ke sekre mencari Hanan, kemarin Edgar ketemu Hanan di parkiran, besok Edgar mungkin mengajak Hanan nongkrong di warung kopi.
Kira-kira Hanan tertarik sama cowok modelan Edgar nggak, ya?
Berisik pikiran Arka terputus oleh tepukan pelan di pundak. Terkejutnya begitu ia berbalik. Edgar dengan senyum kecil di wajah menyambut pandangannya.
“Sori, cuma mau nitip ini.” Edgar menyerahkan kunci motor pada Arka. “Tangkinya udah gue isi penuh.”
Arka menatap kunci motor milik Hanan di tangannya. Entah untuk alasan apa Edgar mengisikan bensin motor Hanan, dan mengapa harus Edgar. Tapi pada akhirnya Arka hanya mengangguk.
Mata Arka masih tertancap pada benda di telapak tangannya ketika Edgar berbalik pergi. Selang beberapa detik nama Edgar dipanggil hingga langkah cowok itu terhenti.
“Ya?”
“Besok dateng ke ulang tahun Hanan.”
Edgar mengangkat alisnya menganggap kalau ia salah dengar. Tapi Arka tak mengulangi kalimatnya. Hanya melambaikan kunci di tangannya sebelum meninggalkan Edgar.
Yang tidak dilihat Edgar adalah air muka Arka yang berubah risau. Cowok itu kembali dipenuhi pikiran berisik tentang Edgar.
Acara ulang tahun anjing.
Bukan Hanan anjingnya. Atau mungkin memang iya.
Edgar seperti orang bodoh memergoki bibir-bibir yang saling melumat. Tapi kakinya seakan terpaku ke lantai, tak bisa bergerak apalagi berlari. Mungkin memang niat Arka menyuruhnya datang untuk melihat ini semua.
Pandangan Edgar masih terpatri pada bibir yang belum saling lepas itu, hingga akhirnya matanya bertubrukan dengan Arka yang tiba-tiba melihatnya. Edgar buru-buru menggerakkan kaki menuju tempat yang tersembunyi dari penglihatan mereka. Diturunkan pandangannya ke arah celana jinsnya.
Well, shit. He’s hard.
Rupanya Arka memang sengaja. Menarik Hanan lalu menciumnya ketika dilihatnya Edgar berjalan mendekati tempat mereka. Lalu ia melepas ciumannya begitu tatapan mereka bersirobok sebelum Edgar pergi.
“Gue istirahat di sini dulu aja, Nan. Lo turun temuin temen-temen lo,” ucap Arka ketika Hanan mengajaknya kembali ke acara.
Setelah memastikan Hanan benar-benar hilang dari pandangan, Arka segera beranjak keluar ruangan untuk mencari seseorang.
“Bang Edgar…” panggilnya pada cowok yang tengah bersandar di tembok itu.
Tanpa diduga Edgar menarik lengan Arka agar ia terhindar dari pandangan sekitar. Punggung Arka menabrak tembok di belakangnya.
“Udah tau kan, Ka?” todong Edgar langsung.
Arka menentang sorot mata Edgar.
“Emang sengaja, kan?” tambah Edgar.
Bibir yang mulai bergerak membentuk senyum tipis penuh kemenangan itu ditatap Edgar dengan gemuruh di dada.
“Bang Edgar,” panggil Arka manis. Terlalu manis. “Gue nggak papa, kok. Serius. Asal jangan jadi pengecut aja. Dan hipokrit.”
Aneh. Ada bagian dalam diri Edgar yang terpancing oleh kalimat Arka. Selain bagian bawah perutnya, tentu saja.
Edgar mendekatkan wajahnya pada Arka, mengintimidasi. Ingin ditelitinya setiap inci wajah yang dikagumi Hanan itu. Hidungnya menghirup aroma tubuh Arka. Memang pantas Hanan jadi mabuk.
Arka sama sekali tidak gentar. Ia malah merapatkan badannya hingga bersentuhan dengan Edgar. Lalu ia merasakan tonjolan di bawahnya itu. Arka ingin mendengus geli.
“Separah ini ternyata?” Arka menyapukan ujung-ujung jarinya pada bagian yang tumbuh itu, lembut saja. “Imajinasi lo sejauh apa, sih?”
Arka tidak perlu tahu kalau tidak ingin kesal. Yang paling liar pun pernah diimpikan Edgar.
Tapi yang di depannya ini adalah kesukaan Hanan. Menu favorit Hanan. Edgar ingin mencoba menyukai apa yang Hanan sukai.
Maka Edgar mulai mencicip.
Satu sapuan lidah pada permukaan bibir Arka sebelum habis dalam sekali lumat. Ini adalah bibir yang disukai Hanan. Masih ada jejak-jejak Hanan di sana. Edgar ingin menghabiskannya.
Sempat Edgar tangkap keterkejutan di mata Arka. Tapi cowok itu tak berontak. Edgar menikmati kebekuannya. Mulai detik ini adalah perang.
Lutut Edgar menyelinap di antara paha Arka, memaksanya untuk membuka. Lalu ia tempelkan miliknya yang sudah meminta untuk diperhatikan pada Arka. Edgar menelan desah yang sempat dilontarkan Arka dengan lidahnya.
Edgar terus menciptakan gesekan yang pelan dan menyakitkan. Ia memperhatikan bagaimana Arka mulai gelisah, tangannya menyambangi pinggang Edgar dan menarik-narik celananya.
“Apa lo segini nafsunya sama Hanan?” bisik Edgar yang membuat telinga Arka memerah. “Atau memang nggak cuma Hanan?”
Tangan Arka berhenti menarik. Ia menatap Edgar tajam lalu mendesis pelan.
“Jangan sok tau soal gue.”
“Bukan sok tau. Gue cuma pengen tau sama apa yang disukai Hanan.”
“Jangan harap lo tau apa-apa soal gue.”
“Gitu?” Edgar menekan selatan Arka dengan lututnya.
“Ah-” Kelabakan Arka menutup mulutnya. Ia tak melewatkan senyum puas Edgar yang tercetak di bibir. “Sialan lo.”
Tanpa permisi Edgar membuka kancing celana Arka dan menyelipkan tangannya masuk, menangkup milik Arka dalam satu genggam.
“Ini favoritnya Hanan?”
Lutut Arka lemas bagai tak bertulang kala Edgar meremas miliknya. Ngilu yang nikmat. Arka pun menyerah. Ditaruhnya kepala di dada Edgar sementara cowok itu bermain dengan miliknya. Arka sudah basah.
“Gue juga bisa ngasih ini ke Hanan,” ucap Edgar. “Gue bisa bikin Hanan lemes kayak lo sekarang.”
Kalimat yang seharusnya mendidihkan darah Arka itu tersalur ke bagian bawah perutnya, membuat apa yang dimainkan Edgar mengejang.
“D-Diem…” Arka terengah. “Jangan sebut nama Hanan… depan gue…”
“Kenapa?” Edgar sengaja memperkuat remasannya. Puas melihat Arka sekuat tenaga menahan desah yang ingin keluar. “Takut ngerasa bersalah lo nggak cuma bereaksi kayak gini ke Hanan?”
Arka mencengkram kemeja Edgar kuat-kuat. Menahan dirinya agar tak merosot ke lantai. Batinnya sibuk mengutuk diri.
Kenapa enak? Sial, memang enak.
Celana Arka sudah melorot hingga setengah pahanya. Memberikan akses yang mudah bagi tangan Edgar untuk mencapai bagian belakang punggungnya.
Jemari itu menelusup ke lubangnya.
“Ahh! Ah!” Keras desahan Arka tak terbendung lagi. Jari tengah Edgar masuk begitu saja. Dalam dan bergerak.
“Ini juga… kesukaan Hanan,” ucap Edgar. Ia biarkan Arka menggelinjang oleh stimulasi yang dibangunnya. “Tapi gue bisa bikin Hanan lebih suka.”
Hingar-bingar suara manusia bercampur musik di bawah sana menenggelamkan suara rengekan Arka yang semakin berisik. Lubangnya diisi jari Edgar, tapi ia ingin lebih. Ia ingin tahu seberapa besar kemampuan Edgar untuk menyenangkan Hanan.
“Masukin gue. Please.”
Terkejutnya Edgar bukan tak beralasan. Ia memang tak berniat untuk sejauh itu. Hanya ingin pamer sedikit untuk orang yang disuka Hanan itu. Namun mendengar Arka meminta, itu adalah urusan lain. Jauh di luar kepentingannya.
“Bentar, Ka. Gue nggak-”
“Please.” Tangan Arka sibuk membuka resleting celana Edgar sebelum cowok itu menyadari. “Masukin punya lo ke gue. Gue nggak butuh jari lo.”
Edgar masih mematung, belum dapat mencerna keinginan Arka. Hingga tangan Arka mengeluarkan milik Edgar dan mengarahkannya ke lubangnya sendiri.
“Ayo,” desak Arka.
Edgar akhirnya tersadar. Ini bukan apa-apa. Ini hanyalah cara untuk mengenali musuh.
Perlahan Edgar melesak masuk ke dalam Arka. Kulit bergesekan dengan kulit. Hangat seketika melingkupi Edgar. Kemudian sempit, terjepit. Pada akhirnya Edgar mengeluarkan desah kenikmatannya.
“A-Arka…” Canggung Edgar menyebut namanya. Yang disebut menatap Edgar penuh waspada. Menunggu setiap reaksi yang tercipta.
Dan lagi-lagi Edgar tersadar. Bahwa kekaguman Hanan pada Arka memang sangat beralasan. Belum pernah ia se-kehilangan kata-kata ini akibat seseorang. Arka memang spesial. Caranya menatap, caranya menyentuh, caranya bereaksi.
Caranya menelan keseluruhan Edgar.
Edgar hampir gila.
Dan ia harus segera bergerak. Tak boleh dirinya yang dikendalikan. Edgar harus mengambil alih.
Pada tembok yang dingin itu Edgar menghajar Arka. Menunjukkan pada musuh bagaimana ia bertindak.
Akan tetapi niatnya selalu kalah. Karena Arka juga melawan.
Enak. Enak. Enak.
Arka enak.
Hingga hunjaman kuku Arka pada punggung Edgar tak lagi terasa, hingga Edgar melesak dalam tak bersisa, hingga yang terdengar di telinga Edgar hanya desah napas Arka dan bagaimana cowok itu memanggil namanya.
“Mau k-keluar…” ucap Arka susah payah. “Bang Edgar… mau keluar…”
Bahkan suara rengekan itu membuat Edgar semakin lupa bahwa yang ada dalam kurungan lengan ini adalah rivalnya. Edgar seperti sukarela memberikan semua untuk Arka. Menuruti setiap inginnya.
Cairan itu membasahi kemeja Edgar. Ia tak mau memikirkan bagaimana menjelaskan itu pada orang-orang di bawah nanti. Yang penting Arka puas dulu. Yang penting Arka.
Setelah tubuh itu terkulai lemas dalam pelukan, Edgar kembali bergerak untuk menjemput puncaknya. Engahan napas Edgar menampar telinga Arka. Keras dan jelas.
“Fuck-” umpat Edgar bersamaan dengan keluarnya cairan yang memenuhi Arka, hangat dan menetes. Kepala Edgar jatuh di bahu Arka, napasnya memburu.
Tetapi Arka memang manusia yang penuh kejutan. Dua lengannya melingkari tubuh Edgar untuk memeluk erat. Suaranya parau berbisik.
“Lo enak. Tolong jangan ambil Hanan dari gue… Cukup pake gue aja.”
Kalimat Arka membuat Edgar merenung. Sebenarnya apa tujuan dari semua ini? Sudah berhasilkah ia mengenali musuhnya? Berhasilkah ia mengenali kesukaan Hanan?
Atau mungkin ia malah berhasil menikmati musuh?
Maka saat bibir Edgar bertemu dengan pipi Arka, lalu beralih ke bibirnya, Edgar mematikan seluruh kesadaran. Semua logika. Edgar hanya butuh berpikir secara sederhana.
Ia memang menikmati ini.
“Gue nggak akan ambil Hanan dari lo.”