purplish

3...

2...

1...

and smile

surat ini untuk kamu, yang memiliki cinta sebesar bagaimana manusia merengkuh lautan.

surat ini untuk kamu, yang hangatnya sayang tidak seterik sinar matahari tepat di atas kepala. namun hangat menyelimuti kulit seperti yang menelusup dari celah tirai di pagi hari.

surat ini untuk kamu, yang senyumnya cukup membimbing bilah bibir untuk terlengkung dengan mudahnya.

hari ini semua cinta, semua sayang yang kamu bagi kepada dunia akan kembali dalam pelukanmu. sama besar dan hangatnya seperti pelukmu pada jiwa yang rapuh.

yang tersayang,

hari ini biarlah kamu rentangkan tangan untuk menyambut bentuk syukur dunia atas keberadaanmu.

hari ini biarlah tenang di hatimu, hapus keresahan yang menodai sudut-sudut hati.

hari ini biarlah kami, mengangkat kedua ujung bibirmu. mengisi bertetes-tetes air di lautanmu. menjaganya agar tak mengering.

dan hari ini biarlah kami merengkuhmu, meski bahu kami tak sekokoh milikmu. bersandarlah hingga nanti kamu muncul kembali di ufuk timur.

untuk yang memiliki cinta sebesar lautan,

selamat ulang tahun.

hyunjae tidak mungkin tidak memperhatikan bagaimana perilaku sunwoo tiba-tiba berubah setelah kejadian malam itu. berakhir dengan sunwoo yang buru-buru masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya serta membereskan pikirannya yang kacau, meninggalkan tugasnya yang tak selesai serta secangkir kopi yang dibiarkan mendingin.

sebenarnya hyunjae tidak mau ambil pusing, sama seperti bagaimana ia menghadapi beberapa orang yang pernah ada di posisi seperti sunwoo sebelumnya. tapi nggak enak juga harus diam-diaman dengan teman satu kamar sendiri. sebagai yang lebih senior hyunjae mau tidak mau harus mengajak sunwoo bicara duluan.

“nu, mau mie rebus nggak? gue baru bikin, nih.”

“nggak, kak. gue barusan makan.”

“kamar mandi kerannya lagi susah dibuka. kalo butuh ke kamar mandi bilang gue aja.”

“oh- ya udah ntar gue numpang kamar sebelah aja.”

“nu, ada yang butuh dibantuin gak tugas-”

“gue mau cabut dulu kak, ke tempat temen gue.”

sunwoo jelas-jelas menghindarinya. dan kali ini hyunjae jadi kesal. niatnya baik hanya untuk memperbaiki hubungan dengan anak itu, tapi sunwoo malah tidak mau berkooperasi.

maka saat dilihatnya sunwoo kembali dari kampus dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, hyunjae langsung melompat dari kasurnya dan menunggu sunwoo di luar pintu kamar mandi. lama tidak terdengar suara air dari dalam, hyunjae mengerutkan keningnya.

pingsan apa, ya?

“nu? sunwoo?” panggil hyunjae pelan. tidak ada jawaban hingga hyunjae menggedor pintu kamar mandi.

“gue masih di dalem!” seru sunwoo akhirnya.

“ohh, kirain. abisan gue nggak denger suara apa-apa.”

“lo ngapain di situ?” tanya sunwoo was-was.

“nggak ngapa-ngapain. gue di sini doang,” kilah hyunjae. “lo lagi mandi atau ngapain, sih?”

“MANDI!”

“kok nggak ada suaranya?”

hening kembali sebelum sunwoo membuka suara.

”...keran airnya… susah dibuka”

hyunjae menahan tawa mendengar kalimat sunwoo.

“buruan bukain pintunya, gue bantuin nyalain keran,” perintah hyunjae. sunwoo terpaksa membuka pintu kamar mandi dan membiarkan seniornya itu masuk ke dalam. hyunjae melirik ke arah sunwoo yang merapatkan dirinya ke dinding kamar mandi, jauh-jauh darinya. anak itu masih memakai celana pendek namun tubuh bagian atasnya dibungkus erat dengan handuk.

hyunjae mendengus. “udah, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo.”

keran air didorong dan diputar dengan sepenuh tenaga hingga akhirnya air berhasil mengalir mengisi bak mandi. hyunjae lalu membalikkan badannya pada sunwoo yang melebarkan matanya terkejut.

“udah sono mandi,” suruh hyunjae kemudian beranjak keluar dari kamar mandi.

sunwoo buru-buru mengangguk sebelum hyunjae berubah pikiran untuk melakukan hal lain. secepat kilat ia mengguyur dan membersihkan seluruh badannya lalu mengeringkan dirinya sebelum melangkahkan kaki keluar dari pintu.

“anj-” sunwoo hampir mengumpat saat ia bertemu dengan tubuh hyunjae yang menjulang di depan pintu. cowok itu meletakkan kedua tangannya di samping tubuh sunwoo, mengurungnya hingga ia tak bisa ke mana-mana.

“mumpung lo lagi di sini, gue mau ngomong,” ucap hyunjae dengan nada suaranya yang rendah.

“ngomong apa?” sunwoo berusaha terdengar cuek walaupun jantungnya jumpalitan. matanya menolak untuk bertemu sepasang mata indah milik kakak tingkatnya itu.

hyunjae tersenyum tipis. ia mengambil handuk yang tersampir di leher sunwoo lalu mulai mengeringkan rambut sunwoo yang masih basah.

“lo kenapa ngehindarin gue?” tanya hyunjae enteng.

“nggak, kok. perasaan lo aja kali.” sunwoo mengeluh dalam hati kenapa hyunjae harus mengacak-acak rambutnya seperti ini, karena hatinya pun serasa diacak-acak juga.

“perasaan gue doang, ya?” hyunjae menggumam pelan sambil mengangguk-angguk. “kalo gitu berarti nggak papa dong nanti gue bantuin lo nugas lagi?”

“HAH???” seruan panik dari sunwoo mengirimkan tawa terbahak pada hyunjae. cowok itu sampai memegangi perutnya lantaran sikap sunwoo yang membuatnya geli.

“jadi bener lo masih mikirin yang waktu itu?” tebak hyunjae di sela-sela tawanya. “gemes banget sih, lo?”

telinga sunwoo sontak memerah. bukan salahnya kalau kejadian malam itu terus menghantui pikirannya setiap saat. yang melakukan itu padanya adalah hyunjae. HYUNJAE. bukan orang lain.

“sunwoo,” panggil hyunjae. telunjuknya mengangkat dagu anak itu agar mau bertatap muka dengannya.

“lo naksir sama gue, ya?”

rasanya sunwoo ingin berubah menjadi angin, pergi menghilang dari sana begitu saja. atau langsung terjun ke dasar bumi yang paling dalam. apa saja asal bukan di sini, di hadapan lee hyunjae.

“ka-kalo iya, kenapa?” tantang sunwoo. benar kata orang-orang, kalau sudah berada di situasi yang menyulitkan biasanya mereka bakal melakukan sesuatu yang nekat. seperti yang dilakukan sunwoo berikutnya, berjinjit seraya mencekal kerah baju hyunjae dan mendaratkan satu cium tepat di bibir.

merasa kecolongan, hyunjae mengerjapkan matanya. handuk yang ada di tangannya seketika jatuh ke lantai. matanya menatap wajah sunwoo yang memancarkan ekspresi berani yang dipaksakan.

jadi seperti ini kim sunwoo.

hyunjae menaikkan sudut bibirnya setelah sunwoo menciumnya dengan cepat, tidak sampai satu detik.

“cium yang lama, dong.”

sunwoo mengatupkan bibirnya rapat-rapat atas tantangan dari hyunjae. dia mana berani melakukan itu? yang barusan saja dilakukannya setengah sadar.

“hm?” desak hyunjae. “cium yang lama… kayak gini-”

hyunjae serta-merta menarik tengkuk sunwoo dengan satu tangannya lalu mendaratkan bibirnya pada milik sunwoo, mengecupnya dalam. lidahnya bergerak mengecap bibir bawah sunwoo sebelum menggigitnya pelan membuat sunwoo memberikan celah untuk dirinya menjelajah rongga mulutnya. ia menemukan lidah sunwoo yang kemudian beradu dengan miliknya, bertukar saliva dengan anak itu yang rasanya manis bercampur dengan mint.

kedua lutut sunwoo serasa tak bertulang saat hyunjae mengulum habis kedua belah bibirnya bergantian. tangannya mencengkram ujung baju hyunjae seiring pasokan oksigen yang dirampas darinya. bibir hyunjae tidak selembut dalam pikirannya selama ini, namun sensasinya cukup membuat kepala sunwoo merasa pening. lidah cowok itu tak berhenti mengecap dan menjelajah tiap sudut dalam rongga mulutnya. suara decapan keras hasil mengulum lidah sunwoo mengirimkan gelenyar ke seluruh badannya.

“mmf-” sunwoo mendorong pelan dada hyunjae karena ia sudah benar-benar kehabisan napas. saat hyunjae akhirnya menarik diri setelah memberikan satu ciuman dalam yang terakhir pada bibir sunwoo, ia mengamati anak itu yang terengah-engah berusaha mengisi kembali oksigen ke dalam dadanya.

tangan hyunjae terulur untuk mengusap bibir sunwoo dengan ibu jarinya. pandangannya kemudian tertuju pada bagian bawah tubuh sunwoo.

dengan senyum mengejek hyunjae berucap, “kalo gue lanjutin, lo kudu mandi lagi.”

sunwoo seketika menurunkan pandangannya pada celananya, matanya melebar seraya merapatkan kakinya kuat-kuat menutupi apa yang ada di sana. rasa malunya sudah sampai ubun-ubun.

“nanti aja, nu. sini makan dulu sama gue,” ajak hyunjae, menepuk kasur di sebelahnya di mana ia sudah terlebih dahulu duduk.

sunwoo menghela napas, tidak habis pikir bagaimana bisa cowok itu begitu santai setelah membuatnya hampir pingsan. namun sepertinya sunwoo harus segera terbiasa, karena setelah ini hyunjae bakal sering membuatnya gila.

sunwoo akan menjadi target utama perhatiannya.

Between Me and You

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya. dan terlalu takut untuk mencari tahu. jadi yang kita lakukan hanyalah duduk manis, menyesap air teh yang bahkan otak kita sudah tak mampu menyimpulkan rasanya, lalu mengucapkan-

“oke.”

lelaki yang duduk di seberangnya, yang barusan mengucap kata perpisahan, tergerak untuk memunculkan ekspresi kaget atas tanggapan yang didapatnya. ia barusan meminta untuk putus dari pacarnya, bukan meminta izin untuk meninggalkannya ke toilet selama lima menit.

“changmin, aku minta putus.”

“iya, aku denger. aku nggak tuli.”

hyunjae tahu cowok manis di hadapannya ini sedang berusaha untuk terlihat kuat, tapi ia terlalu mengenal changmin. terlalu mengenalnya hingga ia paham kenapa changmin menjawabnya secepat itu.

“kamu... nggak mau nanya dulu alesannya apa?”

changmin membenturkan tumitnya pelan ke kaki kursi, berulang-ulang. ia tidak ingin bertanya.

alasan apapun yang keluar dari mulut pacarnya itu pasti akan tetap membuat hatinya sakit. percuma.

helaan napas berat yang muncul dari hyunjae menutup percakapan sore itu. dengan perih dan ketidakpastian yang menggantung di udara.

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya.

dan kita akan mati bersama dengan perasaan yang terus menerka-nerka.

“lo beneran jadian sama hyunjae?”

changmin memutar bola matanya kesal karena juyeon sudah menanyakan itu setidaknya sepuluh kali hari ini.

“emang kenapa, sih? nggak pantes banget ya, gue jadian sama kak hyunjae?”

“enggak sih...” juyeon menggaruk kepalanya. “cuma heran aja.”

changmin akhirnya menangkap apa maksud perkataan juyeon. selama ini memang hyunjae selalu menolak siapapun yang sedang mendekatinya. dan tiba-tiba ia memacari changmin. mungkin sahabatnya itu hanya khawatir changmin adalah target permainan hyunjae saja.

“tenang aja, juyeon. gue nggak bego. kalo kak hyunjae cuma main-main sama gue, pasti gue tau.”

saat itu changmin merasa sangat yakin, namun sekarang dirinya malah meragukan pikirannya sendiri. mungkin benar yang dikhawatirkan juyeon saat itu. mungkin changmin dibutakan oleh rasa sayangnya pada hyunjae hingga sulit baginya melihat kalau semua tak seindah bayangannya. mungkin memang changmin sebenarnya bodoh, tak tahu apa-apa.

kenapa hyunjae tiba-tiba memutuskannya?

hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja. pertengkaran di antara keduanya tidak pernah ada yang berarti. hanya seputar memilih menu makan siang, atau siapa yang mendapat giliran untuk merawat si pudingㅡanak anjing yang mereka adopsi bersama.

apakah ada orang lain yang disayangi hyunjae selain dirinya?

apakah hyunjae sudah bosan bermain-main dengan changmin?

apakah sedari awal memang tidak pernah hadir rasa sayang itu, yang selama ini changmin bayangkan dalam pikiran?

menerka sesuatu yang tidak pasti itu memang menyakitkan.

“kak, tadi si puding muter-muter lama cuma buat cari tempat dia tidur. lucu banget. kayaknya dia masih belum kebiasa sama tempatku, deh.”

hyunjae yang sedang mengusap lembut rambut changmin sementara ia bercerita, tersenyum tipis. lelaki yang lebih muda berkomentar lagi.

“nanti kalo kita udah tinggal bareng, pasti jadi lebih gampang. puding juga nggak bakal bingung lagi harus dioper kesana kemari terus.”

“kalo kita udah nikah, maksud kamu?”

pipi changmin langsung bersemburat merah mendengar pertanyaan dari hyunjae.

“iya, itu maksudnya. terus nanti kalo udah serumah, aku mau ngedekor dapurnya! karena aku bakal sering-sering di dapur.”

“ngapain? emangnya kamu bakal sering masak?”

“iyalah! nanti aku bakal belajar masak, biar kita nggak makan di luar terus.”

nanti. nanti. nanti.

terlalu banyak nanti terucap dari mulut changmin.

hyunjae bahkan tidak ingin memikirkan apakah masih ada nanti untuk mereka.

“udah, dong. jangan nangis terus. gue bingung harus gimana.”

changmin melempar gumpalan tisu bekas air matanya pada juyeon yang sukses berkelit.

“pulang aja. gue nggak papa sendirian. ada atau nggak ada lo juga gue sama kak hyunjae tetep putus.”

memang tidak ada salahnya perkataan changmin, mau bagaimana juga mereka terlanjur berpisah. tapi mana bisa juyeon meninggalkan changmin di saat anak itu sendiri masih menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menghapus air matanya.

“lo beneran nggak nanya kenapa dia tiba-tiba minta putus?” juyeon beringsut pelan mendekati changmin untuk duduk di sebelahnya.

“nggak. takut.” changmin berujar pendek. “lagian kalo emang dia mau ngasih tau alesannya, harusnya dia langsung ngomong.”

lagi-lagi changmin tidak salah. sisa malam itu akhirnya hanya dihabiskan juyeon dengan menemani changmin yang menangis hingga air matanya habis lalu tertidur karena rasa lelah. hyunjae hadir di dalam tidurnya, menawarkan dekap untuk mengeringkan seluruh sisa air mata.

changmin berlari kecil dari kantin sambil mendekap sebotol air mineral yang baru dibelinya. langkahnya terhenti tepat di depan hyunjae yang masih menyumpal lubang hidungnya dengan tisu.

“ini, minum dulu,” desak changmin, menyodorkan botol air mineral yang sudah dibukanya.

“makasih, cil.”

hyunjae meneguk air mineral itu hingga tandas, lalu menaruh botol yang kosong itu di sebelahnya. changmin masih berdiri di depannya dengan sorot mata cemas.

“pulang aja, ya?” pinta changmin. “biar kamu bisa istirahat.”

hyunjae menggeleng. tangannya melemparkan tisu yang sudah terkena bercak darah itu ke dalam tempat sampah.

“abis ini aku ada jadwal ujian. males kalo harus susulan. lagian aku belajar sampe larut malem juga buat ini.”

“kamu, tuh, ngeyel terus dibilangin. minggu lalu kamu udah mimisan, loh,” protes changmin dengan keningnya yang berkerut. “belajar sih, belajar. tapi jangan sampe kayak gini juga.”

hyunjae terkekeh pelan. ia menarik changmin untuk direngkuh sebelah tangannya, lalu menggesek ujung hidungnya ke puncak kepala yang lebih kecil.

“pacarku khawatir, yaa???”

changmin serta-merta membebaskan dirinya dari hyunjae, merasa kesal. “ya khawatir, lah! mana ada yang nggak khawatir pacarnya sakit.”

“ih, lebay. mimisan dikit doang.”

“kak!” kesal changmin. “tau, ah. kalo besok-besok kakak pingsan, aku nggak mau nolongin lagi. biarin aja kamu dianggurin sampe ada ambulans yang mau ngangkut.”

“tega banget sama aku, cil.” hyunjae memasang wajah memelas yang semakin membuat changmin dongkol. “iya, iya, maaf. nggak lagi, deh, besok-besok aku mimisan. kamu maunya aku istirahat yang cukup, makan empat sehat kamu sempurna. gitu, kan?”

changmin melipat tangannya sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak berminat menanggapi candaan pacarnya kali ini di saat ia sedang serius. hyunjae jadi harus menariknya lagi dalam pelukan.

“kalo ngambek bakal aku cium di sini beneran, loh,” ancamnya. “satu... dua.... ti...”

“hih, iya, iya! pokoknya janji jangan begadang terus. tidur yang cukup, makan yang bener.”

hyunjae tersenyum melihat changmin yang mulai luluh. sebelum pacarnya itu menyadari, hyunjae sudah mencuri cium dari pipinya secepat kilat. berikutnya adalah suara pekikan changmin yang terkejut lalu pukulan yang diberikan bertubi-tubi ke lengan hyunjae yang buru-buru meminta maaf.

pertemuan juyeon dengan hyunjae siang itu benar-benar tanpa disengaja, namun yang membuat juyeon curiga adalah hyunjae dengan berkas di tangannya keluar dari salah satu ruang periksa di rumah sakit. juyeon yang sedang menemani ibunya untuk antre obat tergesa menyusul hyunjae yang berjalan dengan langkah-langkah panjang.

“hyunjae!” seru juyeon begitu ia sudah tinggal beberapa langkah di belakang hyunjae. lelaki yang dipanggil namanya lantas menoleh dan juyeon tak bisa melewatkan ekspresi kaget yang sekilas terlintas di wajahnya.

“loh, ju? ngapain di sini? berobat?” tanya hyunjae santai.

“nganterin nyokap gue check up,” balas juyeon. “lo?”

hyunjae mengangkat bahunya enteng. “tadi habis jenguk sodara gue.”

juyeon yakin ia melihat hyunjae keluar dari ruangan periksa dokter sendirian, matanya juga tak luput menangkap identitas hyunjae di map yang sedang didekapnya. hyunjae pasti berbohong.

“je, lo kenapa mutusin changmin?” tanyanya tiba-tiba.

sejatinya hyunjae tidak ingin membahas masalah ini sekarang. apalagi di tempat ini. tempat di mana ia akan menghabiskan sisa waktunya sendirian.

hyunjae mengetukkan ujung map ke tangannya, menimang-nimang. mengatur napas beberapa kali sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengenalnya di sana. terlebih changmin.

“lusa gue udah harus dirawat di sini, ju,” ujar hyunjae cepat. “dan habis itu... gue nggak tahu apa gue bisa keluar dari sini.”

juyeon menyipitkan matanya mendengar jawaban dari hyunjae. “...maksud lo?”

hyunjae mendenguskan tawa pahit, namun sepasang matanya terasa kosong.

i'm dying, ju. umur gue tinggal ngitung hari, bulan kalo gue beruntung.”

pernyataan hyunjae membuat juyeon seketika tertegun. ia yakin changmin sama sekali tidak mengetahui tentang ini. dan sahabatnya itu terus menebak-nebak apa kesalahan yang telah diperbuatnya hingga hyunjae memutuskan hubungan.

“dan lo nggak ngasih tau changmin...” lirih juyeon.

“sori, ju. gue beneran nggak bisa. call me selfish tapi lebih baik changmin benci sama gue terus tetep lanjut sama hidupnya daripada dia harus liat gue mati pelan-pelan. and there's nothing he can do.

juyeon terperangah. “lo gila ya, je? lo, tuh- lo mau bohongin changmin sepanjang hidupnya?”

hembusan napas berat yang dikeluarkan hyunjae menambah rasa sesak di dadanya. dari awal ia tidak pernah meminta ini. tapi di sinilah ia sekarang. menjadi pengecut.

“pertama kali gue ketemu changmin tuh, gue kayak dapet semangat hidup lagi, ju. harapan gue buat tetep ngusahain hidup tuh gede banget, karena gue pengen liat changmin lebih lama, pengen liat senyumnya tiap hari, pengen ngabisin hidup gue sama dia.” hyunjae menelan ludahnya, merasa marah atas dirinya juga penyakit yang menggerogoti sisa hidupnya. “tapi ternyata gue masih tetep kalah, ju. kalah sama penyakit sialan ini. bajingan yang udah ngerusak harapan gue buat hidup lebih lama, sama changmin. gue benci semuanya, gue benci sama diri gue, sama keadaan, sama takdir yang bikin gue ketemu changmin tapi akhirnya harus gue lepas karena gue nggak sanggup, ju. gue nggak sanggup liat changmin sedih sama keadaan gue sekarang. gue mimisan aja dia udah khawatir setengah mati, gimana dia harus ngadepin gue yang tiap harinya harus ngitung mundur sisa waktu gue. gue nggak bisa.”

juyeon mengusap wajahnya kasar, dilema atas keputusan yang diambil hyunjae. ia pikir sahabatnya tetap berhak untuk tahu, berhak untuk menemaninya hingga hari kepergiannya, berhak menghabiskan sisa waktu terakhirnya. meskipun rasa sakit tidak bisa dihindari, tapi setidaknya akan ada memori untuk saat terakhir mereka. bukannya kenangan pahit diputuskan tanpa ada alasan yang jelas.

“terus menurut lo keputusan ini udah yang paling bener?” juyeon menanyainya dengan nada yang terdengar sinis. “bener menurut lo atau menurut ego lo? hyunjae, lo mikirin changmin nggak, sih!?”

“gue mikirin dia makanya gue kayak begini!” hyunjae berseru dengan sesak yang semakin memenuhi dadanya. “lo pikir siapa yang mau mutusin orang yang masih mereka sayang?? nggak ada!”

juyeon mengatupkan bibirnya, melayangkan tatapannya ke arah langit berusaha untuk menahan tangis karena hatinya sakit melihat hyunjae dan changmin harus menerima perih seperti ini.

“sialan banget lo, je...” desis juyeon.

right... gue dan penyakit sialan gue... changmin nggak seharusnya ketemu sama gue.”

setelah hanya bertukar keheningan untuk beberapa saat lamanya, juyeon akhirnya membuka suara.

“kalo lo tetep sama keputusan lo, gue hargain. gue bakal tutup mulut soal ini. tapi satu hal.” juyeon menatap hyunjae dan menyadari lelaki itu memang terlihat lebih pucat dari biasanya. “gue mohon temuin changmin untuk yang terakhir kali.”

malam yang biasanya selalu dingin, terasa lebih dingin hari itu. saat changmin akhirnya berhadapan lagi dengan hyunjae, lelaki yang terus memenuhi pikirannya tanpa jeda. rasanya ia ingin menghambur ke pelukannya, memeluk erat dan tak pernah melepaskan lagi. namun saat ini ia hanya ingin mendengar satu jawaban.

“aku mau tau alesannya,” ucap changmin pelan, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. “nggak papa sekalipun itu bikin sakit, aku cuma pengen tau.”

hyunjae bersusah payah untuk tak mengulurkan lengan dan meraih changmin ke arahnya, karena ia tahu pertahanannya akan langsung runtuh. ia pasti tidak akan sudi untuk melepas changmin. ditukar dengan apapun ia tidak akan sudi.

“changmin,” panggil hyunjae yang sudah membuat lelaki yang lebih kecil itu semakin menguatkan genggamannya pada ujung jaketnya. “kamu hadiah terindah yang udah dikasih tuhan sama aku, dan aku nggak mau kamu digantiin oleh apapun.”

hyunjae lalu tersenyum samar sebelum melanjutkan. “aneh, ya, aku ngomong begini? selama kita pacaran kayaknya aku jarang ngomong kayak gitu ke kamu. tapi aku serius. malem ini aku orang paling serius di dunia ini, changmin. jadi kamu harus percaya sama kata-kata aku, oke?”

changmin tidak mengangguk, pun bersuara. ia hanya berusaha agar matanya yang kian memanas tak menumpahkan tangis saat ini.

“aku mutusin hubungan ini sama sekali bukan karena kamu ada salah apa-apa. kamu selalu baik sama aku, kan? selalu ngingetin aku makan, selalu jagain aku. juga bukan karena ada orang lain, changmin. udah ada kamu yang sempurna gini, masa aku masih meleng ke mana-mana?”

kekehan pelan hyunjae semakin membuat changmin ingin menangis. kenapa lelaki itu tidak langsung terus terang saja tentang alasan sebenarnya?

“changmin,” panggil hyunjae lagi, kali ini terdengar lebih serius. “kamu itu seseorang yang berharga banget buat aku. terlalu berharga sampe aku nggak mau liat kamu sedih. kamu berhak dapetin semua kebahagiaan di dunia iniㅡ

ㅡtapi maaf, changmin. aku nggak bisa ngasih kamu itu. bahagia yang harusnya kamu dapetin sepanjang hidup kamu, aku nggak bisa ngasih.”

changmin akhirnya benar-benar menangis. air mata yang sudah ditahannya sedari tadi tumpah tanpa ampun.

“kenapa??” desaknya.

hyunjae menatap changmin dengan sorot matanya yang semakin sayu, menggeleng pelan. “aku nggak bisa...”

changmin menangis keras, menutupi wajahnya dengan satu lengannya. menangis seperti anak kecil. “kak, kenapa??”

dengan satu tarikan napas akhirnya hyunjae menyerah, membiarkan dirinya menarik changmin dalam pelukan. lapisan bening mulai mengaburkan pandangannya.

“kak.... hu...hu.... si puding gimanaaa?? hu..hu...” changmin menangis dalam pelukan hyunjae, membuat sayatan yang lebih dalam di hati hyunjae karena lelaki dalam dekapannya ini sama sekali tidak tahu hidupnya tinggal menghitung hari.

“puding?” hyunjae berusaha menetralkan suaranya yang tercekat. “puding sama kamu, ya?”

“aku nggak bisa rawat puding sendiriannn,” rengek changmin lagi. “dia masih suka salah tempat kalo lagi be'ol.”

hyunjae tertawa miris dalam hatinya atas kepolosan changmin, tapi rasanya terlalu sakit. dalam hitungan hari atau bulan, ia akan meninggalkan changmin sendirian.

“puding yang nanti jadi temen kamu. kamu harus terbiasa, changmin.”

changmin terus menangis yang akhirnya mematahkan pertahanan hyunjae. lelaki itu terisak pelan sambil terus menciumi puncak kepala changmin, berharap itu akan memberinya damai untuk malam ini saja.

puding menjadi percakapan terakhir mereka. sebelum keduanya kembali melepas satu sama lain. satu untuk melanjutkan hidupnya meski tertatih, dan satu untuk menunggu akhir hari menyambutnya.

terkadang saat changmin memandang ke arah langit, ia teringat akan sosok lelaki yang dahulu pernah mengisi hari-hari dan pikirannya. ia tidak terlalu memikirkannya sekarang.

aneh, karena dulu rasanya seperti ia tidak akan bisa hidup tanpa lelaki itu. namun changmin hanya terkadang bertanya-tanya, di mana dia sekarang? apa lelaki itu sudah menemukan kehidupan yang bahagia, sama seperti dirinya.

juyeon balik menggenggam tangan changmin yang menggandengnya. ia menatap sekilas ke arah langit yang barusan dipandangi oleh changmin.

je, selamat. lo berhasil bikin changmin cuma punya sepenggal memori bahagia sama lo, changmin nggak perlu ngerasain sedih sepanjang hidupnya, dia cuma punya kenangan tentang lo dan puding. selamat, hyunjae. lo berhasil.

Between Me and You

َ

tw // mention of death, possible major character death

based on Between Me and You – Infinite

َ

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya. dan terlalu takut untuk mencari tahu. jadi yang kita lakukan hanyalah duduk manis, menyesap air teh yang bahkan otak kita sudah tak mampu menyimpulkan rasanya, lalu mengucapkan-

“oke.”

lelaki yang duduk di seberangnya, yang barusan mengucap kata perpisahan, tergerak untuk memunculkan ekspresi kaget atas tanggapan yang didapatnya. ia barusan meminta untuk putus dari pacarnya, bukan meminta izin untuk meninggalkannya ke toilet selama lima menit.

“changmin, aku minta putus.”

“iya, aku denger. aku nggak tuli.”

hyunjae tahu cowok manis di hadapannya ini sedang berusaha untuk terlihat kuat, tapi ia terlalu mengenal changmin. terlalu mengenalnya hingga ia paham kenapa changmin menjawabnya secepat itu.

“kamu... nggak mau nanya dulu alesannya apa?”

changmin membenturkan tumitnya pelan ke kaki kursi, berulang-ulang. ia tidak ingin bertanya.

alasan apapun yang keluar dari mulut pacarnya itu pasti akan tetap membuat hatinya sakit. percuma.

helaan napas berat yang muncul dari hyunjae menutup percakapan sore itu. dengan perih dan ketidakpastian yang menggantung di udara.

hal yang paling sakit dari sebuah perpisahan mungkin adalah saat kita tak tahu apa alasan di baliknya.

dan kita akan mati bersama dengan perasaan yang terus menerka-nerka.

“lo beneran jadian sama hyunjae?”

changmin memutar bola matanya kesal karena juyeon sudah menanyakan itu setidaknya sepuluh kali hari ini.

“emang kenapa, sih? nggak pantes banget ya, gue jadian sama kak hyunjae?”

“enggak sih...” juyeon menggaruk kepalanya. “cuma heran aja.”

changmin akhirnya menangkap apa maksud perkataan juyeon. selama ini memang hyunjae selalu menolak siapapun yang sedang mendekatinya. dan tiba-tiba ia memacari changmin. mungkin sahabatnya itu hanya khawatir changmin adalah target permainan hyunjae saja.

“tenang aja, juyeon. gue nggak bego. kalo kak hyunjae cuma main-main sama gue, pasti gue tau.”

saat itu changmin merasa sangat yakin, namun sekarang dirinya malah meragukan pikirannya sendiri. mungkin benar yang dikhawatirkan juyeon saat itu. mungkin changmin dibutakan oleh rasa sayangnya pada hyunjae hingga sulit baginya melihat kalau semua tak seindah bayangannya. mungkin memang changmin sebenarnya bodoh, tak tahu apa-apa.

kenapa hyunjae tiba-tiba memutuskannya?

hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja. pertengkaran di antara keduanya tidak pernah ada yang berarti. hanya seputar memilih menu makan siang, atau siapa yang mendapat giliran untuk merawat si pudingㅡanak anjing yang mereka adopsi bersama.

apakah ada orang lain yang disayangi hyunjae selain dirinya?

apakah hyunjae sudah bosan bermain-main dengan changmin?

apakah sedari awal memang tidak pernah hadir rasa sayang itu, yang selama ini changmin bayangkan dalam pikiran?

menerka sesuatu yang tidak pasti itu memang menyakitkan.

“kak, tadi si puding muter-muter lama cuma buat cari tempat dia tidur. lucu banget. kayaknya dia masih belum kebiasa sama tempatku, deh.”

hyunjae yang sedang mengusap lembut rambut changmin sementara ia bercerita, tersenyum tipis. lelaki yang lebih muda berkomentar lagi.

“nanti kalo kita udah tinggal bareng, pasti jadi lebih gampang. puding juga nggak bakal bingung lagi harus dioper kesana kemari terus.”

“kalo kita udah nikah, maksud kamu?”

pipi changmin langsung bersemburat merah mendengar pertanyaan dari hyunjae.

“iya, itu maksudnya. terus nanti kalo udah serumah, aku mau ngedekor dapurnya! karena aku bakal sering-sering di dapur.”

“ngapain? emangnya kamu bakal sering masak?”

“iyalah! nanti aku bakal belajar masak, biar kita nggak makan di luar terus.”

nanti. nanti. nanti.

terlalu banyak nanti terucap dari mulut changmin.

hyunjae bahkan tidak ingin memikirkan apakah masih ada nanti untuk mereka.

“udah, dong. jangan nangis terus. gue bingung harus gimana.”

changmin melempar gumpalan tisu bekas air matanya pada juyeon yang sukses berkelit.

“pulang aja. gue nggak papa sendirian. ada atau nggak ada lo juga gue sama kak hyunjae tetep putus.”

memang tidak ada salahnya perkataan changmin, mau bagaimana juga mereka terlanjur berpisah. tapi mana bisa juyeon meninggalkan changmin di saat anak itu sendiri masih menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menghapus air matanya.

“lo beneran nggak nanya kenapa dia tiba-tiba minta putus?” juyeon beringsut pelan mendekati changmin untuk duduk di sebelahnya.

“nggak. takut.” changmin berujar pendek. “lagian kalo emang dia mau ngasih tau alesannya, harusnya dia langsung ngomong.”

lagi-lagi changmin tidak salah. sisa malam itu akhirnya hanya dihabiskan juyeon dengan menemani changmin yang menangis hingga air matanya habis lalu tertidur karena rasa lelah. hyunjae hadir di dalam tidurnya, menawarkan dekap untuk mengeringkan seluruh sisa air mata.

changmin berlari kecil dari kantin sambil mendekap sebotol air mineral yang baru dibelinya. langkahnya terhenti tepat di depan hyunjae yang masih menyumpal lubang hidungnya dengan tisu.

“ini, minum dulu,” desak changmin, menyodorkan botol air mineral yang sudah dibukanya.

“makasih, cil.”

hyunjae meneguk air mineral itu hingga tandas, lalu menaruh botol yang kosong itu di sebelahnya. changmin masih berdiri di depannya dengan sorot mata cemas.

“pulang aja, ya?” pinta changmin. “biar kamu bisa istirahat.”

hyunjae menggeleng. tangannya melemparkan tisu yang sudah terkena bercak darah itu ke dalam tempat sampah.

“abis ini aku ada jadwal ujian. males kalo harus susulan. lagian aku belajar sampe larut malem juga buat ini.”

“kamu, tuh, ngeyel terus dibilangin. minggu lalu kamu udah mimisan, loh,” protes changmin dengan keningnya yang berkerut. “belajar sih, belajar. tapi jangan sampe kayak gini juga.”

hyunjae terkekeh pelan. ia menarik changmin untuk direngkuh sebelah tangannya, lalu menggesek ujung hidungnya ke puncak kepala yang lebih kecil.

“pacarku khawatir, yaa???”

changmin serta-merta membebaskan dirinya dari hyunjae, merasa kesal. “ya khawatir, lah! mana ada yang nggak khawatir pacarnya sakit.”

“ih, lebay. mimisan dikit doang.”

“kak!” kesal changmin. “tau, ah. kalo besok-besok kakak pingsan, aku nggak mau nolongin lagi. biarin aja kamu dianggurin sampe ada ambulans yang mau ngangkut.”

“tega banget sama aku, cil.” hyunjae memasang wajah memelas yang semakin membuat changmin dongkol. “iya, iya, maaf. nggak lagi, deh, besok-besok aku mimisan. kamu maunya aku istirahat yang cukup, makan empat sehat kamu sempurna. gitu, kan?”

changmin melipat tangannya sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak berminat menanggapi candaan pacarnya kali ini di saat ia sedang serius. hyunjae jadi harus menariknya lagi dalam pelukan.

“kalo ngambek bakal aku cium di sini beneran, loh,” ancamnya. “satu... dua.... ti...”

“hih, iya, iya! pokoknya janji jangan begadang terus. tidur yang cukup, makan yang bener.”

hyunjae tersenyum melihat changmin yang mulai luluh. sebelum pacarnya itu menyadari, hyunjae sudah mencuri cium dari pipinya secepat kilat. berikutnya adalah suara pekikan changmin yang terkejut lalu pukulan yang diberikan bertubi-tubi ke lengan hyunjae yang buru-buru meminta maaf.

pertemuan juyeon dengan hyunjae siang itu benar-benar tanpa disengaja, namun yang membuat juyeon curiga adalah hyunjae dengan berkas di tangannya keluar dari salah satu ruang periksa di rumah sakit. juyeon yang sedang menemani ibunya untuk antre obat tergesa menyusul hyunjae yang berjalan dengan langkah-langkah panjang.

“hyunjae!” seru juyeon begitu ia sudah tinggal beberapa langkah di belakang hyunjae. lelaki yang dipanggil namanya lantas menoleh dan juyeon tak bisa melewatkan ekspresi kaget yang sekilas terlintas di wajahnya.

“loh, ju? ngapain di sini? berobat?” tanya hyunjae santai.

“nganterin nyokap gue check up,” balas juyeon. “lo?”

hyunjae mengangkat bahunya enteng. “tadi habis jenguk sodara gue.”

juyeon yakin ia melihat hyunjae keluar dari ruangan periksa dokter sendirian, matanya juga tak luput menangkap identitas hyunjae di map yang sedang didekapnya. hyunjae pasti berbohong.

“je, lo kenapa mutusin changmin?” tanyanya tiba-tiba.

sejatinya hyunjae tidak ingin membahas masalah ini sekarang. apalagi di tempat ini. tempat di mana ia akan menghabiskan sisa waktunya sendirian.

hyunjae mengetukkan ujung map ke tangannya, menimang-nimang. mengatur napas beberapa kali sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengenalnya di sana. terlebih changmin.

“lusa gue udah harus dirawat di sini, ju,” ujar hyunjae cepat. “dan habis itu... gue nggak tahu apa gue bisa keluar dari sini.”

juyeon menyipitkan matanya mendengar jawaban dari hyunjae. “...maksud lo?”

hyunjae mendenguskan tawa pahit, namun sepasang matanya terasa kosong.

i'm dying, ju. umur gue tinggal ngitung hari, bulan kalo gue beruntung.”

pernyataan hyunjae membuat juyeon seketika tertegun. ia yakin changmin sama sekali tidak mengetahui tentang ini. dan sahabatnya itu terus menebak-nebak apa kesalahan yang telah diperbuatnya hingga hyunjae memutuskan hubungan.

“dan lo nggak ngasih tau changmin...” lirih juyeon.

“sori, ju. gue beneran nggak bisa. call me selfish tapi lebih baik changmin benci sama gue terus tetep lanjut sama hidupnya daripada dia harus liat gue mati pelan-pelan. and there's nothing he can do.

juyeon terperangah. “lo gila ya, je? lo, tuh- lo mau bohongin changmin sepanjang hidupnya?”

hembusan napas berat yang dikeluarkan hyunjae menambah rasa sesak di dadanya. dari awal ia tidak pernah meminta ini. tapi di sinilah ia sekarang. menjadi pengecut.

“pertama kali gue ketemu changmin tuh, gue kayak dapet semangat hidup lagi, ju. harapan gue buat tetep ngusahain hidup tuh gede banget, karena gue pengen liat changmin lebih lama, pengen liat senyumnya tiap hari, pengen ngabisin hidup gue sama dia.” hyunjae menelan ludahnya, merasa marah atas dirinya juga penyakit yang menggerogoti sisa hidupnya. “tapi ternyata gue masih tetep kalah, ju. kalah sama penyakit sialan ini. bajingan yang udah ngerusak harapan gue buat hidup lebih lama, sama changmin. gue benci semuanya, gue benci sama diri gue, sama keadaan, sama takdir yang bikin gue ketemu changmin tapi akhirnya harus gue lepas karena gue nggak sanggup, ju. gue nggak sanggup liat changmin sedih sama keadaan gue sekarang. gue mimisan aja dia udah khawatir setengah mati, gimana dia harus ngadepin gue yang tiap harinya harus ngitung mundur sisa waktu gue. gue nggak bisa.”

juyeon mengusap wajahnya kasar, dilema atas keputusan yang diambil hyunjae. ia pikir sahabatnya tetap berhak untuk tahu, berhak untuk menemaninya hingga hari kepergiannya, berhak menghabiskan sisa waktu terakhirnya. meskipun rasa sakit tidak bisa dihindari, tapi setidaknya akan ada memori untuk saat terakhir mereka. bukannya kenangan pahit diputuskan tanpa ada alasan yang jelas.

“terus menurut lo keputusan ini udah yang paling bener?” juyeon menanyainya dengan nada yang terdengar sinis. “bener menurut lo atau menurut ego lo? hyunjae, lo mikirin changmin nggak, sih!?”

“gue mikirin dia makanya gue kayak begini!” hyunjae berseru dengan sesak yang semakin memenuhi dadanya. “lo pikir siapa yang mau mutusin orang yang masih mereka sayang?? nggak ada!”

juyeon mengatupkan bibirnya, melayangkan tatapannya ke arah langit berusaha untuk menahan tangis karena hatinya sakit melihat hyunjae dan changmin harus menerima perih seperti ini.

“sialan banget lo, je...” desis juyeon.

right... gue dan penyakit sialan gue... changmin nggak seharusnya ketemu sama gue.”

setelah hanya bertukar keheningan untuk beberapa saat lamanya, juyeon akhirnya membuka suara.

“kalo lo tetep sama keputusan lo, gue hargain. gue bakal tutup mulut soal ini. tapi satu hal.” juyeon menatap hyunjae dan menyadari lelaki itu memang terlihat lebih pucat dari biasanya. “gue mohon temuin changmin untuk yang terakhir kali.”

malam yang biasanya selalu dingin, terasa lebih dingin hari itu. saat changmin akhirnya berhadapan lagi dengan hyunjae, lelaki yang terus memenuhi pikirannya tanpa jeda. rasanya ia ingin menghambur ke pelukannya, memeluk erat dan tak pernah melepaskan lagi. namun saat ini ia hanya ingin mendengar satu jawaban.

“aku mau tau alesannya,” ucap changmin pelan, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. “nggak papa sekalipun itu bikin sakit, aku cuma pengen tau.”

hyunjae bersusah payah untuk tak mengulurkan lengan dan meraih changmin ke arahnya, karena ia tahu pertahanannya akan langsung runtuh. ia pasti tidak akan sudi untuk melepas changmin. ditukar dengan apapun ia tidak akan sudi.

“changmin,” panggil hyunjae yang sudah membuat lelaki yang lebih kecil itu semakin menguatkan genggamannya pada ujung jaketnya. “kamu hadiah terindah yang udah dikasih tuhan sama aku, dan aku nggak mau kamu digantiin oleh apapun.”

hyunjae lalu tersenyum samar sebelum melanjutkan. “aneh, ya, aku ngomong begini? selama kita pacaran kayaknya aku jarang ngomong kayak gitu ke kamu. tapi aku serius. malem ini aku orang paling serius di dunia ini, changmin. jadi kamu harus percaya sama kata-kata aku, oke?”

changmin tidak mengangguk, pun bersuara. ia hanya berusaha agar matanya yang kian memanas tak menumpahkan tangis saat ini.

“aku mutusin hubungan ini sama sekali bukan karena kamu ada salah apa-apa. kamu selalu baik sama aku, kan? selalu ngingetin aku makan, selalu jagain aku. juga bukan karena ada orang lain, changmin. udah ada kamu yang sempurna gini, masa aku masih meleng ke mana-mana?”

kekehan pelan hyunjae semakin membuat changmin ingin menangis. kenapa lelaki itu tidak langsung terus terang saja tentang alasan sebenarnya?

“changmin,” panggil hyunjae lagi, kali ini terdengar lebih serius. “kamu itu seseorang yang berharga banget buat aku. terlalu berharga sampe aku nggak mau liat kamu sedih. kamu berhak dapetin semua kebahagiaan di dunia iniㅡ

ㅡtapi maaf, changmin. aku nggak bisa ngasih kamu itu. bahagia yang harusnya kamu dapetin sepanjang hidup kamu, aku nggak bisa ngasih.”

changmin akhirnya benar-benar menangis. air mata yang sudah ditahannya sedari tadi tumpah tanpa ampun.

“kenapa??” desaknya.

hyunjae menatap changmin dengan sorot matanya yang semakin sayu, menggeleng pelan. “aku nggak bisa...”

changmin menangis keras, menutupi wajahnya dengan satu lengannya. menangis seperti anak kecil. “kak, kenapa??”

dengan satu tarikan napas akhirnya hyunjae menyerah, membiarkan dirinya menarik changmin dalam pelukan. lapisan bening mulai mengaburkan pandangannya.

“kak.... hu...hu.... si puding gimanaaa?? hu..hu...” changmin menangis dalam pelukan hyunjae, membuat sayatan yang lebih dalam di hati hyunjae karena lelaki dalam dekapannya ini sama sekali tidak tahu hidupnya tinggal menghitung hari.

“puding?” hyunjae berusaha menetralkan suaranya yang tercekat. “puding sama kamu, ya?”

“aku nggak bisa rawat puding sendiriannn,” rengek changmin lagi. “dia masih suka salah tempat kalo lagi be'ol.”

hyunjae tertawa miris dalam hatinya atas kepolosan changmin, tapi rasanya terlalu sakit. dalam hitungan hari atau bulan, ia akan meninggalkan changmin sendirian.

“puding yang nanti jadi temen kamu. kamu harus terbiasa, changmin.”

changmin terus menangis yang akhirnya mematahkan pertahanan hyunjae. lelaki itu terisak pelan sambil terus menciumi puncak kepala changmin, berharap itu akan memberinya damai untuk malam ini saja.

puding menjadi percakapan terakhir mereka. sebelum keduanya kembali melepas satu sama lain. satu untuk melanjutkan hidupnya meski tertatih, dan satu untuk menunggu akhir hari menyambutnya.

terkadang saat changmin memandang ke arah langit, ia teringat akan sosok lelaki yang dahulu pernah mengisi hari-hari dan pikirannya. ia tidak terlalu memikirkannya sekarang.

aneh, karena dulu rasanya seperti ia tidak akan bisa hidup tanpa lelaki itu. namun changmin hanya terkadang bertanya-tanya, di mana dia sekarang? apa lelaki itu sudah menemukan kehidupan yang bahagia, sama seperti dirinya.

juyeon balik menggenggam tangan changmin yang menggandengnya. ia menatap sekilas ke arah langit yang barusan dipandangi oleh changmin.

je, selamat. lo berhasil bikin changmin cuma punya sepenggal memori bahagia sama lo, changmin nggak perlu ngerasain sedih sepanjang hidupnya, dia cuma punya kenangan tentang lo dan puding. selamat, hyunjae. lo berhasil.

Changmin & The Boy No. 11

Rasa sakit langsung menyerang kepala ketika Changmin berusaha membuka kelopak matanya. Perlu beberapa waktu baginya mengenali ruangan di mana ia berada saat ini. Bau khas zat kimia memenuhi indra penciumannya saat ia menghirup napas.

Ini bukan lapangan basket.

“Changmin!” Seruan lega yang terlontar dari seseorang yang rupanya sejak tadi menunggui Changmin hingga temannya itu tersadar.

“Chanhee?” Changmin memanggilnya ragu, wajahnya menunjukkan ekspresi sakit saat ia mencoba untuk bangun. Chanhee buru-buru membantunya.

“Aduhhh, lo tuh ada-ada aja, deh! Bisa-bisanya pingsan di lapangan basket!”

Lapangan basket… Pingsan…

Otak Changmin menarik kembali serpihan ingatan sebelum ia tak sadarkan diri. Matanya melebar kala ia mulai menyatukan ingatannya.

“Chan! Gue mimpi aneh banget, sumpah.”

“Lagi pingsan sempet-sempetnya mimpi. Lo ini aneh banget Ji Changmin!”

“Serius. Gue mimpi… mimpi nembak Juyeon di tengah lapangan basket. Buset!”

Chanhee mengerutkan keningnya dalam sementara sahabatnya itu sibuk menepuk-nepuk pipinya, entah untuk menyadarkan diri bahwa itu hanyalah mimpi atau karena hal lain.

“Changmin, itu tuh-”

Kalimat Chanhee terpotong oleh suara pintu yang dibuka dari luar. Changmin yakin bola matanya hampir meloncat keluar ketika ia melihat siapa yang datang.

Lelaki dengan perawakan yang tinggi, masih ada sisa peluh di helai rambutnya. Lelaki yang setiap hari selalu memenuhi tak hanya lembar buku harian Changmin, namun juga pikirannya. Kini telah berdiri di hadapannya dengan sekotak susu dan sebungkus roti di tangannya.

“Kamu… nggak papa?”

Satu jam sebelumnya…

“Duh, orang-orang pada makan apa sih, kok bisa tinggi-tinggi banget begini?” keluh Changmin sembari berjinjit dengan susah payah untuk dapat melihat pertandingan basket yang sedang berlangsung di antara kerumunan siswa lain yang lebih dulu menguasai garis paling depan.

“Lo-nya yang boncel nggak, sih?” komentar Chanhee sambil mengipasi dirinya dengan tangan karena kepanasan. Kalau bukan karena Changmin sahabatnya, Chanhee tidak sudi harus berdesakan dengan banyak siswa yang bau keringatnya bercampur dengan parfum merk murahan.

“Hahh, gimana nih? Gue nggak bisa liat Juyeonnn.” Changmin menghela napas keras setelah akhirnya menyerah meloncat-loncat di balik punggung-punggung yang tingginya bak tembok besar cina.

“Besok kan masih ada pertandingan. Nonton besok aja, tapi datengnya lebih awal,” usul Chanhee.

“Nggak bisa, Chan. Sebagai fans sejati Juyeon gue nggak boleh ketinggalan satupun permainannya!” tekad Changmin.

Chanhee sudah tahu tabiat Changmin yang satu ini, tapi dirinya tetap pusing. Akhirnya dengan segala rasa kesal karena harus berada di bawah terik sinar matahari dan berjubel di padatnya manusia-manusia berkeringat daripada bersantai di ruang kelas yang ber-AC, Chanhee mengulurkan kedua tangannya untuk mendorong Changmin kuat-kuat.

“Udah sana lo maju ke depan!”

Tubuh mungil Changmin yang terkena dorongan tiba-tiba itu lantas merubuhkan beberapa anak yang menghalangi jalannya dan Changmin seketika jatuh terjerembap setelah menabrak punggung seorang pemain di lapangan. Kuat juga rupanya tenaga Chanhee kalau ia sedang emosi.

“ADUH!!!”

Seluruh lapangan seketika hening atau setidaknya itu yang tertangkap di telinga Changmin setelah dirinya jatuh. Suara bola yang membentur lantai lapangan beberapa kali hingga akhirnya berhenti membuat perasaan Changmin jadi tidak enak. Ia perlahan mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang barusan ditubruknya hingga terjatuh.

Demi laut dan seisinya… Changmin tiba-tiba mendengar suara malaikat bernyanyi di sekelilingnya. Sorot matahari yang menyinari sisi wajah cowok di hadapannya itu membutakan mata Changmin. Cowok dengan angka sebelas tercetak di bajunya.

Si cowok basket nomor sebelas! Lee Juyeon! Cowok yang sudah dikagumi Changmin sejak kelas sepuluh, yang lokernya penuh dengan surat setiap hariㅡsalah satunya dari Changmin, yang namanya tidak pernah absen dari buku harian Changmin di mana ia selalu mengawalinya dengan 'Hari ini Juyeon…'

Sekarang cowok itu hadir tepat di hadapannya. Ralat, tertabrak.

“Bolanya?”

Mata Changmin mengerjap saat Juyeon mengulurkan satu tangan untuk meminta bola yang berada di dekatnya. Buru-buru ia mengambil bola itu dan menyerahkannya pada sosok yang berusaha diyakininya dalam hati bahwa ia nyata. Berbagai skenario yang selalu Changmin mainkan dalam pikirannya dengan ia dan Juyeon sebagai pemeran utamanya, seperti skenario saat Changmin ingin menjadikan Juyeon sebagaiㅡ

”....pacar aku, ya…?”

Changmin sama sekali tak menyadari bibirnya telah menyuarakan apa yang sedang berlangsung di pikirannya. Alis Juyeon bertaut heran mendengar pertanyaan Changmin. Tangannya perlahan mengambil bola dari tangan Changmin, namun mulutnya juga mengucapkan sesuatu.

“Oke.”

Riuh sorakan dari seluruh lapangan yang sebelumnya hening memekakkan telinga Changmin lalu membawanya kembali ke realita.

Changmin seketika tak sadarkan diri.

“JADI BUKAN MIMPI??? CHANHEE, GUE BENERAN JADIAN SAMA JUYEON???”

“Mana gue tau!? Lo tanya aja langsung ke orangnya.” Chanhee mengurut pangkal hidungnya karena anak itu terus-terusan heboh setelah mengingat apa yang terjadi. Sungguh dirinya malu saat Changmin mengatakan itu di tengah-tengah lapangan basket yang penuh dengan manusia, namun menurutnya Juyeon lebih aneh sudah mengiyakan permintaan Changmin!

Changmin mencoba mengirimi Juyeon pesan karena ia sama sekali tak dapat berkutik saat tadi cowok itu datang untuk menaruh susu dan roti lalu pergi meninggalkannya.

[Changmin] Hai. Ini Changmin yang tadi pingsan. Juyeon, mau nanya- kita jadinya pacaran?

[Juyeon] Iya.

Membaca balasan pesan yang masuk akhirnya membuat Changmin berguling-guling hingga kasur rawatnya berdecit.

“Gue pacaran sama Juyeonnn!!!”

Tidak main-main, besoknya Changmin langsung dijemput Juyeon untuk berangkat ke sekolah. Malam sebelumnya Juyeon menanyakan alamat rumah Changmin supaya ia bisa menjemputnya. Changmin pikir cowok itu hanya basa-basi saja, tapi saat ia menemukan Juyeon di depan rumahnya lengkap dengan helm dan motornya, mulutnya seketika menganga.

“Makasih ya, Juyeon,” ucap Changmin setelah mereka sampai di parkiran sekolah.

Juyeon mengangguk singkat. “Saya ke kelas duluan, ya.”

Belum sempat Changmin menjawab, Juyeon sudah melenggang pergi meninggalkannya yang kebingungan.

Hah- 'saya'? Yang bener aja...

Tiba-tiba berubah status alias naik kasta menjadi pacar cowok yang digandrungi seluruh sekolah membuat Changmin otomatis jadi bahan pembicaraan. Kalau tadinya hanya teman sekelas yang mengetahui ada siswa bernama Changmin, kini bahkan sampai penjaga sekolah pun tahu siapa Changmin ini.

“Oh, yang katanya pingsan habis nembak nak Juyeon basket itu, kan?”

Kurang lebih informasi yang didapat mereka sama. Nembak, lapangan basket, pingsan. Kabar yang kurang elit sebenarnya, tapi Changmin hepi-hepi saja karena keinginannya untuk jadi pacar Juyeon terkabul walaupun dengan cara yang sangat absurd.

Sekarang Changmin jadi punya kebiasaan baru. Tiap istirahat kepalanya menyembul di pintu kelas Juyeon lalu dengan senyum lebarnya ia akan mengajak cowoknya itu ke kantin. Juyeon sempat terlihat kaget, namun akhirnya tetap diikutinya ajakan Changmin.

“Juyeon, mau makan apa?” tanya Changmin riang, memiringkan kepalanya saat melempar pertanyaan.

“Apa aja,” jawab Juyeon. Matanya memindai tiap sudut kantin, mencari tempat yang kosong.

“Hmm, aku pesenin bakso, ya?” usul Changmin yang langsung diangguki Juyeon sebelum cowok itu pergi mencari tempat. Changmin mengerutkan keningnya sejenak lalu beranjak untuk memesan dua mangkuk bakso.

Changmin menepukkan tangannya beberapa kali dengan binar di matanya saat menu mereka sudah terhidang di atas meja, lalu mengacungkan garpunya.

“Selamat makannn!!!”

Juyeon melirik ke arah Changmin yang mulai melahap bola-bola daging itu dengan semangat. Berdeham pelan, Juyeon kemudian mulai menikmati makanannya sendiri. Ia belum pernah memesan menu bakso di kantin ini, ternyata rasanya enak.

Diam-diam Changmin mengamati Juyeon yang sedang fokus pada mangkuknya. Tangannya menyambar botol kecap di atas meja.

“Mau pake kecap, nggak?”

Juyeon seketika mengangkat alisnya lalu menggeleng. “Enggak usah.”

“Oke.” Changmin menaruh kembali botol kecap itu ke tempatnya, lalu beralih menyiduk sambal. “Sambel?”

Lagi-lagi Juyeon menggeleng. “Saya nggak suka pedes.”

“Oh, oke…” Changmin menurunkan tangannya dengan perlahan. Batinnya langsung merutuk.

Argh! Bisa-bisanya gue nggak tau kalo Juyeon nggak suka pedes? Gue fans palsuuu!!! Oke, habis ini bakal gue tambahin di seratus fakta Juyeon.

Changmin mulai merasa jengah karena tidak ada pertukaran percakapan apapun yang terjadi kecuali saat ia menawari Juyeon tadi. Memang aturan saat makan kita tidak boleh banyak bicara, tapi kalau begini rasanya Changmin seperti makan bareng patung pahlawan.

Pahlawan penakluk hatinya Changmin. Hehe.

Kali lain kalau Juyeon sedang tidak ingin ke kantin, ia akan pergi ke perpustakaan. Changmin, sih, hanya bisa mengiyakan walaupun sebenarnya ia tidak pernah menginjakkan kakinya di sana. Pernah, satu kali saat pengenalan fasilitas sekolah masa orientasi.

Changmin berusaha memfokuskan perhatiannya pada deretan kalimat di novel yang diambilnya dengan asal di rak tadi. Baru beberapa menit membaca ia sudah merasa bosan. Changmin menoleh ke arah Juyeon yang tampak serius menekuni bukunya di sebelahnya. Sambil menopangkan kepalanya, Changmin beralih untuk fokus kepada Juyeon daripada bukunya. Lebih menarik.

Merasa ada sepasang mata yang terus melihat ke arahnya, Juyeon akhirnya mengangkat kepalanya. Didapatinya Changmin yang langsung nyengir lebar, memamerkan giginya.

“Kamu nggak baca?”

“Udah tadi dikit. Bosen,” ucap Changmin jujur.

Raut wajah Juyeon langsung berubah. “Kamu nggak suka di perpus, ya?”

“Eh, bukan gitu.” Changmin buru-buru mengibaskan tangannya. “Nggak biasa baca aja. Lebih suka baca webtoon.”

Juyeon mengangguk-angguk.

Webtoon… itu apa?”

HAH? Juyeon nggak tau webtoon!? Dia hidup di mana?

Changmin menganga karena terlalu syok. Ia kemudian langsung menjelaskan secara detail setelah sembuh dari keterkejutannya. Juyeon mendengarkan penjelasan Changmin dengan seksama, membuat Changmin menjadi salah tingkah karena seluruh perhatian cowok itu tertuju padanya.

“Kamu suka baca webtoon kayak apa?” tanya Juyeon setelah ia paham.

“Aku suka baca genre horor!”

Juyeon membuka mulutnya sejenak, mengangguk pelan. “Kamu sukanya baca yang kayak gitu.”

Setelah itu Juyeon kembali fokus pada bukunya tanpa berbincang dengan Changmin lagi, membuat Changmin seketika merasa gelisah.

Aduh, dia ilfeel ya? Tapi gue emang sukanya baca horor. Emang biasanya orang kayak dia baca yang gimana, sih?

Beberapa hari menjadi pacar Juyeon membuat Changmin sedikit banyak menyadari sesuatu. Ia tidak benar-benar tahu soal Juyeon. Semua hal yang ditulisnya tentang cowok itu di bukunya ternyata hanya sebagian kecil yang mungkin banyak orang sudah tahu. Changmin tidak tahu Juyeon tidak suka makan pedas, tidak tahu Juyeon lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca, tidak tahu Juyeon menyimpan makanan kucing di tasnya setiap hari agar ia bisa memberi makan kucing yang ditemuinya di jalanan. Changmin tidak tahu apa-apa selain fakta bahwa Juyeon adalah anak basket yang banyak dikagumi orang.

Selain itu Juyeon terlihat dingin padanya. Setiap Changmin mengajaknya bicara, Juyeon hanya menjawabnya singkat. Dan tidak seperti orang pacaran lainnya, jangankan berpelukan atau hal semacam itu, bergandengan tangan pun tidak pernah. Changmin jadi berpikir apa mereka ini benar-benar pacaran.

“Chan,” panggil Changmin di sela-sela makan siang mereka. Hari ini ia tidak menghampiri kelas Juyeon untuk mengajaknya makan.

“Hmm.” Chanhee masih sibuk mengunyah nasinya.

“Menurut lo aneh nggak sih, Juyeon mau pacaran sama gue?”

“Emang aneh,” ujar Chanhee tanpa basa-basi.

Changmin seketika mencebikkan bibirnya. “Aneh, ya?”

“Ya menurut lo aja. Dia nggak kenal sama lo sebelumnya, terus tiba-tiba ngeiyain ajakan lo buat pacaran. Menurut gue aneh?”

“Iya, sih…” Wajah Changmin langsung berubah murung. “Kira-kira kenapa ya, dia ngeiyain gue waktu itu? Apa jangan-jangan… dia cuma nggak enak karena gue nembak dia di depan banyak orang?”

Chanhee menjentikkan jarinya keras. “Bisa jadi!”

Changmin langsung menaruh kepalanya di atas kedua lengannya yang terlipat, merengek di sana. “Channn, jadi Juyeon nggak beneran suka sama gue?? Terus dia pacaran sama gue karena terpaksa???”

“Gue bingung Juyeon jadinya baik apa jahat kalo gini…” gumam Chanhee pada dirinya sendiri sebelum ia menarik lengan Changmin untuk menghadapnya lagi. “Tapi, Changmin. Ini semua baru spekulasi. Lo selama ini ngefans sama Juyeon sampe gue kenyang sama ocehan Juyeon lo sehari-hari. Sekarang lo udah sama dia, jadi nikmatin aja!”

Changmin menghela napas lesu. “Tau deh, Chan. Gue suka Juyeon tapi bukan kayak gini.”

Bel pulang sekolah berbunyi dan Changmin sedikit terkejut mendapati Juyeon menunggu di luar kelasnya. Mungkin cowok itu mencarinya karena tadi Changmin tidak mampir ke kelasnya seperti biasa. Changmin jadi lumayan senang.

“Changmin, saya ada latihan basket. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa?”

Changmin langsung memutar bola matanya kesal. Ia kira Juyeon mencarinya untuk mengajaknya pulang bersama.

“Aku tungguin kamu latihan, deh,” putus Changmin akhirnya.

Melihat Juyeon latihan basket memang sudah jadi rutinitas Changmin, tapi melihat cowok itu latihan dengan statusnya sebagai pacar rasanya berbeda. Changmin duduk di dekat tas ransel milik Juyeon sambil menonton cowoknya itu berlarian mengendalikan bola dan memasukkan ke ring lawan. Ia mengulas senyum tipis saat Juyeon berhasil mencetak poin lalu berseru senang bersama teman-temannya. Juyeon memang terlihat paling bersinar di lapangan basket, alasan mengapa Changmin jatuh hati waktu itu.

“Ini, minum.” Changmin mengulurkan sebotol air dingin yang dibelinya di kantin tadi saat latihan masih berlangsung. Juyeon menerimanya dengan sedikit ragu.

“Makasih.” Setelah Juyeon menghabiskan hampir setengah isi botol, ia bertanya kepada Changmin. “Kamu nggak mau pulang aja? Saya masih lama latihannya.”

Changmin mendesah. “Kan, aku pulangnya bareng kamu.”

“Oh…” Juyeon mengangguk kaku sebelum ia kembali ke lapangan atas panggilan kapten tim. Meninggalkan Changmin yang semakin dilanda rasa galau karena sikap Juyeon menunjukkan cowok itu tidak mau berlama-lama berada dekat Changmin.

Mengikuti langkah Juyeon ke parkiran membuat pikiran Changmin dipenuhi ketidakpastian dan keinginannya untuk menanyakan sesuatu pada Juyeon.

“Juyeon.” Panggilan Changmin serta-merta menghentikan langkah Juyeon. Cowok itu membalikkan badannya seraya mengangkat alisnya. “Kamu… kamu kenapa mau pacaran sama aku?”

Changmin memperhatikan raut wajah Juyeon yang tiba-tiba mengeras.

“Kamu nggak kenal sama aku, kan? Terus kenapa kamu iyain aku waktu itu?” cecar Changmin.

“Saya-”

Melihat Juyeon tergeragap untuk menjawab pertanyaannya membuat Changmin ingin menangis. Dugaannya ternyata benar bahwa Juyeon hanya terpaksa memacarinya.

Changmin seketika berjongkok sembari membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya, mulai menangis sungguhan. Juyeon melebarkan matanya kaget melihat Changmin yang tiba-tiba menangis di depannya.

“Ch- Changmin, jangan nangis.”

“Kita, tuh, nggak kayak orang pacaran. Kamu cuek banget sama aku. Jujur, kamu terpaksa kan jawab iya pas aku nembak kamu di lapangan basket? Biar aku nggak malu?”

Tidak ada jawaban dari mulut Juyeon hingga Changmin mendongakkan kepalanya mendesak cowok itu bersuara.

“Iya, sih…” ucap Juyeon akhirnya.

Changmin membenamkan kepalanya lagi, tangisnya semakin keras. “Tuh, kan, benerrr??? Kamu terpaksa jadi pacar akuuu!!”

Juyeon melangkahkan kakinya mendekati Changmin, kedua tangannya terhenti kaku di udara karena ia tidak tahu bagaimana menenangkan cowok yang menangis di hadapannya ini.

“Changmin, maksud saya bukan gitu…”

Serentak Changmin bangkit berdiri mengagetkan Juyeon. Kedua matanya sudah merah karena tangis.

“Tuh, kamu ngomong sama aku aja pake 'saya'. Kayak ngomong sama guru! Aku ini pacar atau guru kamu??”

Juyeon mengamati Changmin yang mulai melangkahkan kakinya cepat melewatinya. “Changmin, kamu mau ke mana?”

“Aku pulang sendiri aja!”

Sudah hampir seminggu Chanhee melihat Changmin tidak bersemangat lagi seperti biasanya. Nama Juyeon pun tak lagi terdengar dari mulutnya.

“Nanti ada pertandingan basket, tuh. Mau liat, nggak?”

“Nggak,” jawab Changmin singkat seraya menyambar tasnya sebelum beranjak pulang. Chanhee tidak tahu masalah apa yang terjadi antara Changmin dan Juyeon, tapi melihat sahabatnya itu tak lagi antusias membicarakan si anak basket nomor sebelas membuatnya sedikit sedih.

Changmin sebenarnya hanya merasa bingung pada dirinya sendiri. Dipikir-pikir lagi, ini semua adalah salahnya. Membangun imajinasi atas Juyeon dari secuil informasi yang diketahuinya tanpa benar-benar mengenal cowok itu. Sekarang saat semuanya tak sejalan seperti bayangannya, Changmin malah marah pada Juyeon. Tapi, kenapa cowok itu tak menolaknya kala itu di lapangan basket? Hanya karena sungkan? Memangnya Changmin siapa sampai Juyeon harus merasa tidak enak padanya?

“Dasar nyebelin!” Changmin menendang kerikil yang kemudian membentur ujung sepatu milik seseorang. Changmin seketika berhenti. Saat ia perlahan mengangkat wajahnya, dahinya langsung bertemu dengan sensasi dingin.

Juyeon mengulurkan satu cup es krim.

“Suka es krim, kan?”

Changmin menyambar es krim itu dari tangan Juyeon seraya menghela napas. “Suka.” Ia melihat sekilas pada wadahnya dan bertanya-tanya dari mana Juyeon tahu rasa es krim favoritnya.

“Changmin, saya mau ngomong sesuatu.”

Keduanya duduk di bangku panjang dekat taman belakang sekolah. Sepi saat jam pulang sekolah begini.

“Kamu bukannya ada pertandingan nanti?” tanya Changmin berusaha terdengar acuh tak acuh sambil menikmati es krimnya.

“Iya…” balas Juyeon lambat, ia kemudian melanjutkan. “Saya nggak mau tanding kalo kamu nggak nonton.”

“Hah?” Changmin menolehkan kepalanya cepat. Heran dengan ucapan Juyeon barusan.

“Changmin, saya-” Juyeon menjeda kalimatnya untuk menarik napas dalam-dalam. “Sebenernya saya udah lama merhatiin kamu. Surat-surat dari kamu juga saya simpen. Surat yang ada stiker senyumnya, sama kayak pin di tas sama seragam kamu. Saya juga sering liat kamu di antara anak-anak yang nonton basket.”

Changmin sama sekali tidak dapat bersuara. Semua pernyataan dari Juyeon bertubi-tubi menyerang kesadarannya, merasa ini hanyalah mimpinya di siang bolong seperti biasanya.

“Soal di lapangan basket itu, memang saya terpaksa bilang iya. Karena saya sebenernya pengen kenalan dulu sama kamu, bukan langsung pacaran. Tapi otak saya nggak bisa mikir. Saya kaget kamu tiba-tiba bilang begitu. Maaf, ya?” Juyeon mencoba membaca ekspresi wajah Changmin yang masih belum menanggapinya. “Saya sebenernya takut kalo kamu jadi nggak suka sama saya, karena yang kamu tulis di surat tentang saya itu bukan semuanya yang kamu tahu. Maaf kalo saya nggak kayak yang ada di pikiran kamu. Saya belum pernah pacaran juga, jadi saya nggak tahu gimana caranya memperlakukan kamu sebagai pacar. Saya selalu nervous kalo di deket kamu. Maaf kamu jadi nangkepnya lain.”

“Juyeon… kamu…”

“Tapi saya beneran suka sama kamu, Changmin.”

Wadah es krim Changmin yang isinya sudah meleleh itu terjatuh ke tanah. Changmin benar-benar tertegun tak mempercayai apa yang barusan didengarnya. Ini Lee Juyeon, cowok basket nomor sebelas yang selalu menghiasi buku hariannya. Dan barusan apaㅡ cowok itu bilang suka padanya!?

“Kamu nggak lagi mabok kan, Juyeon? Atau aku yang mabok, ya?” Changmin memukul pelan pelipisnya sendiri supaya ia sadar.

“Saya nggak suka minum-minum kok, Changmin,” jawab Juyeon serius. Mau tak mau membuat Changmin mendenguskan tawa tak percaya karena cowok ini sangat… polos?

Sekarang Changmin terheran karena Juyeon tiba-tiba memejamkan matanya erat. Lama Changmin hanya menunggunya tak melakukan apa-apa.

“Juyeon, kamu ngapain?”

Juyeon membuka satu matanya untuk mengintip Changmin. “Saya- mau nyium kamu.”

Changmin seketika terbelalak. “Mau nyium apa mau main petak umpet? Kalo aku kabur gimana? Kamu mau nyium tembok?”

“Habis temen saya bilang kalo mau ciuman harus tutup mata dulu.” Juyeon menggaruk kepalanya bingung.

Changmin mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan tawa. Pelan-pelan ia mengulurkan kedua lengannya untuk meraih sisi wajah Juyeon sebelum memberikan kecupan singkat pada bibir cowok itu. Juyeon mengerjapkan matanya kaget atas aksi Changmin yang tiba-tiba itu.

“Mulai sekarang kamu aku training dulu, deh. Buat jadi pacar.”

Juyeon merekahkan senyum mendengar ucapan Changmin.

“Kamu nanti mau nonton sa- eh, aku tanding?”

Changmin tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya.

“Oke! Saya jadi semangat kalo ada kamu yang nonton. Sekarang saya nggak perlu pusing lagi soal kamu yang jadi pacar saya. Kamu mau bantuin saya jadi pacar yang baik kan, Changmin? Eh- barusan aku ngomong 'saya' lagi, ya?”

Changmin menerima uluran tangan Juyeon yang mengajaknya berdiri. Ia akhirnya memecah tawa atas perilaku Juyeon yang menurutnya sangat lucu, yang tidak pernah ia ketahui selama bertahun-tahun mengagumi Juyeon dalam diam.

Tapi tidak apa-apa, sepertinya menjadi pacar Juyeon si cowok basket nomor sebelas akan menjadi suatu petualangan yang asyik.

ㅡfin.

(feel free to send your feedbacks here https://curiouscat.qa/gidigidiup)

cw // mention of abuse

Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.

Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.

Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.

Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.

Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.

Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.

Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.

Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.

Sial, kenapa dia harus menangis di sini?

Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.

“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”

Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.

Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.

“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.

Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.

Ji Changmin.

Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.

Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.

Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?

Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?

“Biar nggak kena pukul.”

Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.

“Ya udah, lanjutin.”

Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.

Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.

Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.

“Soobin! Ke mana aja?”

Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa emangnya?”

“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”

Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.

“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.

“Hm?”

“Ada luka yang baru, nggak?”

Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.

“Selalu ada, Soobin.”

Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.

Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?

Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.

Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.

“Soobin, ayo.”

Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.

Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.

Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.

Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.

They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.

To freedom.

I say “Run” Laugh like you've gone mad *Goodbye to tears, time to say “Run”” Never look back In my two hands, hunnit bands I'm a loser

cw // mention of abuse

Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.

Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.

Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.

Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.

Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.

Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.

Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.

Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.

Sial, kenapa dia harus menangis di sini?

Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.

“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”

Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.

Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.

“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.

Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.

Ji Changmin.

Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.

Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.

Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?

Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?

“Biar nggak kena pukul.”

Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.

“Ya udah, lanjutin.”

Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.

Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.

Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.

“Soobin! Ke mana aja?”

Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa emangnya?”

“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”

Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.

“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.

“Hm?”

“Ada luka yang baru, nggak?”

Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.

“Selalu ada, Soobin.”

Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.

Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?

Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.

Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.

“Soobin, ayo.”

Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.

Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.

Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.

Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.

They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.

To freedom.

I say “Run” Laugh like you've gone mad *Goodbye to tears, time to say “Run”” Never look back In my two hands, hunnit bands I'm a loser

cw // mention of abuse

Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.

Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.

Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.

Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.

Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.

Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.

Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.

Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.

Sial, kenapa dia harus menangis di sini?

Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.

“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”

Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.

Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.

“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.

Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.

Ji Changmin.

Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.

Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.

Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?

Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?

“Biar nggak kena pukul.”

Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.

“Ya udah, lanjutin.”

Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.

Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.

Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.

“Soobin! Ke mana aja?”

Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa emangnya?”

“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”

Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.

“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.

“Hm?”

“Ada luka yang baru, nggak?”

Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.

“Selalu ada, Soobin.”

Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.

Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?

Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.

Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.

“Soobin, ayo.”

Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.

Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.

Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.

Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.

They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.

To freedom.

I say “Run” Laugh like you've gone mad Goodbye to tears, time to say “Run” Never look back In my two hands, hunnit bands I'm a loser

cw // mention of abuse

Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.

Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.

Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.

Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.

Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.

Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.

Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.

Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.

Sial, kenapa dia harus menangis di sini?

Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.

“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”

Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.

Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.

“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.

Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.

Ji Changmin.

Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.

Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.

Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?

Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?

“Biar nggak kena pukul.”

Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.

“Ya udah, lanjutin.”

Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.

Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.

Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.

“Soobin! Ke mana aja?”

Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa emangnya?”

“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”

Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.

“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.

“Hm?”

“Ada luka yang baru, nggak?”

Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.

“Selalu ada, Soobin.”

Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.

Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?

Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.

Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.

“Soobin, ayo.”

Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.

Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.

Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.

Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.

They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.

To freedom.

I say “Run”

Laugh like you've gone mad

Goodbye to tears, time to say “Run”

Never look back

In my two hands, hunnit bands

I'm a loser

cw // mention of abuse

Kutatap selembar kertas dengan dua coretan merah itu lekat-lekat. Hanya kurang dua poin menuju nilai sempurna. Beberapa anak yang melewati mejaku menepuk bahuku keras sembari memberikan selamat lalu mulai mengeluh tentang nilai mereka sendiri.

Mengapa mereka memberiku selamat? Aku tidak mendapat nilai sempurna. Anak yang duduk di bangku paling depan itu yang kertasnya bebas dari coretan spidol merah.

Kakiku selalu terasa berat seperti ditimpa batu tiap kali aku kembali di hadapan pintu kayu itu. Semuanya sudah aku putar dalam kepalaku. Melangkahkan kaki melewati batas antara kebebasan dan kekangan, melaporkan semua hal yang bahkan tak pernah datang dari tulusnya lidahku, menerima pujian yang terasa seperti kata-kata bual jika aku sedang beruntung, atau bentakan serta tamparan yang sakitnya sudah bisa aku rasakan bahkan sebelum tangannya menyentuh kulitku.

Dan hari ini rupanya aku sedang tidak beruntung. Perih di pipi dan sudut bibirku membuatku tersadar. Oh, mereka yang tadi memberiku selamat ternyata untuk ini.

Selamat untuk selalu menjadi seseorang yang tak pernah cukup di mata orang lain.

Semua orang menganggapku aneh. Mungkin aku memang aneh. Dibanding mencari tempat yang nyaman untuk belajar, aku selalu memilih tempat di mana orang-orang tak bisa menemukanku.

Kali ini aku bersandar di balik tembok ruangan yang aku sendiri tak tahu apa fungsinya. Namun samar-samar terdengar suara musik dari sana. Aku tidak merasa terganggu. Kubaca bukuku sambil berpura-pura musik itu datangnya dari headset tak kasat mataku.

Suara derap kaki membuatku terkejut. Aku tidak ingin ditemukan oleh seseorang dengan tatapan aneh melihatku berada di tempat yang tidak sewajarnya untuk belajar. Kakiku belum sempat beranjak, tapi seseorang itu sudah menjatuhkan dirinya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak melihatku.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menciptakan suara. Pada saat itu aku mendengar isakannya yang begitu pelan.

Sial, kenapa dia harus menangis di sini?

Tubuhnya semakin mengecil seiring ia membungkukkan punggungnya dalam-dalam untuk meredam suara tangisnya. Tapi aku terlanjur mendengarnya. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku. Atau kucing yang sedari tadi tertidur malas di pinggir sana.

“Kenapa nangis? Buang-buang air mata.”

Aku tidak tahu darimana mendapat keberanian untuk mengucapkannya. Mungkin itu hanyalah kalimat yang selama ini kusimpan untuk diri sendiri.

Aku melihatnya mendongakkan kepala mencari sumber suara. Matanya membulat kaget mengetahui ternyata ia tidak sendirian. Aku hampir mendengus geli karena itu adalah ekspresiku tiap kali orang lain menemukanku di tempat yang paling aneh.

“Siapa yang nangis?” Secepat kilat ia mengusap wajahnya kasar dengan ujung pakaiannya. Ia lalu melirik ke arahku seakan ingin menghakimi apa yang kulakukan di sini. Tapi dia hanya diam saja.

Aku pergi setelah bel masuk berbunyi. Membawa buku di satu tanganku sembari mengingat nama anak itu yang tersemat di seragamnya.

Ji Changmin.

Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang. Sebenarnya, aku memang tidak suka mereka. Tapi kakiku kembali membawaku ke sini. Hanya untuk sekedar melihat anak itu lagi.

Hari ini ada dia lagi. Lalu besoknya. Dan besoknya.

Aku seperti melihat seseorang yang berbeda. Tak ada lagi wajah sedih yang kulihat saat itu. Sekarang ia hanya memamerkan tawa dan binar pada matanya. Apa aku telah bertemu orang lain yang berbeda?

Dia selalu merebut buku yang kubawa lalu dengan nada sombongnya mengatakan kalau semua hal yang ada di situ tidak akan pernah berguna dalam hidupnya. Ia menatapku kemudian bertanya, untuk apa aku belajar?

“Biar nggak kena pukul.”

Ia menatapku aneh. Tapi aku sudah biasa. Ia menyerahkan bukuku kembali.

“Ya udah, lanjutin.”

Aku tidak tahu kenapa aku merasa kesal ia mengatakan itu padaku. Aku kesal kenapa ia tidak menyuruhku berhenti, atau mengomeliku. Apapun yang dapat menjadi alasan aku menghentikan semua omong-kosong ini.

Tiap kali aku membaca buku di sana, ia hanya akan duduk lalu melepas kedua buah sepatunya. Membebaskan kakinya yang dibalut plester luka di sana-sini. Aku baru tahu dia adalah anggota klub tari yang ruangannya ada di balik punggungku ini. Aku tidak pernah mengikuti klub seperti itu. Hidupku hanya penuh dengan materi pelajaran dan mengejar nilai sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan.

Hari ini aku tidak pergi ke tempat itu. Tidak ada alasan apapun, hanya malas saja. Tiga hari terlewat sebelum kakiku membawa diriku kembali ke sana. Mungkin, aku ingin melihat apakah ada luka baru di kakinya yang tertutup plester dengan gambar karakter hewan itu. Mungkin, aku hanya ingin melihatnya.

“Soobin! Ke mana aja?”

Aku tidak biasa ditanyai dengan pertanyaan yang terkesan menyimpan kekhawatiran. Tidak pernah ada yang seperti itu kepadaku, jadi aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa emangnya?”

“Aku kira kamu kenapa-kenapa.”

Aku tidak suka orang-orang. Tapi dia terdengar tulus. Aku memberikan senyum kaku karena tidak biasa menunjukkannya pada orang lain.

“Kaki kamu nggak papa?” Aku balik bertanya.

“Hm?”

“Ada luka yang baru, nggak?”

Ia mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum geli. Dadaku tiba-tiba berdesir aneh.

“Selalu ada, Soobin.”

Perih di wajahku lagi. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi entah mengapa kali ini ada perasaan lain yang menggerogoti hatiku. Rasa marah.

Bertemu Changmin membuatku sadar bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti ini. Jika Changmin bisa memberikanku sesuatu yang kuinginkan, kenapa mereka tidak?

Aku marah. Kertas dengan satu coretan merah itu kurobek di depan wajahnya. Kulemparkan tasku hingga semua buku-bukuku berserakan ke lantai. Aku memutar tubuhku lalu beranjak pergi. Aku tidak peduli.

Dalam kacau hidupku kutemukan dia. Meski seperti bercermin atas luka yang kami miliki. Namun wajahnya yang lelah itu tetap membawa senyum cerah. Peluh membasahi ujung-ujung rambutnya dan aku baru melihat ada goresan luka di tangannya yang terulur padaku.

“Soobin, ayo.”

Entah lentera di matanya, harapan yang bergantung di sudut-sudut bibirnya, atau janji yang tersemat pada uluran tangannya.

Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya berlari.

Jauh. Semakin jauh. Jauh sekali.

Changmin doesn't care if his bare feet hurt from running too hard. He had thrown his shoes far far away. And Soobin doesn't care if the wind touches his skin in not so pleasant way.

They both holding each other's hand firmly. Running to God knows where. And laughing between their breath.

To freedom.

I say “Run”

Laugh like you've gone mad

Goodbye to tears, time to say “Run”

Never look back

In my two hands, hunnit bands

I'm a loser