purplish

anak itu selalu datang padanya dengan luka di sana sini. changmin.

juyeon sudah kerap kali mengatakan, kabur saja kalau tidak mau melawan. tapi changmin tetap memilih untuk berdiam menerima hantaman dari kepalan tangan-tangan tak berhati. dari makian hingga tendangan di kepala semua diterima changmin.

“kenapa nggak dilawan?” changmin hanya menggeleng. wajahnya lebam, tapi ia tidak menangis. hanya matanya memerah. entah amarah, atau air mata yang tertahan. ia selalu seperti itu, seperti benda mati yang dipermainkan sana sini. tidak ada emosi.

juyeon melepas rangkuman tangannya dari changmin, beralih menjangkau kotak obat di dekatnya. hati-hati sekali ia mengobati luka di tangan changmin. yang kecil memerhatikannya dengan seksama, ekspresinya melunak. bibirnya bergerak kecil membentuk apa yang hampir bisa disebut senyum.

“terima kasih.”

juyeon menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan obat merah, memandangi changmin dengan raut wajah yang menyiratkan lelah.

“changmin, aku nggak bisa terus-terusan ngerawat kamu kayak gini.”

changmin memiringkan kepalanya. “kenapa?”

“aku nggak bisa selalu ada kalau kamu butuh. kamu harus bisa jaga diri sendiri. kalau kamu ketemu mereka, kamu puter balik. lari. lari sekenceng mungkin, ke rumah.”

“ke rumah juyeon.”

juyeon menarik napas dan menghelanya cepat.

“ke rumah kamu, changmin.”

mendengar koreksi dari juyeon membuat changmin menurunkan bahunya. raut wajahnya sedih.

“tapi di sana nggak ada juyeon. ada papa, tapi papa marahin changmin kalau changmin di rumah.”

juyeon meletakkan kedua tangannya pada bahu changmin, memberinya tenang. “paling engga kamu aman di sana. nggak ada yang mukulin kamu.”

“papa pukul changmin juga,” ucapnya pelan.

lagi-lagi juyeon mendesah, kali ini kepalanya tertunduk dalam. changmin tidak perlu merasakan kejamnya dunia, seharusnya ia tidak perlu hidup di dunia yang tidak ramah padanya. kenapa semesta menempatkannya di tengah-tengah kacau yang memiliki duri untuk menyayat setiap damainya?

“iya, boleh.” juyeon mengangkat kepalanya, tersenyum melalui sorot matanya. “changmin boleh lari ke rumah juyeon. nanti kalau ibu bukain pintu waktu aku ngga ada, bilang kamu temen juyeon, disuruh juyeon buat nunggu di kamar. kamu sembunyi di kamar juyeon, ya?”

changmin mengangguk cepat, perih di wajahnya sudah tidak terasa.

kelas tambahan setelah jam terakhir selalu melelahkan. juyeon hanya ingin segera pulang dan makan, lalu menghempaskan badannya di atas ranjang.

mendorong pagar rumahnya terbuka, juyeon mendapati seseorang duduk di dekat pintu rumahnya. changmin. masih berseragam lengkap dan tas di punggung. ia mendongakkan kepalanya dari bermain tanah saat mendengar suara pagar dibuka. matanya melebar melihat juyeon.

“changmin, kenapa nggak masuk?” tanya juyeon.

changmin mengulurkan tangannya, menunjuk pintu rumah juyeon. juyeon melangkahkan kakinya menuju pintu rumah, meraih kenop pintu dan menyadari kalau itu terkunci. ibunya sedang tidak di rumah.

juyeon merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci cadangan untuk membuka pintu. changmin sudah mengekor di belakangnya, mengikuti juyeon yang memasuki rumah.

juyeon mengecek wajah dan badan changmin yang kini duduk di atas ranjang di hadapannya. tidak ada luka serius seperti biasa, hanya sedikit goresan di pipi.

“anak pinter.” juyeon memberikan pujian pada changmin, mengacak rambutnya pelan. ia pergi mengambil plester untuk menutupi luka di pipi changmin.

changmin menatap juyeon dengan mata lebarnya sembari lelaki itu merawat lukanya dengan hati-hati, juyeon baru menangkap sorot mata changmin yang tertuju padanya. seketika ia merasa rikuh, mengalihkan fokusnya kembali pada kegiatannya.

“nah, udah.” juyeon menegakkan punggungnya setelah menepuk lembut plester yang kini membalut luka changmin. changmin menyentuh pipinya pelan, tersenyum kecil.

“makan bareng, yuk? kamu belum makan, kan?” tanya juyeon, sudah beranjak dari duduknya untuk menuju ke dapur. changmin mengangguk, mengikuti langkah juyeon.

kelas tambahan hari itu berakhir lebih lama dari biasanya. segera setelah gurunya mengakhiri kelas, juyeon menghela napas dan buru-buru membereskan bukunya. ia menyeret kakinya menuju pintu kelas, dan mendapati seseorang yang duduk di luar kelasnya.

melihat juyeon, changmin serta merta melebarkan matanya. “juyeon!”

yang dipanggil hanya terpaku menatap pemandangan di depannya. wajah penuh luka, seragamnya kotor oleh tanah.

“changmin.” juyeon merendahkan badannya, memeriksa hidung changmin yang masih meneteskan darah segar ke seragamnya. ia berdecak kesal, menarik tangan yang kecil untuk berdiri dan menyeretnya pergi.

“juyeon-” panggilan changmin tidak dihiraukan, juyeon melangkahkan kakinya cepat menuju suatu ruangan. ia mengetuk pintunya keras sebelum membiarkan dirinya masuk.

seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk mengerjakan sesuatu di balik mejanya terkejut, ia melepaskan kaca matanya.

“ya?”

juyeon menelan ludah sebelum mulai angkat bicara.

“maaf, pak. tapi saya rasa anak bapak dan teman-temannya sudah keterlaluan. ini bukan pertama kalinya mereka memukuli teman saya seperti ini.”

changmin bersembunyi di balik punggung juyeon, memegangi ujung seragamnya erat.

lelaki yang menyandang status sebagai kepala sekolah itu akhirnya bangkit dari kursinya, terlihat malas mengurusi hal seperti ini lagi. ia mengamati juyeon tajam, sebelum bertanya.

“mana teman kamu?”

changmin semakin mengecilkan badannya di belakang juyeon, bergetar ketakutan.

“changmin,” panggil juyeon, mendorongnya untuk berbicara. “bilang kamu udah diapain aja sama mereka.”

kepala sekolah beralih memandangi changmin, menunggu dengan jenuh. tapi changmin menolak untuk membuka mulut, ia hanya menggenggam ujung seragam juyeon erat.

“jadi, bagaimana?” desak kepala sekolah. “jangan asal membuat asumsi atau saya bisa menghukum kalian berdua.”

changmin menegang mendengar ancaman dari kepala sekolah barusan, ia menarik-narik seragam juyeon.

“juyeon, pulang...” bisiknya pelan.

juyeon membuka mulutnya sebelum mengatupkannya lagi, kehabisan kata-kata karena ia tidak ingin changmin dihukum. akhirnya ia terpaksa menuruti changmin untuk tidak melanjutkan ucapannya. juyeon membungkukkan sedikitnya badannya.

“permisi, pak. selamat siang.”

changmin melirik ke arah kepala sekolah takut-takut, sembari mengikuti juyeon keluar dari ruangan.

langkah kaki juyeon membawa keduanya ke ruang kesehatan. ia harus menghentikan pendarahan di hidung changmin terlebih dahulu.

“duduk.” juyeon menyuruh changmin untuk mengambil tempat sementara ia mencari obat dan kapas. setelah menemukan yang dicarinya, segera ia menghampiri changmin.

juyeon menempelkan kapas di salah satu lubang hidung changmin yang masih mengalirkan darah.

“pegang sini,” suruh juyeon.

changmin menurut, mengulurkan tangannya untuk menahan kapas di hidungnya. sementara itu juyeon berusaha mengobati luka di wajah changmin.

“kan aku udah bilang, kalo ketemu mereka kamu langsung lari. ke rumah aku. kemarin aku udah kasih kamu kunci cadangan, kan?”

nada bicara juyeon terdengar dingin.

“mereka... bilang yang nggak baik soal juyeon,” ucap changmin. “changmin marah.”

“hah?” juyeon mengerutkan dahinya.

“mereka bilang... juyeon sama bodohnya kayak changmin, karena juyeon temenan sama changmin. itu nggak bener, juyeon paling pinter di sekolah. changmin nggak suka, changmin marah.”

changmin menurunkan tangannya yang sedari tadi menahan kapas di hidungnya, pendarahannya sudah berhenti.

“juyeon, changmin pukul mereka tadi,” ucap changmin bersemangat, matanya melebar oleh binar. ia menunggu juyeon untuk memberikan pujian padanya.

namun yang dilakukan juyeon selanjutnya adalah menghempaskan kapas yang digunakannya untuk membersihkan luka di wajah changmin, keras ke lantai. ia menghela napas kesal, meraih kedua bahu changmin.

“changmin, ngapain sih kamu kayak gitu? siapa yang peduli mereka ngomong apa soal aku? kamu tuh bisa nggak sih, jaga diri sendiri? kalo kamu emang pengen berantem sama mereka ya udah berantem aja sekalian!”

kali ini juyeon benar-benar marah, ia melepaskan genggamannya pada bahu changmin membuat anak itu sedikit terhempas ke belakang. kemudian ia menutupi wajahnya sendiri dengan telapak tangan, mulai terisak pelan.

changmin terkejut, ia menatap juyeon yang diselimuti oleh emosi. ia tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak pernah ia melihat juyeon seperti ini. juyeonnya selalu hangat, juyeonnya selalu melindungi. namun sekarang juyeon terlihat dingin dan rapuh di depannya.

“juyeon...” panggil changmin pelan. ia takut, tapi ia teringat satu hal yang sering dilakukan ibunya padanya dahulu. jadi changmin mengulurkan kedua lengannya, melingkari juyeon. memeluknya dari samping.

terakhir, ia memberi satu cium pada pelipis juyeon.

“juyeon, jangan nangis...”

setelah hari itu, juyeon jarang melihat changmin lagi di sekolah. tidak juga di luar kelasnya setelah jam tambahan. tidak di mana-mana.

juyeon kesal, tapi ia juga khawatir. ia takut telah terjadi apa-apa pada changmin. jadi ia memutuskan untuk pergi ke rumah changmin sepulang sekolah.

juyeon mengetuk pintu rumah changmin. sekali, dua kali. tidak ada jawaban.

juyeon hampir menyerah dan berbalik untuk pulang saat ia tak mendapat jawaban setelah lima kali ia mencoba mengetuk pintu.

“ada apa?”

itu ayah changmin, menyipitkan matanya menatap juyeon.

“maaf, apa changmin ada di rumah?”

ayah changmin mengerutkan keningnya, mengamati juyeon dari atas ke bawah. “kamu siapa?”

“saya juyeon, temennya changmin.”

“ada urusan apa sama anak saya?” kali ini lelaki itu melipat tangannya, bersandar pada bingkai pintu.

juyeon berusaha mencari alasan yang tepat.

“saya cuma mau tahu apa changmin baik-baik aja, saya jarang liat dia di sekolah beberapa hari ini.”

“kamu temennya tapi nggak tahu changmin kenapa? bener kamu temennya?” selidik ayah changmin.

juyeon buru-buru mengangguk. “bener, om. maaf, terakhir kali ketemu sama dia saya mungkin bicara agak kasar. saya mau minta maaf, saya juga khawatir sama dia. saya pengen ketemu sama dia.”

“nggak usah, changmin udah nggak tinggal di sini lagi. kamu pulang aja.”

juyeon berusaha mencegah ayah changmin untuk tidak menutup pintu rumahnya.

“tunggu, om! changmin udah nggak di sini? dia ke mana?” tanya juyeon.

“sudah bukan urusan kamu!”

“om, tolong kasih tahu saya changmin di mana sekarang?” desak juyeon.

ayah changmin tampak kesal, ia berdecak pelan.

“changmin diambil sama neneknya.”

juyeon tidak sempat bertanya lagi karena ayah changmin sudah mengunci pintu rumahnya, membiarkan juyeon terdiam di tempatnya. tak tahu harus apa atau mencari tahu ke mana lagi.

sudah seminggu berlalu dan tak seharipun juyeon tidak memikirkan changmin. ia tidak tahu, mungkin saja benar changmin tinggal bersama neneknya. mungkin saja neneknya memperlakukan changmin dengan baik, ia ingat changmin pernah bercerita tentang neneknya. atau mungkin saja ayah changmin berbohong.

changmin, kamu di mana?

juyeon hanya mendapat informasi kalau changmin sudah keluar dari sekolah saat ia berusaha bertanya pada wali kelas changmin. tidak ada informasi ke mana changmin pindah sekolah atau apapun.

setiap malam juyeon merutuki dirinya sendiri. mungkin memang dia yang membuat changmin pergi. mungkin memang dia yang menyakiti changmin. changmin hanya ingin membelanya, tapi ia malah memarahinya. namun juyeon benar-benar khawatir, ia tidak peduli dikatai bodoh karena berteman dengan changmin. ia tidak peduli dikatai apapun, tapi ia tidak bisa terus-terusan melihat changmin mendapat luka di sana sini.

“changmin, ayo balik... balik ke aku. aku janji nggak akan marahin kamu lagi, aku janji bakal jagain kamu kalo ada yang jahat sama kamu. tapi tolong, balik ke sini changmin.”

malam itu juyeon bermimpi changmin memeluknya, membisikkan kata-kata menenangkan.

kelas tambahan berakhir lebih cepat dari biasanya. tapi juyeon tidak bersemangat untuk pulang. ia keluar dari kelasnya, melempar pandangan pada bangku panjang yang kini kosong. memutar kembali memori saat changmin duduk di sana, menunggunya.

juyeon melangkahkan kakinya sembari memikirkan apa anak-anak itu menemukan target baru setelah changmin pergi. atau apakah mereka bahkan sadar jika changmin tak lagi bersekolah di situ.

juyeon menghela napas berat. everything sucks.

ia menendang kerikil dalam perjalanannya pulang. beberapa meter sebelum sampai di rumahnya, ia menghentikan langkahnya. juyeon menatap lurus ke depan. seseorang dengan punggung yang amat dikenalinya, berdiri diam di depan pagar rumahnya.

merasa seperti bermimpi, juyeon menggerakkan kakinya lagi. setengah berlari.

juyeon melihat seseorang itu menolehkan kepalanya, terkejut mendapati juyeon yang berlari ke arahnya. ia buru-buru beranjak pergi.

“changmin!” secepat kilat juyeon menangkap pergelangan tangan lelaki itu, mencegahnya untuk pergi.

changmin menatap tangannya yang dicengkeram erat oleh juyeon yang tersengal di depannya, mencoba mengatur napasnya.

“changmin,” panggil juyeon lagi. “changmin, kamu ke mana aja?”

changmin tidak menjawab, dan juyeon baru menyadari seragam sekolah yang dikenakan changmin. itu sekolah di kota lain, jauh dari sini.

“changmin...” juyeon menggenggam kedua pergelangan tangan changmin, menundukkan kepalanya. “aku minta maaf... aku nggak bermaksud buat marah sama kamu.”

“enggak-”

juyeon mengangkat wajahnya saat changmin akhirnya bersuara.

“juyeon... changmin bikin juyeon sedih.”

menggelengkan kepalanya cepat, juyeon menarik changmin ke dalam pelukannya.

“nggak, changmin nggak pernah bikin juyeon sedih,” bantah juyeon, menyelipkan jemarinya pada helaian rambut changmin.

“tapi changmin bikin juyeon nangis-” lirih changmin dalam pelukan juyeon. juyeon menghembuskan napas, hatinya sakit.

setelah melepaskan pelukannya, juyeon meraih kedua sisi wajah changmin dan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi matanya.

“kamu tinggal di mana sekarang?” tanyanya halus.

changmin menggerakkan bibirnya sejenak, bingung untuk menjawab.

“kamu sama nenek sekarang? iya?” tanya juyeon lagi.

baru kemudian changmin mengangguk pelan. juyeon akhirnya bisa menghela napas lega. setidaknya changmin berada di tempat yang aman.

“kenapa nggak bilang sama aku kalo kamu pindah? aku nyariin kamu ke mana-mana. aku dateng ke rumah kamu juga.”

mendengar itu changmin melebarkan matanya.

“juyeon ke rumah changmin? ketemu papa? juyeon dimarahin papa?”

“engga, changmin. aku nggak dimarahin. papa kamu yang bilang kalo kamu dibawa sama nenek.”

hari itu juyeon akhirnya tahu kalau changmin tidak pulang ke rumah setelah hari terakhir bertemu dengannya. ia pergi ke rumah neneknya yang berjarak dua jam dari sini. melihat kondisi changmin, neneknya memutuskan untuk membiarkan changmin tinggal di tempatnya. ia juga yang memindahkan sekolah changmin.

“terus- kamu ada apa ke sini? kamu habis dari sekolah, kan? sekolah kamu jauh.”

changmin menggigit bibirnya, berusaha merangkai kata. “changmin- mau lihat juyeon. changmin kangen sama juyeon.”

astaga, changmin.

“aku juga kangen sama kamu, changmin,” ucap juyeon.

“tapi... tapi changmin nggak bisa sering-sering ke sini. changmin mau ketemu juyeon tapi ke sini jauh dari rumah nenek.”

juyeon paham. mulai sekarang mereka tidak akan bisa sering bertemu. dan ia merasa sedih karena itu. tapi kalau artinya changmin menjalani hidup dengan lebih baik, maka ia tidak apa-apa.

“nggak apa-apa, nanti aku yang dateng ke sana. ya?” mata changmin berbinar.

“iya? juyeon mau ke rumah nenek?”

juyeon mengangguk, memberikan senyum pada changmin.

“di sekolah kamu gimana? nggak ada yang gangguin kamu, kan?”

changmin menggeleng. “nggak ada. semuanya baik sama changmin!”

“tapi nggak ada yang sebaik aku, kan?”

pipi changmin bersemburat merah, ia kembali menggeleng pelan.

“nggak ada- yang kayak juyeon...”

“bagus, deh.” juyeon mengacak rambut changmin. “soalnya nanti aku marah kalo kamu nemu yang kayak aku.”

changmin memiringkan kepalanya lucu seperti biasa kalau ia sedang bingung. “kenapa?”

“soalnya...” kali ini juyeon menggenggam kedua tangan changmin, tampak ragu untuk mengucap kalimatnya. “changmin itu orang yang penting di hidupnya juyeon. ibarat bumi, changmin itu matahari yang bisa bikin bumi sama seisinya bisa terus hidup.”

“changmin... matahari?” tanya changmin. juyeon mengangguk. “nanti juyeon kepanasan kalo deket changmin?”

ucapan changmin mau tak mau membuat juyeon tertawa. ia mengusak rambut yang kecil. changmin seputih kertas yang belum ternoda, dan hanya kata-kata indah tak menyakiti yang berhak mewarnai setiap lembarnya. changmin seperti dilahirkan dari awan yang memunculkan pelangi, biasnya lembut bagai tak nyata. juga deburan ombak di sore hari yang menggema, menenangkan.

juyeon tidak pernah merasa egois. namun saat ini ia ingin. ia ingin hanya ia yang changmin datangi untuk sekedar berbagi tangis atau tawa. ia ingin hanya ia yang tahu apa kesukaan changmin akhir-akhir ini. ia ingin menjadi seseorang yang berarti di hidup changmin, sama halnya changmin di hidupnya. bukan hanya sekarang, nanti, selamanya. bahkan jika mereka diizinkan bertemu di kehidupan yang lain.

“juyeon?” bisik changmin pelan saat juyeon larut dalam pikirannya, memeluk keseluruhan changmin dalam kedua lengannya.

“hm?” juyeon menjawab dalam gumaman, enggan melepaskan.

“changmin ada tugas matematika. susah. juyeon bisa bantuin changmin?” tanya changmin masih dalam bisikan. “nanti changmin kasih jelly bekal dari nenek.”

juyeon menyimpan senyum, memberikan satu kecup pada puncak kepala changmin.

“aku bantuin, tapi aku gamau jelly.” juyeon menarik changmin masuk ke dalam rumahnya. changmin mengekor di belakangnya.

“yah, changmin cuma punya jelly. juyeon mau apa?” juyeon tidak menjawab, hanya tetap menahan senyum saat changmin menatapnya bingung.

“yang lebih manis dari jelly.”

sunwoo tidak berpikir dua kali seketika saat eric mengirimkan lokasinya, ia meraih kunci mobil dan bergegas melajukan mobilnya ke sana. di luar sedang hujan dan sunwoo tidak tahu apakah eric punya tempat untuk berteduh di pinggir jalan. ia bahkan tidak tahu kenapa eric ada di sana.

sunwoo mulai melambatkan laju mobilnya saat ia sudah dekat dengan lokasi, matanya menyusuri pinggiran jalan dari balik kaca mobilnya yang berembun karena air hujan. ia buru-buru menginjakkan kakinya pada rem saat matanya menangkap seseorang yang berjongkok di depan ruko yang tutup, memeluk badannya sendiri.

sunwoo mencoba menghubungi eric melalui ponselnya, karena sepertinya anak itu tidak menyadari mobil sunwoo sudah berhenti di depannya. namun eric tetap diam, kepalanya tenggelam dalam kedua lengan yang terlipat. sunwoo beralih membuka jendela mobil di jok sebelahnya, air hujan memercik ke dalam mobil.

“eric!” panggilnya. namun eric tetap tidak mendengar di antara derasnya hujan. sunwoo mendecakkan lidahnya, terpaksa harus turun dan memakai jaket untuk melindungi kepalanya dari hujan.

ia berlari kecil menuju ruko yang bagian depannya sempit, hanya cukup untuk tiga orang berteduh. ia menyampirkan jaketnya di pundak ketika akhirnya ia sampai di dekat eric, menarik lengannya pelan.

“ric,” panggilnya lagi.

eric akhirnya mendongak, mendapati sunwoo di dekatnya. namun masih enggan untuk berdiri.

“ayo pulang,” ucap sunwoo setengah tidak sabar.

rambut dan pakaian eric bagian belakang sudah basah oleh air hujan.

lo ke sini jalan kaki apa gimana, sih? batin sunwoo.

“eric.” sunwoo menggoyangkan lengannya lagi, menyuruh eric untuk berdiri. yang kemudian dituruti oleh eric.

“ayo.” sunwoo menggandeng pergelangan tangannya, berusaha memakaikan jaketnya pada eric untuk menerobos hujan yang kemudian ditepis tangan eric. sunwoo mengamati anak itu dalam diam, batinnya berusaha memahami apa yang sedang dilakukannya.

“nu.” suara eric pelan, hampir teredam oleh derasnya curahan hujan yang ditumpahkan oleh langit. “udah hampir dua bulan...”

“hah?” sunwoo setengah berseru karena ia tidak bisa mendengar jelas suara eric.

“lo sebenernya mau apa sih dari gue, nu?” kali ini eric mengeraskan suaranya, melawan suara hujan. “bilang. lo butuh duit? atau apa?”

merasa terkejut dengan ucapan eric yang aneh, sunwoo menautkan alisnya bingung. “ngomong apa sih lo?”

“nggak mungkin ada orang yang deketin gue tanpa ada alasan.” eric melanjutkan. “kayak yang udah udah, lo butuh apa? cepet ngomong. gue udah capek.”

sunwoo menggelengkan kepalanya karena ia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud eric.

“gue nggak paham maksud lo apa.”

eric mencoba mengatur napasnya, terlihat jelas ia sedang menahan apapun yang menyelimuti hati dan pikirannya saat ini. dan sunwoo hanya bisa memandanginya dengan sorot mata yang menyiratkan pedih sekaligus khawatir.

eric lo kenapa...

“bukan duit?” eric membuka suara lagi. “terus apa? butuh badan gue? ya udah, pake. pake aja sekarang.”

kalimat yang terlontar dari mulut eric mendatangkan perasaan aneh pada sunwoo. batinnya marah mendengar ucapan eric yang ditujukan padanya.

“eric!” hardik sunwoo, mencekal kedua lengan eric dalam genggaman jari-jarinya. ia mengumpat pelan di balik nafasnya, berusaha tidak menyerukannya terang-terangan.

lama mereka terdiam ditemani hujan yang semakin deras. sunwoo mencoba menjernihkan pikirannya kembali, ia tidak mau mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan ia sesali nanti.

sebagai gantinya, perlahan ia menarik tubuh eric dekat dengannya. ia baru menyadari betapa eric gemetar di dalam kurungan kedua lengannya, membuatnya semakin mengeratkan peluk.

“nggak apa... ada gue...” bisik sunwoo pada satu telinga eric. ia terus membisikkan kata-kata menenangkan, berharap agar eric kembali merasa aman. dan mungkin mau bercerita tentang apa yang sudah terjadi.

beberapa menit kemudian akhirnya eric mengeluarkan isak, yang teredam pada pundak sunwoo. tangisnya bercampur dengan air hujan yang sudah lebih dulu membasahi baju sunwoo. tangisnya memberi retak pada hati sunwoo.

“nu... gue capek. gue capek diperlakuin kayak barang,” lirih eric. “they used me and then dumped me.

selanjutnya menjadi cerita yang hanya sunwoo yang simpan, untuk semua luka yang eric rasakan biar sunwoo yang membuat pulih. orang-orang yang datang padanya untuk kesenangan semata atau memberi luka, biar sunwoo yang menyuruh mereka untuk tidak datang kembali. eric hanya tinggal berhenti mencari, karena sunwoo sudah di sini.

dan sekarang sunwoo paham, mungkin memang selama ini eric belum mengenal apa itu arti kata tulus.

eric tidak sering bertemu dengan individu yang sederhana. tidak ada topeng, tidak ada senyum palsu, kata-kata yang menyimpan bual.

sunwoo sangat sederhana, terlalu sederhana untuk eric yang kerap berhadapan dengan orang-orang yang datang padanya demi mengharap sesuatu. atau kebahagiaan semu.

eric tidak biasa membalas senyum seseorang tanpa menebak apa maksud di baliknya. eric terbiasa memberikan hangat peluknya hanya agar yang lain tetap tinggal. tapi sunwoo di sini, tanpa eric perlu mengulurkan tangan. ia di sini, di sisinya tanpa ia meminta untuk tinggal. dan tidak pergi meninggalkan jika bahagia sesaat sudah didapat.

jika sunwoo bilang ia suka malam hari, bukan berarti kamu harus memberinya seluruh bulan dan bintang. jika sunwoo bilang ia suka minum teh di pagi hari, bukan berarti ia akan menolak kopi jika kamu memberinya. sunwoo begitu mudah, terlalu mudah bagi eric. ia terus mencari-cari celah.

tapi sunwoo terlalu mudah. jika sunwoo bilang ia suka eric, tidak ada hal lain yang harus eric khawatirkan. ia hanya suka pada eric.

“ric?”

eric mengerjapkan matanya, kembali sadar dari larut pikirannya.

“ngapain bengong? abisin tuh makannya.”

“iya.”

ia kembali melanjutkan kegiatan makannya, sembari mengamati kendaraan yang lalu lalang. sunwoo duduk di sampingnya. dan dunia tiba-tiba terasa aman bagi eric.

asal ada sunwoo.

“nu, itu apaan deh?” eric menunjuk ke kejauhan, membuat sunwoo harus menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk eric.

“apaan?” tanya sunwoo yang tak menemukan apapun.

“sunwoo,” panggil eric. seketika sunwoo menoleh dan setusuk sate sudah nangkring di pipinya. sunwoo menghela napas.

“eric-”

eric terbahak melihat ekspresi kesal sunwoo karena kotor di pipinya. ia memegang pergelangan tangan sunwoo sementara tangannya yang lain berusaha membersihkan pipi sunwoo, masih sambil tertawa.

sunwoo tidak mengatakannya terang-terangan tapi ia lega, sangat lega mendengar dan melihat tawa eric lagi. itu yang membuatnya jatuh saat pertama kali mereka bertemu, saat ia tidak sengaja menumpahkan kuah bakso pada kemeja eric. dan anak itu masih mampu memberinya senyum.

eric cerah.

secerah mentari di langit pagi hari dengan sedikit awan, atau mentari yang mengintip dari balik awan sehabis hujan. sunwoo jarang bertemu seseorang yang cerianya mampu memberikannya bahagia. tapi ia bertemu eric. yang senyumnya sudah bisa menghilangkan gelisah, yang ucapannya bisa membuat sirna semua gundah, yang keberadaannya membuat sunwoo sampai pada titik realisasi. bahwa ia sudah banyak melihat kisah orang lain, belajar untuk menghindari kesalahan. namun ternyata hidup adalah simulasi untuk berproses, belajar. dan untuk sunwoo adalah eric.

entah apakah ada eric eric selanjutnya bagi sunwoo, tapi untuk sekarang, eric yang saat ini ada di sampingnya adalah semua pelajaran di kehidupan pertamanya. untuk patah hati pertama dan bahagia pertama, biar sunwoo alami sekarang.

“nu,” panggil eric yang dijawab sunwoo dengan gumaman. “lo masih mau couple-an baju sama gue, nggak?”

sunwoo menatap eric dengan alisnya yang terangkat, sedikit takjub. namun akhirnya ia memberikan senyum, meraih satu tangan eric untuk digenggam. ia menyandarkan kepalanya pada pundak yang lebih pendek, kembali melanjutkan makannya.

“mau.”

kak, kalo boleh tau berapa banyak orang sih yang bisa dapetin senyum lo cuma-cuma?

dari anjing peliharaan lo sampe bapak tukang jualan roti di deket sekolah, semuanya kebagian senyum.

termasuk gue.

tapi mungkin lo lupa.

banyak orang yang nggak suka hujan, gue salah satunya. hujan bikin baju sama sepatu mereka basah, bikin janji acara mereka batal, bikin harus cari tempat berteduh kalo nggak bawa payung. tapi buat gue, hujan bikin gue inget gimana gue kabur dari rumah. nyelametin diri dari teriakan dua orang yang saling nggak mau ngalah. kepala gue sakit.

di halte itu, kak. gue ketemu lo.

duduk sendiri sambil sesekali kaki lo mainin genangan air di tanah. sepatu lo basah, tapi lo nggak peduli. lo malah ngulurin tangan buat nadahin air hujan yang jatuh.

terus lo liat gue.

seragam gue basah kuyup kena hujan. sepatu gue juga. tas sekolah udah gue tinggal di rumah, jadi seenggaknya buku-buku gue aman, walaupun gue juga nggak terlalu peduli.

lo senyum. samar.

mungkin lo bingung kenapa ada anak satu sekolah sama lo lari-larian ke halte, nggak bawa tas. dan langsung ngambil tempat di sebelah lo tanpa bales senyum lo.

lagi-lagi lo main air hujan.

“hujannya awet.” kata lo waktu itu.

padahal gue lagi nggak ada niatan buat ngobrol, tapi gue seneng lo ngomong kayak gitu. walaupun entah itu ditujuin buat gue apa enggak. gue seneng ada orang yang sadar kalo gue ini ada.

habis itu bus lo dateng dan lo pergi.

kak, dunia tuh kadang ngeselin tapi lo ada di sini.

kadang-kadang papasan di lapangan waktu jam olahraga. lo nggak suka main bola, ya? cuma duduk bareng temen-temen lo sambil minum susu kotak.

kayaknya lo nggak liat gue, atau mungkin udah lupa.

kali lain di halte lagi, tapi nggak hujan. gue yang senyum duluan dan lo bales.

kak, senyum lo manis banget. tapi lo beneran lupa sama gue.

dari kecil gue suka main sepak bola. nurun dari ayah. tapi bunda nggak setuju waktu gue mau ikutan klub sepak bola. ganggu waktu belajar katanya.

tapi gue tetep daftar, karena gue bandel. bunda nggak perlu tau karena gue selalu bilang habis kerja kelompok sama temen. dan berhasil.

gue lari ke halte habis selesai klub, sambil bawa bola di tangan. hujan lagi.

ketemu lo lagi, kak.

“sunwoo.”

gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba gue ngulurin tangan buat ngenalin diri sama lo. tangan gue basah, tapi lo tetep nyambut.

“changmin.”

gue ngasih tau ke lo kalo ini bukan pertama kalinya kita ketemu. inget nggak, lo jawab apa?

“iya, tau kok.”

senyum lagi.

kak, kalo boleh gue pengen nyimpen semua senyum yang udah pernah lo kasih ke gue. cuma buat pengingat aja, kalo masih ada orang yang nganggap eksistensi gue di dunia.

kak, ternyata senyum lo itu cuma sebagian kecil dari banyaknya hal-hal yang pengen gue syukuri.

gue sekarang bukan lagi orang asing yang lo kasih senyum di halte. gue adalah orang pertama yang ngucapin lo ulang tahun, orang pertama yang lo kasih kabar waktu lo menang lomba, orang pertama yang lo datengin waktu lo lagi nggak bisa ngasih senyum cuma-cuma ke orang lain. lo dateng ke gue buat nuker senyum lo sama peluk.

kak, asal lo tau gue nggak pernah minta balasan buat semua peluk yang udah gue kasih. karena lo udah ngasih lebih banyak ke gue.

sekarang hujan udah bukan salah satu hal yang gue benci, kak. masih kesel sih, kalo baju gue basah. tapi gue inget gimana ada orang yang menghargai keberadaan gue di saat gue pikir semuanya abai. kayak dikasih selimut waktu gue kedinginan.

kak, boleh nggak gue jadi orang yang selalu bikin lo senyum? biar senyum lo itu nggak pernah hilang. biar lo selalu bisa ngasih senyum ke gue.

gue, sunwoo, pengen jadi salah satu alasan lo buat berbagi senyum ke orang lain. karena lo nggak pernah tau kak, satu senyum dari lo bisa nyelamatin seseorang.

kak changmin, gue cuma mau bilang, terima kasih udah berbagi senyum ke gue. seseorang yang separuh hidupnya habis buat mengusahakan bahagia pada orang lain.

sudah berjam-jam changmin mengunci diri di kamar dari sepulang sekolah tadi. ia juga belum mengganti seragam yang bagian lengannya sudah berkali-kali digunakan untuk mengelap air matanya. ketukan di pintu oleh kakaknya juga tidak digubrisnya.

pokoknya changmin kesal.

baru ketika bundanya pulang dari kantor dan memanggil changmin yang masih betah mengurung diri di dalam kamar, anak itu akhirnya membuka suara.

“changmin, keluar makan dulu nak.”

“changmin nggak laper bunn. nanti ajaa.”

“kamu ngapain, sih? ada yang gangguin kamu di sekolah?” tanya bundanya lagi.

changmin mencebikkan bibirnya, teringat akan insiden tadi siang. lagi-lagi ia melesakkan wajahnya di atas lengannya dan terisak.

“kak hyunjae nyebelin!”

sore harinya chanhee datang ke rumah changmin untuk mengerjakan tugas kelompok. changmin sudah mengurung diri lagi di kamar setelah akhirnya berhasil dibujuk untuk makan.

“chanhee, masuk dulu. changmin lagi di kamar dari tadi nggak mau keluar. keluar cuma buat makan doang,” ucap bunda changmin.

chanhee menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan informasi yang didapatnya.

“apa lagi ada masalah di sekolah?” tanyanya lagi.

“hmm-” chanhee bergumam, pikirannya tertuju pada satu kejadian yang membuatnya harus menahan tawa. “nggak ada apa-apa kok, tante.”

bunda changmin mengerutkan keningnya. “ya udah, coba kamu temuin anaknya siapa tau dia mau cerita kalo sama temen sendiri.”

“iya, tante.” chanhee berjalan menuju kamar changmin, mengetuk pintu kamarnya.

“changmin. ini gue, buka pintunya.”

changmin mendengar suara chanhee di luar kamar. ia mengeluh dalam hati.

ah, chanhee ngapain pake ke sini sih?

namun terpaksa ia harus membukakan pintu. dan setelah chanhee berhasil masuk dan menyaksikan keadaan changmin, ia menutup mulutnya dengan satu tangan.

“LO NANGIS!?”

jelas-jelas chanhee berusaha untuk tidak terbahak. yang kemudian ia mendapat lemparan bantal dari changmin, menyuruhnya untuk diam.

“ngapain nangis segala, sih?” kali ini chanhee tidak bisa menahan tawanya, ia duduk di pinggir ranjang milik temannya.

“ah, diem lo kalo nggak ngalamin sendiri,” sewot changmin, masih sambil menyedot ingus.

“ya ampun.” chanhee menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mengingat kejadian tadi siang yang hampir membuat heboh satu sekolah. “kak hyunjae nggak bilang apa gitu ke lo? minta maaf?”

changmin mengerucutkan bibirnya, menggeleng. “nggak tau gue nggak ngecek hp dari tadi siang.”

jawaban changmin membuat chanhee mendecakkan lidah, beranjak untuk mencari ponsel changmin. setelah menemukan yang dicarinya, ia melihat bar notifikasi.

“tuh, tiga missed calls sama chat dari kak hyunjae!” chanhee melemparkan ponsel changmin ke atas ranjang.

changmin memandangi ponselnya yang jatuh tepat di dekat kakinya, enggan untuk mengambil. namun pada akhirnya ia mengulurkan tangan untuk meraih benda itu.

changmin menggulirkan layarnya cepat untuk membaca pesan dari hyunjae. chanhee hanya mengamati temannya dalam diam saat akhirnya tangan changmin bergerak untuk mengetikkan balasan.

“changmin berangkat dulu, bun,” pamit changmin setelah menghabiskan sarapannya. ia menyampirkan tas ranselnya di pundak, beranjak keluar dari rumah.

baru dua langkah ia meninggalkan gerbang, matanya sudah bertemu dengan sepeda yang sangat dihapalnya. beserta pemilik yang kini nangkring di atasnya.

“ayok,” ujar si pemilik sepeda.

changmin mengerutkan alisnya tanda kesal. ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan langkahnya lagi, meninggalkan si pemilik sepeda di belakangnya.

“changmin!”

lelaki itu mengejar changmin sambil terburu-buru mengayuh pedal sepedanya.

“changmin, jangan marah dong. kan aku udah minta maaf kemarin.”

changmin akhirnya menghentikan langkah kakinya, menoleh cepat pada si pengendara sepeda warna merah.

“kak, kan kemarin aku udah bilang ngga usah jemput aku!”

hyunjae, si pemilik sepeda merah mengangkat alisnya. pura-pura terkejut.

“iya, ya? kapan kamu bilangnya? aku nggak inget.”

lagi-lagi hyunjae bertingkah seperti itu yang bikin changmin makin kesal. ditambah dengan tampang tidak berdosanya, membuat changmin rasanya ingin menggigit lengan lelaki itu kalau ia sedang tak melancarkan perang dingin seperti saat ini.

jadilah akhirnya changmin tetap melangkah menuju halte dengan hyunjae yang setia membuntutinya dengan sepeda.

beruntung hyunjae adalah siswa satu tingkat di atasnya, jadi changmin tidak perlu bertemu dengannya di koridor yang sama. karena kelas hyunjae ada di gedung yang berbeda. namun beberapa teman sekelas changmin masih ada yang mengganggunya pagi itu ketika changmin menginjakkan kakinya di kelas.

chanhee terpaksa harus mengusir mereka dari bangku di sekitar changmin.

“hush, hush, udah sana mending kalian nyontek dulu tugas buat jam ketiga. daripada kena hukuman disuruh berdiri di luar kelas.”

anak-anak yang berkumpul di sekitar changmin langsung bersorak kecewa, kembali ke bangku masing-masing.

chanhee menepuk pundak changmin yang menghela napas pelan. “udaah, nanti juga mereka pada lupa sendiri. biasa kalo ada bahan gosip pasti suka heboh di awal.”

jam istirahat. hyunjae menepuk-nepuk lengan younghoon, teman semejanya. younghoon yang masih sibuk menulis catatan berdecak kesal.

“apaan?”

hyunjae nyengir. “temenin ke kelas changmin.”

“hah?” younghoon berhenti menulis, dikiranya ia salah mendengar. “bilang sekali lagi.”

“temeninnn ke kelasnya changmin.”

“udah gak waras lo ya.” younghoon menoyor kepala hyunjae. “nggak cukup ribut-ribut kemarin? mau bikin yang lebih heboh lagi? mau didatengin guru bk lagi?”

hyunjae mendengus, bangkit dari kursinya.

“emang gak setia kawan lo, ah. gue ke sana sendiri aja.”

“heh!” younghoon berseru, akhirnya harus mengekor hyunjae karena temannya itu memang tidak peduli istilah damai.

“CHANGMINNN.”

sebuah suara yang sangat ingin dihindari changmin saat ini terdengar dari ambang pintu kelasnya. changmin mengeluh dalam hati karena ia terlambat untuk kabur dari kelas.

“eh, eh, tontonan gratis lagi. seru nih seru,” ucap juyeon pada kevin yang terlihat prihatin dengan keadaan changmin namun dalam hatinya juga menikmati.

“bang, ada apaan sih?” tanya sunwoo, adik kelas yang suka nyasar ke kelas changmin untuk mengajak kakak kelasnya main futsal.

“ih, masa lo nggak tau kejadian di kantin kemarin? seru banget padahal,” sahut eric, teman sekelas sunwoo.

“mana gue tau, gue lagi makan soto,” protes sunwoo.

“ah, udah udah diem kalian. gue jadi nggak denger kak hyunjae ngomong apaan.” kevin menyuruh dua bocah itu untuk diam.

hyunjae sudah mendatangi bangku changmin. menjatuhkan dirinya di bangku yang berada di depan meja changmin, duduk menghadap changmin yang saat ini menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah karena perhatian mulai tertuju lagi padanya.

“changmin,” panggil hyunjae. “masih marah, ya?”

chanhee melirik teman semejanya yang saat ini sedang mencoba mengatur napasnya. ia hanya bisa berdoa semoga temannya itu tidak meledak di tempat.

“kak, diomongin nanti aja pulang sekolah,” ucap changmin pelan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian. tentu saja sia-sia karena sekarang seisi kelasnya sedang terfokus pada dua orang yang menjadi sumber pembicaraan dari kemarin.

“nggak mau. nanti pulang sekolah kamu pasti kabur lagi kayak tadi pagi.”

sorakan pelan dari anak-anak kelas mulai terdengar. younghoon memijat pangkal hidungnya, berharap setidaknya kali ini tidak ada guru bk yang terlibat.

“gimana nggak kabur kalo kak hyunjae langsung nyosor kayak kemarin,” celetuk seseorang tiba-tiba. mungkin eric.

“siapa tadi yang ngomong?” sahut hyunjae, fokusnya sudah tidak lagi pada changmin.

“wah, kalo gitu ceritanya ya pantesan aja kakak itu kabur-kaburan. mainnya langsung nyosor kayak soang.” kali ini sunwoo yang ikutan mengompori, padahal anaknya sendiri sibuk makan soto kemarin.

“eh, siapa sih lo bocah kalo ngomong nggak ada tata kramanya!” seru chanhee, bangkit dari kursinya.

kevin menarik lengan seragam sunwoo. “nu, lo diem aja ih.”

“gue ke sini cuma mau minta maaf sama changmin. kalian nggak usah ikut campur,” protes hyunjae kesal.

“minta maaf karena udah nyium changmin depan umum, yaa!?” seru juyeon.

astaga juyeon punya mulut nggak ada filternya, keluh chanhee yang ikut pusing dengan situasi di kelasnya saat ini.

akhirnya hyunjae berdiri dari duduknya, menunjuk juyeon dengan tangannya.

“NGGAK USAH ASAL NGOMONG YA, GUE NGGAK SENGAJA??”

“ngaku aja sih, je. daripada makin ruwet urusan,” bisik younghoon dari belakang.

“EH LO KENAPA IKUT-IKUTAN? JUSTRU LO YANG NGEDORONG GUE BIKIN GUE JADI NGGAK SENGAJA NYIUM CHANGMIN.”

“MANA ADA?? GUE JUGA KEDORONG ANAK-ANAK YANG SIBUK MAU LIAT LO SAMA CHANGMIN.”

hyunjae dan younghoon akhirnya malah terlibat aksi saling mendorong, tidak mau disalahkan atas apa yang sudah terjadi.

“anjir berantem,” ujar juyeon, mendapat hiburan gratis di depan matanya.

changmin memijat keningnya pusing, sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. rasanya ia ingin segera mengusir hyunjae dari kelasnya. yang akhirnya terpenuhi saat guru bk datang ke kelasnya.

“ADA RIBUT-RIBUT APA LAGI INI? HYUNJAE!?”

hyunjae melepaskan tangannya dari younghoon, memutar bola matanya kesal. “ck, gue lagi.”

beruntung hyunjae hanya mendapat satu jeweran di telinga dan teguran untuk tidak membuat ribut di lingkungan sekolah. yang sebenarnya hyunjae juga tidak berniat untuk mencari ribut. ia hanya ingin minta maaf ke pacarnya.

changmin pacar hyunjae. tapi tidak banyak yang tahu. changmin juga tidak terlalu suka untuk mengumbar status hubungannya dengan kakak kelasnya itu. maka saat tiba-tiba anak-anak kelas hyunjae ribut perihal hyunjae dan changmin yang sedang makan berdua di kantinㅡatau sebenarnya ada chanhee di antara mereka, changmin langsung panik.

gerombolan siswa lain yang sedang ada di sana pun ikut penasaran, dan berakhir dengan kerusuhan di kantin. masalahnya hampir satu sekolah kenal dengan hyunjae, jadi kalau ada gosip siapa yang jadi pacar hyunjae sudah pasti bakal jadi berita heboh.

aksi saling mendorong karena mereka ingin mencaritahu siapa yang dipacari hyunjae, berakhir dengan insiden hyunjae mencium changmin yang berusaha ia lindungi di depannya. benar-benar tanpa sengaja, bukannya karena hyunjae mencari kesempatan.

seruan anak-anak yang meneriakkan 'anjir ciuman ciuman!' membuat telinga changmin seketika memerah, ia berusaha menerobos kerumunan dan berlari menuju kelasnya. sementara hyunjae masih dihujani pertanyaan soal siapa yang jadi pacarnya dan bagaimana mereka bisa pacaran.

“changmin.”

seseorang berbisik dari balik halte saat changmin sedang duduk menunggu busnya. ia berbalik untuk mendapati hyunjae dengan sepedanya, senyumnya lebar.

“apa?” changmin balas berbisik. tidak ingin mengundang perhatian anak lain yang sedang menunggu bus bersamanya.

“balik bareng aku aja,” tawar hyunjae.

changmin menoleh sejenak pada sederetan anak-anak yang duduk di halte sebelum kemudian beranjak berdiri menghampiri hyunjae.

hyunjae masih memasang senyum lebar saat kaki changmin mulai menginjak pijakan di roda bagian belakang sepeda hyunjae, tangannya memegang bahu hyunjae.

tidak disangka hyunjae hanya diam sepanjang perjalanan pulang, membuat changmin angkat bicara karena ia sebenarnya khawatir.

“dimarahin nggak, tadi?” tanyanya.

hyunjae bergumam, tidak menyangka datangnya pertanyaan dari changmin. “dimarahin dikit haha.”

“makanya, kak kamu tuh jangan suka kayak tadi.”

“ya aku kan cuma pengen minta maaf sama kamu.”

“nggak usah di sekolah juga?”

“di mana lagi coba? kemarin aku telfon kamu aja nggak diangkat.”

changmin tidak membalas lagi.

“changmin.” hyunjae mengerem sepedanya, membuat badan changmin terpental menubruk punggung pacarnya.

“hih, bilang kalo mau berhenti!” changmin memukul pelan punggung hyunjae yang kini sedang terkekeh. rumah changmin sudah dekat. ia turun dari sepeda.

“mau ngomong dulu.” tangan hyunjae menangkap pergelangan tangan changmin, menahan anak itu untuk tidak masuk ke rumahnya.

changmin diam, menunggu hyunjae untuk meneruskan kalimatnya.

“maaf, ya? udah bikin kamu kesel. aku nggak tau siapa yang nyebarin info kalo kita pacaran. tapi, aku juga pengen orang-orang tau. ini loh, changmin pacarnya hyunjae yang paling gemes. yang bikin hyunjae semangat terus tiap hari.”

“apaan sih kak...”

hyunjae menangkap gelagat changmin kalau sudah malu dan salah tingkah. bibirnya mencebik tapi pipinya bersemburat merah. rasanya hyunjae ingin menyimpannya dalam kantong.

“tapi kalo kamu emang nggak nyaman orang-orang tau kita pacaran, mulai besok aku nggak mampir ke kelas kamu lagi deh. terus kalo kamu mau berangkat sekolah naik bus juga nggak papa.”

changmin menggigiti bibir bawahnya, satu kakinya membiarkan ujung sepatunya menggoreskan pola di tanah.

“jangan,” ucap changmin akhirnya.

“hm?”

“nggak papa. biar aja orang-orang pada tau,” ujar changmin. “tapi temen-temen kamu itu loh, kak. kasih tau jangan suka iseng godain.”

hyunjae tertawa kecil, tangannya mengusak rambut changmin. “iya, nanti aku marahin mereka. biar nggak gangguin kamu lagi.”

changmin bergumam kecil.

“udah nggak marah, ya?” tanya hyunjae.

“masih.”

“loh, kok masih? katanya udah nggak papa.”

“bukan masalah itu.”

“masalah apa lagi?” hyunjae mengerutkan dahinya, berpikir untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk paham. “ooh, soal aku nyium kamu ya?”

seketika muka changmin merah padam. bisa-bisanya hyunjae enteng sekali melontarkannya. padahal kemarin ia menangis seharian gara-gara kejadian itu. changmin selama hidupnya belum pernah dicium siapapun, kecuali waktu masih bayi. jadi saat kemarin hyunjae tidak sengaja menempelkan bibirnya di pipi yang nyaris mendekati bibir changmin, anak itu langsung kaget.

“aku nggak sengaja, changmin. beneran. kemarin ada yang dorong-dorong dari belakang. aku kan jagain kamu biar nggak kena senggol sama anak-anak,” jelas hyunjae.

sengaja maupun tidak, tetap saja changmin merasa sangat malu. apalagi dilihat oleh banyak orang.

“kalo mau nyium kamu, aku minta izin dulu kali,” celetuk hyunjae.

“hih.” changmin langsung menghadiahi sebuah pukulan ke lengan hyunjae. “berhenti ngomongin itu.”

“yee kamu sendiri tadi yang bahas.”

“udah, ah- aku masuk dulu, makasih kak udah dianterin.” changmin hendak melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi tangan hyunjae menahannya di tempat.

“bentar dulu. sini mau peluk, boleh nggak?” tanya hyunjae, merentangkan lengannya.

changmin melirik hyunjae dengan tatapan sinis, namun akhirnya datang juga ke dalam pelukan hyunjae. ia menyerahkan diri di sana. pelukan hyunjae selalu hangat, selalu memberikan tenang. kalau changmin bisa memilih sebuah rumah, ia mau tinggal di dalam pelukan hyunjae untuk waktu yang sangat lama.

“changmin, sayang nggak sama aku?” tanya hyunjae, yang ditanggapi changmin dengan anggukan kecil.

“seberapa sayangnya?”

“dikit,” jawab changmin.

“kok dikit? aku sayangnya banyak padahal.”

changmin menahan senyumnya di balik pelukan hyunjae. “dikit aja. biar nggak cepet habis. soalnya ngasihnya tiap hari.”

“aku juga tiap hari. banyak lagi,” sahut hyunjae tak mau kalah.

akhirnya mereka malah sibuk berdebat tentang hal-hal paling konyol yang disaksikan oleh sepeda merah milik hyunjae, saksi bisu semua kisah hyunjae dan changmin dari awal mereka bertemu hingga mungkin nanti akhirnya mereka menuliskan entah kisah-kisah lain yang, semoga saja lebih indah dari sekarang.

dari kisah beberapa orang di sekitar chanhee dan younghoon beberapa bulan belakangan ini, mungkin mereka berdualah yang belum benar-benar bertemu bahagia. chanhee pernah bilang pada changmin, ia tidak terlalu memikirkannya lagi. tapi nyatanya saat satu panggilan masuk ke ponselnya malam itu, chanhee tidak bisa berhenti memikirkannya.

“ya?”

“chan... chanhee...”

“iya? kenapa nelfon malem-malem?”

tidak ada jawaban. hanya suara bising yang terdengar samar.

“lo lagi di mana, sih?” tanya chanhee was-was. karena suara younghoon tidak terdengar seperti biasanya.

“chanhee... gue sayang- sayang banget sama lo. gue kangen lo, pengen peluk lo.”

chanhee paham. younghoon is drunk.

“kak, lo di situ sama siapa? ada temen lo?”

“hm? ngga ada... gue udah nggak sama changmin. gue sayangnya sama lo, chan...”

“gue nggak nanyain changmin.”

chanhee memutuskan sambungan, ia tidak ingin mendengar lebih. bukan urusannya juga kalau younghoon sedang mabuk sekarang dan tidak ada siapapun yang menemani. ia meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dan menarik selimutnya, mencoba memejamkan matanya untuk tidur. namun pikirannya penuh dengan younghoon.

tidak ada kabar lagi dari younghoon, hingga hari di mana changmin memintanya untuk datang ke taman baca.

“kenapa?”

“lagi ada acara di sana. dateng ya, chan? buat ngeramein,” pinta changmin.

“iya nanti gue liat jadwal gue dulu deh.”

“kevin juga dateng loh. lo harus dateng.”

chanhee mengangkat alisnya. “kevin dateng?”

changmin mengangguk mengiyakan pertanyaan chanhee.

“okay.”

acara yang dimaksud ternyata adalah peresmian hari pertama dibukanya sekolah membaca kecil-kecilan untuk anak-anak yang tidak bisa mendapatkan pelajaran membaca dari sekolah formal. anak-anak yang sudah didata identitasnya itu boleh datang ke taman baca sesuai jadwal yang sudah diorganisir. saat chanhee sampai di sana, sudah banyak anak-anak dari umur lima hingga sepuluh tahun yang duduk melingkar di meja-meja kecil. chanhee melihat kevin yang sibuk membacakan dongeng pada lima anak yang berkerumun di sekitarnya. ia juga menangkap sunwoo yang dikerubuti oleh anak-anak yang berusia lebih muda, beberapa anak sampai naik ke punggungnya untuk mengajak bermain. di dekat sunwoo ada seorang lelaki yang berusaha membantu sunwoo untuk menenangkan anak-anak yang kelewat senang itu.

“itu eric, pacarnya sunwoo,” bisik changmin.

chanhee menoleh ke belakang, mendapati changmin dengan cengiran di wajah.

“hah? sejak kapan dia punya pacar?”

“belum lama sih. paling baru dua minggu.”

“gue kira nggak bisa naksir orang tuh anak,” celetuk chanhee yang dibalas changmin dengan pukulan pelan di pundak.

“eh, lo mau bantuin anak-anak belajar nggak?” tanya changmin.

“hmm boleh.” chanhee mengangguk, mengikuti changmin menuju suatu meja di sudut lain.

“itu di situ nanti lo-” changmin belum selesai menjelaskan saat suara juyeon terdengar memanggilnya. “eh, gue bantuin juyeon dulu. pokoknya lo ke sana aja ajarin huruf sama angka, atau mau ngapain aja terserah.”

changmin keburu pergi sebelum chanhee sempat memprotes. ia menghela napas pelan, akhirnya melangkahkan kakinya mendekati satu meja dengan beberapa anak yang berdempetan melingkari seseorang yang sepertinya sedang mengajari mereka untuk membaca.

chanhee mengambil beberapa langkah lagi sebelum kemudian berhenti, figur seseorang yang dikerumuni anak-anak mulai tertangkap jelas di matanya. ia mengerjapkan matanya beberapa kali, namun ia tidak salah melihat.

itu younghoon.

dengan kemeja warna hitam yang bagian lengannya digulung hingga siku. rambutnya tersibak memperlihatkan dahi dan wajahnya yang cerah setiap kali anak-anak itu berhasil menebak huruf yang ditunjuknya. chanhee seketika merasa gugup, ia mencengkeram selempang tasnya erat.

younghoon yang sedang menepuk pelan puncak kepala seorang anak perempuan untuk memberinya pujian karena berhasil menghafalkan alfabet, akhirnya mengangkat kepalanya dan matanya langsung bertemu dengan chanhee yang masih berdiri dengan canggung hanya beberapa langkah di depannya. terlihat jelas younghoon juga terkejut dengan kedatangan chanhee, ia mematung untuk beberapa saat. namun setelah ia mampu menguasai dirinya lagi, lelaki itu melempar senyum pada chanhee.

“chan, sini.”

younghoon melambaikan tangannya, mengajak chanhee untuk bergabung dengannya dan beberapa anak yang menunggu untuk diberi pertanyaan lagi. akan sangat aneh kalau chanhee pura-pura tidak melihat atau mendengar. jadi ia terpaksa menyeret langkahnya lagi dengan berat menuju meja itu. ia mendudukkan dirinya di tempat yang masih longgar, di tengah anak-anak. younghoon masih belum melepas senyumnya saat akhirnya chanhee duduk di seberangnya.

“nah, kenalin kakak ini namanya kak chanhee. dia pinter lho, orangnya.”

younghoon memperkenalkan chanhee pada anak-anak yang mulai tertarik dengan datangnya chanhee di tengah-tengah mereka.

“kalian yang di deket kak chanhee, belajarnya sama dia ya. yang di sini belajar sama aku,” tambah younghoon yang disambut dengan anggukan antusias anak-anak itu.

mereka segera berdempet di dekat chanhee, memintanya untuk membuka buku. chanhee mau tidak mau mengeluarkan senyumnya, melihat anak-anak yang masih semangat untuk belajar membuat hatinya hangat. diam-diam ia mengintip ke arah younghoon yang sudah kembali sibuk dengan kegiatannya.

he looks fine.

“changmin, coba lihat dulu deh foto-fotonya.”

younghoon menghampiri changmin dengan kameranya di tangan, sedari tadi ia mencuri beberapa jepretan kegiatan di situ. changmin mengamati dengan serius saat younghoon memperlihatkan foto-foto di kameranya, sambil sesekali mengangguk kecil.

chanhee benci untuk mengakui ini, tapi alam bawah sadarnya selalu memberinya peringatan bahwa mungkin, mungkin saja younghoon masih menaruh hati pada changmin.

pikirannya selalu menyuruhnya untuk sadar akan gestur younghoon setiap ada di dekat changmin. senyuman tipis, tepukan di pundak, caranya memanggil nama changmin. semua tanpa sadar chanhee perhatikan. semuanya terlalu familiar, rasanya seperti dé javu.

ia tidak sadar saat younghoon sudah kembali di dekatnya, memasukkan kamera ke dalam tas.

“chan, laper nggak? makan yuk,” ajaknya tiba-tiba.

chanhee yang sedang membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja karena kelas telah usai, mengangkat alisnya kaget.

“gue belom laper, sih,” balasnya pelan.

“ya udah, temenin gue aja.” younghoon serta merta menarik tangan chanhee, mengajaknya berdiri. “di depan ada warung bakso enak kata si eric. gue mau nyobain.”

chanhee mengangkat bahunya pasrah, meninggalkan tumpukan buku yang sedang disusunnya untuk menuruti ajakan younghoon.

warung bakso yang letaknya tidak jauh dari taman baca itu tidak ramai pengunjung. hanya ada satu pasangan yang duduk di ujung bangku kayu panjang. meskipun chanhee sudah bilang kalau ia belum lapar, namun younghoon tetap memesan dua mangkuk bakso. kalau tidak habis biar ia yang menghabiskan, katanya.

younghoon mulai menyantap makanannya saat mangkuk dengan kuah mengepul tersaji di depannya. chanhee mengawasinya dalam diam, sepertinya ia memang sedang kelaparan. ia sendiri hanya mengaduk es jeruknya, menyeruputnya pelan.

“chan,” panggil younghoon. chanhee membalas dengan alisnya yang terangkat sejenak. “tempo hari- gue nelfon lo ya, malem-malem?”

telfon malam hari itu. saat younghoon sedang tidak dalam kesadaran pikirnya.

“iya,” jawab chanhee singkat. “lo lagi mabok, kan? nggak usah takut lo ngomong aneh-aneh. gue bahkan udah lupa lo ngomong apa waktu itu.”

younghoon bergumam pelan. “gitu, ya? gue kira gue ngomong sesuatu yang harusnya gue sampein ke lo secara langsung.”

chanhee menelan ludahnya, otaknya mulai menyambungkan satu titik dengan lainnya. ia mulai menebak ke mana arah pembicaraan younghoon.

“chan,” panggil younghoon lagi. “gue ke sini karena diundang sama changmin. gue nggak tau kalo bakal ada lo di sini juga, walaupun gue berharap iya. tapi gue nggak minta changmin buat maksa lo dateng.”

chanhee tidak tahu kenapa younghoon membicarakan masalah itu. jarinya bermain dengan permukaan meja, pandangannya jatuh pada mangkuk bakso yang masih belum disentuhnya.

“kak, lo masih suka, ya? sama changmin?”

pertanyaan chanhee terdengar lantang di antara hening yang mereka ciptakan sendiri. seakan semua yang ada di sekeliling mereka mengabur, menciptakan dinding tak kasat mata yang mengurung mereka berdua di dalamnya.

younghoon menarik napasnya panjang sebelum menghembuskannya keras.

“chan, gue nggak tahu gimana caranya nunjukkin ke lo kalo perasaan gue ke changmin udah nggak kayak dulu lagi.”

what more to show? gue bisa liat kok gimana lo masih mandang changmin dengan cara yang sama, senyum lo ke dia juga masih senyum yang sama.”

younghoon seketika terdiam. jadi chanhee memperhatikan semuanya selama ini.

younghoon hati-hati meraih tangan chanhee, bersyukur lelaki itu hanya membiarkannya. ia perlu menggenggam tangannya, memberikannya rasa aman sebelum ia mulai membuka suara lagi.

“chan, i will tell you this... gimanapun juga i have a soft spot for him. selalu. dia orang yang pernah gue sayang banget, gue nggak bisa tiba-tiba bersikap lain ke dia,” jelas younghoon, ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan chanhee. “tapi setelah semuanya yang udah terjadi, gue sadar kalo sayang aja nggak cukup. gue bakal tetep butuh disayang balik, butuh yang selalu ada di deket gue.”

chanhee mendengarkan ucapan younghoon, ia paham dan mengerti. namun sulit rasanya menghalau pikiran bahwa ia hanyalah opsi kedua. younghoon datang padanya hanya karena ia lah yang pernah tinggal di saat younghoon sedang membutuhkan tempat untuk bersandar.

“oh lagi pada di sini ternyata!” seruan eric tiba-tiba memenuhi warung, membuat younghoon dan chanhee tersentak.

sunwoo yang datang bersama eric menangkap younghoon yang menarik tangannya cepat dari chanhee. ia langsung dapat membaca situasi.

“ric, gue tiba-tiba pengen makan mie ayam deh. ke warung sebelah aja, yuk?” tanpa menunggu persetujuan eric, sunwoo langsung menarik pacarnya itu pergi.

eric hanya meneriakkan 'dah, kak!' pada chanhee dan younghoon sebelum menghilang dari pandangan.

keduanya kembali diliputi canggung, chanhee memutuskan untuk memakan makanannya yang mulai mendingin. membiarkan younghoon larut dalam pikirannya lagi.

mereka berjalan kembali ke taman baca, meskipun acara sudah selesai tapi setidaknya mereka bisa membantu untuk membereskan tempat.

beberapa meter menuju gerbang masuk, younghoon menyetop langkahnya tiba-tiba. chanhee spontan menghentikan kakinya juga, menoleh pada lelaki di sebelahnya.

“kenapa?”

younghoon menunduk sejenak.

“gue kayanya nggak bisa, pergi dari sini tanpa ngomongin ini ke lo,” ucapnya pelan, ia mengangkat kembali wajahnya untuk menatap chanhee. “chan, gue sayang sama lo. sayang banget.”

ucapan yang sama, beberapa malam yang lalu. namun kali ini dengan sadar.

“gue nggak-” kalimatnya tercekat di tenggorokan, younghoon meraih kedua lengan chanhee. “gue nggak tahu gimana lagi harus bikin lo percaya, kalo sayang gue ke lo bukan sekedar pelarian.”

“chanhee.” kali ini younghoon benar-benar menarik chanhee dalam pelukan, mengubur wajahnya dalam-dalam di ceruk leher chanhee. “beberapa bulan terakhir gue pacaran sama changmin, gue nggak sadar kalo sayang gue ke dia udah nggak tulus lagi. semuanya cuma obsesi. cuma biar dia bisa balik sayang ke gue. cuma biar dia nggak ninggalin gue.”

chanhee menggigit bibirnya, rasanya ingin menangis.

“padahal lo berkali-kali nyadarin gue, tapi gue nggak pernah denger,” lanjut younghoon. “i'm so sorry.

“kak...” panggil chanhee akhirnya. “kalo emang lo udah tahu gimana perasaan lo sekarang ke changmin, i'm glad. tapi, bukan berarti perasaan lo ke gue itu juga nyata.”

younghoon tersentak dengan kalimat terakhir yang dilontarkan chanhee. ia menarik dirinya dari lelaki itu, menatapnya tepat di manik mata.

“chanhee... lo pikir selama ini gue ngapain aja? berbulan-bulan lo nggak pernah mau berhubungan sama gue lagi, nggak mau ketemu sama gue. malem itu, gue akhirnya minum juga gara-gara lo. nggak pernah lewat seharipun gue nggak kepikiran sama lo, chan. gue yang ngerasain di sini, bukan lo. jadi lo nggak berhak bilang kalo perasaan gue ke lo tuh cuma semu.”

chanhee merasa jantungnya memompa dua kali lebih cepat, tidak siap diserang oleh kenyataan yang akhirnya harus terkatakan.

“nggak usah lo nyuruh gue nanya ke diri sendiri, apa perasaan gue ke lo tuh cuma gara-gara gue udah nggak sama changmin. tapi buktinya, dari sebelum putus sama changmin pun gue udah sayang sama lo, chan. guenya aja yang terlalu bego buat sadar.”

younghoon mengatur napasnya yang memburu karena emosi yang membuncah. ia lalu mengamati chanhee yang kini meluruhkan air mata di depannya. lelaki itu terkesiap.

“jangan nangis....” tangannya terulur untuk menghapus air mata yang meleleh di pipi chanhee. seketika chanhee menjatuhkan dirinya dalam peluk younghoon, yang langsung disambut dengan dekapan erat. “chanhee... jangan pernah mikir kalo lo nggak pantes... gue sayang sama lo, bukan karena apa-apa. tapi karena gue emang pengen ada lo di sisi gue, di hidup gue.”

“gue-” chanhee berbisik di antara sengguknya. “gue lebih sayang sama lo kak... semua yang gue lakuin, karena gue sayang sama lo. dari pertama kali kita ketemu, walaupun lo nggak lihat gue. sejak saat itu sayang gue nggak pernah berhenti.”

younghoon merasa hatinya ditikam belati tak kasat mata. ia benar-benar menyayangi lelaki ini, dan ia juga ingin chanhee tahu bahwa semua sakitnya tidak akan berujung sia-sia. bahwa ia akan berada di garis terdepan, untuk menutup semua luka yang tak sengaja ia torehkan. karena chanhee seorang yang sangat berharga, yang sangat ingin ia lindungi lebih dari apapun.

eric mengawasi younghoon yang sedang memeluk erat chanhee sambil sesekali memberi cium pada puncak kepalanya, dari kejauhan.

“itu tuh pacarnya kak younghoon?” celetuk eric.

sunwoo ikut melempar pandang pada dua orang yang sedang diamati oleh eric, termangu sejenak kemudian mengangkat bahu.

“bukan urusan lo, ah. abisin makannya jangan meleng ke mana-mana,” tegur sunwoo.

eric mengerucutkan bibirnya. “gue kan cuma nanya.”

namun dalam hati sunwoo lega, mungkin memang semua rumit yang terjalin di antara keduanya akhirnya menemukan celah untuk terurai. untuk bebas.

Empat kata yang selalu aku ucapkan setiap hari kelimabelas di awal tahun. Hari yang spesial tidak hanya untuk sahabatku, tapi juga untukku. Duapuluh tiga tahun menemaninya tumbuh bersama, meskipun hari ulang tahunku jaraknya bagaikan ujung utara dan ujung selatan. Pokoknya kita seumuran! Yakinku padanya.

Merayakan ulang tahunnya yang ketujuh, kesepuluh, rasanya hanya seperti mengadakan pesta yang dihadiri teman-teman. Bertambah setahun lagi umurnya. Tapi aku tidak tahu sejak kapan, melihatnya bermain bola basket di bawah temaram sinar mentari yang mulai surut dan meninggalkan siluet atas figurnya, menggerakkan sesuatu di dalam batinku.

Juyeon bukan lagi seorang anak yang sering dikerjai oleh teman-temannya, yang selalu datang mengadu padaku supaya aku bisa memarahi mereka. Dialah yang sekarang menghadang bola basket dengan badannya agar tak mengenai kepalaku kalau aku sedang melihatnya bermain. Atau mengambilkan buku di rak tertinggi saat tanganku tak bisa meraihnya. Sambil, tentu saja, melontarkan ejekan 'dasar pendek' padaku seraya mengetukkan pelan ujung buku ke dahiku. Sejak kapan, sih, dia tumbuh tinggi menjulang seperti itu?

Buku adalah barang favoritnya. Tidak, sebenarnya bukan buku. Tapi bagaimana ia bisa menemukan pemikiran yang istimewa pada lembaran yang ia baca. Terkadang ia suka meminjam pangkuanku untuk meletakkan kepalanya dan mulai membaca, sambil sesekali berceletuk tentang sesuatu yang dianggapnya menarik walaupun aku tidak benar-benar mengerti. Namun aku tetap mendengarkan. Lalu ia akan terlelap dengan buku yang tertelungkup di dadanya.

Juyeon suka bertualang, menemukan tempat-tempat baru yang menarik. Tapi aku lebih suka diam di rumah, mendapatkan kebahagiaan kecil dari sekadar menonton film atau menggambar. Ia selalu menarikku untuk keluar dari kamar. Dulu aku sering mengeluh setiap kali ia melakukan itu, tapi sekarang aku lebih sibuk menata jantungku yang berisik karena tangan lebarnya yang menggenggam tanganku.

Aneh. Padahal ini cuma Juyeon.

Tapi lebih aneh lagi saat Juyeon mulai mendapat surat dari penggemar rahasianya, katanya. Juga coklat-coklat yang didapatnya saat hari kasih sayang. Ia akan menyimpan surat-surat beserta coklat yang dibungkus dengan apik itu ke dalam tasnya untuk disebar di atas meja saat pulang sekolah, mulai membaca satu persatu surat itu sembari mengunyah coklat di atas ranjang milikku. Ada perasaan aneh yang terlintas. Iri? Entahlah. Padahal aku juga mendapatkan coklat walaupun tidak sebanyak miliknya.

Ada saat di mana kami mulai bertemu dengan orang-orang baru, menjalin pertemanan dengan lingkaran yang baru. Sedikit membuat kami jauh, tak lagi banyak menghabiskan waktu bersama. Namun aku yang benar-benar awam ini, terpaksa harus mendapatkan patah hati pertama. Saat itu aku menghubungi Juyeon, ia segera datang tanpa banyak berucap. Hanya memelukku erat dan rasanya aku seperti kembali pulang ke rumah.

Juyeon juga sempat bertemu dengan beberapa orang, namun hubungan mereka tidak pernah berjalan lama. Aku sempat bilang padanya, kalau tidak serius mending tidak usah. Tapi Juyeon menjawab ia hanya sedang mencari. Aku tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya ia cari.

Cahaya yang memancar dari api yang menyala di lilin berbentuk angka dua dan tiga itu menerangi wajah Juyeon, membiaskan senyumnya yang selalu aku senangi. Ia memejamkan mata sejenak sambil menautkan kedua tangannya, memanjatkan doa.

Aku juga mengucap doa di dalam hati.

Tuhan, untuk menempatkan aku di keberadaan yang sama dengannya, aku berterima kasih. Tuhan, untuk masih bisa melihatnya bertambah satu tahun di sisinya, aku berterima kasih. Tuhan, untuk segala kasih dan sayang yang tercurah padanya, aku berterima kasih. Dan Tuhan, untuk menyadarkanku bahwa ia adalah seseorang yang aku inginkan ada di hidupku selama aku masih bisa bernapas, aku berterima kasih.

Setelah Juyeon meniup lilin, aku memberikan tepuk tangan yang riuh. Juyeon beralih menarik tanganku, menggenggamnya dalam kedua tangan. Aku menatap kedua matanya yang menyimpan harapan sebelum menarik diriku lebih dekat padanya, menumpukan beratku pada ujung kaki. Memberikan satu kecupan singkat pada ujung hidungnya yang dibalasnya dengan mendekapku erat dan ciuman yang dalam pada dahiku.

“For more years to come?”

“For more years to come.”

jukyu

“ju, aku jadi kepikiran.”

“kepikiran apa?”

juyeon mengalihkan matanya sejenak dari layar televisi pada changmin yang kini sedang meringkuk di pelukannya.

“emangnya bener ya, orang yang nanti nemenin kita sampe kita mati itu jodoh kita?”

“mungkin?”

“berarti udah pasti orang bakal ketemu jodohnya di dunia?”

juyeon memainkan helai rambut changmin, terdiam untuk beberapa lamanya sebelum menjawab.

“belum tentu. pasti ada orang-orang yang udah dipanggil duluan sama Tuhan, sebelum ketemu sama jodoh mereka. atau mungkin at some point mereka sebenernya udah pernah ketemu, tapi belum sempat sama-sama sampe akhir.”

changmin mendongakkan wajahnya menatap juyeon.

“ju, kalo kamu percaya nggak sama konsep jodoh?”

“kalo aku ya, nggak mau ngasih label oh- orang ini jodohku, yang ini bukan jodohku. karena kayak gitu menurutku malah bikin orang jadi lebih fokus nyari siapa sebenernya jodoh mereka daripada mereka menghargai worth orang itu sendiri.” juyeon mengelus pelan pipi changmin yang masih mendengarkannya dalam diam. “dan aku ngerasa itu nggak adil aja.”

changmin mengangguk, semakin meringkukkan badannya pada juyeon untuk mencari hangat. padahal ia sendiri sudah terbungkus selimut.

ia lalu berucap lirih pada lekuk leher juyeon.

“berarti nggak papa ya, kalo aku bukan jodoh kamu?”

juyeon melingkarkan lengannya kembali untuk menarik changmin dalam pelukan, memberikan satu cium pada dahi changmin.

“nggak papa lah, kalo nggak jodoh ya dijodoh-jodohin aja.”

changmin tidak merespon candaan juyeon, pikirannya masih kalut. mereka bukan hanya setahun dua tahun bersama. bertahun-tahun mereka lewati walaupun jalannya tidak semulus seperti perkiraan orang-orang. beberapa kali mereka sempat putus-nyambung, hingga akhirnya sampai di titik ini. tapi changmin selalu menyimpan satu pertanyaan di dalam benaknya, apakah mereka benar diciptakan untuk satu sama lain? atau mereka hanyalah secuil fase dari hidup masing-masing sebelum akhirnya bertemu dengan seorang yang disebut “jodoh”.

“kalo aku ngerasanya kamu jodoh aku, ju.”

mendengar ucapan changmin membuat juyeon mengulas senyum.

“iya?” tanyanya.

changmin mengangguk kecil. “aku mikir aja selama ini tiap ada yang bikin aku sakit, atau waktu kita lagi jauh, tapi ujungnya aku balik ke kamu lagi. eh, bukan ding. kamu yang dateng ke aku. soalnya aku gengsian.”

juyeon tertawa pelan.

“tumben ngaku?”

“ya gimana, emang kayak gitu.”

juyeon sadar mengapa ia selalu kembali pada changmin. karena ia memang tidak bisa membayangkan harus berbagi afeksi pada orang selain changmin. saat ia sedang bahagia, atau sedang sedih, orang pertama yang didatanginya adalah changmin. pikirannya selalu memberi sinyal bahwa ia harus datang padanya. seperti yang kebanyakan orang bilang, akan selalu ada satu orang yang muncul dalam pikiran, tak peduli situasi. dan untuk juyeon adalah changmin.

alright then, enough talk about jodoh. kalo kamu bukan jodoh aku pun, yang penting kamu yang ada di sini sama aku sekarang. bukan yang lain. kamu udah lebih dari cukup.”

“iya...” lirih changmin.

juyeon menghela napas.

“siapa sih, yang bikin kamu jadi kepikiran masalah kayak gini? hm?”

changmin membiarkan juyeon memainkan pipinya sambil dirinya menggerutu pelan.

“nggak ada, kepikiran aja.”

“ya udah, sekarang gara-gara kamu udah ganggu acara nonton film aku.” juyeon meraih remote televisi untuk mematikannya, lalu membalikkan badannya hingga kini ia memeluk changmin yang berada di bawahnya. “kamu harus ganti rugi.”

juyeon menghujani wajah changmin dengan ciuman, membuat yang lebih kecil berontak karena geli.

“juyeonnn!”

tw // homophobia, mention of violence, death

hidup itu nggak adil.

seenggaknya, bagi gue. yang harus buka mata setiap pagi buat selalu menanggung kecewa. kecewa sama kehidupan, kecewa sama orang-orang di sekitar, kecewa sama diri sendiri.

it will get better, they said.

omong kosong.

pagi ini gue lagi-lagi harus ngejalanin rutinitas yang seakan nggak ada ujungnya. matahari baru muncul, hari baru dimulai. tapi otak gue udah tau nanti malem gue bakal balik lagi ke kamar ini, capek dan remuk. kayak banyak malam yang udah kelewat.

liat wajah gue di cermin, gue bahkan udah lupa caranya senyum. luka-luka yang ngehiasin wajah, gue juga udah lupa yang mana yang masih perih dan mana yang tinggal cerita.

nggak apa-apa, ini bukti gue masih 'hidup'.

sighs.

nggak. gue kenapa-napa.

biasanya akan selalu ada lo yang ngelempar kaleng minuman dingin tiap gue keluar sebentar buat istirahat. atau bantuin gue buat buang sampah walaupun seringnya lo malah bikin berantakan dan ujungnya gue lagi yang dimarahin pemilik kafe. waktu itu gue bakal diemin lo, karena kalo gue marah lo cuma ketawa sambil berantakin rambut gue.

tapi kali ini gue nyeret kantong sampah sendirian, nggak ada juga yang ngasih gue sekaleng minuman. gantinya gue bawa buku sama pulpen, buat nulis sesuatu.

sial, ternyata gue masih belum bisa.

biasanya gue akan selalu ngenalin ujung sneakers warna putih yang turun dari bus nomor 45, lo dan senyum bodoh lo itu. tapi nyatanya ngeliat lo bikin beban di pundak gue berkurang, walaupun masih ada. seenggaknya ada lo yang ngulurin tangan buat meluk gue, mindahin semua rasa capek gue.

“apa rasanya, ya? hidup di situ.”

hyunjae ikutan ngeliat ke arah telunjuk gue yang ngarah ke jendela salah satu kamar di apartemen yang keliatan mewah. jendelanya kebuka setengah, ada sepasang cowok dan cewek lagi makan bareng sambil ketawa. kayak nggak punya beban.

hyunjae mendecih. “halah, biasa aja. masih seruan hidup kita.”

gue yang dirangkul hyunjae akhirnya ketawa. “bener. lebih seru hidup kita.”

tapi kita berdua sebenarnya tahu, kita lagi sama-sama bohongin diri sendiri.

“mau ngapain lagi?”

gue bersandar ke bingkai pintu, masih belum ngizinin hyunjae masuk ke kamar gue. walaupun gue bisa liat tangannya gemeter nahan sakit.

tapi gue lebih sakit, je.

“gue mau masuk sebentar. please?

dan gue nggak pernah menang dari lo.

gue masih diem waktu gue ngobatin tangannya. gue tahu hyunjae lagi ngeliatin gue lewat sepasang matanya yang selalu bisa bikin gue luruh.

“lo tau kan, lo bakal digebukin lebih kenceng sama bokap lo kalo dia tahu lo ada di sini?”

hyunjae nolak jawab pertanyaan gue. dia masih diem sampai gue selesai ngobatin luka di tangannya.

hyunjae narik kedua tangan gue, maksa gue buat liat matanya. gue menghela napas. capek.

“hyunjae. gue tahu lo males sama omongan gue yang ini. gue tahu gue udah berkali-kali bilang. tapi tolong, sekali ini aja dengerin gue.”

ekspresi hyunjae masih nggak berubah. ada sesak yang menuhin rongga dada bikin gue susah buat lanjutin kalimat. gue yakin hyunjae juga sama. tapi gue harus.

“hidup kita sama-sama fucked up, je. kita berdua nggak ada yang minta hidup kayak gini. tapi lo masih bisa ngusahain buat hidup yang lebih baik.”

hyunjae ngelepasin tangannya, gue tahu dia capek sama obrolan ini.

“kalo lo minta gue buat nyerah, gue nggak akan dengerin.”

“hyunjae-”

“gue digebukin kayak gini karena apa? karena gue mau mertahanin lo, hoon.”

“lo nggak perlu babak belur kalo lo nurut sama bokap lo. ini semua tuh konyol, je! lo bisa dapetin hidup yang lebih baik tapi lo milih di sini sekarang stuck sama hal-hal yang bikin lo sakit.”

hyunjae natap gue lewat matanya yang menyipit.

“konyol, ya? gue mau bareng-bareng sama lo tuh, bagi lo konyol?”

nggak ada yang lebih nyakitin daripada percakapan ini buat gue. kalo gue bisa milih, gue mau jadi hyunjae dan pergi ninggalin gue. karena semuanya bakal lebih gampang kalo salah satu dari kita pergi.

malam itu gue cium hyunjae lebih lama, gue peluk hyunjae lebih lama. biar nggak ada lagi kosong yang menelusup saat raga kita akhirnya kepisah.

tuhan ternyata dengerin permohonan gue.

hyunjae pergi.

tapi nyatanya semuanya nggak jadi lebih gampang. karena di sini gue masih nangis sambil meluk jaket yang hyunjae kasih ke gue.

dingin. sepi. sakit.

enam tahun dan sakitnya masih sama. nggak berkurang.

je, lo tau nggak apa yang paling gue sesalin?

gue nyesel kenapa malam itu gue nggak hancur sekalian aja sama lo. gue nyesel nyuruh lo pergi dan bikin hati lo sakit. sekarang gue bahkan lebih hancur dari sebelumnya. dan nggak ada lo di sini yang siap buat nyatuin retak di hati gue.

nggak sekarang. nggak kapanpun.

i wished i could turn back the time and say thank you. thank you, for loving me. and my imperfections. it's been years, i could handle things better. but still, you're not here. and that makes it harder for me.

i miss you.

i miss you.

i always miss you.

and hyunjae, i love you.

i am still loving you.

“nu, gimana? ikut nobar gak ntar malem?”

eric sudah melontarkan pertanyaan yang sama setidaknya sepuluh kali hari itu. yang juga belum mendapatkan jawaban pasti dari sunwoo.

cowok yang sedang ditanyai malah kembali mengecek ponselnya sebelum memasukannya kembali ke saku celananya. masih belum ada balasan untuk pesannya beberapa jam yang lalu.

“jam berapa?” tanya sunwoo akhirnya.

wajah eric terlihat sumringah mendengar pertanyaan dari temannya. pasalnya sunwoo susah sekali diajak main bareng, apalagi beberapa bulan terakhir. alasannya karena capek terlalu banyak tugas kuliah, seakan sunwoo lupa kalau eric masih satu jurusan dengannya.

“sekitar jam tujuh. ntar gue samperin lo aja, deh!”

“nggak usah, ric. gue langsung ke sana aja daripada lo bolak-balik.”

eric menepuk pundak sunwoo setelah menyetujui ucapannya, meninggalkan sunwoo yang kemudian juga beranjak untuk pulang.

setengah jam sebelum memutuskan untuk berangkat, sunwoo masih menimang-nimang ponsel di tangannya. ia berniat untuk mencoba menghubungi seseorang untuk kesekian kalinya walaupun pesannya tak berbalas dari beberapa hari yang lalu.

sibuk. itu alasan yang selalu diberikan.

sunwoo tidak tahu sesibuk apa seseorang itu di sana hingga bahkan tak sempat untuk sekedar mengabari. selain hal-hal lain yang menganggu pikirannya, sebenarnya sunwoo hanya khawatir. tentang keadaannya, apakah ia baik-baik saja.

karena di sini sunwoo pun sedang tidak baik-baik saja.

“astaga, nu. udahan kali stalking-nya,” ledek eric saat sunwoo lagi-lagi ketahuan melihat profil instagram cowok yang statusnya adalah pacar sunwoo.

sunwoo berdecak kesal, menjauhkan ponselnya dari eric yang ikut penasaran melihat layar.

“tuh, liat! terakhir dia pasang story belom ada sepuluh menit yang lalu. tapi chat lo nggak ada dibales kan, sama dia?”

“nggak usah sotoy, orang kesibukannya beda-beda,” tegur sunwoo.

kali ini eric yang berdecak malas. temannya ini memang susah untuk diberitahu.

“lo nggak dengerin omongan kak chanhee tempo hari, ya? mending lo lepasin kak changmin sekarang daripada entar lo sendiri yang susah. dia tuh nggak bisa ldr, nu. dia juga udah bilang sendiri kan, sama lo?”

sunwoo tahu. perihal foto-foto lamanya dengan changmin yang tiba-tiba sudah tidak ada lagi di feeds instagram cowok itu seharusnya sudah memberikan sinyal padanya kalau ia harus berhenti. namun ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan, melepaskan changmin tidak semudah itu.

“kak changmin tuh cuma nungguin kata putus dari lo.”

changmin dapat melihat raut wajah sunwoo yang berubah saat ia memberitahunya kalau ia akan meneruskan studinya di tempat yang berkilo-kilometer jauhnya dari sini.

“tuh, kan. tadi katanya nggak bakal marah?”

“nggak marah,” sahut sunwoo pendek.

“ngambek?”

sunwoo menghela napas keras. “kamu ngasih taunya kenapa mendadak banget, sih?”

changmin mengerutkan dahinya bingung. “loh, aku udah bilang ke kamu aku ada apply ke sana kan, beberapa bulan yang lalu?”

“iya tapi aku nggak tau kamu jadi ambil beneran.” ada kekesalan yang tersirat dalam nada suara sunwoo.

“ya udah, maaf kalo gitu. jangan marah, dong. beberapa minggu lagi pisah masa malah marahan?” ucap changmin berusaha menghibur pacarnya itu.

“siapa yang marah sih?? kesel doang dikit,” ujar sunwoo sambil menarik-narik pipi changmin. “kamu tau sendiri aku nggak pernah ngelarang kamu buat ngapain aja, termasuk urusan studi kamu. dan kalo emang kamu harus jauh dari aku ya aku pasti bakal nungguin, kok.”

changmin terdiam untuk beberapa waktu lamanya mendengar kalimat sunwoo.

“nu, tapi aku lama di sana. mungkin bakal jarang banget pulang...”

“nggak papa, aku tetep bakal nungguin.”

changmin tidak menjawab, karena dalam hatinya ia sadar mungkin ia yang sebenarnya tidak bisa.

ada panggilan masuk tiba-tiba saat sunwoo hampir menggerakkan jarinya untuk menghubungi satu kontak.

changmin.

“iya, kak?” ada hembusan napas berat mengiringi ucapannya

“sunwoo,” panggil changmin di seberang.

suara ini yang paling dirindukan sunwoo. yang sudah beberapa bulan tak didengarnya. namun nada bicara changmin terasa asing, sunwoo benci mengakui bahwa ia sudah dapat menebak apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan.

“maaf baru sempat hubungin kamu sekarang,” sambung changmin.

“kak.” sunwoo menyela kalimat cowok itu. “boleh aku duluan yang ngomong?”

changmin diam sejenak. “ngomong aja, nu.”

dalam satu tarikan napas sunwoo berusaha mengeluarkan beberapa patah kata yang seharusnya menjadi momen bahagia untuk mereka berdua, namun kini harus diucapkan dengan sesak di dada.

happy anniversary yang ketiga tahun.”

sunwoo masih belum melepas pelukannya saat changmin hampir berangkat. beberapa menit menuju penerbangannya.

“sunwoo,” bisik changmin pelan. “aku mau ngomong.”

sunwoo hanya bergumam, masih mengurung tubuh changmin dalam kedua lengannya.

“habis ini aku bakal pergi jauh, jauh dari kamu. bakal nggak liat kamu lama, nggak bisa ketemu kamu.”

“hmm.”

“nu...” suara changmin semakin terdengar samar. “aku takut nggak bisa janjiin kamu pulang.”

sunwoo akhirnya menguraikan pelukannya, menatap changmin dengan alis yang bertaut.

“maksudnya?”

changmin menggigit bibirnya, ragu bagaimana ia harus mengatakan ini pada sunwoo. ia memandangi ujung sepatunya.

“aku di sana nggak sebentar, nu. aku nggak tau apa aja yang bakal terjadi sama aku selama ada di sana. sama juga kayak kamu, nggak ada yang tau gimana nanti kamu di sini. aku bukannya nggak mau ngusahain kita, tapi apapun bisa kejadian di luar kemauan kita.”

sunwoo mulai paham apa yang dibicarakan oleh pacarnya ini. namun otaknya memilih untuk berhenti bekerja. ia tidak peduli seberapa lama changmin ada di sana, ia akan tetap menunggu.

“aku kayaknya nggak bisa, nu. harus berhubungan jarak jauh,” ucap changmin akhirnya. “aku nggak bisa janji apa-apa ke kamu. jadi tolong jangan nungguin aku.”

sunwoo menggelengkan kepalanya, menarik kembali changmin dalam pelukannya.

“nggak papa, kamu nggak perlu janjiin aku apapun. aku yang mau nungguin kamu sampe kamu balik lagi ke sini.”

changmin harus menelan tangisnya karena ia tidak mau menyakiti sunwoo lebih banyak. bahkan ia harus mencoba mengabaikan senyum sunwoo saat cowok itu melambaikan tangannya untuk terakhir kali mengiringi kepergiannya. karena ia tidak tahu apakah ia dapat kembali bersama dengan perasaannya untuk sunwoo. apakah saat ia kembali, hatinya tetap milik cowok itu.

alasan sunwoo enggan saat eric mengajaknya untuk pergi, karena hari ini tepat tiga tahun hubungannya dengan changmin berjalan. ia hanya ingin sekedar menghabiskan waktunya dengan changmin, lewat pesan pun tak masalah.

namun entah sejak kapan sunwoo merasa changmin sangat jauh, sulit untuk digapai. berawal dari balasan pesan yang singkat, beberapa panggilan yang tak sempat diangkat, hingga hilangnya jejak sunwoo di manapun yang berkaitan dengan changmin.

sunwoo tidak menyangkal kalau absennya changmin sedikit banyak merubah dirinya. akan selalu ada kekosongan yang menyapa hingga ia harus berusaha mencari distraksi di tengah-tengah padatnya kuliah. sunwoo sendiri tidak tahu apakah menemukan rasa nyaman sementara saat mengobrol dengan orang lain selain changmin adalah suatu kesalahan. namun di penghujung hari ia akan selalu kembali pada changmin.

sunwoo dapat mendengar helaan napas di seberang saat ia mengucapkan kalimat itu pada changmin. seakan menaruh sisa-sisa harapan pada beberapa kata yang bagi changmin mungkin sudah tidak ada artinya.

“nu, kita udah nggak kontakan berbulan-bulan.”

“kamu nggak pernah bales chat aku.”

“obrolan kita udah nggak ada artinya. kosong.”

namun sunwoo tidak ingin mengakuinya.

what went wrong sih, kak?” tanya sunwoo.

“nggak ada, emang udah jalannya kayak gini,” jawab changmin. “sunwoo, kadang ngelepasin sesuatu itu nggak melulu salah. dan mertahanin sesuatu yang kamu bahkan nggak yakin itu juga nggak selalu bener.”

sunwoo menelan ludahnya dengan susah payah. “kamu ada pacar di sana?”

“sunwoo.”

“bilang aja kalo emang ada. kamu nungguin aku ngomong putus, kan? kamu nyuruh aku berhenti tapi kamu sendiri nggak berani buat ngambil keputusan.”

“iya, aku salah. harusnya aku langsung bilang ke kamu, tapi aku kira kamu juga bisa nyadar dari cara aku nge-treat kamu belakangan ini.”

“siapa, kak?” tanya sunwoo tiba-tiba setelah beberapa saat hening yang tercipta.

“nu, bukan masalah aku sekarang sama siapa. tapi aku sama kamu emang udah nggak bisa lanjut. jangan dikira aku nggak sadar gimana kamu juga berubah.”

“aku berubah gimana, sih?”

changmin lagi-lagi menghembuskan napas keras. sejak ia memutuskan untuk menghubungi sunwoo, ia tahu tidak akan mudah untuk menghadapi cowoknya yang keras kepala ini.

“kamu sadar nggak sih, nu? alasan kamu nggak mau putus tuh karena kamu sayang sama hubungan kita yang udah lama, bukan soal aku lagi. aku tau kamu juga capek.”

sunwoo tertegun mendengar ucapan changmin. ia tidak pernah berpikir kalau ia seegois itu hanya untuk mempertahankan hubungan yang bahkan ia sendiri sebenarnya lelah untuk bertahan di dalamnya. namun changmin baru saja menunjukkannya pada kenyataan yang selalu dihindarinya.

bahwa ini tak lagi tentang changmin. namun pembuktian akan hubungan mereka yang coba dipertahankannya bertahun-tahun. pembuktian bahwa ia berhasil menunggu changmin berapapun lamanya.

but the relationship has lost its meaning.

“sunwoo,” panggil changmin pelan saat tak ada lagi suara dari cowok itu. “it's okay, kamu nggak kalah atau apapun. dari awal aku juga udah bilang, ini bukan salah siapa-siapa. jadi aku minta kamu jangan nyalahin diri sendiri.”

“aku sayang sama kamu.” suara sunwoo bergetar saat ia mengucapkannya.

“aku tahu, aku juga sayang sama kamu. aku kangen. tapi udah nggak bisa lagi, nu. sekalipun kita maksain buat lanjut bakal tetep balik lagi ke titik ini, karena semuanya udah nggak kayak dulu lagi.”

sunwoo akhirnya mengangguk pelan, menerima kenyataan pahit atas harapannya sendiri.

“barusan percakapan kita yang paling panjang beberapa bulan terakhir ini,” ucap sunwoo dengan senyum masam.

and i'm sorry i had to do it on our anniversary.

“kalo kamu nggak bilang kayaknya kita berdua bakal lebih capek. so, thank you for that.

“sunwoo?”

“ya?”

“maaf aku nggak bisa janji buat pulang.”

mungkin kalau sunwoo lebih awal menyadari, sakitnya akan terasa lebih ringan. ucapan selamat tinggal di bandara waktu itu, juga adalah ucapan selamat tinggal untuk perasaan changmin dan hatinya yang dibawa pergi.

sunwoo mengantongi kembali ponselnya setelah rentetan pesan dari eric yang menyuruhnya segera berangkat. malam ini ia biarkan dirinya remuk redam, mungkin changmin juga sama di sana. hanya saja ia tak tahu apakah ada bahu yang siap menerima tangisnya, karena sunwoo tahu ia memiliki seorang dalam pikirannya yang mungkin akan ia datangi.

fin.