purplish

Seperti turunnya hujan rintik-rintik pada siang hari yang terik, layaknya menemukan mainan yang telah lama kau kira hilang saat kau membereskan kamarmu, atau saat kau masih berumur lima dengan senyum lebarmu menggenggam pensil warna yang kau dapat dari membantu ibu.

Bertemu Bintang adalah salah satu hal yang terasa spesial. Satu dari banyak hal istimewa yang dialami Bara selama hidupnya.

Mungkin kau pernah termangu dan bertanya-tanya, apakah hidup akan terus seperti ini? Apa kelam akan selalu menjadi selimut yang alih-alih memberi hangat namun malah menyesakkan dada?

Lalu mereka datang seperti sebuah keajaiban. Kau tidak ingin mempercayainya. Ini semua hanya sementara.

Tapi kau tetap berusaha meraihnya, dan tak ingin melepas.

Bara seperti itu pula.

Menggenggam tangan yang ditemukannya saat ia meraba-raba dalam gelap. Ia tahu tangan itu akan lepas, ia tahu ia dapat menggenggamnya lebih erat atau membiarkannya lepas.

Di situ gelap. Mereka tak dapat melihat apa-apa. Bara tidak menyalakan apinya.

Bara risau jika sosoknya terlihat dengan pijaran cahaya yang terang, Bintang akan melepas genggamannya. Namun Bara masih butuh menggenggam tangannya. Dipegangnya erat-erat hingga kesakitan.

Lorong gelap nan panjang ini, apakah akan ada ujungnya? Apakah ada titik terang di ujung sana? Apakah tangan Bintang menuntunnya untuk sampai ke tujuan?

Padahal tangan itu hanya terulur untuk memberitahu Bara bahwa dalam gelap ini, dirinya tidak sendirian.

“Bar, muka lo ada luka. Abis jatoh?”

“Ini? Iya, jatoh.”

“Lo ceroboh banget, ya. Masa sering banget jatohnya?”

Bara mengulum senyum tipis mendengar kalimat yang rasanya lebih mudah untuk ditanggapi dengan bualan. Bara dapat menjawab dengan 'Iya, emang hobi aja.' atau mungkin 'Ada yang namanya gravitasi bumi.'

Tapi Bara memilih bertanya balik. Entah untuk apa.

“Lo nggak bisa bedain luka jatoh sama ditonjok, ya?”

Bara tak melihat ke arah Bintang namun ia tahu ekspresi apa yang ditunjukkan cowok itu. Pasti sama persis dengan ekspresi Rendra ketika ia tahu Bara sering kena pukul.

Yang tidak Bara sangka adalah apa yang dilakukan Bintang kemudian. Tidak ada kata-kata kaget, penasaran, apalagi menenangkan. Hanya dua lengan yang tiba-tiba sudah terlingkar pada tubuhnya, melingkupinya dari samping.

And it speaks volumes.

Mungkin itu adalah saat di mana Bara membiarkan lengahnya mengambil alih, hati yang keras membatu itu sedikit demi sedikit bergeser menghadap sesuatu yang tak henti mengetuknya pelan. Hingga kemudian ia akan selalu ingin mengarah padanya. Seperti bunga matahari yang selalu melihat ke arah sang surya.

Bara akhirnya jatuh.


“Chang-”

“Ju-”

“Eh, lo duluan deh.”

“Nggak, nggak. Lo duluan aja.”

Juyeon menggaruk bagian belakang kepalanya canggung. Acara traktiran Hyunjae sudah selesai, semuanya mulai beranjak untuk pulang. Tak terkecuali Changmin yang hampir pulang bersama Kevin. Dan Juyeon harus berusaha mencegahnya kalau ia mau menuruti saran dari Sunwoo.

“Lo balik sendirian?” tanya Juyeon langsung. Ia sudah membuang rasa malunya jauh-jauh.

“Tadi mau balik sama Kevin, sih. Tapi anaknya tiba-tiba pergi sama Sunwoo gatau ke mana.”

“Nebeng gue aja mau, nggak?”

Mata Changmin membulat. “Eh, boleh?”

“Boleh, laah. Ayok.”

Juyeon diam-diam bersorak dalam hati. Rupanya omongan Sunwoo ada benarnya juga.


“Ju,” panggil Changmin saat keduanya sudah berada di atas motor yang membelah lalu lintas malam. “Gue boleh nanya, nggak?”

“Boleh. Tapi jangan susah-susah, gue lagi nggak bisa searching.”

“Apaan, sih?” Changmin tertawa pelan.

“Haha, nanya apaan?”

“Itu- lo masih kesel sama gue, nggak?” tanya Changmin hati-hati.

“Loh, kesel kenapa?” Juyeon memasang ekspresi bingung yang terpantul melalui spion motornya.

“Soal gue yang nggak tau band lo.”

Hah? Juyeon tidak paham maksud ucapan Changmin.

“Gue nggak tau kenapa gue harus kesel sama lo, deh?”

“Abisnya tadi muka lo keliatan serius banget gituuu. Gue mikir, jangan-jangan lo masih kesel gara-gara gue nggak tau lo siapa. Nggak tau ada band namanya Butterfly Effect. Aduh, jadi nggak enak lagi guenya, kan.”

Juyeon hampir menyemburkan tawa. “Lah, gue gitu tadi karena lo liat mulu ke arah gue, kan?”

Eh, goblok. Ngapain gue ngomong gitu, dah?

“Gimana, Ju?” Changmin mengernyit bingung.

“Enggaak, gue nggak ada kesel sama sekali. Apalagi cuman masalah lo yang nggak kenal sama band gue.”

Gue, tuh, naksir sama lo. Mana mungkin gue kesel? batin Juyeon rasanya ingin berteriak.

“Bener, ya? Soalnya gue nggak pernah liat band lo manggung. Walaupun gue kenal lumayan deket sama Sunwoo juga, tapi gue sama sekali nggak tau nama band kalian. Sori banget, ya?”

“Minta maaf sekali lagi habis ini lo jadi Mpok Minah.”

Changmin seketika menepak pelan helm cowok di depannya itu. “Juyeon, ih. Gue serius.”

“Iyaa, santai aja. Kemarin, kan, gue juga udah bilang nggak papa?” tenang Juyeon masih dengan sisa tawanya. “Makanya, lo nonton kalo band gue manggung.”

“Iya, deh.”


“Sini, ya?” Juyeon menghentikan motornya di depan kos berpagar hijau yang catnya sudah mengelupas di sana-sini.

Changmin turun dari motor lalu melepas helmnya. “Makasih banget udah dianterin. Rumah lo jauh, nggak, dari sini?”

“Gue juga ngekos, nggak terlalu jauh. Di perempatan lampu merah tadi ambil kanan.”

“Oh, iya? Syukur nggak terlalu jauh. Gue nggak enak lagi kalo lo baliknya kejauhan.”

Juyeon tersenyum tipis. “Nggak enakan mulu lo.”

“Yaa, habisnya-” Changmin mengerucutkan bibirnya yang membuat Juyeon hampir mengulurkan tangan untuk mencubit pipinya karena gemas.

“Nonton, yah, kalo Butterfly Effect ada manggung lagi?” pinta Juyeon kemudian.

Changmin menganggukkan kepalanya semangat. “Pasti! Kabarin ajaa, nanti biar gue kosongin jadwal.”

“Sipp!” Juyeon mengacungkan jempolnya. “Hmm, Changmin?”

“Iya?”

Ada sesuatu dalam binar mata Changmin yang membuat fokus Juyeon terkunci. Padahal ia baru bertemu cowok ini tempo hari di ulang tahun Hyunjae. Tidak sempat bertatap muka, apalagi mengobrol. Tetapi melihat Changmin yang sibuk berlarian kesana kemari untuk memasang dekorasi ulang tahun, lalu sesekali mengomel karena hasilnya tidak seperti yang ia inginkan, membuat Juyeon tanpa sadar mengamatinya dengan senyum tipis yang terbentuk di bibirnya.

Ck, kenapa lo udah ada pacar, sih?

“Ju?” panggil Changmin membuyarkan lamunan Juyeon dan membawanya kembali ke realita.

“Nggak papa. Gue balik dulu. Good night, Changmin.”


Selalu ada ritual yang dilakukan Juyeon sebelum dirinya naik ke atas panggung. Minum sebotol air, meregangkan otot, berdoa. Semua itu Juyeon lakukan hari ini juga tapi hatinya masih belum mau tenang. Untuk satu alasan.

Beberapa menit sebelum nama Butterfly Effect dipanggil, Juyeon masih memfokuskan matanya untuk mencari satu sosok yang sudah berjanji akan datang hari ini. Namun ia belum menemukannya.

Agak telat kali, ya? pikir Juyeon.

Juyeon sudah bersiap di balik satu set drum dan sepasang stick drum di tangan, memainkannya dengan jari-jarinya sementara kaki kanannya menekan pedal bass untuk mengecek suaranya. Dengan aba-aba darinya, satu lagu mulai dimainkan.

Jika sudah tenggelam dalam hingar-bingar suara instrumen musik apalagi pukulan drum yang memenuhi telinganya, Juyeon suka lupa dengan apapun yang ada di sekitarnya. Salah satu cara terbaiknya juga untuk berlari sejenak dari segala masalah yang membebani pikirannya.

Maka saat kepalanya kembali mendongak untuk melihat ke arah audiens di tengah-tengah lagu, Juyeon sempat kecolongan.

Cowok yang ditunggu-tunggu kehadirannya ada di sana. Dengan setelan kardigan motif kotak-kotak warna biru tua di atas kemeja putih dipadukan dengan jeans warna kelabu, tangannya mencengkeram tali tas selempangnya dan tak lupa senyum lebar menghiasi wajahnya yang selalu terlihat cerah.

Juyeon can't take his eyes off him.


Setelah menyelesaikan dua lagu penuh, Juyeon segera menuju ke backstage untuk meneguk air sebelum ia beranjak menemui Changmin di antara penonton yang berjubel. Masih dengan keringat yang membasahi helai rambutnya, Juyeon menemukan Changmin yang sedang mengobrol dengan seseorang.

“Changmin!” seru Juyeon dengan seringai lebarnya.

Changmin membalikkan badannya cepat lalu melambaikan tangannya semangat ke arah Juyeon. Cowok jangkung itu mempercepat langkahnya untuk sampai ke tempat Changmin.

“Hei.”

“Ju, keren banget tadi penampilannya!” puji Changmin begitu Juyeon berada tepat di hadapannya.

Juyeon tak kuasa menahan senyumnya yang sedari tadi memang memaksa untuk merekah saat melihat Changmin, apalagi mendapat pujian secara langsung dari cowok itu. Namun sial momen itu hanya berlangsung untuk beberapa detik karena di detik berikutnya sepasang matanya tak sengaja menangkap tangan Changmin yang sedang menggenggam erat tangan seseorang. Ragu-ragu Juyeon menaikkan pandangannya kembali untuk melihat siapa seseorang yang berada bersama Changmin itu.

Rasanya seperti dihantam angin kencang saat Younghoon tiba-tiba datang dari belakangnya, merangkul Juyeon dengan sebelah tangan hingga cowok itu hampir terhuyung.

“Bang, akhirnya nonton juga!” seru Younghoon. “Hyunjae mana?”

“Dipaksa nonton sama ini, nih.” Cowok yang tangannya digenggam Changmin itu menjawab. Changmin hanya tersenyum kecil.

Kemudian mereka membahas Hyunjae yang tadi sempat izin ke toilet sebentar. Lalu Younghoon mengenalkan Juyeon pada cowok asing itu, yang Juyeon sendiri tak begitu sadar karena sekitarnya tiba-tiba terasa mengabur. Suara bising kerumunan menjadi suara yang teredam di balik kepalanya.

Entahlah, Juyeon hanya merasa pusing.


Juyeon menghentikan motornya di depan bangunan yang megahnya sudah seperti apartemen mewah. Juga tepat di depan Changmin yang berdiri sambil menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Ayo,” ajak Juyeon meminta Changmin untuk naik ke atas motor.

Namun sepertinya Changmin masih belum sepenuhnya sadar maksud kedatangan cowok itu. Dirinya tetap diam di tempatnya.

“Gue disuruh Younghoon. Mau pulang, kan?” ujar Juyeon lagi untuk meyakinkan Changmin. Yang ditanya mengangguk kecil sebagai jawaban. “Buruan naik. Keburu gue dikira tukang ojek nyasar ke sini terus diusir.”

Changmin akhirnya segera beranjak menuju motor Juyeon sebelum cowok itu membawanya pergi dari acara yang sudah membuat hatinya kacau.


Meskipun masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, namun Juyeon tetap berusaha untuk tidak terlalu ikut campur. Tugasnya hanyalah mengantar Changmin pulang.

Hingga Changmin yang kemudian membuka suara. “Ju, berhenti di situ bentar.”

Juyeon menuruti permintaan Changmin, menepikan motornya dari jalan ke sisi yang tidak terlalu ramai. Ia mengira Changmin akan melakukan sesuatu, tapi anak itu tetap tak beranjak dari jok motor. Hanya menutupi wajah dengan sebelah tangan.

“Kelilipan, ya?” Juyeon memiringkan kepalanya untuk mengecek cowok itu yang masih terdiam. Sontak dirinya terkejut ketika Changmin tiba-tiba mengeluarkan isakan pertamanya.

“Eh, kenapa?” tanya Juyeon panik.

“Sori, Ju. Kalo nangis di kos gue dimarahin Kevin.”

“Hah?” Juyeon semakin dibuat bingung. Namun isakan Changmin yang menjadi tanpa henti itu memaksa Juyeon untuk berpikir melakukan sesuatu.

“Udah, udah, jangan nangis... Sst... Udah, ya...” tenang Juyeon sambil menepuk bahu Changmin dengan canggung. Ia tidak pernah ahli masalah menenangkan orang yang sedang menangis.

Mendapat perlakuan seperti itu dari Juyeon rupanya membuat Changmin jadi terisak lebih kencang. Juyeon seketika kelabakan.

“Eh, kok, malah makin nangis, sih. Changmin, nanti dikira gue ngapa-ngapain lo.”

“Lo diem aja makanya. Gue jadi makin sedih!”

“Iya, iya, gue diem. Tapi lo juga diem, jangan nangis lagi.”

“Gue, tuh, sedihhh!” rengek Changmin. “Pengen nangis!!”

Juyeon melihat ke sekitarnya untuk memastikan orang-orang tidak mencurigainya. Sebelum kemudian otaknya memerintahkan kedua lengannya untuk bergerak menjangkau cowok yang masih terisak itu, menenggelamkan kepalanya dalam dekapan untuk meredam suaranya.

“Buruan nangis,” bisik Juyeon setelah ia berhasil merengkuh Changmin dalam kedua lengan kokohnya.

Merasa mendapatkan tempat yang aman, Changmin menangis sejadi-jadinya. Suaranya teredam oleh kaos milik Juyeon yang mulai basah oleh air matanya. Setidaknya orang-orang tidak akan melihat.

Banyak pertanyaan yang ingin Juyeon lontarkan.

Kenapa nangis?

Kenapa nggak dianter pulang sama pacar lo?

Namun tak satupun yang berani Juyeon utarakan, selain,

“Nangis aja sampe lo lega. Habis itu gue anter pulang.”

“Mau makan di mana, Kak?” Changmin bertanya dengan semangat sambil memasang seatbelt-nya. Ia lalu menoleh pada Sangyeon yang berada di balik kemudi, belum menjawab.

“Kak?” panggil Changmin kali ini lebih hati-hati.

Sangyeon seperti tersadar dari lamunan. Ia mengulas senyum tipis yang sangat kentara dipaksakan. Diambilnya satu tangan Changmin untuk digenggam, membuat Changmin sedikit terkejut.

“Kemarin kenapa pulang duluan?” tanya Sangyeon tenang. “Aku bilang tunggu di situ, nanti aku susulin. Tapi kamu malah pulang nggak ngomong sama aku dulu.”

Changmin seketika bungkam, tak berani untuk menjawab.

“Changmin, kamu udah janji mau dateng. Terus kalo kamu tiba-tiba pulang kayak gitu, yang kena malu aku lagi. Aku yang ditanya-tanya.”

“Maaf, Kak...”

Sangyeon menghela napas berat. Wajah Changmin yang tadinya cerah kini sudah berubah murung dan dirinya merasa sedikit bersalah.

“Udah beberapa kali aku ngomong sama kamu. Kita nggak bisa pacaran yang kayak dulu lagi, kamu nggak bisa terus-terusan maksain kebiasaan kamu yang dulu ke aku. Ngirim bekal makan yang belum tentu aku buka, terus kemarin ngajakin nonton acara musik yang nggak jelas. Aku masih punya banyak hal penting yang perlu diurus, Changmin.”

Changmin menggigiti bibir bawahnya dengan perasaan yang campur aduk. Tiap kata yang meluncur dari mulut pacarnya itu seperti peluru yang melubangi hatinya tanpa ampun.

“Tanggung jawab aku, tuh, besar. Jadi tolong, jangan bersikap childish kayak kemarin lagi. Katanya kamu mau ngertiin aku?”

Sangyeon menyentuh sisi wajah Changmin agar cowok itu melihat ke arahnya. “Masih mau bareng-bareng sampe akhir, kan?”

Senyap untuk beberapa saat sebelum akhirnya Changmin menganggukkan kepalanya. Lagipula tidak ada yang bisa ia bantah untuk saat ini. Ia hanya perlu bertahan sedikit lebih lama. Atau begitu yang Changmin pikir.

“Nah, sekarang mau makan apa? Kamu yang pilih.” tanya Sangyeon kemudian setelah mengusap pelan puncak kepala Changmin.

Namun Changmin sudah kehilangan selera makannya.


Younghoon dan seisi ruang studio itu memasang ekspresi yang sama sejak dua orang muncul dari balik pintu beberapa menit lalu. Tak ada satupun dari mereka yang angkat bicara hingga Juyeon akhirnya berdecak kesal.

“Kayak liat apaan, sih? Biasanya Hyunjae wara-wiri ke sini juga pada biasa aja,” gerutu Juyeon.

“Anu, Bang- Tapi Bang Hyunjae, kan, pacarnya Bang Younghoon,” tanggap Eric.

“Ya, terus? Ini juga cuma Changmin. Kalian udah pada tau.”

Changmin yang masih berdiri di sebelah Juyeon tersenyum canggung. Ia mengusap tengkuknya karena semua mata tertuju padanya.

“Sori, gue ganggu latihan-”

“Nggak, kok, nggakkk.” Sunwoo buru-buru memotong ucapan Changmin seraya menghampiri cowok itu. “Kaget aja tadi tiba-tiba ada tamu.”

Sunwoo menyuruh Changmin untuk duduk di kursi yang terletak di salah satu sudut ruangan, sementara yang lain melanjutkan persiapan mereka untuk latihan. Younghoon serta-merta menarik lengan Juyeon ke sudut lain yang jauh dari jarak dengar Changmin.

“Lo ngapain bawa dia kemari?” bisik Younghoon.

“Emang kenapa, sih?” keluh Juyeon, merasa tidak suka keputusannya mengajak Changmin ke tempat latihannya disambut dengan kurang baik.

“Gue bebasin lo buat deketin dia bukan berarti lo bisa sembrono ngajak dia ke mana-mana,” omel Younghoon. “Kalo Hyunjae ke sini dan liat dia diajak kemari sama lo, terus Hyunjae ngadu ke abangnya. Bisa ribet urusan!”

Juyeon mengacak rambutnya kasar. “Dia sendiri yang mau, kok. Gue nggak pernah maksa. Lagian ada lo di sini, gue bisa pake alesan Changmin mau liat lo latihan.”

Setelah membantah ucapan Younghoon, Juyeon langsung melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan temannya itu yang masih ternganga.

“Si anying, kenapa jadi numbalin gue.”


Setelah selesai berlatih untuk lagu yang akan mereka bawakan akhir minggu ini, masing-masing mulai menggunakan waktu istirahat mereka. Sunwoo dan Eric duduk lesehan di sudut sembari mengeluarkan ponsel mereka untuk bermain game, Younghoon merebahkan dirinya di kursi setelah meneguk habis sebotol air, sedangkan Juyeon belum beranjak dari balik drum set. Ia malah melambaikan tangannya pada Changmin untuk memanggilnya mendekat.

“Duduk sini,” perintah Juyeon sementara dirinya bangkit dari tempatnya. Changmin ragu-ragu menggantikan posisi Juyeon untuk duduk dengan drum set di hadapannya. Juyeon lalu memberikan stick drumnya pada Changmin.

“Yang ini namanya cymbal, ini hi-hat cymbal. Kalo dipukul bunyinya kayak gini.” Juyeon mengarahkan satu tangan Changmin untuk memukul instrumen itu. “Ini snare drum, terus yang gede bawah itu bass drum. Mukulnya pake pedal ini kaki lo nginjek situ.”

Changmin menginjak pedal lumayan keras, membuat seisi ruangan menoleh ke sumber suara. Sang pelaku langsung meminta maaf sambil meringis malu.

“Lo cobain aja mukul-mukul sesuka hati lo,” suruh Juyeon.

Meskipun masih ragu, Changmin akhirnya mencoba memukul apa yang ada di depannya dengan pelan. Beberapa kali sebelum ia langsung menyerah.

“Gue nggak bisa main ginian, Ju.”

“Lho, nggak harus bisa. Yang penting nyobain aja, biar tau gimana bunyinya. Kayak gini, nih.”

Juyeon kemudian berdiri tepat di belakang punggung Changmin. Kedua tangannya meraih milik Changmin yang masih memegang stick drum dan mulai mengarahkannya untuk memukul satu persatu alat di depannya. Kaki kanannya menekan pedal untuk menyuarakan bass.

Changmin yang dapat merasakan tubuh Juyeon yang menempel di punggungnya seketika kehilangan konsentrasinya. Apalagi kedua tangan Juyeon yang melingkupi tangannya sendiri dengan erat, membuat Changmin susah memperhatikan apa yang sedang dicontohkan oleh Juyeon. Jantungnya tiba-tiba sama kerasnya berdentum seperti bass drum di bawahnya, entah untuk alasan apa.

“Bang, Bang,” bisik Eric keras berusaha memanggil Younghoon yang masih memejamkan matanya hampir tertidur. “Liat, tuh.”

Younghoon menoleh ke arah yang dimaksud Eric lalu seketika mengangkat alisnya takjub. Sudah tak ada jarak lagi yang tersisa antara Juyeon dan Changmin. Younghoon hampir menyemburkan tawa melihat wajah Changmin yang seperti anak kebingungan dan Juyeon yang sama sekali tak tahu-menahu karena ia tidak dapat melihat bagaimana kondisi wajah Changmin saat ini.

Untung pacar gue nggak ke sini. Kalo iya, bisa abis lo, Ju. Younghoon mengeluh dalam hatinya sebelum memejamkan matanya kembali. Membiarkan temannya menikmati sejenak waktu bersama gebetan yang statusnya adalah pacar orang lain.


“Nih.” Juyeon menyodorkan satu buah es krim di tangannya pada Changmin yang sedang duduk menunggu di dekat motor Juyeon yang terparkir di depan minimarket.

Thanks.” Changmin menerima es krim rasa vanila itu dari Juyeon sambil tersenyum.

Langit sudah berubah gelap saat Juyeon melipir sebentar ke minimarket karena Changmin tiba-tiba ingin makan es krim. Sebelumnya mereka sudah mengisi perut dengan makan mie ayam di warung tenda tidak jauh dari kos Juyeon.

“Tau, nggak? Kayaknya gue udah lama banget nggak nikmatin waktu begini,” celetuk Changmin.

Juyeon yang sedang fokus memakan es krimnya seketika menoleh dengan kening berkerut. “Kayak gimana maksudnya?”

Changmin merentangkan tangannya sekilas sembari mengangkat bahu. “Yaa, kayak gini. Keluar buat sekedar makan atau jalan-jalan sebentar. Nikmatin udara malem hari sambil naik motor. Makan es krim sambil liatin kendaraan lewat.”

“Soalnya lo biasa naik mobil ke mana-mana sama pacar lo, ya? Terus makannya pasti di restoran bintang lima, nggak mungkin makan mie ayam di warung kayak tadi. Langsung sakit perut, kali.”

Changmin seketika tergelak mendengar komentar dari Juyeon.

“Lebay banget, sih, lo? Gue dulu sama Kak Sangyeon juga sering nge-date naik motor. Terus pergi ke mana aja yang kita mau. Makan sate ayam di warung kesukaan dia, ngabisin waktu berjam-jam cuman ditemenin susu segar sama roti bakar malem-malem sampe warungnya mau tutup, pernah main ke pasar malem juga.” Changmin terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Seru deh, pokoknya.”

Juyeon tidak melewatkan sekilas kesedihan yang terpantul dari mata Changmin ketika ia menceritakan semua hal yang pernah dilakukannya dengan Sangyeon. Rasanya seperti ribuan memori luruh begitu saja menghujani cowok itu, membuatnya tiba-tiba merasa rindu.

“Sekarang udah nggak pernah?” tanya Juyeon, mencoba untuk tidak terlalu terdengar menyinggung.

Changmin menarik napas cepat, tersenyum kecil lalu menggeleng.

“Kenapa?”

“Sibuk,” jawab Changmin singkat. “Basi, ya? Tapi emang semenjak dia lulus kuliah gue langsung ngerasa jauh dari dia. Tiba-tiba jarang bales chat, tiap bales pun pasti singkat. Gue ngerti sih, dia pasti pusing mikirin tanggung jawab yang dibebanin orang tuanya ke dia. Mungkin juga dia nganggep kalo ngabisin waktu sama gue, tuh, hal yang sia-sia karena prioritas dia juga udah beda.”

Juyeon mengamati Changmin yang masih berucap dengan nada yang sangat kentara dengan kekalutan. Entah mengapa batinnya ikut merasa sesak.

“Kevin udah berkali-kali ngomong ini ke gue, katanya kalo beneran sayang harusnya nggak cuma satu orang yang berusaha.” Changmin mengakhiri ceritanya dengan tawa pahit yang berusaha disamarkan.

Bungkus es krim yang sudah habis isinya dilemparkan Juyeon ke dalam tempat sampah. Cowok itu lalu melipat kedua tangannya erat ke tubuhnya untuk menghalau udara yang semakin mendingin. Matanya menatap jauh ke langit gelap yang terlihat lengang tanpa kerlap-kerlip bintang.

“Orang kalo udah sayang pasti bakal cari waktu, sih. Sesibuk apapun,” ujar Juyeon tiba-tiba. “Nganggep orang yang disayangnya itu kayak healing, bukannya beban.”

Changmin tercenung mendengar kalimat yang terucap dari mulut Juyeon. Harusnya ia sudah mempersiapkan akan kemungkinan itu, namun ternyata tetap dirinya belum mampu. Membayangkan bahwa Sangyeon tak lagi memiliki rasa yang sama dengannya seketika membuat hatinya bergejolak aneh.

“Tapi seenggaknya lo udah berusaha, kan?”

Juyeon mendaratkan telapak tangannya di puncak kepala Changmin, memberinya usapan lembut yang menenangkan. Kemudian Changmin merasakan itu lagi. Perasaan asing yang sempat merasukinya sama seperti saat ia berada di studio latihan dengan Juyeon.

“Lo udah ngelakuin hal semampu yang lo bisa buat pertahanin hubungan lo sama dia. Gue bahkan belum tentu bisa kayak lo.” Juyeon seketika teringat akan masalahnya yang telah lalu dengan Chanhee. Bagaimana ia memilih untuk mengakhiri semuanya tanpa benar-benar mencoba untuk memperbaiki.

“Jadi, nanti kalo akhirnya nggak sesuai kayak yang lo pengen, nggak perlu terlalu kecewa,” sambung Juyeon kemudian.

Perlahan namun pasti, Changmin menarik sudut-sudut bibirnya hingga ia membentuk senyum yang terlihat tulus di mata Juyeon. Diam-diam Juyeon juga menghela napas lega. Ia tidak ingin Changmin merasa sedih saat bersamanya. Ia mau Changmin selalu merasa bahagia berada di sekitarnya.

“Sumpah, lo beneran baik banget. Lo emang selalu baik sama orang, ya?” tanya Changmin sungguh-sungguh. “Kok lo baik banget sama gue sih, Ju? Oh iya, gebetan lo itu-”

“Soalnya gue naksir sama lo, sih.”

Lidah Changmin seketika kelu tak dapat melanjutkan kalimatnya setelah Juyeon menyelanya dengan satu kalimat yang diucapkannya cepat dan seakan tanpa beban. Ketika Juyeon kembali melempar pandangannya ke arah jalanan, barulah Changmin mengatupkan bibirnya yang sempat ternganga tanpa sadar. Ia tidak yakin apakah ia salah mendengar, namun Changmin tidak memiliki nyali untuk menanyakannya lagi pada Juyeon.

Setelah itu hanya ada Juyeon yang mengajaknya pulang sebelum malam semakin larut. Tak ada lagi percakapan yang tercipta.

“Liat apa?”

Bintang memperhatikan cowok yang duduk di sebelahnya dengan badan yang setengah membungkuk untuk melihat entah apa di bawah meja. Penasaran, Bintang ikut melongokkan kepalanya ke bawah meja.

“Ada anak kucing.”

Biru menunjuk ke salah satu kaki meja di mana makhluk mungil itu tidur melingkar. Seketika Bintang melebarkan matanya sembari tangannya menepuk-nepuk lengan Biru.

“Gemes bangettt!!!” seru Bintang tertahan. Ia sudah hampir mengulurkan tangannya untuk menjangkau kucing itu kalau tidak segera mengingat ia memiliki alergi terhadap bulu kucing.

Makhluk kecil dengan warna abu-abu itu tampaknya tidak terganggu dengan kasak-kusuk dua orang yang sibuk mengomentari keberadaannya. Bintang terus-terusan memekikkan seruan lucu atau gemas tiap kali perut kucing itu bergerak naik-turun untuk bernapas.

“Kamu nggak mau pelihara kucing?” tanya Biru sambil menegakkan lagi punggungnya. Sementara Bintang masih betah menonton si anak kucing yang sedari tadi hanya tertidur pulas.

“Nggak boleh sama bunda, aku ada alergi- ADUH!”

Bintang berseru kencang saat kepalanya tanpa sengaja terbentur pinggiran meja, hampir menumpahkan seisi susu hangat yang dibelinya di warung pinggir jalan itu. Biru buru-buru mengusap kepala Bintang yang terbentur sambil terkekeh pelan.

“Alergi bulu kucing?”

“Iya... Padahal pengen banget pelihara kucing. Liat, tuh, lucu banget.”

Keduanya kembali memperhatikan si bola bulu yang mulai membuka matanya terusik kegaduhan yang disebabkan Bintang. Perlahan Biru mengulurkan tangannya untuk meraih anak kucing itu ke dalam tangkupan kedua telapak tangannya dan membawanya ke dekapan.

“Lucuuu!” Lagi-lagi Bintang berseru. Ia mendekatkan wajahnya pada anak kucing yang sekarang berada dalam dekapan Biru, menatap wajah mungilnya lekat-lekat. “Mirip kayak kucing yang di kantin fakultas kamu, ya, Ru?”

“Iya?” Biru menimang-nimang kucing yang nyaman berada dalam dekapannya itu kemudian tersenyum. Dielusnya puncak kepala kucing itu pelan.

“Dulu aku juga pernah pelihara kucing di rumah,” ucap Biru. “Ada dua. Cowok sama cewek.”

“Terus? Sekarang di mana?” Bintang mengalihkan wajahnya dari si anak kucing, mulai tertarik pada cerita yang Biru cetuskan.

Masih sambil mengelus kepala kecil kucing dengan telunjuknya, Biru mulai menuturkan kisah dua anak bulunya yang menemaninya tidak begitu lama itu.

“Dulu waktu kecil aku sering diem di depan rumah tiap sore, nungguin kalo ada kucing yang lewat. Terus kalo nemu, aku lari ke dalem rumah buat minta makanan sisa ke ibu. Aku kasih ke kucingnya. Gitu terus tiap hari.”

Biru berhenti sejenak untuk tertawa kecil atas kenangannya di masa lalu yang masih terekam jelas dalam kepalanya.

“Ayah kayaknya merhatiin aku tiap sore ngasih makan kucing lewat, soalnya habis itu Ayah tiba-tiba bawa dua anak kucing ke rumah. Warna hitam sama putih belang coklat. Kecilnya persis kayak ini.”

Bintang kembali menurunkan pandangannya pada anak kucing yang mulai menutup matanya lagi.

“Pasti lucu,” komentar Bintang.

“Lucu banget. Tiap hari aku main sama mereka, tidur juga sambil meluk mereka di kanan sama kiri. Waktu itu Dinda belum lahir, jadi aku cuma ditemenin sama mereka.”

“Habis itu?”

“Habis itu... ada orang jahat.” Biru menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. Anak kucing di dekapannya sudah terlelap kembali. “Yang warna putih belang coklat ditemuin Ayah di luar rumah, udah meninggal. Kena racun.”

Bintang menautkan alisnya rapat-rapat. “Kejam banget... Itu yang cewek apa cowok?”

“Itu yang cowok. Dia emang suka main-main keluar rumah. Tapi nggak ada yang tau siapa yang ngeracun dia. Aku inget nguburin dia di bawah pohon mangga sama Ayah terus aku nggak berhenti nangis.”

“Terus, yang cewek? Masih ada, kan?” tanya Bintang kemudian.

“Masih. Tapi saking sedihnya aku jadi nggak mau pelihara lagi. Akhirnya dikasihin Ayah ke anaknya tante.”

“Habis itu kamu nggak pelihara kucing lagi?”

Biru menggeleng. “Nggak. Hewan lain pun juga enggak.”

Pasti rasanya sangat kehilangan apalagi di usia Biru yang masih belum mengerti kenapa sesuatu yang hidup bisa pergi dan tidak akan pernah kembali. Bintang tiba-tiba merenungkan segala hal yang pernah terjadi dalam hidup Biru. Tanpa mengucapkan apapun Bintang meraih satu tangan Biru untuk digenggam dalam hangat tangannya, menghalau udara dingin malam hari itu.

Gelas minuman sedikit demi sedikit berkurang isinya hingga kemudian tandas. Obrolan semakin surut. Anak kucing sudah pergi entah ke mana.


“Kamu nggak mau nyoba pelihara sesuatu?”

Biru melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Bintang, menguncinya dalam ruang yang membuat keduanya hanya sadar akan keberadaan satu sama lain. Tenang dan aman.

“Pelihara apa?” Bintang menatap wajah Biru yang terkena bias lampu di tepi jalan rumahnya. Membuat rautnya terlihat jelas.

“Kelinci?”

Bintang membuka mulutnya setelah Biru menyebutkan satu nama hewan itu. “Kelinci?? Mau, sih??”

“Beneran mau?”

Secepat kilat Bintang mengangguk. “Mauuu.”

“Sepupuku punya banyak banget kelinci. Nanti aku bilang ke dia kalo kamu mau.”

Bintang tersenyum senang. Namun kemudian satu kekhawatiran melintasi pikirannya.

“Biru, tapi kalo aku nggak bisa ngerawatnya gimana? Aku takut kenapa-napa, deh.”

“Nanti aku bantuin. Aku udah sering liat sepupuku ngurusin kelincinya, kok.”

“Oke, deh. Hehe, akhirnya aku punya anak!”

Biru mengerjapkan matanya. “Hm?”

“Kelincinya jadi anak aku, kan?”

“Oh- kirain. Tapi kalo aku ikut ngerawat jadinya anak aku juga, dong?”

Bintang seketika mengerutkan dahinya. “Kan, kamu mau ngasih ke aku. Jadinya anakku!”

“Anak kita, deh?”

“Akuuu.”

“Kita??”

“Ak-” Bintang mengatupkan bibirnya serta-merta ketika Biru tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Bintang. Begitu dekat hingga Bintang dapat melihat pantulan wajahnya yang canggung pada iris mata Biru, juga merasakan hembusan napas hangat dari cowok itu yang menampar kulitnya.

“Biru,” panggil Bintang begitu pelan hampir tak terdengar. “Malu kalo ketauan Kak Bulan.”

Namun Biru tetap bergeming, tak bergerak barang sedikitpun. Kecuali tangannya yang mulai terurai dari mengunci tubuh Bintang padanya, bergerak meraih jaket yang dikenakan Bintang dan menariknya hingga melingkupi kepalanya, menutupi sisi-sisi wajahnya.

“Ditutupin aja kalo malu.”

Belum sempat Bintang melemparkan protes lagi, lembut sudah menyambut bibirnya yang dingin sebab terlalu lama berada di antara angin malam yang berhembus menusuk kulit. Bintang memejamkan matanya meski tetap akan tak terlihat jelas wajah Biru saat ia membuka mata karena dinding-dinding jaket yang membentuk barikade untuk keduanya saling berbagi hangat.

Rasanya semua kekuatan di kakinya mulai menghilang saat Bintang kepayahan untuk berjinjit sejenak. Berusaha menyambut Biru lebih dalam dan hangat. Tangannya mulai menggapai tangan milik Biru, mencari sesuatu untuk digenggam.

Biru menciumnya sangat lembut. Bintang membayangkan kelinci yang berlompatan di atas awan, bersama dengan si putih coklat yang lebih dulu sampai di sana. Semuanya terasa damai dan lembut.

“Kelincinya anak kita, ya?” bisik Biru di antara lembut yang masih bergelayut pada kedua belah bibir.

Bintang tak dapat menahan senyum yang merekah. Ia masih enggan untuk melepas.

“Terserah.”

Bersamaan dengan itu, tangan Biru membiarkan sisi-sisi jaket yang menutupi keduanya jatuh. Ia menangkup wajah Bintang dengan kedua telapak tangannya. Mengizinkan sinar rembulan menambah hangat bagi dua jiwa yang saat ini hanya ingin berbagi kasih melalui apa yang mereka sebut dengan kelembutan.

Juyeon mengekor di belakang Changmin yang sedang sibuk memilih buah untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik. Cowok berparas manis itu terlihat serius memperhatikan buah mana yang kelihatannya ranum.

“Cowok lo pasti udah berlimpah makanan di rumahnya, nggak, sih? Nggak perlu beli banyak-banyak, lah,” celetuk Juyeon saat dilihatnya tangan Changmin yang tak berhenti memasukkan buah pir ke dalam kantong.

“Ya beda dong, Ju. Ini, kan, kayak tanda kasih kalo lo jenguk temen lo yang lagi sakit sambil bawain sesuatu,” jawab Changmin tenang, masih sibuk dengan kegiatannya.

“Kak Sangyeon suka banget buah pir, makanya mau gue bawain yang banyak,” tambah Changmin dengan senyum di bibirnya.

Juyeon hanya menanggapi dengan gumaman malas, tangannya yang terlipat di depan dada lalu terulur untuk menunjuk deretan buah yang tersusun di tempat tak jauh dari hadapannya.

“Kalo gue sukanya yang itu, tuh. Jambu air. Sama jambu biji.”

“Oh, iya?” Changmin menoleh sekilas ke arah Juyeon. “Gue juga suka jambu air. Di rumah gue ada pohonnya.”

“Serius? Mau dong kapan-kapan main ke rumah lo.” Juyeon kembali mengikuti langkah Changmin yang kini sudah beralih menuju kasir.

“Yakin? Rumah gue pelosok banget, loh. Kak Sangyeon aja belom pernah ke sana.”

Hela napas yang dihembuskan Juyeon cukup kentara. Tiba-tiba dirinya merasa mangkel.

“Emang kenapa kalo dia belom pernah ke rumah lo? Kan, nggak ada hubungannya sama gue?”

Kesal yang tersirat dari nada bicara Juyeon langsung tertangkap oleh Changmin. Dirinya langsung terdiam mengamati barang yang dibelinya dihitung harganya oleh petugas kasir. Setelah memberikan sejumlah uang dan mengucapkan terimakasih, keduanya lalu keluar dari kios buah itu.

“Ju,” panggil Changmin sesaat setelah ia memasang helm di kepalanya, membuat Juyeon yang sudah bersiap di atas motor menoleh ke arahnya.

“Hm?”

“Lo... beneran nggak apa-apa kayak gini?”

Juyeon mengerutkan keningnya bingung. “Maksudnya?”

“Ya- kayak gini.” Changmin menggerakkan tangannya untuk memberikan isyarat mengenai hubungan mereka berdua. “Juyeon, gue nggak bisa ngasih apa-apa.”

“Gue juga nggak minta apa-apa, kok,” sahut Juyeon.

“Ju...” panggil Changmin lagi, tidak puas dengan tanggapan yang Juyeon berikan.

Kali ini Juyeon benar-benar memutar badannya untuk sepenuhnya menghadap Changmin, menatap tepat pada sepasang manik mata cowok yang amat sangat disukainya itu.

“Lo udah suka sama gue belum?” tanya Juyeon tiba-tiba.

Changmin seketika mendesah pelan seiring bahunya yang merosot turun. “Jangan nanya kayak gitu.”

“Oke, nggak masalah,” ujar Juyeon enteng. “Sebagai gantinya lo juga udah nggak perlu nanyain masalah tadi lagi. Impas, kan?”


Changmin memutar kenop pintu perlahan setelah mengetuknya beberapa kali. Didorongnya daun pintu hingga dapat memberi celah bagi dirinya untuk masuk ke dalam ruangan berukuran cukup besar itu.

Senyumnya tanpa disadari merekah melihat seseorang yang sedang merebahkan dirinya di atas ranjang, tampak sibuk membaca sesuatu.

“Kak.” Changmin melangkah mendekati ranjang tempat Sangyeon beristirahat. Ia lalu menaruh seplastik buah pir yang tadi dibelinya di atas nakas.

Menyadari keberadaan Changmin, Sangyeon akhirnya menutup berkas yang sedang dibacanya. Wajahnya terlihat lebih tenang begitu ia melihat pacarnya yang sudah lama tidak sempat ditemuinya itu.

“Udah enakan belum badannya?” tanya Changmin sambil menyentuh dahi Sangyeon dengan punggung tangan. Masih terasa hangat.

“Aku nggak sakit. Cuma butuh istirahat aja,” kilah Sangyeon.

“Udah makan? Minum obat?”

“Udah.”

“Aku tadi bawain buah pir kesukaan kamu. Aku kupasin, ya?”

Changmin hampir beranjak dari sisi ranjang namun tangannya sudah lebih dulu ditahan hingga ia terpaksa terduduk lagi.

“Nanti aja. Kamu di sini dulu, aku pengen ngobrol,” ucap Sangyeon. “Kamu kemarin-kemarin ke mana aja? Lagi sibuk, ya?”

“Hm?” Changmin mengangkat alisnya sejenak karena tak disangkanya Sangyeon menyadari absennya beberapa minggu belakangan ini. “Lumayan lagi padet jadwalnya.”

Kebohongan pertama yang Changmin lontarkan pada Sangyeon tanpa sempat otaknya mempertimbangkan lebih dulu. Dirinya bahkan terkejut atas apa yang telah dilakukannya.

Kenapa ia berbohong?

Sangyeon menegakkan punggungnya hingga ia bisa menjangkau Changmin, mengusap lembut wajahnya dengan jemarinya. Kemudian suasana mulai menenggelamkan keduanya dalam lautan rasa rindu yang memaksa untuk bersatu. Changmin membiarkan dirinya direngkuh oleh dua lengan yang menariknya untuk semakin mendekat. Lalu yang tersisa hanyalah suara detik jarum jam yang mengiringi setiap kecupan lembut yang mendarat di bibir dan menghiasi seluruh wajah.


Juyeon terburu-buru menyeruput habis es tehnya begitu dilihatnya Changmin berjalan keluar dari pintu gerbang dengan langkah-langkah cepat menuju ke arah warung di mana ia menunggu Changmin tadi. Wajahnya terlihat tegang dan pucat, membuat Juyeon mulai berspekulasi tentang apa yang telah terjadi di dalam sana.

“Ju, ayo balik,” pinta Changmin pelan. Namun suaranya sangat jelas menyimpan getar.

Tanpa mengucap atau menanyakan apapun, Juyeon segera mengangguk lalu berjalan menuju motornya. Keduanya pergi meninggalkan komplek perumahan itu.

Bahkan hingga Juyeon telah menurunkan Changmin di depan kosnya pun, cowok itu tetap tak mengatakan sepatah kata pun untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Makasih, Ju. Gue- masuk dulu,” ucap Changmin singkat.

“Changmin!”

Seruan Juyeon mau tak mau membuat langkah Changmin menuju kamar kosnya terhenti. Ia membalikkan badan demi melihat ekspresi wajah Juyeon yang terlihat khawatir.

“Lo nggak papa?”

Entah itu reaksi khawatir yang diberikan atau karena itu adalah Juyeon, Changmin akhirnya menelan ludahnya dengan susah payah sebelum menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Dan pada saat itulah Juyeon memangkas habis jarak di antara keduanya untuk melingkupi keseluruhan raga Changmin dengan kedua lengannya, memeluknya erat-erat. Deru napas yang bersahutan seakan memberi sinyal bagi mereka bahwa mereka memang ditakdirkan bertemu untuk ini. Untuk saling ada, satu sama lain.

“Lo, tuh, kalo ada apa-apa ngomong,” desis Juyeon di balik rahangnya yang mengeras. “Bilang, lo butuh apa sekarang?”

Namun Changmin hanya bisa membenamkan wajahnya dalam-dalam, tangannya mencengkeram kuat bagian belakang pakaian Juyeon.

Patah hati terbesarnya baru saja terjadi.

Atmosfer ketegangan yang pekat melingkupi dua lelaki yang kini sedang duduk berhadapan. Namun salah satunya belum berani mengangkat wajah untuk melihat lawan bicara. Kesepuluh jemarinya bertautan erat mencoba menghalau rasa cemas yang kian mengikis keberaniannya.

“Changmin?” Panggilan ketiga dari Sangyeon mendesak Changmin untuk segera membuka suara. “Gimana?”

Changmin masih urung untuk memberi jawaban. Batinnya berdebat untuk memutuskan apakah ia harus mengungkapkan yang sebenarnya atau mencari alasan lain.

“Aku sama Juyeon nggak ada apa-apa,” ucap Changmin akhirnya. “Kemarin aku emang lagi pengen nenangin pikiran, terus Juyeon nawarin buat nganterin muter-muter.”

“Kamu sengaja ngehindarin aku, kan?” tuduh Sangyeon. “Aku belum sempet jelasin apa-apa tapi kamu langsung pergi gitu aja.”

Changmin menatap gelas minuman di depannya dengan pandangan yang sudah mulai berkabut.

“Mau jelasin apa, Kak...” lirih Changmin, retoris.

Mendengar ketidakyakinan dari Changmin membuat Sangyeon berdecak keras.

“Kamu masih curiga aku ada hubungan sama temen kantor aku?” seru Sangyeon. “You don't even have proof to back up your accusation.

“Terus kenapa Kakak manggil nama dia, when you were kissing me??

For God's sake, aku lagi nggak enak badan. Masalah kerjaan masih numpuk di pikiran dan dia salah satu orang yang selalu kerja bareng aku. It was not my intention to call his name.”

Changmin menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha keras tak menumpahkan sedih dan sakit hatinya karena ia tahu pacarnya kini sedang berupaya menutupi apa yang Changmin yakini. Sangyeon tidak ingin mengakuinya. Bagaimana raut wajahnya berubah setiap kali ia mengobrol dengan orang itu, bagaimana ibunya selalu membanggakan dan memperlakukan orang itu dengan baik. Changmin ada di sana untuk menyaksikan semuanya.

“Mama Kak Sangyeon selalu cerita ke aku, gimana dulu Kakak sama dia udah temenan lama. Dan beliau ngira kalian berdua bakal bareng-bareng akhirnya, tapi ternyata Kakak malah pacaran sama aku,” ujar Changmin, kini menatap Sangyeon lekat dengan kedua manik matanya yang memancarkan sendu.

'Saya nggak pernah ngerti apa yang dipikirin anak itu, buat akhirnya milih kamu.' Itu yang selalu mama Kakak bilang ke aku,” tambah Changmin pelan.

Sangyeon seketika mengeraskan rahangnya mendengar sesuatu yang selama ini tak pernah diduganya. Ibunya sendiri mengatakan itu pada seseorang yang dipilihnya membuat sebagian kecil dari dirinya geram.

“Kak, kenapa milih aku?”

Pertanyaan sederhana yang seharusnya dapat dijawab dengan mudah, jika memang ada jawaban untuk itu. Namun Sangyeon terlihat sukar untuk menemukan suaranya, butuh beberapa waktu baginya untuk menjawab.

“Karena kamu nggak kayak mereka,” ucapnya dalam satu helaan napas. “Kamu nggak nuntut aku buat ngelakuin apa yang bukan jadi maunya aku. Cuman sama kamu aku ngerasa bebas.”

Changmin menggigit bibir bawahnya, memori akan semua hal yang mereka lakukan dahulu mulai menyeruak dan membanjirinya dengan rasa rindu.

“Tapi aku sadar aku nggak bakal bisa terus-terusan kayak gitu. Jalan hidup aku emang harus begini, sesuai aturan. Kamu satu-satunya yang bikin aku inget kalo aku pernah punya kebebasan.”

“Kak...”

“Makanya kamu harus sama aku terus,” tandas Sangyeon, nada suaranya berubah. “Jangan berhubungan sama orang lain.”

Changmin mengerutkan keningnya. “Kakak sadar nggak, sih, kalo Kakak itu egois?”

“Changmin-”

“Kakak nggak mau aku pergi, tapi Kakak sendiri nggak pernah merhatiin aku. Nggak tau apa yang aku rasain selama ini.”

Sangyeon menyipitkan matanya untuk menatap Changmin lebih tajam. “Jadi kamu lari ke Juyeon? Dia lebih tau soal kamu? Apa yang udah dia kasih ke kamu, yang nggak bisa aku kasih?”

Dia selalu ada buat dengerin semua keluh-kesahku. Rasanya Changmin ingin berteriak.

“Changmin, orang kayak Juyeon itu nggak punya planning yang jelas buat hidupnya. Pikirannya sekarang pasti cuma seneng-seneng aja. Termasuk sama kamu.”

“Emangnya Kakak punya rencana apa sama aku!?” Changmin akhirnya tak dapat membendung luapan emosi yang sudah sekian lama ditahannya. “Kakak yakin bakal mertahanin aku sampe akhir? Sementara Kakak sendiri memperlakukan aku kayak gini, keluarga Kakak yang juga nggak sepenuhnya bisa nerima aku. Kakak emangnya masih sayang sama aku??”

“Changmin!” seru Sangyeon membungkam Changmin yang meledak di depannya. Ditangkapnya pergelangan tangan lelaki itu dan digenggamnya dengan kuat hingga Changmin meringis kesakitan. “Udah berapa lama kamu berhubungan sama Juyeon sampe berani ngomong sembarangan kayak gitu? Mulai sekarang kamu jangan ketemu lagi sama dia.”

“Nggak!” bantah Changmin. “Terserah aku mau ketemu sama siapa aja.”

Sangyeon mengeratkan genggamannya membuat Changmin kembali terdiam, rasa nyeri menjalar ke sekujur lengannya.

“Aku udah bilang ke Hyunjae buat nutup studionya Younghoon,” ujar Sangyeon sungguh-sungguh. Changmin tertegun, perlahan menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Kak, jangan-”

“Kalo kamu masih berhubungan sama cowok itu, aku bakal pastiin dia nggak akan punya fasilitas buat lanjutin kegiatan nge-band-nya. Aku nggak sudi orang yang gangguin hubungan aku sama kamu masih bisa nikmatin sesuatu dari hasil jerih payah keluargaku.”

Pernyataan Sangyeon benar-benar tak bisa dibantah. Dalam sekejap Changmin menyadari dirinya kembali menjadi seseorang yang tak mampu untuk melawan. Dari awal, hidup keduanya memanglah berbeda. Dan Changmin terlambat untuk lepas dari semuanya.