view“Liat apa?”
Bintang memperhatikan cowok yang duduk di sebelahnya dengan badan yang setengah membungkuk untuk melihat entah apa di bawah meja. Penasaran, Bintang ikut melongokkan kepalanya ke bawah meja.
“Ada anak kucing.”
Biru menunjuk ke salah satu kaki meja di mana makhluk mungil itu tidur melingkar. Seketika Bintang melebarkan matanya sembari tangannya menepuk-nepuk lengan Biru.
“Gemes bangettt!!!” seru Bintang tertahan. Ia sudah hampir mengulurkan tangannya untuk menjangkau kucing itu kalau tidak segera mengingat ia memiliki alergi terhadap bulu kucing.
Makhluk kecil dengan warna abu-abu itu tampaknya tidak terganggu dengan kasak-kusuk dua orang yang sibuk mengomentari keberadaannya. Bintang terus-terusan memekikkan seruan lucu atau gemas tiap kali perut kucing itu bergerak naik-turun untuk bernapas.
“Kamu nggak mau pelihara kucing?” tanya Biru sambil menegakkan lagi punggungnya. Sementara Bintang masih betah menonton si anak kucing yang sedari tadi hanya tertidur pulas.
“Nggak boleh sama bunda, aku ada alergi- ADUH!”
Bintang berseru kencang saat kepalanya tanpa sengaja terbentur pinggiran meja, hampir menumpahkan seisi susu hangat yang dibelinya di warung pinggir jalan itu. Biru buru-buru mengusap kepala Bintang yang terbentur sambil terkekeh pelan.
“Alergi bulu kucing?”
“Iya... Padahal pengen banget pelihara kucing. Liat, tuh, lucu banget.”
Keduanya kembali memperhatikan si bola bulu yang mulai membuka matanya terusik kegaduhan yang disebabkan Bintang. Perlahan Biru mengulurkan tangannya untuk meraih anak kucing itu ke dalam tangkupan kedua telapak tangannya dan membawanya ke dekapan.
“Lucuuu!” Lagi-lagi Bintang berseru. Ia mendekatkan wajahnya pada anak kucing yang sekarang berada dalam dekapan Biru, menatap wajah mungilnya lekat-lekat. “Mirip kayak kucing yang di kantin fakultas kamu, ya, Ru?”
“Iya?” Biru menimang-nimang kucing yang nyaman berada dalam dekapannya itu kemudian tersenyum. Dielusnya puncak kepala kucing itu pelan.
“Dulu aku juga pernah pelihara kucing di rumah,” ucap Biru. “Ada dua. Cowok sama cewek.”
“Terus? Sekarang di mana?” Bintang mengalihkan wajahnya dari si anak kucing, mulai tertarik pada cerita yang Biru cetuskan.
Masih sambil mengelus kepala kecil kucing dengan telunjuknya, Biru mulai menuturkan kisah dua anak bulunya yang menemaninya tidak begitu lama itu.
“Dulu waktu kecil aku sering diem di depan rumah tiap sore, nungguin kalo ada kucing yang lewat. Terus kalo nemu, aku lari ke dalem rumah buat minta makanan sisa ke ibu. Aku kasih ke kucingnya. Gitu terus tiap hari.”
Biru berhenti sejenak untuk tertawa kecil atas kenangannya di masa lalu yang masih terekam jelas dalam kepalanya.
“Ayah kayaknya merhatiin aku tiap sore ngasih makan kucing lewat, soalnya habis itu Ayah tiba-tiba bawa dua anak kucing ke rumah. Warna hitam sama putih belang coklat. Kecilnya persis kayak ini.”
Bintang kembali menurunkan pandangannya pada anak kucing yang mulai menutup matanya lagi.
“Pasti lucu,” komentar Bintang.
“Lucu banget. Tiap hari aku main sama mereka, tidur juga sambil meluk mereka di kanan sama kiri. Waktu itu Dinda belum lahir, jadi aku cuma ditemenin sama mereka.”
“Habis itu?”
“Habis itu... ada orang jahat.” Biru menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. Anak kucing di dekapannya sudah terlelap kembali. “Yang warna putih belang coklat ditemuin Ayah di luar rumah, udah meninggal. Kena racun.”
Bintang menautkan alisnya rapat-rapat. “Kejam banget... Itu yang cewek apa cowok?”
“Itu yang cowok. Dia emang suka main-main keluar rumah. Tapi nggak ada yang tau siapa yang ngeracun dia. Aku inget nguburin dia di bawah pohon mangga sama Ayah terus aku nggak berhenti nangis.”
“Terus, yang cewek? Masih ada, kan?” tanya Bintang kemudian.
“Masih. Tapi saking sedihnya aku jadi nggak mau pelihara lagi. Akhirnya dikasihin Ayah ke anaknya tante.”
“Habis itu kamu nggak pelihara kucing lagi?”
Biru menggeleng. “Nggak. Hewan lain pun juga enggak.”
Pasti rasanya sangat kehilangan apalagi di usia Biru yang masih belum mengerti kenapa sesuatu yang hidup bisa pergi dan tidak akan pernah kembali. Bintang tiba-tiba merenungkan segala hal yang pernah terjadi dalam hidup Biru. Tanpa mengucapkan apapun Bintang meraih satu tangan Biru untuk digenggam dalam hangat tangannya, menghalau udara dingin malam hari itu.
Gelas minuman sedikit demi sedikit berkurang isinya hingga kemudian tandas. Obrolan semakin surut. Anak kucing sudah pergi entah ke mana.
“Kamu nggak mau nyoba pelihara sesuatu?”
Biru melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Bintang, menguncinya dalam ruang yang membuat keduanya hanya sadar akan keberadaan satu sama lain. Tenang dan aman.
“Pelihara apa?” Bintang menatap wajah Biru yang terkena bias lampu di tepi jalan rumahnya. Membuat rautnya terlihat jelas.
“Kelinci?”
Bintang membuka mulutnya setelah Biru menyebutkan satu nama hewan itu. “Kelinci?? Mau, sih??”
“Beneran mau?”
Secepat kilat Bintang mengangguk. “Mauuu.”
“Sepupuku punya banyak banget kelinci. Nanti aku bilang ke dia kalo kamu mau.”
Bintang tersenyum senang. Namun kemudian satu kekhawatiran melintasi pikirannya.
“Biru, tapi kalo aku nggak bisa ngerawatnya gimana? Aku takut kenapa-napa, deh.”
“Nanti aku bantuin. Aku udah sering liat sepupuku ngurusin kelincinya, kok.”
“Oke, deh. Hehe, akhirnya aku punya anak!”
Biru mengerjapkan matanya. “Hm?”
“Kelincinya jadi anak aku, kan?”
“Oh- kirain. Tapi kalo aku ikut ngerawat jadinya anak aku juga, dong?”
Bintang seketika mengerutkan dahinya. “Kan, kamu mau ngasih ke aku. Jadinya anakku!”
“Anak kita, deh?”
“Akuuu.”
“Kita??”
“Ak-” Bintang mengatupkan bibirnya serta-merta ketika Biru tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Bintang. Begitu dekat hingga Bintang dapat melihat pantulan wajahnya yang canggung pada iris mata Biru, juga merasakan hembusan napas hangat dari cowok itu yang menampar kulitnya.
“Biru,” panggil Bintang begitu pelan hampir tak terdengar. “Malu kalo ketauan Kak Bulan.”
Namun Biru tetap bergeming, tak bergerak barang sedikitpun. Kecuali tangannya yang mulai terurai dari mengunci tubuh Bintang padanya, bergerak meraih jaket yang dikenakan Bintang dan menariknya hingga melingkupi kepalanya, menutupi sisi-sisi wajahnya.
“Ditutupin aja kalo malu.”
Belum sempat Bintang melemparkan protes lagi, lembut sudah menyambut bibirnya yang dingin sebab terlalu lama berada di antara angin malam yang berhembus menusuk kulit. Bintang memejamkan matanya meski tetap akan tak terlihat jelas wajah Biru saat ia membuka mata karena dinding-dinding jaket yang membentuk barikade untuk keduanya saling berbagi hangat.
Rasanya semua kekuatan di kakinya mulai menghilang saat Bintang kepayahan untuk berjinjit sejenak. Berusaha menyambut Biru lebih dalam dan hangat. Tangannya mulai menggapai tangan milik Biru, mencari sesuatu untuk digenggam.
Biru menciumnya sangat lembut. Bintang membayangkan kelinci yang berlompatan di atas awan, bersama dengan si putih coklat yang lebih dulu sampai di sana. Semuanya terasa damai dan lembut.
“Kelincinya anak kita, ya?” bisik Biru di antara lembut yang masih bergelayut pada kedua belah bibir.
Bintang tak dapat menahan senyum yang merekah. Ia masih enggan untuk melepas.
“Terserah.”
Bersamaan dengan itu, tangan Biru membiarkan sisi-sisi jaket yang menutupi keduanya jatuh. Ia menangkup wajah Bintang dengan kedua telapak tangannya. Mengizinkan sinar rembulan menambah hangat bagi dua jiwa yang saat ini hanya ingin berbagi kasih melalui apa yang mereka sebut dengan kelembutan.