purplish

“pengen jadi ikan.”

kalau ini kali pertama bertemu changmin, pasti ia sudah mengerutkan kening karena heran. tapi sudah beberapa saat semenjak juyeon kenal changmin, jadi dia sudah terbiasa dengan pemikiran aneh anak itu yang suka terlontar tiba-tiba.

“kenapa?”

“memori ikan cuma tiga detik. gabakal inget sama memori yang jelek-jelek.”

juyeon mengulas senyum mendengar alasan changmin yang menurutnya lucu. amused.

“tapi gabakal inget juga sama memori baik?”

“gak masalah.”

“kok gitu?”

“memori baik masih bisa diusahain, tapi memori buruk bakal tinggal selamanya.”

juyeon anak semata wayang di keluarganya. sedari kecil ia sudah terbiasa mendapat curahan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. ia tumbuh menjadi individu yang menyimpan banyak afeksi di dalam dirinya. ia tidak pernah merasakan apa itu rasa cemburu atau harus terpaksa mengalah dan berbagi dengan yang lain.

bertemu changmin di masa-masa pencarian jati diri sedikit banyak mengubah hidup juyeon. kalau bisa mengumpamakan, juyeon bakal bilang changmin itu kayak permen nano-nano. he is bright, cheerful, can be emotional sometimes. tapi semua menyenangkan. menghabiskan waktu dengan changmin tidak pernah membosankan.

lain halnya dengan juyeon, changmin memiliki satu kakak perempuan yang selalu ribut dengannya.

“ah males banget kakakku nitip beliin deodoran di minimarket.” changmin menekan-nekan keypad-nya dengan kesal.

“nanti aku anter,” sahut juyeon.

“bukan masalah itunya, juyeon. aku males kakakku suka nyuruh-nyuruh padahal belum tentu aku mau.”

“beliin deodoran doang apa susahnya?”

changmin meletakkan ponselnya dengan gemas. “juyeonnn, kamu tuh gabakal ngerti! dia tuh suka nyuruh tanpa peduli sikon. masa iya aku disuruh beliin martabak pas aku masih ada kelas sore. terus pernah juga aku disuruh beli pembalut!”

juyeon hanya tertawa pelan mendengar keluh kesah changmin. dia tidak punya kakak atau adik untuk sekedar bertengkar kecil dengannya. jadi mendengarkan cerita kakak-adik seperti ini menyenangkan baginya.

“terus kalo aku nolak pasti aku yang kena omel bunda, pasti dibilang gamau nurut sama kakak. kamu itu anak cowo bla bla bla, kalo kakaknya ada apa-apa ya dibantuin.” changmin menirukan bundanya kalau lagi menceramahinya.

“tapi seru, tau.” juyeon menaruh kepalanya di kedua lengannya yang terlipat di atas meja. “di rumahku sepi banget.”

“ah, kamu mah. ya udah kamu aja gantian jadi aku, biar aku yang jadi anak mama papa kamu biar aku dimanja terus.”

ocehan changmin selanjutnya terdengar samar karena juyeon lebih sibuk memandangi wajah lelaki itu dari samping.

hari ini permen nano-nano rasa asam, tapi tetap ada manis yang menyertai.

menjadi anak tunggal juyeon tidak tahu bagaimana menunjukkan perhatian pada seseorang yang dipedulikannya.

juyeon suka changmin.

tidak yakin jenis suka seperti apa. yang jelas dia suka changmin. dia suka berada di dekat changmin, berlama-lama walaupun tidak saling bertukar suara.

pun juga saat changmin akrab dengan yang lain, juyeon tidak tahu bagaimana mengungkapkan kalau dia tidak suka. juyeon tidak pernah sekalipun merasakan harus berbagi sesuatu yang disukainya. dan ternyata itu tidak menyenangkan.

“eh, maaf ya. tapi aku pulang bareng juyeon.”

tidak masalah, karena changmin pada akhirnya tetap memilihnya. juyeon diam-diam merasa menang.

menikmati senja yang mulai redup tergantikan gelap, changmin duduk di atas motor juyeon. sibuk menatap layar ponselnya sambil menyedot es teh di dalam plastik.

“eh, ternyata kamu salah.”

juyeon yang berjongkok di dekat changmin membuka suara, membuat changmin mengalihkan pandangannya sejenak dari layar.

“soal?”

“memori ikan yang cuma tiga detik.”

“oh...” changmin kembali menelusuri layar ponsel sembari tertawa. “udah gamau jadi ikan.”

“loh kok gitu?”

kalimat selanjutnya yang dilontarkan changmin membuat juyeon terdiam.

“udah ada kamu di sini. bikin memori baik atau buruk pun gak apa.”

sebelum juyeon sempat menemukan kata-kata yang terjebak di tenggorokannya, changmin melanjutkan.

“aku gamau jadi ikan. nanti aku di air, kamu di darat. gimana ketemunya?”

ji changmin lucu. juyeon suka.

berdiri dari tempatnya, juyeon menghampiri changmin yang masih sibuk menyedot es teh.

“kita sama-sama jadi ikan, gimana?”

tawa keduanya pecah seiring sang surya yang perlahan tenggelam di ujung langit. hari ini permen nano-nano hanya terasa manis.

I wish you sunshine in the sky And all the bluebirds in your eyes May it light up wherever May it shine on forever I wish you love Rooted within you Deeper Oh I'm falling so hard into you Quicker and deeper

selama duapuluh dua tahun hidup, changmin belum pernah benar-benar menginginkan sesuatu. keadaan membuatnya harus terus mengalah. dan mungkin kali ini pun juga.

he's always been someone that changmin can't reach. can't even dare to dream to be close with. he's like the moon and the stars on the dark night sky, so beautiful yet so far. changmin could only admire.

ada saat keduanya berpapasan, menggenggam gelas kopi di tangan dan tersenyum singkat pada changmin. ucapan selamat pagi yang berada di ujung lidah tidak sempat terucapkan. masih ada hari esok.

namun hari esok adalah hari-hari yang sama. anggukan singkat bahkan sapaan yang terlewat sama sekali karena terburu-buru.

hari ini mungkin semesta sedang ingin memberi bahagia pada changmin. bukan sapaan selamat pagi, ataupun anggukan singkat.

“hai.”

changmin padahal sudah sering memutar skenario di kepalanya untuk kemungkinan ini, tapi lidahnya tetap kelu. jadi ia hanya mengangguk.

“saya sering lihat kamu lewat di sekitar sini. divisi apa?”

“sa- saya... intern dari divisi media informasi.”

“oh-”

percakapan keduanya tersela oleh pesanan kopi yang sudah tersaji. keduanya mengambil gelas kopi masing-masing.

“saya juyeon. lee juyeon staff divisi marketing.”

changmin menerima uluran tangan di hadapannya.

“ji changmin.”

seems like the moon and the stars are not that far. they seem reachable. changmin thought.

menikmati kopi bersama, pulang bersama, dan saling bertukar cerita. juyeon tidak seasing yang ia kira. juyeon hangat, seperti senyumnya.

tapi hangat tidak menyelimutinya saat ia mulai berkisah.

i had an ex. he was just like you. i thought i would live the rest of my life with him happily.

“lalu?” changmin memerhatikan air muka juyeon yang tetap tenang.

i lost him in an accident.

changmin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu namun urung dilakukannya.

“maaf.”

juyeon mendengus kecil. “sudah hampir lima tahun yang lalu. harusnya saya sudah lupa.”

changmin tidak tahu apakah ia merasa senang karena juyeon akhirnya membuka diri padanya, atau fakta bahwa ia mengingatkannya pada seseorang di masa lalunya.

changmin seharusnya tahu bahwa ia tidak akan pernah menang. daridulu ia dipaksa mengalah.

seharusnya ia tidak mengiyakan saat juyeon bertanya padanya, “changmin, jadi pacar saya ya?”

karena mana mungkin ia bisa menang dari seseorang yang sudah tidak tinggal di dunia ini lagi. juyeon bukan menyukainya, juyeon menyukai bayang-bayang masa lalu yang tersirat dari dirinya. changmin ingin meminta lebih, namun ia tahu sejak awal ia sudah kalah.

changmin ingin juyeon melihat dirinya, lebih dari sekadar potongan-potongan ilusi masa lalu.

I'm falling again And I get up again Continuum it seems I'm riding the wave I'm hiding 'cause feelings keep drifting apart And wanting more is just gonna get me Down to my belly I'm riding the wave I get out, the air gets too lonely to breathe And saying so much will only take me Drag me Down to my knees

changmin berdiri di barisannya, dengan satu kakinya yang ia gerakkan pelan karena lelah terlalu lama berdiri. ia mendengar bisikan memanggil dari balik punggungnya, menoleh ia menemukan chanhee yang sedikit menundukkan kepala ke arahnya.

“arah jam lima. jangan langsung nengok.”

changmin mengangkat alisnya berusaha terlihat santai sebelum mengedarkan pandangannya ke arah yang disebutkan chanhee.

itu juyeon. dengan kamera hitam di tangan. sibuk menekan-nekan tombol di kamera.

“bener kata lo.” bisik chanhee lagi.

changmin menatapnya kesal. “ya benerlah. ngapain gue boong.”

“ji changmin? ngobrolnya bisa ditunda dulu?”

mendengar namanya dipanggil changmin buru-buru membalikkan badannya kembali ke depan. menunggu gilirannya untuk mengumpulkan hasil tugas yang dikerjakannya semalaman.

waktu istirahat makan siang, seperti biasa changmin mengeluarkan bekal yang disiapkan dari rumah. selama ospek dia tidak sempat untuk menyentuh sarapan yang sudah disiapkan ibunya, jadi changmin meminta ibunya untuk mengepaknya saja menjadi bekal.

chanhee menyenggol changmin dengan sikunya saat ia hampir memasukkan suapan pertama ke dalam mulut.

“apaan sih?” changmin sewot karena temannya itu mengganggu kegiatan makannya saat perutnya sudah minta diisi. bukannya menjawab chanhee malah melebarkan matanya ke arah kanan changmin.

“ngapain sih lo chan?”

belum sempat ia mendapat jawaban, sebuah suara kursi digeser dan seseorang menempatkan diri di sebelahnya. changmin menoleh dan mendapati juyeon sudah duduk dengan nyaman di kursi sebelahnya, bermain dengan kameranya.

ngapain nih orang kemari?

changmin melirik chanhee untuk mengirim pesan tak bersuara tapi sayangnya chanhee memilih untuk tidak peduli dan menyibukkan diri dengan catatan di hadapannya.

sok belajar lagi anjir.

jadi changmin mencoba bersikap biasa saja dan mulai memakan bekalnya. satu suap, dua suap. ia perlahan melirik ke arah juyeon lagi dengan sudut matanya.

ngapain sih lo? kursi banyak tapi malah duduk di sini. gue makan jadi gak tenang tau! bawaannya negatif mulu sama lo.

“eh liat deh.”

changmin menghentikan kunyahannya. barusan juyeon bersuara.

dia ngajak ngobrol siapa?

“changmin.” juyeon menyenggol lengannya, menunjukkan foto di kamera. “liat nih.”

mau tidak mau changmin melihat foto yang disodorkan juyeon. itu foto younghoon dan hyunjae yang changmin sendiri bertanya-tanya kenapa mereka melakukan pose penuh tanda tanya itu.

“gajelas banget mereka berdua.” juyeon ketawa. “ada juga foto lo. mau liat ga?”

itu bukan pertanyaan karena juyeon sudah menunjukkan foto selanjutnya sebelum changmin sempat membuka mulut.

itu changmin. tadi pagi. saat ia masih menunggu giliran di barisan. diambil dari samping sehingga hanya sebagian wajahnya yang terlihat. harusnya jadi shot yang bagus kalau saja changmin tidak sedang menguap.

“lo nih- niat gak sih jadi sie dokumentasi?”

jujur changmin tidak bermaksud untuk protes tapi melihat fotonya sendiri dengan keadaan seperti itu otomatis membuatnya kesal. tapi juyeon hanya tertawa, menutup mukanya dengan sebelah tangan sementara changmin menahan kesalnya.

“tenang, tenang. gue juga ambil foto yang bagus-bagus, kok.” juyeon membela diri setelah tawanya reda.

“hapus yang tadi.” pinta changmin.

“engga ah. biar jadi kenang-kenangan.” ucap juyeon santai. ia kemudian menaruh kameranya di pangkuan sebelum mengalihkan perhatiannya pada bekal makanan changmin.

“makan apa sih? bagi dong.”

yatuhan ini orang kenapa sih?

changmin kesal tapi toh dia tetap membiarkan juyeon mencuri sedikit makan siangnya.

capek.

hanya itu yang dirasakan hyunjae saat ini. capek fisik, capek hati, capek pikiran. ia berencana untuk mendapatkan kembali asupan afeksinya setelah berhari-hari menjalankan tugas di luar kota. ia kangen younghoon.

tapi yang didapatnya hanyalah punggung yang dingin.

“younghoon.”

yang dipanggil tidak bereaksi, sibuk mengetik sesuatu di laptop. pancaran cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang letih. mau tidak mau hyunjae harus menyingkirkan benda itu dari hadapan younghoon. mengalihkan fokusnya kepada dirinya.

setelah akhirnya younghoon melihat ke arahnya, hyunjae tersenyum kecil.

“jangan kerja terus. capek.”

namun jawaban younghoon seketika membekukan hyunjae.

“emangnya kamu peduli apa?”

“hoon, ada apa sih? ada masalah di kantor? mau cerita?”

“nggak perlu.” younghoon menarik kembali laptopnya, namun segera dicegah hyunjae.

“younghoon, please? kamu ada masalah apa?”

kali ini younghoon menghela napas keras, mencoba menata kalimat yang ingin diucapkannya.

“kamu ngapain sih? pulang seolah nggak terjadi apa-apa? did you even pick up my calls? kamu ke mana tiap aku butuh? kamu gak pernah ada, hyunjae.”

hyunjae mengusap wajahnya lelah. “kamu tahu aku lagi ada tugas di luar kota. aku juga udah bilang ke kamu, kan?”

“tugas.” younghoon mendengus geli. “i knew you slept with that friend of yours.”

“younghoon!”

serta merta hyunjae membentaknya. bagaimana bisa kekasihnya mengatakan hal seperti itu. those words hurt, he must say.

“jangan dikira aku nggak tau. bahkan temen-temen sekantor kamu juga udah pada tau masalah kamu sama dia.” younghoon berucap setelah sekian detik hening. “aku capek, hyunjae.”

hyunjae menelan ludahnya. “kamu capek? sama, aku juga capek. aku capek kamu selalu nuduh aku yang nggak bener. dia emang temen aku, tapi dia juga asisten aku. aku harus kerja sama dia, hoon.”

“tapi temen-temen kamu sendiri yang bilang kalo-”

“jadi kamu lebih percaya mereka?” potong hyunjae.

then why didn't you answer my calls?”

“aku sibuk, younghoon. beneran aku gak dikasih waktu istirahat. harusnya malah aku baru bisa pulang besok. tapi aku maksa karena tugas aku udah selesai. aku pengen ketemu kamu. aku kangen.”

younghoon terdiam. hyunjae berjongkok di depannya, meraih tangan younghoon dan menggenggamnya dengan kedua tangan.

“younghoon, aku selalu bilang sama kamu. jangan jadiin orang lain sebagai rumah kamu. orang bisa pindah, bisa berubah. tapi kamu, kamu rumah aku. seberapa jauh kamu pergi, aku tetap bakal datangi karena di kamu aku bisa istirahat. cuma di kamu aku bisa ngelepas capek, di kamu aku ngerasa paling nyaman.”

hati younghoon mencelos mendengar perkataan hyunjae. ia tidak sadar matanya memanas karena menahan tangis. ia sayang hyunjae. sangat. namun kadang ia lebih memilih untuk mendengarkan pikiran-pikiran negatifnya tentang hyunjae.

younghoon membiarkan tubuhnya ditarik perlahan ke dalam dekapan hyunjae. satu isakan akhirnya lepas dari tenggorokannya.

“aku kangen. aku ngerasa kamu gak ada tiap aku lagi butuh kamu. aku takut, aku selalu butuh kamu tapi kamu mungkin bisa hidup tanpa aku.”

hyunjae mengeratkan pelukannya, mengusak pelan rambut younghoon dan mencium puncak kepalanya.

i'm sorry i wasn't there when you needed me. aku bakal berusaha buat selalu ada, dan aku selalu butuh kamu. that's why i always come back to you, because you're my home.”

younghoon melesakkan wajahnya ke leher hyunjae, berbisik selembut angin. “i love you.”

i love you too. a lot.

say what you need say what you really need to say words can kill, it's real without you knowing and by the way i could just say it back to you, it's easy but honey i choose to be okay again today

chanhee bukannya tidak memerhatikan bagaimana perilaku changmin berubah terhadap juyeon. ia mengenal changmin sudah lama, ia tahu. dan ia tahu saat ini changmin berusaha menghalau perasaannya sendiri. seperti yang sudah-sudah.

“lo... suka sama juyeon, kan?”

yang diberi pertanyaan langsung menoleh, sebisa mungkin menetralkan air muka.

“hm? kenapa?”

chanhee tahu responnya akan seperti ini. membuat changmin jujur soal perasaannya sama seperti mengeringkan lautan. hampir mustahil.

“kayak gue gatau lo aja.” chanhee tersenyum tipis. “soal lo ke kevin juga kan gue yang pertama kali notis.”

“kenapa jadi bawa-bawa dia? lagian juga udah berapa tahun yang lalu.”

“maksud gue, lo juga kayak gitu kan ke juyeon?”

changmin tahu sia-sia saja berkelit dari chanhee. tapi ia sendiripun tidak yakin. karena aneh rasanya ia bisa tiba-tiba berubah seperti ini.

“changmin, gue paham kenapa lo gak pernah bilang ke kevin. tapi ini bukan kevin, ini juyeon. you have nothing to lose.”

chanhee benar. kevin sahabatnya, ia tidak ingin kehilangan. tapi juyeon lain.

satu helaan napas. “gue gak yakin, chan.”

hyunjae masih tergelak di kursinya sejak juyeon akhirnya mengakui kalau ia suka changmin.

“sori, sori. gue udah tau sih, tapi tetep aja lucu.” hyunjae mengusap matanya karena terlalu banyak tertawa.

“kalo gue kasih tau younghoon pasti responnya lebih parah.”

“dia malah yang pertama tau gak sih? kocak lo.”

“dia asal nebak doang.” juyeon menghempaskan badannya di sebelah hyunjae, menghela napas keras.

hyunjae meliriknya sekilas. “ju, lo beneran suka sama dia?”

“menurut lo sendiri gimana?” juyeon balik bertanya.

hening beberapa saat. juyeon tidak menanti jawaban karena itu adalah pertanyaan retoris. hyunjae pasti sudah paham.

“lo... beneran udah move on?” tanya hyunjae pelan.

juyeon menatap langit-langit ruangan. ia sendiri tidak percaya ia akan sampai di tahap ini. saat ia akhirnya berdamai dengan masa lalu, dengan kenangan yang selalu menggantung di ujung pikiran, dan dengan dirinya sendiri.

“nggak ada yang bener-bener move on, je. semuanya tetep tinggal walaupun cuma di sudut-sudut cerita hidup kita. tapi- gue udah nggak sedih kalo nggak sengaja ngebuka halaman itu lagi. gue bisa tinggal ngebalik halaman selanjutnya buat cerita yang lain. kali ini mungkin, sama changmin.”

hyunjae tersenyum tipis, tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk pulih.

well, good luck then.

“maaf ya kalo ganggu waktu lo.”

“engga, kok. ini anak-anak juga lagi pada nonton.”

“banyak ya, temen lo di situ?”

“engga sih cuman chanhee sama satu lagi temen gue.”

“siapa?”

“kevin. lo gakenal sih, lain jurusan.”

“temen lo?”

“iya tadi kan udah gue bilang.”

“iyaa.”

“kenapa sih?”

“kenapa gimana?”

“lo nanyanya gitu mulu.”

“engga.” “changmin.”

“hm?”

“gue mau nanya sesuatu tapi jangan kaget.”

“nanya apa.... kalo aneh ya gue kaget.”

“yah, gajadi deh.”

“yaudah buru nanya aja.”

“jangan kaget.”

“yaudah cepetan!”

“kira-kira, ikan kalo lagi diem itu dia bengong apa tidur?”

sambungan diputus.

hari ini hari terakhir ospek.

harusnya changmin bisa menarik napas lega, tapi tidak hingga penghujung hari ini. tidak sebelum ia tahu apa yang akan disampaikan juyeon.

hari ini changmin sengaja menghindar jika matanya menangkap sekilas keberadaan juyeon. hal bodoh karena pada akhirnya ia juga harus bertemu dengan lelaki itu. tapi setidaknya ia bisa menyelamatkan hatinya untuk sementara waktu.

“changmin.”

satu panggilan singkat membuat seluruh badan changmin terasa seperti disiram es. chanhee yang beriringan dengan changmin keluar ruangan pun ikut menghentikan langkahnya.

juyeon melempar senyum kepada keduanya sebelum berjalan mendekat. ia mengulurkan tangannya untuk meraih pergelangan tangan changmin, sembari mengatakan sesuatu kepada chanhee.

“gue pinjem temen lo dulu, ya.”

chanhee baru sempat membuka mulut saat juyeon sudah membawa temannya pergi.

“holy shit.”

“laper gak?” tanya juyeon saat changmin sudah naik ke boncengan motor.

“hmm dikit. tadi udah makan siang, sih.”

“gue laper banget. temenin gue makan, ya?”

changmin mengangguk, menatap juyeon lewat spion.

warung gado-gado yang biasa juyeon datangi bersama younghoon dan hyunjae tidak terlalu ramai siang itu. masih ada beberapa meja yang kosong.

“di sini gado-gadonya enak lo harus cobain,” celetuk juyeon.

“gue setengah porsi aja deh, gak terlalu laper soalnya.”

setelah mendapatkan pesanan, mereka duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela. sesekali angin membelai rambut dan wajah keduanya.

“changmin.”

yang dipanggil menghentikan kegiatannya mengaduk jus stroberi di hadapan. ia tidak tahu harus berbuat apa jadi sedari tadi ia hanya menyibukkan diri dengan sesuatu.

“hari ini terakhir ospek,” ucap juyeon.

“iya.” changmin mengangguk.

“seneng dong lo?”

changmin tersenyum kecil. “senenglah. udah gaperlu begadang sampe pagi lagi, tidur sebentar terus udah ke kampus lagi.”

“tapi seru, kan?”

“minus bagian lo ngerjain gue, sih. seru-seru aja.”

juyeon tertawa. changmin benci mengakui tapi tawa juyeon berhasil membuat hatinya berdesir.

kenapa, sih...

“gak adil banget padahal yang ngide younghoon tapi malah gue yang kena.”

“ya terus lo lakuin lagi.” changmin sewot.

“abisnya... lo gemes sih responnya. nurut aja lagi.”

“masih awal kuliah gue gamau cari mati.” changmin membela diri.

juyeon mengangguk sembari menyendokkan makanan ke mulutnya.

“tapi, gue bukan orang yang kayak gitu kok.”

“iya gue tau,” sahut changmin pelan, tak terdengar oleh juyeon.

“changmin, gue boleh nanya sesuatu gak?” juyeon meletakkan sendoknya dan menumpukkan sebelah tangannya di pipi.

changmin meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke piringnya lagi. “nanya aja.”

“kevin itu- pacar lo?”

changmin hampir tersedak kentang yang sedang ditelannya. buru-buru ia menyedot jusnya.

“gimana?”

“gue gak sengaja liat postingan chanhee, yang foto lo berdua kevin.”

changmin berdeham, mencoba mengembalikan suaranya. “oh, itu. kevin sama chanhee, dua-duanya sahabat gue.”

bibir juyeon membentuk huruf 'o', ia mengangguk kecil.

“dari kemarin nanya itu mulu kenapa, sih? lo ada naksir sama temen gue?”

“hah?” juyeon mengerjapkan matanya, menggeleng cepat. “engga, engga.”

“terus?”

“gue ada naksir orang, tapi bukan temen lo.”

juyeon menempelkan punggungnya ke sandaran kursi, melipat tangannya di depan dada sembari mengamati changmin.

“gue suka sama orang. orangnya lucu, tapi juga galak.” ucap juyeon. “tapi walaupun galak, tetep aja gemesin. aneh banget gue bisa suka. padahal tiga tahun terakhir gue sama sekali gak tertarik buat deketin orang, tapi kali ini rasanya gue bakal nyesel kalo gue ga ngomong.”

changmin tanpa sadar menahan napasnya mendengarkan juyeon. ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk balas menatap kakak tingkatnya itu. pikirannya penuh dengan suara-suara bising.

“changmin, gue suka sama orang. sekarang orangnya lagi duduk di depan gue.” lanjut juyeon.

sudah terkatakan. juyeon sudah mengatakan semuanya. perihal ucapan manis yang sudah disiapkan sebelumnya, juyeon tidak ambil pusing jika akhirnya ia hanya mengatakan apa yang perlu ia katakan. ia hanya ingin changmin tahu.

namun changmin masih terdiam. ia mencoba membuka mulutnya, tapi gagal menemukan suaranya.

nggak bisa... gue nggak bisa...

juyeon menunggu tapi changmin tak kunjung bersuara. jadi ia hanya mengangguk paham, menghela napas sebelum berbicara lagi.

“nggak papa, gue gak minta lo buat jawab apapun. gue cuma mau ngasihtau aja, makasih ya udah mau dengerin.”

changmin menggigit bibirnya, masih belum berani untuk bertemu mata dengan juyeon. harusnya mudah, tapi kenapa semuanya terasa sulit untuk changmin.

juyeon beranjak dari duduknya. “besok penutupan ospek, jangan lupa tulis surat buat gue ya.” ia tertawa kecil sembari mengusak pelan rambut changmin. “yuk, pulang.”

changmin masih terdiam di kursinya setelah juyeon melewatinya. hangat tangan juyeon masih terasa, tapi hatinya redam.

changmin tidak sempat mengalihkan pandangan saat matanya bertemu dengan sepasang mata milik seseorang yang saat ini sangat ingin dihindarinya. ia buru-buru memutar badannya dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

jangan ke sini, jangan ke sini, jangan ke sini...

sebuah tepukan di pundak. “changmin.”

“eh-” changmin berbalik, menampakkan ekspresi kaget yang niatnya terlihat natural tapi gagal. juyeon berdiri di hadapannya dengan senyum di wajah.

“yuk, balik.” juyeon menganggukkan kepalanya meminta changmin untuk beranjak, namun yang lebih kecil masih terduduk di tempatnya. “atau masih mau main?”

“engga- gue... gue nungguin temen.”

“chanhee, kan? dia tadi yang nyuruh gue jemput lo.”

bangsat

“tapi- tadi gue disuruh nunggu di sini, mereka mau ke sini kok.” changmin berkelit meskipun sebenarnya ia sendiri tidak yakin.

juyeon mengeluarkan ponselnya lalu mengetuk layarnya beberapa kali sebelum menunjukkannya pada changmin.

“nih.”

changmin dapat melihat dengan jelas tulisan 'changmin di lt. 3' lalu sebuah tautan lokasi di bawahnya. tak lupa tambahan 'jemput sekarang ya kak'. changmin menarik napas mencoba meredam sumpah serapah yang siap ia lontarkan pada chanhee.

choi chanhee tunggu aja gue datengin rumah lo

“jadi?” juyeon mengantongi ponselnya kembali.

changmin menghela napas seraya berdiri dengan sedikit hentakan karena kesal. ia berjalan melewati juyeon, “cari minum dulu deh gue haus.”

juyeon menahan senyum sebelum kemudian mengekor di belakang changmin.

“kenapa sih?”

changmin akhirnya kesal juga karena ia tidak bisa menikmati minumannya dengan tenang. di depannya juyeon menumpukan wajah pada telapak tangan, mengamati changmin dengan senyum tipis.

“enggaaa.” juyeon menegakkan punggungnya. “emang kenapa sih sewot banget?”

“ya lo tuh kenapa.”

“dih abis nulis surat begitu kok marah-marah. sedih nih gue.” juyeon melengkungkan bibirnya.

“apaan sih, kak?? udahlah gue mau pulang sekarang.” changmin berdiri dari kursinya sambil menyambar minumannya yang masih isi setengah.

“eh, iya maaf maaf.” juyeon buru-buru menangkap tangan changmin mencegahnya untuk beranjak. “abisin dulu lah minumnya.”

changmin berdecak, kembali lagi ke kursinya dan menyedot minumannya banyak-banyak.

“makasih ya, kak udah bikin pengalaman ospek gue menyenang- aduh, iya iya maaf, gue diem sekarang beneran.” juyeon tidak sempat melanjutkan isi surat changmin karena yang sedang ditirukan sudah menghadiahinya sebuah cubitan keras di lengan.

“diem gak?”

“belum apa-apa udah KDRT nih, changmin. padahal di surat katanya mau belajar menyayangi gue.”

changmin menyembunyikan wajahnya di atas permukaan meja. “aahhh bisa gak dibahas gak sih???”

juyeon tertawa melihat kelakuan lelaki di depannya. “kenapa sih emangnya?”

“ya gue malu.” suara changmin teredam tapi juyeon masih bisa menangkapnya. ia mengulurkan tangan untuk mengusak rambut changmin gemas. jemarinya bertahan di sana untuk memainkan helai rambut lelaki itu.

“makasih ya, udah nulis surat buat gue. walaupun gue lebih pengen lo ngomong langsung, tapi surat itu udah lebih dari cukup buat gue. gue tau butuh banyak keberanian buat lo nulis itu and i appreciate it a lot.” juyeon berhenti sejenak, merapikan rambut changmin yang ia mainkan. “changmin, ini mungkin bakal kedengeran sangat cheesy tapi gue pengen bilang makasih. makasih udah dateng ke hidup gue, you won't know how much you mean to me and how i could finally stand on my feet again.”

changmin menangkap pergelangan tangan juyeon yang masih bermain dengan rambutnya. “udahan ngomongnya, i get it.”

jangan ngomong lagi, gue beneran pengen nangis sekarang. lo gatau seberapa besar lo juga bikin gue ngelawan ketakutan gue sendiri. tapi mungkin lain kali, gue bisa bilang semuanya ke lo. sampe saat itu tiba, semoga kita masih bareng-bareng. karena gue pengen ada sama lo untuk waktu yang lama, juyeon.

“mau pulang sekarang?” juyeon bertanya setelah changmin akhirnya mengangkat wajahnya menatap lelaki di depannya. changmin mengangguk pelan, ia bangkit dari duduknya lalu mengulurkan sebelah tangannya pada juyeon.

“ayo.”

ㅡ halo, kak. gue nggak tau mau nulis apa tapi kata kak younghoon gue boleh nulis apa aja. jadi sekarang gue mau nulisin hal-hal yang pengen gue sampein ke lo, kak. gue nggak pernah nulis surat jadi maklumin aja kalo suratnya berantakan ya hehe.

hari pertama ospek gue nggak masuk, gue demam beberapa hari sebelumnya sampe hari itu. jadi hari berikutnya gue langsung tanya temen dapet tugas apa aja, tapi gue dikasih nomor lo. gue tanya sama lo, tapi ternyata gue nggak dikasih tugas pengganti. lo serem banget waktu itu, btw. baru hari pertama udah kena marah. makanya abis itu gue berusaha buat nurutin semua yang lo bilang. tapi makin ke sini lo ngasih tugasnya aneh-aneh. padahal gue udah capek tiap hari begadang sampe tidur cuma dapet 4 jam. akhirnya gue konfrontasi ke lo kan waktu itu haha kaget nggak?

terus gue laporin lo ke bu ida. gue nggak mikir gimana-gimana waktu itu, nggak mikirin bakal seburuk apa hukuman lo. pokoknya gue cuma pengen lo berhenti ngerjain gue aja. tapi pas dapet kabar kalo lo dikeluarin dari kepanitiaan jujur gue kaget. gue nggak ngira bakal kayak gitu makanya gue chat lo, nanyain soal itu. pas lo bilang kalo cuma pindah divisi gue lega. banget.

gue merhatiin kok tiap pagi lo nanya “changmin, nugas sampe jam berapa semalem?” walaupun lo bilang itu buat ngecek gue ngerjain tugas apa engga, gue tau. gue tau lo nggak sekejam itu. abis itu lo udah nggak pernah lagi ngerjain gue, malah lo bantuin gue kalo ada tugas yang gue kurang paham. rasa kesel ke lo udah nggak ada lagi.

kak, temen gue bilang gue harus bisa jujur sama diri sendiri. masalah omongan lo kemarin, maaf gue belum bisa bales apa-apa secara langsung. but i'm willing to try how to love someone. jadi, kak, lo boleh cek lagi akun gue dan lihat apa foto kita berdua masih ada di sana apa engga. that's my answer.

sekali lagi, makasih ya kak udah bikin pengalaman ospek gue menyenangkan. walaupun sempet kesel di awal, tapi nggak melulu semuanya buruk. i had fun, actually.

segitu dulu kak, maaf kalo suratnya kepanjangan. thank you for everything, kak juyeon.

rasanya tidak banyak yang berubah, pun terasa asing. potret-potret yang sesekali juyeon lihat di sosial media membantunya agar ia tak seketika lupa dengan parasnya. tapi mana mungkin juyeon bisa lupa?

senyum lebar dan mata yang selalu menyimpan bintang, bertahun-tahun juyeon menyaksikan. mengabadikan dan menyimpannya di bagian paling aman di salah satu sudut memorinya. namun melihat senyum itu lagi sekarang, potret yang tersimpan di memori terdalamnya seakan mengabur. berubah menjadi sosok nyata yang nampak di depan matanya.

tiga tahun waktu yang lama. changmin yang ia lihat sekarang belum tentu masih changmin yang sama, yang ia tinggalkan tiga tahun silam. bibirnya melengkungkan senyum, matanya menyiratkan kebahagiaan. tapi bukan juyeon yang menerimanya. dan itu rasanya aneh. asing.

terpisah jarak tidak lebih dari lima meter, tapi juyeon tidak dapat beranjak. ia memandangi sisi wajah yang rasanya terlihat lebih tirus dari terakhir kali ia lihat, dari kejauhan.

changmin, apa kabar?

changmin yang memberi senyum pada seseorang di depannya terlihat baik-baik saja.