purplish

jalanan lumayan padat oleh kendaraan yang mengantar orang-orang kembali pulang dari aktivitasnya. mobil chanhee berhenti sejenak di lampu merah, menunggu hitungan mundur menuju pergantian warna. changmin menyandarkan punggungnya yang lelah di sebelah chanhee yang berada di belakang kemudi.

“kok lo tiba-tiba ngajakin ngumpul?” tanya chanhee memecah hening, matanya tetap fokus pada detik yang berjalan.

changmin menghela napas, menatap lurus ke jalanan. “ya mumpung gue bisa, chan.”

“hmm.” chanhee tidak bertanya lagi.

“sama... kak younghoon nyuruh, sih.” changmin menambahkan beberapa saat kemudian, kali ini nada bicaranya pelan.

“younghoon?” chanhee menoleh. “kenapa dia?”

“bukannya lo yang ngasih tau dia kalo gue gak ikutan? ya terus dia nyuruh gue buat nyempatin waktu.”

chanhee bergumam pelan, kembali memfokuskan pandangannya pada lampu merah yang kini telah berganti warna.

kafe yang mereka datangi rupanya tidak terlalu ramai. mungkin karena letaknya yang kurang strategis. tapi changmin bersyukur karena jujur saja kepalanya pusing kalau harus berada di keramaian. apalagi di jam-jam seperti ini yang memang waktunya untuk rehat.

“ju!”

seruan chanhee membuyarkan lamunan changmin. chanhee melambaikan tangannya pada seseorang yang sudah lebih dulu hadir di sana, duduk di meja dekat dengan jendela. tiba-tiba saja jantung changmin memompa dua kali lebih cepat.

nggak usah panik, semuanya bakal baik-baik aja...

changmin mengekor di belakang chanhee, mengatur napasnya diam-diam.

“hei, sori nunggu lama ya?” tanya chanhee saat mereka tiba di meja juyeon. “changmin, nih, kebiasaan keluar kantor lewat dari jamnya mulu.”

“haha, nggak kok. gue baru aja dateng.”

chanhee melirik ke arah changmin, lalu juyeon, dan kembali ke changmin. seakan-akan mengirimkan isyarat.

“hai, ju. apa kabar? maaf ya kemarin gabisa ikutan.” changmin cukup kaget pada dirinya sendiri karena ia berhasil menyuarakan kalimat tanpa terdengar gugup.

juyeon tersenyum, menepuk pelan lengan changmin. “baik, kok.”

chanhee berdeham. “gue tinggal pesen dulu, ya. juyeon lo udah pesen belum?”

“eh, gue udah sih tadi.”

“ok, changmin gue pesenin ya.” tanpa menunggu respon dari changmin, chanhee sudah beranjak meninggalkan keduanya.

kini changmin berdiri canggung, tidak yakin harus melakukan apa.

“duduk aja.” juyeon berucap.

anjir, kaku banget kakuuu.

changmin mengeluh dalam hati sembari menuruti perkataan juyeon. ia duduk di kursi berhadapan dengan juyeon.

“changmin, ka-” juyeon menelan ludah, terhambat kalimatnya sendiri. “lo... kerja di mana sekarang?”

“oh- gue di penerbitan, ju.” jawab changmin seadanya.

juyeon sebenarnya sudah tahu dari chanhee dan kevin tempo hari. ia bahkan sudah menanyakan sedikit banyak perihal changmin.

“lo?” changmin balik bertanya setelah menimbang-nimbang, sepertinya kurang sopan kalau ia tidak menanyai balik meskipun ia tidak begitu ingin tahu. formalitas saja.

“changmin, gue sebenernya lagi ada project sama temen-temen dari new york. gue pengen ngajak lo juga.”

changmin mengangkat alisnya. padahal ia berencana pertemuan hari ini adalah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan juyeon, sebelum ia menyibukkan diri kembali dengan rutinitasnya dan menjalani hari-harinya seperti biasa.

sebelum changmin sempat bertanya project apa yang sedang juyeon kerjakan, chanhee telah kembali ke meja mereka dan topik percakapan pun beralih.

12 Februari, 2017.

changmin tersengal mengatur napasnya saat ia tiba di perpustakaan. matanya memindai tiap sudut ruangan untuk mencari seseorang yang telah menyuruhnya kemari.

ia menangkap jaket biru gelap yang terlalu familiar, tersenyum kecil sebelum menghampiri pemilik jaket tersebut.

“hah, capek.” changmin menjatuhkan dirinya pada bangku di samping juyeon si pemilik jaket biru.

juyeon serta merta mengalihkan fokus dari buku yang sedang dibacanya. bibirnya merekahkan senyum mendapati lelaki di sebelahnya menaruh kepala di atas meja.

“ngapain kamu lari-larian ke sini?” jemari juyeon merapikan anak rambut changmin yang berantakan.

“kamu yang nyuruh cepetan ke sini,” ujar changmin, ia lalu menegakkan punggungnya dan mendekatkan wajahnya pada buku di tangan juyeon. “baca apaan, sih?”

juyeon menunjukkan cover buku yang sedang dibacanya. 'Cerita Buat Para Kekasih'.

“ini fiksi dewasa, kamu belum boleh baca.”

changmin mengerutkan kening, kembali menaruh kepalanya di atas meja. “dih, aku juga udah dewasa tau.”

juyeon tertawa kecil. ia kemudian menutup buku di tangannya dan menyingkirkannya ke tepi meja. ia menirukan changmin menaruh kepalanya pada kedua lengan yang menjadi alas di atas meja.

“changmin, aku nyuruh kamu ke sini buat lihat ada buku apa aja di sini.”

“hm?”

“buat taman baca kita.”

mata changmin berbinar. “beneran mau bikin?!”

juyeon menaruh telunjuknya di bibir, mengisyaratkan changmin untuk tidak berisik. tapi changmin tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia, bibirnya tersenyum lebar.

“iya tapi nggak sekarang juga. masih banyak yang harus disurvey.”

changmin memeluk lengan juyeon dengan erat, menempelkan kepalanya seperti kucing karena terlampau senang.

“iyaa gakpapa yang penting bikin! makasih juyeonnn.”

“ssstt, jangan berisik changmin nanti kita diusir.”

tapi changmin hanya tertawa kecil.

“aku anterin ke dalem nggak?”

changmin tertawa kecil. “nggak usah, kak. kayak nganterin anak tk sekolah aja.”

younghoon ikut tertawa, ia menepuk puncak kepala changmin pelan. “nanti pulangnya gimana?”

“gampang nanti biar aku telfon chanhee atau naik ojol. kamu masih ada kerjaan kan, kak?”

younghoon menjawab dengan anggukan. “tetep hubungin aku ya kalo mau balik? yaudah gih masuk.”

setelah melempar lambaian tangan singkat, changmin berbalik untuk masuk melewati pintu kaca. ia langsung mendapati juyeon yang berdiri tidak jauh dari pintu.

“kok lo di sini?” tanya changmin.

“iya, tempatnya di atas takutnya lo nyasar. yuk?” juyeon menunjuk lantai dua dengan tangannya.

“ooh.” changmin mengangguk sebelum kemudian mengikuti juyeon menaiki tangga. ia menatap punggung yang terlalu familiar juga lama tak dilihatnya.

changmin menghela napas.

let it go, changmin.

sudah ada tiga orang yang duduk mengelilingi meja. satu wajah terlihat tidak asing bagi changmin.

“ini hyunjae.” juyeon memperkenalkan pria yang tidak asing itu pada changmin.

“kak hyunjae.” hyunjae mengoreksi sembari mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh changmin.

“changmin.”

“halah beda setahun doang,” ledek juyeon. hyunjae hanya memberi ekspresi jelek andalannya pada juyeon.

“gue temennya juyeon pas di new york. dia banyak cerita soal lo juga,” celetuk hyunjae.

benar. changmin ingat ia pernah melihat beberapa postingan juyeon bersama hyunjae. meskipun ia selalu berusaha untuk menggeser layar tiap kali postingan juyeon muncul.

juyeon kemudian memperkenalkan dua orang lainnya yang merupakan teman hyunjae. mereka juga sukarela masuk ke dalam tim saat hyunjae menawarkan. changmin tidak pandai bersosialisasi dengan orang baru, tapi hyunjae selalu melibatkannya di dalam obrolan.

pertemuan kali itu tidak berlangsung lama seperti rapat-rapat sebelumnya karena tujuan juyeon hanyalah memperkenalkan changmin pada anggota tim dan menjelaskan garis besar project mereka serta progress yang sudah tercapai. changmin sebenarnya cukup kagum atas kinerja juyeon. ia tidak menyangka juyeon bisa mewujudkan mimpinya yang dulu masih terasa sulit untuk dibayangkan.

“changmin balik naik apa?” tanya hyunjae saat juyeon mengakhiri pertemuan sore itu.

“gue kayaknya pesen ojol aja, kak. temen gue nggak bisa jemput ternyata.” changmin melambaikan ponselnya.

“dianter juyeon aja, gimana?”

“eh-” changmin tidak sempat menyela saat hyunjae sudah menepuk lengan juyeon yang sedang menyampirkan tas selempangnya.

“bisa kan lo nganterin changmin?”

juyeon menoleh ke arah changmin yang terlihat bingung. “bisa, sih.”

jadi di sinilah mereka berdua. di dalam mobil juyeon yang membelah lalu lintas. tak ada satupun yang bertukar suara. changmin sedari tadi bermain dengan ponselnya, berharap ia cepat sampai ke rumah.

“eh, ini belok kanan kan?” tanya juyeon saat mereka tiba di persimpangan.

changmin kaget mendengar juyeon yang bertanya tiba-tiba. ia mengangkat wajahnya untuk melihat jalanan.

“iya, kanan.”

“sori, ya. gue rada lupa jalan sini.”

changmin bergumam. “iya, gakpapa.”

juyeon membanting setirnya untuk berbelok ke kanan. kembali hening sejenak sebelum akhirnya juyeon angkat bicara.

“tadi... yang nganter lo itu temen lo yang nggak bisa jemput?”

“hm?” changmin meletakkan ponselnya di pangkuan, berusaha menemukan suaranya untuk menjawab pertanyaan juyeon. “bukan- itu... kak younghoon.”

“younghoon?” ulang juyeon.

“iya. senior gue dulu.” changmin menggigit bibirnya kemudian menambahkan. “lo pernah kok ketemu dia dulu pas jurusan gue ada acara. cuman sekali sih, jadi wajar aja kalo lo lupa.”

juyeon mengangguk pelan mendengar penjelasan changmin. jadi bukan sekedar teman. karena juyeon juga melihatnya saat tak sengaja bertemu mereka di tempat makan beberapa hari yang lalu.

“changmin.”

“ya?”

juyeon menarik napas. “lo... ada yang mau diomongin, nggak?”

changmin melirik ke arah juyeon sekilas sebelum memandangi jalanan di depannya lagi.

“ngomong... apa?”

“ya apa gitu? kan kita lama nggak ketemu.”

“oh...” changmin membenarkan posisi duduknya. “hmm, apa ya. nggak ada sih, gue seneng aja lo udah balik.”

“selain itu?”

juyeon benci mengakui ini tapi ia dapat merasakan changmin selalu berusaha menahan diri dan berhati-hati setiap bersamanya. ia tahu tiga tahun bukan waktu yang sebentar, ditambah minimnya komunikasi bahkan tidak ada sama sekali kecuali satu atau dua kabar dari chanhee. tapi juyeon hanya ingin tahu bagaimana kabar changmin, apa hal yang disukainya sekarang, apa ia masih membenci selai kacang, apa ia masih mengoleksi komik. juyeon hanya ingin ngobrol dengan changmin seperti dulu lagi.

“itu pager item rumah lo, kan?” ucap juyeon memecahkan keheningan karena changmin tak kunjung memberi jawaban.

“ah, iya.”

juyeon menghentikan mobilnya tepat di depan rumah changmin. bangunannya tidak banyak berubah, hanya catnya yang diganti. ia berharap rumah changmin jaraknya berkilo-kilo jauhnya agar ia bisa berlama-lama ngobrol dengan changmin, karena ia kangen hanya berada di samping lelaki itu.

“makasih ya, juyeon.”

changmin menundukkan kepalanya pada jendela di sebelah juyeon, tersenyum singkat.

juyeon membalas senyumnya. “sama-sama, changmin.”

30 Maret, 2017.

juyeon mengetuk pintu ruang studio sebelum mendorongnya terbuka. ruangannya tidak luas dan hanya ada seseorang di sana, jadi juyeon tidak perlu repot mencari changmin.

“ssstt!”

changmin yang sedang membaringkan badannya di sofa kecil membuka matanya mendengar suara yang tiba-tiba datang. saat ia menoleh dan mendapati juyeon sedang menutup kembali pintu pelan-pelan, changmin tersenyum lebar.

“ju-”

“ck! kamu tuh dibilangin jangan capek-capek.”

changmin tidak bisa menyembunyikan tawa melihat juyeon mengomel padanya. badannya masih lemas, jadi ia belum bisa bangun tanpa harus merasa pusing.

juyeon berjongkok di samping changmin, meletakkan telapaknya pada dahi lelaki itu. hangat.

“aku gak kenapa kenapa, juuu.” changmin menyingkirkan tangan lebar juyeon yang menutupi hingga matanya, menariknya dalam pelukan. “dingin.”

juyeon membiarkan changmin memeluk tangannya, mencari hangat.

“lagian kamu ngapain di sini, sih? bukannya ke medis.”

“nggak mau. jauh.”

“kan bisa minta anter.”

“nggak mau ngerepotin.”

typical changmin.

juyeon mengulurkan tangannya yang lain untuk menyentuh dagu changmin, memeriksa sisa darah yang mengering di hidungnya.

“masih pusing, nggak?” tanya juyeon.

“sekarang engga, sih. tapi kalo bangun kayaknya pusing.”

“yaudah kamu tiduran aja dulu. mau minum, nggak?” juyeon merogoh ke dalam tasnya untuk mengeluarkan sebotol air mineral yang dibelinya dalam perjalanan. ia menopang bagian belakang kepala changmin untuk membantunya minum.

“istirahat dulu sampe pusingnya ilang.”

changmin mengangguk. ia kemudian menunjuk ke arah sofa yang ada di seberangnya. “kamu tidur situ.”

juyeon menoleh ke arah sofa di belakangnya, beranjak untuk duduk di sana. ia meraih bantal karakter senyum berwarna kuning.

“lucu nih, punya siapa?”

changmin tertawa pelan. “nggak tau.”

changmin tidak menyangka datangnya sebuah pelukan saat ia membukakan pintu untuk younghoon pagi itu. lelaki yang lebih tinggi merengkuh keseluruhan raganya dalam dua lengan yang mengurungnya rapat. changmin hampir kehilangan napas.

“kak?” lirih ia memanggil. namun tidak ada jawaban menyertai hingga beberapa detik kemudian. “kak younghoon?”

seperti disadarkan oleh sesuatu, younghoon melepaskan lengannya dari changmin. menghela napas keras. ia menatap kekasih di hadapannya itu dengan tatapan yang menyimpan asa juga gundah.

“kenapa...” changmin mengucap lagi.

younghoon menggelengkan kepalanya, tersenyum samar.

“maaf, ya...”

changmin menatap younghoon lama. ada emosi dalam dirinya yang tidak dapat diartikan. younghoon kembali menariknya dalam pelukan, kali ini tidak menyesakkan.

“changmin, aku minta maaf,” ulangnya.

“nggak papa.” changmin menyahut pelan.

“kamu... belum capek sama aku, kan?”

“kak-” changmin mengeluh, berusaha menarik dirinya namun younghoon terlampau kuat baginya.

“changmin, please. aku cuma mau denger dari kamu, kamu masih sayang sama aku kan?”

changmin benci mendengar suara yang sarat akan keputusasaan itu. namun ia lebih membenci dirinya karena ia tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan.

“changmin,” panggil younghoon lagi.

menghela napas pelan, changmin menganggukkan kepalanya. menghilangkan semua rasa khawatir dalam benak younghoon untuk sementara, karena ia tahu ia sedang membohongi dirinya sendiri. lelaki itu beralih menjatuhkan cium pada kening changmin, kedua pelupuk mata yang terpejam, ujung hidung, dan mengakhirinya pada kedua belah bibir.

“aku sayang kamu, changmin.”

changmin berusaha meredam tangis yang ditahannya. setetes air mata berhasil lolos.

sepasang mata yang mengawasi dari jarak tak lebih dari sepetak halaman rumah, mengalihkan pandangan ke arah lain. menyandarkan punggung di balik kemudi, ia hanya perlu berpura-pura tidak menyaksikan semuanya.

lagipula ia bukan datang untuk mencuri kesempatan, ia hanya berusaha mengumpulkan sedikit demi sedikit memori untuk disimpan sebelum akhirnya pergi.

mungkin karena hanya diselenggarakan selama tiga hari, pameran buku itu ramai oleh pengunjung. beberapa harus rela menerobos kerumunan yang berdiam di sekitar tumpukan buku.

juyeon berulang kali harus menoleh ke belakang, memastikan changmin masih berada di jangkauannya. ia hampir mengulurkan tangannya namun urung dilakukan. beberapa remaja di depan juyeon berhenti tiba-tiba, membuat juyeon terpaksa menghentikan langkahnya mendadak. ia menoleh lagi saat merasa punggungnya ditabrak seseorang.

“sori,” ucap changmin pelan.

juyeon hanya menganggukkan kepalanya sebelum melangkah lagi. kali ini ia dapat merasakan sesuatu menahannya di belakang. changmin menggenggam ujung jaketnya.

“adek lo lagi suka baca apa?” tanya changmin saat mereka akhirnya berhasil sampai di deretan rak buku.

“hmm, dia lagi tertarik sama puisi, sih.”

“sapardi?”

juyeon tersenyum. “kalo itu- gue yang suka, kan?”

changmin mengerjapkan matanya. lupa kalau yang ia sebutkan adalah pengarang puisi favorit juyeon dulu, yang tiap hari bukunya juyeon simpan di dalam tas dan dibacanya saat ada waktu luang. changmin juga kadang-kadang ikut mengintip dan juyeon akhirnya membiarkan changmin ikut membaca.

“ya, dia juga suka kok. dia baca karya siapa aja,” tambah juyeon. “ke sana, yuk.”

juyeon mengajak changmin ke rak buku-buku sastra. sembari melihat-lihat buku, mata changmin menangkap gantungan kunci berbentuk bunga matahari yang tergantung di bagian samping tas juyeon.

itu pemberian darinya saat ulang tahun juyeon beberapa tahun silam.

kenapa masih lo simpen, ju?

berjam-jam mereka habiskan untuk mencari buku sebagai hadiah ulang tahun adik juyeon, juga melihat-lihat buku keluaran terbaru yang belum pernah changmin lihat selama ia bekerja di penerbitan.

“mau mampir makan dulu, nggak?” tanya juyeon saat ia sudah mendapatkan buku kumpulan puisi untuk adiknya.

changmin mengecek jam di ponselnya. “hmm, boleh sih.”

“lo udah bilang sama pacar lo, kan?”

“hah?” changmin mengangkat wajahnya. “udah...”

“ya udah, yuk.”

changmin mengangguk pelan, memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

“lo masih suka ayam geprek, kan?” tanya juyeon saat mereka tiba di warung ayam tidak jauh dari tempat pameran buku.

changmin mendengus geli mendengar pertanyaan juyeon. “lo kira gue bisa tiba-tiba berubah selera.”

juyeon tertawa. “siapa tau aja.”

mereka mengambil tempat duduk setelah memesan dua porsi ayam geprek dan dua gelas es teh. sembari menunggu pesanan mereka datang, changmin mengeluarkan buku yang sempat dibelinya tadi.

“lo jadi beli buku apa?”

changmin menunjukkan sampul buku fiksi yang dibelinya pada juyeon.

“oh, gue pernah baca. itu bagus.”

“semua buku kayaknya udah pernah lo baca, deh,” celetuk changmin, mulai membuka halaman pertama bukunya.

juyeon mengamati changmin dengan senyum tipis. kalau hari ini tiga tahun lalu, pasti ia sudah berbagi bangku dengan lelaki manis di hadapannya. membaca buku bersama.

“gue kangen.”

dua patah kata yang terlontar dari mulut juyeon terdengar samar juga jelas di tengah hiruk pikuk manusia di warung ayam itu. changmin terdiam menatap halaman bukunya, berharap ia hanya salah dengar. atau sekedar khayalannya saja.

“gue kangen- ngobrol gini sama lo,” sambung juyeon. “dulu tiap selesai kelas, gue jemput lo terus langsung ke warung ayam geprek. kayak hampir tiap hari haha.”

hati changmin mencelos mendengar kalimat juyeon. ini bukan percakapan yang diinginkannya.

“terus inget, nggak? tiap lo lagi pengen bolos kelas tapi gue masih ada kelas. lo nungguin di kantin fakultas gue, pas gue dateng lo udah pasang tampang jelek sambil ngabisin jus jambu.” juyeon tersenyum mengingat bagaimana mereka berdua menjalani hari-hari saat kuliah. “chanhee kadang marahin gue gara-gara nurutin lo bolos kelas. tapi pasti lo nggak tau. terus kevin yang suka ngasih tau chanhee buat ngebiarin lo soalnya dia tau kalo lo kadang butuh buat bolos.”

changmin menggigit bibir bawahnya yang bergetar, matanya sudah dilapisi air mata yang siap tumpah.

“ju...” panggilannya tak terdengar saat pesanan mereka datang di saat yang bersamaan.

changmin hanya ingin bilang,

ju, semuanya udah kelewat. semua memori yang ada di pikiran lo sekarang, semuanya jadi memori buruk buat gue. tolong berhenti.

27 Juni, 2017.

juyeon menghentikan kakinya tidak jauh dari ruang rawat yang sudah ia hafal di luar kepala. matanya menangkap seseorang yang meringkuk di sebelah pintu, memeluk erat kedua kakinya.

sesuatu yang juyeon benci untuk menyaksikan.

berusaha mengendalikan dirinya dengan satu tarikan napas, juyeon menyeret kembali kakinya menghampiri perlahan kemudian merendahkan badannya saat ia sampai di hadapan seseorang tersebut. ia mengulurkan tangannya, memberikan usapan pelan pada lengan.

“changmin.”

yang dipanggil namanya mengangkat wajahnya sedikit, melihat juyeon dari balik kedua lengannya yang terlipat. tangisnya kembali pecah.

juyeon serta merta menarik tubuh kecil changmin yang terlihat jauh lebih rapuh hari itu, ke dalam pelukan. changmin menangis pelan, tangannya menggenggam jaket juyeon erat.

“ju...” hati juyeon remuk mendengar suara changmin. “mama... mama pergi... aku- aku baru tidur sebentar... aku harusnya nggak tidur, ju. aku biarin mama pergi...”

juyeon mengusap punggung changmin yang mulai meracau.

“changmin, dengerin aku.”

“aku ngebiarin mama pergi... juyeon, aku harus gimana?”

“changmin, dengerin aku dulu.” juyeon menangkup wajah changmin dalam kedua tangannya, berusaha membuat changmin fokus kepada dirinya. “changmin!”

mata changmin mencari-cari sebelum akhirnya ia benar-benar menatap juyeon di hadapannya.

“changmin, bukan salah kamu. okay?” ucap juyeon lembut, meletakkan dahinya pada changmin sebelum berbisik. “mama kamu udah nggak ngerasa sakit lagi sekarang...”

changmin memejamkan matanya, membiarkan air matanya bergulir sekali lagi. juyeon mendekapnya lebih erat, kali ini menemaninya dalam tangis.

changmin memandangi gundukan tanah yang masih basah tak jauh darinya dengan nanar. penglihatannya mengabur, tak tahu lagi apa yang sedang ditatapnya.

“changmin, kita balik duluan ya?” pamit kevin seraya memberikan usapan pada bahu changmin.

chanhee menepuk punggung sahabatnya pelan. “nanti gue telfon.”

changmin tidak sanggup memberikan respon, jadi juyeon yang mengangguk pada keduanya sebelum pergi meninggalkan pemakaman.

hanya changmin dan juyeon yang masih tinggal. tetes hujan mulai turun lagi.

“pulang sekarang?” tanya juyeon pada changmin yang masih bersandar sepenuhnya pada dirinya. changmin menggelengkan kepalanya.

juyeon menghela napas berat. “besok aku anter ke sini lagi. ya? udah hujan lagi nanti kamu yang sakit.”

“biarin aku yang sakit.”

“aku nggak mau kamu sakit,” tegas juyeon.

“kenapa? biarin aja. nggak ada yang peduli. semuanya pergi.”

juyeon benci mendengarnya. ia benci changmin berpikir semua meninggalkannya. ia juga benci pada keadaan yang membuat changmin harus melontarkan kalimat itu. ia benci pada dirinya sendiri telah membiarkan semesta memusuhi changmin.

“changmin...” juyeon meraih wajah changmin, menundukkan kepalanya untuk menatap kedua mata yang menyorotkan sedih dan putus asa. “masih ada chanhee, kevin. masih ada aku. kita semua peduli sama kamu.”

tetes hujan turun bersama air mata yang membasahi wajah changmin. ia memandangi juyeon yang sebagian rambutnya sudah basah terkena rintik hujan, namun masih di sini bersamanya.

juyeon.

juyeon yang masih tinggal.

changmin membenamkan wajahnya dalam pelukan yang lebih tinggi, berbisik lirih. mungkin tak terdengar.

“jangan pergi...”

23 Juli, 2017.

changmin menyibakkan tirai jendelanya sedikit untuk mengintip keluar. sudah hampir satu jam dan ia masih mendapati siluet juyeon bersandar di balik pagar rumahnya. ini sudah malam, juyeon pasti kedinginan.

kenapa belum pulang, sih? changmin mengeluh dalam hati. ia kembali duduk di atas ranjangnya, mengusap wajahnya lelah.

meraih ponselnya dari atas meja, changmin mengirimkan pesan singkat pada juyeon yang langsung dibalas dalam hitungan detik.

-pulang ju

—aku nggak bakal pulang sebelum ketemu kamu

changmin menghempaskan ponselnya ke atas ranjang, beranjak berdiri diiringi decakan kesal. ia meraih jaket yang tersampir di kursi, memakainya asal sebelum keluar dari kamarnya.

juyeon hampir terjatuh saat punggungnya tak lagi bersandar pada pagar yang tiba-tiba bergeser. ia membalikkan badannya, mendapati changmin berdiri memeluk dirinya sendiri karena angin malam yang berhembus. changmin tidak tahan dingin.

“mau ngomong apa cepet,” ucap changmin. matanya menolak bertemu dengan mata juyeon.

juyeon tiba-tiba merasa kerongkongannya kering, sulit menemukan suaranya. ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu changmin.

“aku... cuma mau bilang, aku nggak pernah niat ninggalin kamu.”

changmin memilih untuk diam.

“aku- changmin, aku- harusnya aku ngomong ini dari dulu. aku sayang sama kamu, sayang banget.” juyeon menghela napas berat, udara malam itu seketika terasa menyesakkan. membuatnya sulit untuk berucap.

kalimat yang terlontar berikutnya sama menusuknya seperti angin malam itu yang menghujam kulit changmin.

“changmin, jadi pacar aku, ya?”

changmin mengangkat wajahnya menatap juyeon untuk pertama kali. alisnya bertaut dalam heran.

“ju,” panggil changmin.

juyeon mengerjapkan matanya, menunggu changmin melanjutkan kalimatnya.

“kamu tuh- sadar nggak sih, ngomong apa?”

“iya. i want you to be mine.”

changmin tersenyum pahit, menggelengkan kepalanya pelan. “kamu egois banget, ju. kamu ngomong gini terus pergi.”

“changmin, justru aku ngomong gini karena aku nggak tau kapan lagi aku bisa ngomong ke kamu.”

juyeon memegang kedua sisi wajah changmin yang terasa dingin, memberinya sedikit hangat. kemudian ia merasakan lelehan hangat pada tangannya.

“changmin...”

changmin terisak pelan. mau tak mau juyeon harus menarik kepalanya dalam pelukan, mengusap rambutnya pelan.

“kenapa sih, ju... kenapa kamu nggak bilang sama aku? kenapa aku jadi orang yang paling terakhir tahu? aku kira selama ini kamu nganggep aku... aku kira-”

“changmin,” potong juyeon. “aku tahu kamu bakal kayak gini walaupun aku ngasih tahu lebih awal. makanya aku sengaja diem. aku minta maaf.”

“aku nggak tahu apa yang harus dimaafin, ju. kamu bakal tetep pergi.”

juyeon mengeratkan pelukannya. ia benar-benar ingin changmin paham bahwa tidak semuanya pergi meninggalkannya. namun ia sendiri saat ini sedang melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya.

“aku harus gimana, changmin?” bisik juyeon, ada nada keputusasaan di sana.

changmin menggelengkan kepalanya dalam pelukan juyeon. “sekalipun aku minta kamu buat tinggal, kamu bakalan tetep pergi kan?”

juyeon tidak dapat memberikan jawaban. ia enggan melepas saat changmin berusaha membebaskan dirinya.

sorry, i can't say yes.

changmin baru saja mengunci pintu rumahnya saat ia berhadapan dengan younghoon yang kini berdiri di depannya.

“loh, kak?”

“kamu udah siap?” tanya younghoon.

“siap... ke mana?” tanya changmin kembali karena bingung.

“ke tempat aku, kan? acara keluarga,” ingat younghoon.

changmin membuka mulutnya, baru saja menyadari. “astaga, kak. acaranya hari ini?”

“iya. kamu mau ke mana?” younghoon mengerutkan keningnya.

“kak, maaf aku lupa banget. aku udah ada janji.”

“nggak bisa dibatalin dulu, ya? aku udah telanjur bilang mama mau ngajak kamu, loh.”

changmin menggigit bibirnya, enggan untuk mengatakan alasan sebenarnya.

“kamu ada janji sama siapa, sih? ini weekend biasanya kamu nggak ke mana-mana,” kejar younghoon.

“itu... opening taman baca. hari ini, kak,” jelas changmin pelan.

ekspresi kesal di wajah younghoon tidak bisa changmin lewatkan. tetapi lelaki itu berusaha menetralkan wajahnya.

“opening, ya?” ulang younghoon yang ditanggapi dengan anggukan oleh changmin. “bisa, kan nggak usah ikutan dulu? lagian pasti di sana udah banyak yang nge-handle. kamu bisa minta izin ke juyeon, kan?”

changmin menggerakkan kakinya dengan gelisah.

“gimana, ya kak... soalnya- aku udah disuruh buat main piano di sana. nanti bakal ada acara musik kecil-kecilan gitu. kalo aku nggak dateng, nanti acaranya bisa kacau.”

akhirnya changmin harus mengatakannya.

younghoon berdecak kesal mendengarkan penjelasan changmin. baru kali ini changmin menyaksikan kekasihnya itu menampakkan emosi yang tidak biasanya. dan jujur saja changmin merasa sangat bersalah.

“jadi kemarin-kemarin kamu main piano lagi tuh buat acara ini?”

“iya...”

“juyeon yang nyuruh?” kali ini nada bicaranya terdengar tidak suka.

changmin tidak berani menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya lagi.

younghoon menghela napas keras. ia memandang ke kejauhan demi mengendalikan emosinya yang tiba-tiba saja menyeruak. beberapa saat kemudian ia kembali menatap changmin.

“changmin, kamu- bisa, nggak kamu prioritasin aku sekali ini aja? aku nggak pernah minta macem-macem sama kamu, tapi tolong sekali ini aja. kamu nggak usah dateng ke sana?”

“kak.” changmin meraih satu tangan younghoon. “aku harus ke sana. aku nggak bisa ninggalin tanggung jawab gitu aja.”

gue juga nggak bisa ngegagalin rencana kak hyunjae.

mobil pesanan changmin tiba di depan rumah. changmin mengusap punggung tangan younghoon, berusaha memberinya tenang.

“kak, nanti kalo urusan aku udah selesai aku usahain nyusul ke tempat kamu. ya?”

younghoon tidak langsung merespon. baru saat changmin menggerakkan tangannya lagi meminta perhatian, lelaki yang lebih tinggi akhirnya mengangguk singkat.

“gih, berangkat. hati-hati.”

sebuah pelukan diterima oleh younghoon. changmin tidak pernah seperti ini. biasanya selalu ialah yang menginisiasi semuanya. ia bisa merasakan getar pada tubuh yang memeluknya, membuatnya balas memberikan peluk.

“changmin, are you okay?”

changmin membebaskan diri sebelum kemudian mengangguk. “aku berangkat dulu ya, kak.”

younghoon menatap kepergian changmin dalam diam.

did he finally accept his defeat?

changmin menekan tuts piano saat ia akhirnya menempatkan diri di baliknya, mengecek nada. sebuah tepukan di pundak membuatnya menoleh.

hyunjae.

“semangat, kak.” changmin melempar senyum pada hyunjae yang terlihat lebih gugup dari biasanya. “latihan kemarin lo udah keren banget, kok.”

“gue berasa pengen bolak-balik ke kamar mandi terus,” keluh hyunjae.

“juyeon ke mana, sih?” sebuah suara halus di belakang mereka terdengar.

“lagi ngurusin tamu undangan kayaknya sama haknyeon sangyeon,” balas hyunjae.

jacob memandangi wajah hyunjae sekilas sebelum tertawa. “pucet banget sih, lo?”

“ah, diem. nervous banget nih gue.”

jacob beralih pada changmin yang kembali mencoba-coba nada di pianonya.

“changmin, udah siap kan?”

changmin mengangguk kecil. “kak jacob jadi ganti gitar? apa tetep pake yang kemarin?”

“tetep pake punya gue aja deh kayaknya. udah kebiasa.”

sepuluh menit lagi menuju acara. beberapa tamu undangan sudah mulai memenuhi kursi yang tersedia. seketika changmin merasa mual. ia hanya berharap kepalanya tidak tiba-tiba pusing di tengah-tengah lagu.

“changmin.” panggilan seseorang membuatnya menoleh. “nggak usah nervous.”

changmin tersenyum tipis melihat siapa yang datang.

“engga, ju,” balas changmin singkat.

“mana music sheet-nya? mau liat.” juyeon mencari-cari kertas di atas piano.

changmin buru-buru menyembunyikan kertas yang sedang dipegangnya ke balik punggung.

“astaga, masih rahasia ya?” sindir juyeon.

“nanti juga tahu,” ujar changmin pelan. “kan biar surprise.”

juyeon tertawa, tangannya refleks menepuk puncak kepala changmin. “iya, deh surprise. gue tunggu surprise-nya. good luck, ya!”

acara dibuka dengan beberapa sambutan salah satunya dari juyeon. hingga akhirnya sampai juga pada penghujung acara yaitu live music.

changmin menarik napas sebelum menghembuskannya perlahan. tangannya mulai bermain pada tuts piano, mengiringi lagu pertama. ternyata tidak seburuk yang ia kira. tepuk tangan dari tamu undangan yang datang membuatnya merasa lebih baik.

sebelum ia memulai lagu kedua, hyunjae berdeham pada mikrofon untuk menyampaikan sesuatu.

actually the next song that i'm going to sing is for someone here. someone that i've been spending so much time with, someone that i've been secretly caring about.

audiens mulai ribut dengan spekulasi. changmin dapat menangkap ekspresi juyeon yang menyiratkan kebingungan atas kalimat hyunjae.

setelah mendapat isyarat kecil dari hyunjae, changmin mulai menekan nada pertamanya.

Oh, there you are Sittin' still all stripes and lonely Hidin', wishin', waitin' While I'm, here I am Standin' still stare at you only Everythin' gets blurry All I want is just to stay You can't shake me, I would never dare Let go Through the talkin' and the walkin' I will give you all my lovin' Start countin' all the days Forever I will stay with you With you, one only you Go far and roam about Comeback and callin' out to me To me, one only me Oh, I'm in love What did I do to deserve you You tell me what did I do To be with you, love To be the one you runnin' into When the days do come through All I want is just to stay You can't shake me, I would never dare Let go Through the talkin' and the walkin' I will give you all my lovin' Start countin' all the days Forever I will stay with you With you, one only you Go far and roam about Comeback and callin' out to me To me, one only me Well I'm luckiest To be the one, be the one To get you, to get you, to get you now Well, I'm happiest To found the one, found the one Found the one only kinda love

changmin dapat merasakan kepalanya pening kembali. ia tidak tahu pandangannya mengabur karena sakit di kepalanya atau karena lapisan bening yang menyelimuti matanya. jemari changmin akhirnya berhenti setelah menekan nada terakhir.

hyunjae mulai membuka suara lagi di antara riuh tepuk tangan.

sekarang kejutannya.

namun changmin benar-benar merasa pusing, ia tidak ingin ada di sana. ia tidak ingin mendengar apapun, menyaksikan apapun. perlahan ia bangkit dari duduknya, sebisa mungkin tanpa menimbulkan perhatian ia pergi ke balik panggung kecil itu.

changmin menekan layar ponselnya untuk kesekian kalinya, mencoba menghubungi younghoon tapi ponselnya tidak aktif.

“ke mana, sih?” keluh changmin.

“changmin?” panggil jacob seraya menghampiri changmin yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja. “lo nggak papa?”

“eh, kak- iya gue nggak papa. cuma rada ngga enak badan aja,” jawab changmin. “kak, gue izin balik duluan gapapa, kan?”

“nggak papa, sih. mau gue panggilin juyeon?” tawar jacob.

“nggak usah, kak. dia lagi ribet ngurusin acara pasti. ini gue telfon temen gue aja.”

jacob mengangguk, masih dengan ekspresi khawatir.

changmin akhirnya mencoba menghubungi chanhee. panggilannya ditolak.

pada ke mana, sih?