purplish

Sunwoo bertumpu di atas kedua lututnya. Butir keringat mulai bermunculan di sekitar dahinya meski ia belum melakukan apapun. Tapi bagaimana bisa Sunwoo tak gentar melihat pemandangan di depannya.

Bersandar santai dengan kemeja yang tiga kancingnya terbuka adalah Younghoon, senior di kampus Sunwoo yang belakangan ini mengacaukan pikiran Sunwoo. Perkara teman-teman Sunwoo membongkar rahasianya yang ingin mencoba tubuh Younghoon sekali dalam seumur hidupnya, sampailah ia di titik ini. Di kamar ini. Di posisi ini.

“Kenapa diem aja?”

Sunwoo terkesiap. Ia beringsut mendekati ciptaan-Nya yang sempurna itu.

“Bukain kancing baju gue. Atau gue harus buka sendiri?”

“B- Biar gue aja, Kak.”

Sunwoo ingin menampar mulutnya yang gemetar. Ke mana perginya nyali untuk menelanjangi Younghoon seperti yang selalu dikatakannya di akun rahasianya?

Mau liat Kak Younghoon ngerengek sambil gue lucutin pakaiannya satu2 sampe telanjang.

Mau liat selembut dan seputih apa perut sama pahanya.

Mau liat Kak Younghoon nangis di bawah gue.

Cuitan yang sempat dibuatnya itu berkelebat di kepala Sunwoo. Mimpinya ada di depan mata tapi keberaniannya bagai menguap perlahan.

Sunwoo menggosokkan telapak tangannya yang basah pada celana jinsnya sebelum ia mulai mengurai kancing kemeja Younghoon satu persatu. Seniornya itu tak memakai apapun di balik kemeja tipis yang bahkan bisa Sunwoo robek dengan mudah. Napas Sunwoo tertahan kala tangannya sampai pada kancing yang akan menguak perut Younghoon.

Jemari Sunwoo berhenti di udara ketika kemeja itu telah terbuka sempurna. Sunwoo menelan ludah, menikmati keindahan yang selama ini hanya ada di imajinasinya.

“Gue nggak punya banyak waktu, Nu. Habis ini ada rapat divisi. Gue nggak bisa absen.”

“Iya, Kak.”

Younghoon tiba-tiba bangkit dari rebahnya untuk melepas kaus hitam Sunwoo. Kemudian tangannya beralih pada ikat pinggang Sunwoo. Yang lebih muda akhirnya mengimbangi aksinya meski tangannya masih gemetar berusaha membuka resleting celana Younghoon.

Sunwoo mengumpat berkali-kali di dalam hati. Younghoon telanjang sempurna tanpa sehelai kain pun menutupi badannya.

Anjing. Seksi banget nggak ngotak.

Mungkin karena tidak sabar Younghoon akhirnya menarik leher Sunwoo dan mulai mencium bibirnya. Meski sempat kehilangan warasnya, Sunwoo segera mengumpulkan kembali kesadarannya dan balas mencium Younghoon.

Satu hal membawa mereka ke hal lain. Dan sebelum Sunwoo sadar, hal itu sudah berada tepat di depan matanya.

The real deal.

Younghoon mengamati tiap gerak-gerik Sunwoo dan acap kali tingkahnya yang kikuk memunculkan dengusan takjub dari Younghoon. Sebagai seseorang yang cukup banyak memiliki pengalaman, Younghoon bisa menilai hanya dari mengamati.

First time?

Sunwoo mengerjapkan matanya. “Hah?”

“Gue nggak mau buang-buang waktu. I assumed you really wanted to do this, jadi biar gue aja yang pegang kendali.”

Younghoon bangkit untuk mengubah posisinya yang membuat Sunwoo seketika panik.

“Nggak, Kak. Gue bisa.”

Sunwoo menahan bahu Younghoon dengan kedua tangannya, menyuruhnya untuk tetap berbaring. Senyum Younghoon seakan menantang Sunwoo untuk membuktikan keinginan lancangnya mencicipi tubuh Younghoon seperti yang dikatakan teman-temannya.

Brengsek. Brengsek. Gue nggak boleh mundur sekarang. Mau ditaroh mana muka gue?

Tekanan yang datang dari dalam pikirannya itu akhirnya membuat Sunwoo berani menggerakkan tangan, memasukkan dua jarinya dalam mulut Younghoon. Hangat melingkupi jarinya yang sedang dikulum. Selatannya menegang.

Sunwoo mencabut jarinya. Then he fingers him good.

Lenguhan pertama muncul dari bibir Younghoon, mendorong Sunwoo untuk memainkan jarinya di dalam tubuh seniornya. Pikirannya mulai menggila dan ia harus segera memasuki sang senior kalau tidak ingin hilang kesadaran saat itu juga.

Rintihan Younghoon berisik. Berisik sekali hingga kepala Sunwoo terasa penuh. Pusing dan nikmat.

“Nngh- Ah- Nu, pelan-pelan…”

Sunwoo tidak kuasa untuk menunda melesakkan semuanya. Gelenyar nikmat merambat ke sekujur tubuhnya seperti sengatan listrik.

Younghoon merintih lagi. Lebih keras. Sunwoo berani sumpah ia terdengar seperti bayi manja yang sedang merajuk. Kepala Sunwoo benar-benar pusing.

“Nu… Penuh banget.” Younghoon berbisik di antara lenguhan pendeknya. “Gue kayaknya bakal rewel banget kalo lo gerak.”

“Lo-nya… yang sempit, Kak,” ucap Sunwoo. Telinganya mulai memerah.

Younghoon baru sadar kalau Sunwoo rupanya juga sedang kesusahan menahan dirinya sendiri. Cowok manis itu tampak takut untuk bergerak. Hingga Younghoon menarik tengkuknya lagi untuk mencium bibirnya.

“Gini biar gue nggak berisik.”

Sunwoo melumat bibir Younghoon sementara dirinya mulai bergerak. Benar saja, rengekan itu muncul di balik ciuman yang berusaha Sunwoo pertahankan. Semakin kuat dirinya menghentak, semakin keras pula Younghoon merintih.

Telinga Sunwoo butuh mendengarnya. Diputusnya ciuman itu agar suara Younghoon menggema ke sudut-sudut ruangan.

Rumor tentang Younghoon yang berisik di ranjang itu ternyata benar. Selama ini Sunwoo hanya berimajinasi sebagai karakter utama yang membuat Younghoon merengek hebat. Kini imajinasi itu menjadi kenyataan.

Sunwoo menyaksikan wajah Younghoon dengan jelas. Matanya terpejam rapat namun bibirnya memberi celah untuk desahan nikmat yang diciptakan Sunwoo.

Sialan.

Younghoon membuka matanya ketika ia merasakan Sunwoo mulai mempercepat gerakannya. Wajah adik tingkatnya itu sudah merah padam. Menggemaskan.

He must be so overwhelmed. Cute.

Sunwoo tidak dapat menahan desah dari tenggorokannya sendiri. Namun ia terlampau malu untuk bersuara. Ia akan terdengar sangat kacau.

Tapi Younghoon nikmat. Sangat nikmat hingga Sunwoo ingin melenguh kuat.

“An- jing… Kak Young- hoon… Kak-”

There. Please.

Sunwoo memenuhi permintaan Younghoon. Seniornya itu dibuat kacau berantakan.

Are you sure it's your first?” Younghoon menggigit bibirnya.

I fantasized a lot about you, Kak.”

Sunwoo sudah tidak peduli ia mengucapkannya dalam hati atau benar-benar menyuarakannya. Baginya yang paling penting sekarang adalah Younghoon ada di bawahnya, merengek keras sementara Sunwoo memenuhinya.

Cairan hangat itu memenuhi liang lalu merembes keluar. Sunwoo mengerang sedalam-dalamnya. Younghoon bisa merasakan setidaknya lima kali cairan itu menghantam dindingnya.

Sunwoo terengah hebat. Bulir keringat menetes ke dada Younghoon. Yang lebih tua menariknya dalam pelukan, lalu berbisik.

Good job, anak manis.”

Sunwoo pening. Ia mengatur napasnya sebelum ia tersadar akan sesuatu.

“Kak, tapi lo belom-”

“Ssh- udah…”

Sunwoo kembali berlutut. Harga dirinya musnah kalau ia keluar sendirian. Meski tujuan utamanya adalah mencoba tubuh Younghoon, Sunwoo tetap memiliki gengsi. Younghoon juga harus puas karenanya.

Gesekan itu terjadi lagi. Napas Younghoon tercekat. Tubuhnya tersentak kuat tiap kali Sunwoo mendorong masuk. Younghoon menyentuh dirinya sendiri, menambah stimulasi untuk pelepasannya.

“Nu, mentokin lagi, please. Gue mau keluar.”

Ucapan Younghoon adalah titah. Sunwoo melesakkan miliknya dalam-dalam hingga Younghoon akhirnya bertemu putih.

Sunwoo mengerjapkan matanya menyaksikan Younghoon bersimbah keringat dan tersengal hebat. Ia menundukkan kepalanya lalu menciumi wajah Younghoon.

“Lo cantik banget, Kak. Everything about you is beautiful.”

Rasanya Sunwoo seperti akan bangun dari mimpi indah ketika Younghoon harus segera membersihkan diri dan bersiap untuk pergi. Sunwoo memandangi Younghoon yang sedang mengeringkan rambut sedangkan dirinya masih telanjang dada di atas ranjang.

Younghoon menyadari sorot mata Sunwoo yang mengharap dirinya untuk tinggal. Dihampirinya yang lebih muda dengan senyum manis. Lalu diberikannya cium di puncak kepala.

“Makasih buat hari ini. I enjoyed it a lot. I think you're really cute.”

Mungkin bagi Younghoon, apa yang terjadi hari ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang biasa dilakukannya.

Tapi bagi Sunwoo, hari ini adalah titik dimulainya sesuatu yang akan berujung pada patah hati.

Younghoon hampir berteriak saat tangannya tiba-tiba ditarik seseorang. Ia baru saja menjejaki area toilet di lantai satu untuk mencari Jaehyun.

“Eh, anjing lo emang,” rutuk Younghoon ketika ia sadar siapa yang menarik tangannya masuk ke dalam toilet. Untung di dalam toilet sedang sepi, jadi Younghoon tidak perlu merasa malu.

Jaehyun hanya cengengesan sementara Younghoon mengomel. Ia menarik cowok itu masuk ke salah satu kubikel lalu mengunci pintunya.

“Udah buruan sini,” perintah Jaehyun yang sudah lebih dulu duduk di atas kloset, menepuk pahanya yang menganggur.

“Gila ya, lo?” desis Younghoon, masih mengomel. Tetapi Jaehyun sigap menariknya hingga Younghoon terduduk di pangkuannya.

Begitu Younghoon duduk manis di pangkuan Jaehyun, cowok itu juga berhenti mengoceh. Sebagai gantinya ia menjatuhkan dahinya di bahu Jaehyun. Terkadang di hadapan Jaehyun ia hanya ingin disayang dan dimanja. Terlebih setelah berjam-jam perkuliahan yang membuat kepalanya pusing.

“Capek, ya?” bisik Jaehyun pada satu telinga Younghoon sementara tangannya menjelajah ke punggung lalu paha cowok itu, mengelusnya lembut. Jaehyun bisa mendengar Younghoon mulai merengek pelan. Kebiasaannya kalau sedang dimanja Jaehyun.

“Mau, nggak? Tapi cepet aja,” tawar Jaehyun. “Gua bawa kondom.”

Younghoon mencibir. “Ih, bawa-bawa kondom ke kampus. Mahasiswa rusak lo.”

“Lo juga sama rusaknya.”

Pada akhirnya Younghoon tidak dapat menolak. Sebelum Jaehyun benar-benar melakukan aksinya, Younghoon sempat menghentikannya sejenak.

“Je, tapi gue berisik banget.”

“Halah, nggak papa. Sepi ini.”

“Kalo ada yang masuk?”

“Biarin aja mereka denger sekalian.”

“Dasar gila.”

Younghoon hampir berteriak saat tangannya tiba-tiba ditarik seseorang. Ia baru saja menjejaki area toilet di lantai satu untuk mencari Jaehyun.

“Eh, anjing lo emang,” rutuk Younghoon ketika ia sadar siapa yang menarik tangannya masuk ke dalam toilet. Untung di dalam toilet sedang sepi, jadi Younghoon tidak perlu merasa malu.

Jaehyun hanya cengengesan sementara Younghoon mengomel. Ia menarik cowok itu masuk ke salah satu kubikel lalu mengunci pintunya.

“Udah buruan sini,” perintah Jaehyun yang sudah lebih dulu duduk di atas kloset, menepuk pahanya yang menganggur.

“Gila ya, lo?” desis Younghoon, masih mengomel. Tetapi Jaehyun sigap menariknya hingga Younghoon terduduk di pangkuannya.

Begitu Younghoon duduk manis di pangkuan Jaehyun, cowok itu juga berhenti mengoceh. Sebagai gantinya ia menjatuhkan dahinya di bahu Jaehyun. Terkadang di hadapan Jaehyun ia hanya ingin disayang dan dimanja. Terlebih setelah berjam-jam perkuliahan yang membuat kepalanya pusing.

“Capek, ya?” bisik Jaehyun pada satu telinga Younghoon sementara tangannya menjelajah ke punggung lalu paha cowok itu, mengelusnya lembut. Jaehyun bisa mendengar Younghoon mulai merengek pelan. Kebiasaannya kalau sedang dimanja Jaehyun.

“Mau, nggak? Tapi cepet aja,” tawar Jaehyun. “Gua bawa kondom.”

Younghoon mencibir. “Ih, bawa-bawa kondom ke kampus. Mahasiswa rusak lo.”

“Lo juga sama rusaknya.”

Pada akhirnya Younghoon tidak dapat menolak. Sebelum Jaehyun benar-benar melakukan aksinya, Younghoon sempat menghentikannya sejenak.

“Je, tapi gue berisik banget.”

“Halah, nggak papa. Sepi ini.”

“Kalo ada yang masuk?”

“Biarin aja mereka denger sekalian.”

“Dasar gila.”


Keduanya harus melepas baju yang mereka pakai agar tak terkena noda. Kulit bertemu kulit saat lengan mereka saling merengkuh. Younghoon merapatkan pelukannya di leher Jaehyun sementara badannya merendah sedikit demi sedikit, membiarkan Jaehyun mengisi kekosongannya.

Jaehyun memberi waktu Younghoon untuk terbiasa dengan dirinya yang memenuhi tubuhnya sebelum mulai bergerak. Disibaknya rambut Younghoon hingga wajahnya terlihat jelas lalu diciuminya lembut. Younghoon membalas ciumannya sementara pinggulnya bergerak pelan, berusaha menyamankan diri.

“Kamu yang gerak aja gimana, hm? Biar bisa ngontrol sendiri kamu enaknya kayak gimana.”

Tutur kata Jaehyun sering mendadak berubah manis di saat-saat seperti ini dan itu berimbas pada selatan Younghoon. Cowok itu mengeluh dalam hati.

Namun tetap diturutinya ucapan Jaehyun. Hati-hati sekali ia mengangkat tubuhnya lalu menurunkannya perlahan, lenguhan panjang menyertai aksinya. Ia belum berani turun sepenuhnya karena begini saja kepalanya sudah pusing.

Jaehyun menaruh kedua tangannya di pinggang Younghoon sembari mengagumi wajahnya yang menunjukkan berbagai ekspresi yang ingin Jaehyun lihat.

“Katanya berisik? Kok diem aja? Mau denger kamu berisik,” pancing Jaehyun.

Younghoon ingin membalas tetapi pikirannya sudah tak bisa berpikir jernih. Setiap kali ia bergerak turun, dindingnya bergesekan dengan milik Jaehyun yang membuatnya keenakan. And he found his sweet spot.

“Ah!”

Desahan pendek lolos dari bibir Younghoon. Jaehyun tersenyum miring, langsung memahami reaksinya.

“Di sini?” Jaehyun menghentakkan pinggulnya di titik yang baru saja dilewati miliknya. Tubuh Younghoon seketika bergetar. Bibirnya melontarkan desahan-desahan pendek sementara badannya terus bergerak naik-turun, berusaha mencari kenikmatannya.

“Enak, ya? Habis capek kuliah terus dikasih enak sama aku? Reward buat anak pinter.”

Jaehyun menghapus butir keringat yang bermunculan di dahi Younghoon. Lalu ia benamkan wajahnya di dada mulus cowok itu, sesekali mengulum putingnya yang mengeras. Younghoon mendesah panjang karenanya.

Ketika gerakan Younghoon mulai melemah, Jaehyun segera mengambil alih.

“Udah? Capek?”

Younghoon menyandarkan kepalanya di bahu Jaehyun, mengangguk kecil. Ingin Jaehyun yang memegang kendali. Ingin Jaehyun yang mengendalikan dirinya hingga ia lupa diri.

Setelah memberikan satu ciuman lembut di pipi Younghoon, Jaehyun mulai menggerakkan pinggulnya dengan kuat. Tangan Younghoon mencengkeram punggung Jaehyun yang mulai basah oleh keringat.

Desah suara Younghoon menggema ke dinding-dinding ruang yang sempit itu. Napasnya bersahutan dengan napas Jaehyun. Cowok itu menyerang titik kenikmatannya tanpa henti.

“Je- Hng- Jaeh-yun-” panggil Younghoon tersendat. “Gue mau keluar…”

Sambil memberikan beberapa hentakan kuat, tangan Jaehyun melingkupi milik Younghoon yang mulai mengeluarkan putih. Ditampungnya cairan kenikmatan itu hingga Younghoon selesai.

“Je…” panggil Younghoon di sela engah napasnya.

“Hm?” Jaehyun membalas dengan gumaman sembari dirinya membersihkan cairan di tangan serta badannya menggunakan tisu.

“Gue bentar lagi kelas.”

“Iya. Habis ini lo bersih-bersih terus masuk.”

Younghoon menegakkan punggungnya. Jaehyun masih berada di dalamnya, tetapi cowok itu belum mencapai puncaknya. Sebuah ide lalu melintas di pikiran Younghoon.

Setelah melempar gulungan tisu ke tempat sampah, Jaehyun terkejut ketika Younghoon yang telah memakai celananya kembali malah berlutut di hadapannya.

“Hoon, lo ngap-”

Kalimat Jaehyun terputus saat Younghoon tiba-tiba mengulum keseluruhan miliknya. Cowok itu telah melepas kondomnya hingga hangat dan basah lidahnya benar-benar terasa.

Satu hal yang membuat Jaehyun gila akan Younghoon. Dan hal itu sedang terjadi sekarang.

Younghoon gives a really good blowjob.

Jaehyun memejamkan mata sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, takut erangan muncul dari balik tenggorokannya. Tetapi Younghoon terlampau lihai. Cowok itu selalu juara memainkan mulut dan lidahnya. Dibuatnya pikiran Jaehyun melambung jauh ke langit ketujuh.

Tangan Jaehyun tanpa sadar mencengkeram rambut Younghoon, menahan kepala cowok itu tetap dalam jangkauannya.

Fuck… Pinter banget lo nyepongnya. Gua bisa gila.”

Jaehyun memberi makan ego Younghoon hingga cowok itu tak memberi ampun. Ia menjilat, mengulum, menyesap hingga Jaehyun keluar di dalam mulutnya.

“Hoon…”

Jaehyun menyaksikan Younghoon susah payah menelan cairannya lalu mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Tanpa aba-aba Jaehyun menarik tengkuk Younghoon dan mencumbunya hingga Younghoon kehabisan napas.

“Sialan, lo gemes banget,” bisik Jaehyun setelah ia menghentikan ciuman brutalnya. Dibersihkannya sudut-sudut bibir Younghoon dari liur dan cairan lain yang menodai. Lalu dipaksanya cowok itu untuk duduk di pangkuannya lagi.

“Lo pacar gua kan, Hoon?” tanya Jaehyun tiba-tiba. Jempolnya masih mengusap permukaan bibir Younghoon. “Gua sayang banget sama lo.”

Pertanyaan itu terasa lain didengar telinga Younghoon. Tapi ia tetap mengangguk.

Jaehyun memberinya satu ciuman lagi di bibir sebelum keduanya mulai memakai pakaiannya kembali.

Younghoon merapikan bajunya lalu membuka pintu kubikel. Matanya terbelalak kaget begitu ia melihat seseorang berdiri tepat di depan pintu. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang tak karuan. Panik, khawatir, takut.

“Hai, Nu.” Jaehyun menyapa orang itu dengan santai. “Masih banyak yang kosong, ngapain nunggu depan sini?”

Adik tingkat Younghoon itu masih terpaku di tempatnya. Ia memandangi dua cowok yang baru saja keluar dari kubikel yang sama itu bergantian.

“Yuk, buruan. Katanya lo mau ada kelas?” Jaehyun merangkul Younghoon yang masih belum menemukan suaranya.

Sunwoo menatap kepergian Younghoon dan Jaehyun dengan sorot mata yang sulit dimengerti.

Bintang menutup lemari pakaian Biru setelah mengganti bajunya untuk tidur.

“Aku nggak tau ternyata bajuku lumayan banyak di sini,” ucap Bintang sambil melangkah menuju Biru yang tengah duduk di tepi kasurnya.

Biru mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jarinya.

“Pas kamu pertama kali nginep di sini, pas kamu nemenin aku selama Ibu sama Dinda pergi, pas kamu numpang tidur di sini karena di rumah sepi, pas kamu nggak bisa pulang ke rumah gara-gara-”

“Iyaa, iyaaa,” sela Bintang, memotong kalimat Biru dengan duduk di pangkuannya. “Aku nggak nyangka aja ternyata aku sering nginep di sini.”

“Makanya aku ingetin satu-satu, kan?”

Biru melingkarkan lengannya di pinggang pacarnya, menjaga cowok itu agar tak kemana-mana. Meski Bintang memang tak berniat untuk pergi, ingin di situ saja bersama Biru yang lama.

“Bin.”

“Hm?”

“Kamu, kok, suka banget sih pake celana bocil kayak gini,” ujar Biru sambil menarik pelan celana yang sedang dipakai Bintang.

Bintang sontak tertawa. Biru selalu menyebut celana pendek yang kerap dipakainya untuk tidur itu dengan sebutan 'celana bocil'.

“Emang kenapa? Enak tau pake celana ini. Nggak gerah.”

“Iya, sih. Tapi kamu pertama kali nginep di sini langsung pake celana itu, inget nggak?”

“Inget.” Bintang mengangguk cepat. “Kenapa?”

“Bikin aku stress, tau.”

Bintang memberantakan rambut Biru dengan gemas, masih tertawa geli. “Stress kenapa coba?? Gara-gara bikin kamu jadi kepancing, ya? Soalnya habis itu kamu kan-”

“Dih, dih.” Biru langsung membekap mulut Bintang dan menggulingkan badan keduanya di atas kasur. Tawa Bintang teredam di balik telapak tangan Biru yang lebar. Baru setelah Bintang menggigit tangannya, Biru membebaskan cowok itu.

“Lemah banget kamu liat paha doang,” cibir Bintang.

“Bukan asal paha, ya. Paha kamu, tuh.”

“Paha aku kenapaaa??”

“Nggak tau. Ada peletnya, kali.” Biru menyerang wajah Bintang dengan ciuman-ciuman kecil hingga cowok mungil itu memekik dan berusaha menghindari serangan Biru.

“Berarti kamu lebih tertarik sama paha aku daripada sama aku,” protes Bintang, kedua tangannya menahan sisi wajah Biru. Alisnya bertaut rapat. Di mata Biru pacarnya itu terlihat seperti anak anjing yang sedang marah. Sama sekali tidak menakutkan.

“Ya, nggak lah. Kalo aku tertarik sama paha kamu doang, ngapain aku udah naksir bahkan sebelum aku tau nama asli kamu. Dulu kamu kan nyamar jadi Evan.”

“Ih, dibahas lagi.” Bintang mengetatkan tangannya pada wajah Biru hingga mulut cowok itu membentuk huruf o lalu mencuri satu ciuman cepat. “Udah, ah, stop ngomongin paha. Aku mau bobo.”

Biru tersenyum simpul. Ia merapatkan badannya pada Bintang yang berbaring memunggunginya. Dipeluknya cowok itu sambil berbisik pelan.

“Jangan dikasih punggung, dong. Kita kayak suami istri yang lagi marahan aja.”

Bintang mendecakkan lidahnya lalu membalikkan badannya sambil mengomel pelan. Biru terkekeh melihat pacarnya yang selalu protes tiap ia meminta sesuatu namun tetap dipenuhi juga.

Biru tersenyum puas setelah Bintang berbaring menghadapnya. Diciuminya wajah dan bibir pacarnya yang mulai memejamkan mata itu.

“Abin.”

“Hm…”

“Mau langsung bobo, ya?”

“Ngantuk, Biruuu.”

“Ya udah, deh.”

“Hm.”

“Abin…”

“Apa, sih?”

“Tapi kamu kalo nginep di tempat orang lain pake celana bocil gini juga, nggak?”

“Iya.”

“Hah, serius?”

“Heem.”

“Parah, ih, Abin.”

“Kenapaaa??”

“Nggak boleh, lah. Aku sita semua celana bocil kamu. Cuma boleh dipake di sini.”

“Kenapa gitu?”

“Aku doang yang boleh liat paha kamu.”

“Ya ampun, Biru…”

Dari awal Sunwoo menginjakkan kakinya di kos Younghoon, ia sudah punya banyak ekspektasi yang membuat kepalanya penuh dengan euforia. Apalagi yang ditawarkan Younghoon adalah aktivitas menonton film. Sunwoo tentu saja sudah pernah menciptakan skenario seperti itu dalam imajinasinya.

Animasi kesukaan Sunwoo. Tapi sedikitpun ia tak peduli. Dari detik pertama film itu terputar di layar laptop milik Younghoon, fokus Sunwoo sudah tak di sana.

Younghoon memakai kaos polos berwarna putih dan celana pendek yang bahkan tak sanggup menutupi setengah pahanya. Mata Sunwoo terus-terusan lari ke sana.

Tapi yang membuat Sunwoo kesal adalah interupsi dari pesan yang masuk ke ponsel Younghoon. Kakak tingkatnya itu jadi lebih sering melihat ponselnya daripada menikmati waktu bersamanya. Padahal Sunwoo sudah menggenggam tangan kanan Younghoon, tapi cowok itu masih membalas pesan dengan tangan kirinya.

Sunwoo tidak perlu mengintip untuk tahu dengan siapa Younghoon berkirim pesan.

“Kak.”

“Hm?”

Younghoon masih belum berpaling dari ponselnya.

“Gue bosen,” bisik Sunwoo, sengaja dekat dengan telinganya untuk mencuri perhatian.

Berhasil. Younghoon meletakkan ponselnya. Ditariknya senyum paling manis yang selalu membuat Sunwoo kelabakan.

“Katanya itu tadi film favorit lo? Kok bosen?”

“Udah sering nonton.”

“Mau nonton yang lain?”

Sunwoo menggeleng. Ia bangkit dari rebahnya sambil menyingkirkan laptop Younghoon. Dengan kedua lengan yang mengurung tubuh Younghoon, Sunwoo duduk di pangkuannya. Kepalanya menunduk untuk menghirup aroma tubuh Younghoon yang hanya bisa ia bayangkan belakangan ini. Hidungnya menggesek leher Younghoon, candu menciumi permukaan kulitnya.

Tak butuh waktu lama hingga pakaian keduanya berserakan di ranjang dan lantai. Sunwoo menikmati bibir Younghoon tanpa rasa rikuh lagi. Kesempatan yang seperti ini tak akan Sunwoo sia-siakan.

Mungkin Sunwoo sedikit berharap. Mungkin yang dikatakan Younghoon padanya melalui pesan itu benar. Karena kali ini cowok itu membalas ciumannya dengan berbeda. Ada tuntutan dan desakan dalam cara Younghoon menciumnya. Younghoon mendamba bibir Sunwoo. Younghoon menginginkannya sama banyak seperti Sunwoo.

“Gue pengen masukin lo sekarang, Kak.”

Sunwoo tak ingin menunda. Permintaannya pun dipenuhi. Semakin yakin dirinya bahwa Younghoon memang menginginkan Sunwoo. Ia merasa di atas angin.

Tetapi momen itu harus dirusak oleh pesan yang masuk ke ponsel Younghoon. Bertubi-tubi.

Tangan Younghoon yang tengah mencengkram sprei selagi Sunwoo menghentak tubuhnya pun mulai mencari-cari ponselnya. Namun ia kalah cepat dengan Sunwoo yang langsung mengambil ponsel itu.

Please don't put your attention to anything else when I'm fucking you like this.”

Younghoon tidak sempat memprotes ketika Sunwoo mengambil foto dengan ponselnya lalu mengetik entah apa sebelum melempar benda itu jauh ke atas nakasnya.

“Nu- Ah!”

Sunwoo menggagalkan kalimat Younghoon ketika ia mulai bergerak lebih cepat. Ia ingin fokus Younghoon hanya tertuju padanya dan bukan pada orang lain. Sekalipun itu adalah pacarnya.

Suara lenguhan Younghoon seperti bahan bakar yang memacu Sunwoo untuk tak memberi ampun. Cakaran dan gigitan di punggung serta bahunya tak lagi terasa. Ini bukan seperti Sunwoo yang pernah Younghoon temui di ranjang saat itu.

Sunwoo hampir mencapai puncaknya ketika pintu kos Younghoon tiba-tiba terbuka dengan suara yang keras. Ia menolehkan kepalanya cepat dan seketika tersentak. Namun Younghoon rupanya yang lebih terkejut melihat siapa yang ada di ambang pintu.

“Jaehyun!?”

Dari awal Sunwoo menginjakkan kakinya di kos Younghoon, ia sudah punya banyak ekspektasi yang membuat kepalanya penuh dengan euforia. Apalagi yang ditawarkan Younghoon adalah aktivitas menonton film. Sunwoo tentu saja sudah pernah menciptakan skenario seperti itu dalam imajinasinya.

Animasi kesukaan Sunwoo. Tapi sedikitpun ia tak peduli. Dari detik pertama film itu terputar di layar laptop milik Younghoon, fokus Sunwoo sudah tak di sana.

Younghoon memakai kaos polos berwarna putih dan celana pendek yang bahkan tak sanggup menutupi setengah pahanya. Mata Sunwoo terus-terusan lari ke sana.

Tapi yang membuat Sunwoo kesal adalah interupsi dari pesan yang masuk ke ponsel Younghoon. Kakak tingkatnya itu jadi lebih sering melihat ponselnya daripada menikmati waktu bersamanya. Padahal Sunwoo sudah menggenggam tangan kanan Younghoon, tapi cowok itu masih membalas pesan dengan tangan kirinya.

Sunwoo tidak perlu mengintip untuk tahu dengan siapa Younghoon berkirim pesan.

“Kak.”

“Hm?”

Younghoon masih belum berpaling dari ponselnya.

“Gue bosen,” bisik Sunwoo, sengaja dekat dengan telinganya untuk mencuri perhatian.

Berhasil. Younghoon meletakkan ponselnya. Ditariknya senyum paling manis yang selalu membuat Sunwoo kelabakan.

“Katanya itu tadi film favorit lo? Kok bosen?”

“Udah sering nonton.”

“Mau nonton yang lain?”

Sunwoo menggeleng. Ia bangkit dari rebahnya sambil menyingkirkan laptop Younghoon. Dengan kedua lengan yang mengurung tubuh Younghoon, Sunwoo duduk di pangkuannya. Kepalanya menunduk untuk menghirup aroma tubuh Younghoon yang hanya bisa ia bayangkan belakangan ini. Hidungnya menggesek leher Younghoon, candu menciumi permukaan kulitnya.

Tak butuh waktu lama hingga pakaian keduanya berserakan di ranjang dan lantai. Sunwoo menikmati bibir Younghoon tanpa rasa rikuh lagi. Kesempatan yang seperti ini tak akan Sunwoo sia-siakan.

Mungkin Sunwoo sedikit berharap. Mungkin yang dikatakan Younghoon padanya melalui pesan itu benar. Karena kali ini cowok itu membalas ciumannya dengan berbeda. Ada tuntutan dan desakan dalam cara Younghoon menciumnya. Younghoon mendamba bibir Sunwoo. Younghoon menginginkannya sama banyak seperti Sunwoo.

“Gue pengen masukin lo sekarang, Kak.”

Sunwoo tak ingin menunda. Permintaannya pun dipenuhi. Semakin yakin dirinya bahwa Younghoon memang menginginkan Sunwoo. Ia merasa di atas angin.

Tetapi momen itu harus dirusak oleh pesan yang masuk ke ponsel Younghoon. Bertubi-tubi.

Tangan Younghoon yang tengah mencengkram sprei selagi Sunwoo menghentak tubuhnya pun mulai mencari-cari ponselnya. Namun ia kalah cepat dengan Sunwoo yang langsung mengambil ponsel itu.

Please don't put your attention to anything else when I'm fucking you like this.”

Younghoon tidak sempat memprotes ketika Sunwoo mengambil foto dengan ponselnya lalu mengetik entah apa sebelum melempar benda itu jauh ke atas nakasnya.

“Nu- Ah!”

Sunwoo menggagalkan kalimat Younghoon ketika ia mulai bergerak lebih cepat. Ia ingin fokus Younghoon hanya tertuju padanya dan bukan pada orang lain. Sekalipun itu adalah pacarnya.

Suara lenguhan Younghoon seperti bahan bakar yang memacu Sunwoo untuk tak memberi ampun. Cakaran dan gigitan di punggung serta bahunya tak lagi terasa. Ini bukan seperti Sunwoo yang pernah Younghoon temui di ranjang saat itu.

Sunwoo hampir mencapai puncaknya ketika pintu kos Younghoon tiba-tiba terbuka dengan suara yang keras. Ia menolehkan kepalanya cepat dan seketika tersentak. Namun Younghoon rupanya yang lebih terkejut melihat siapa yang ada di ambang pintu.

“Jaehyun!?”


Jaehyun terpaku di tempatnya begitu lama. Pemandangan di depannya membuat isi perutnya serasa diaduk. Ada kemarahan yang bergulung di dalam dadanya. Seluruh pikiran tentang kebohongan, pengkhianatan, dan hal-hal lain mulai mengerubuti kepalanya.

Younghoon telanjang total tanpa sehelai kain menutupi kulitnya. Di atasnya adalah bocah yang selama ini Jaehyun awasi gerak-geriknya. Sama telanjangnya dengan Younghoon. Kulit bertemu kulit. Bahkan ia masih ada di dalam Younghoon, tak berniat untuk menarik diri.

Sesuatu mulai bergejolak dalam diri Jaehyun. Sesuatu yang lain, sesuatu yang tak familiar. Tetapi mendesak Jaehyun seiring detik bergulir.

Younghoon menyaksikan Jaehyun mulai berjalan ke arah ranjangnya setelah menutup pintu di belakangnya dengan amat pelan. Cowok itu tak memutus tatapannya. Lidahnya menekan sisi bagian dalam pipinya yang membuat Younghoon langsung sadar, Jaehyun sedang tidak ingin main-main.

“Je.”

Panggilan Younghoon tak digubris. Sebagai gantinya Jaehyun memberi isyarat pada Sunwoo untuk menyingkir. Entah mengapa Sunwoo tak membantah. Cowok itu akhirnya melepaskan dirinya yang masih bertaut dengan Younghoon, membuat Younghoon sempat mengerang pelan. Suaranya membuat wajah Jaehyun berkedut.

“Sini.” Jaehyun membuka suara untuk pertama kalinya. Menepuk permukaan ranjang di depannya. “Berlutut depan gua sini.”

Tak ingin menimbulkan perdebatan, Younghoon segera menuruti perintahnya. Ia merangkak menuju Jaehyun dengan kedua kaki dan tangannya.

Younghoon hampir berseru ketika Jaehyun menarik rambutnya hingga kepalanya menengadah. Lalu cowok itu membungkukkan badan, bibirnya jatuh tepat di telinganya.

“Anjing ya, lo?” bisiknya tajam, membuat sekujur tubuh Younghoon merinding. “Gua ngelarang lo buat deket sama tuh anak buat dilanggar? Iya?”

“Je, gue-”

“Diem. Siapa yang bolehin lo ngomong?”

Younghoon langsung mengatupkan bibirnya rapat.

“Gimana rasanya? Enak diewe sama bocah? Sampe nagih pengen lagi?”

Jaehyun menghembuskan napas kesal setelah mengucap kalimatnya. Pandangannya beralih pada Sunwoo yang sama sekali tak terlihat gentar. Sepasang mata cowok itu malah menantang.

“Gua ganggu?” tanya Jaehyun pada Sunwoo.

Sunwoo tak menjawab. Rahangnya mengeras.

Jaehyun berdecak lalu melepaskan tangannya dari rambut Younghoon. Cowok itu kembali menunduk.

“Nu,” panggil Jaehyun. “Lanjutin aja.”

Seakan tak percaya dengan ucapannya barusan, Sunwoo melebarkan matanya. Namun ia tetap bergeming.

“Oh, sori. Berhubung gua ini pacarnya Younghoon, gua berhak ada di sini juga. Jadi, silahkan. Lanjutin!”

Nada suara yang memerintah di akhir kalimatnya membuat Sunwoo bergerak. Sunwoo tidak peduli apakah itu memang perintah atau sindiran. Ia akan menikmati tubuh Younghoon di depan mata pacarnya.

Younghoon membuka mulutnya ketika Sunwoo mulai memasukinya lagi. Sebisa mungkin menahan suara-suara yang memaksa untuk muncul karena tak ingin itu membuat pacarnya semakin kesal. Namun ekspresi wajah Younghoon tak dapat berbohong. Ia menikmatinya.

“Ahh-!”

Desahan itu terlepas juga dari bibir Younghoon. And it was the last straw for Jaehyun.

Jaehyun menarik lepas ikat pinggangnya dan membuka resleting celananya. Ia mengeluarkan miliknya dan dengan kasar menarik kepala Younghoon untuk mendekat.

“Buka mulut!” seru Jaehyun sembari satu tangannya menangkup rahang Younghoon kuat.

Tanpa diminta dua kali, Younghoon membuka mulutnya dan membiarkan Jaehyun melesakkan miliknya ke dalam rongga mulutnya yang basah dan hangat. Tangan Jaehyun yang menahan kepala Younghoon membuat cowok itu harus menerima keseluruhan milik Jaehyun hingga menyentuh bagian paling dalam rongga mulutnya. Ia hampir tersedak.

Sunwoo terus bergerak tanpa berhenti di belakangnya, sementara Jaehyun mengontrol kepalanya untuk terus memberikan nikmat pada kejantanannya. Younghoon rasanya akan meledak.

Tiap kali Sunwoo menabrak titik kenikmatannya, desahan Younghoon teredam dan getarannya merambat pada milik Jaehyun, membuat Jaehyun semakin cepat menggerakkan kepala Younghoon. Dua lengan Younghoon melingkar erat pada paha Jaehyun untuk menopang dirinya.

Pemandangan di depan matanya menimbulkan rangsangan yang aneh pada Sunwoo. Ia seperti ingin membuat Younghoon lebih kacau lagi daripada ini.

“Aghh- Hhgh-”

Erangan Younghoon yang semakin keras membuat Jaehyun melepaskan dirinya sejenak. Memberikan kesempatan pacarnya itu untuk bernapas dan mendengar desahan merdunya.

“Nggak sopan lho, Sayang, desah depan aku karena orang lain.”

Jaehyun mengusap bibir bawah Younghoon dengan ibu jarinya. Saliva menetes ke dagunya.

“Diem,” bisik Jaehyun tajam sebelum ia mulai melumat bibir Younghoon. Meredam kembali desahannya dengan ciuman yang membabi-buta. Kali ini tak ada lagi kesempatan untuk menghirup oksigen barang sejenak.

Seakan belum cukup, tangan Jaehyun mulai meraba ke bagian bawah tubuh Younghoon. Menangkup dan mengelus milik Younghoon yang sudah mengeluarkan cairan bening.

Sepasang tangan lain muncul dari balik punggungnya dan hinggap pada kedua titik di dadanya yang sensitif. Tubuh Younghoon menggelinjang. Seluruh stimulasi dirasakan bersamaan hingga ia tak dapat berhenti bergerak dengan gelisah.

“Kak, lo keliatan tempting banget kalo lagi nggak bisa apa-apa kayak gini.” Sunwoo berbisik di telinga kanan Younghoon. Tangannya masih sibuk memainkan puting Younghoon hingga cowok itu kehilangan kewarasan.

Sementara itu di telinga kirinya, Jaehyun terus memanggilnya dengan sebutan-sebutan yang selalu berhasil membuat kepala Younghoon pening.

“Sayangnya aku, anak pinter, yang begini nggak ada apa-apanya buat kamu, kan? Udah biasa diginiin, kan?”

Napas Younghoon memburu. Tubuhnya bersimbah keringat yang semakin membuatnya terlihat seksi.

“U- udah… Please… Nggak- Ngh- Nggak bisa-”

Permohonan Younghoon malah membuat tangan Jaehyun bekerja semakin cepat. Tubuh Younghoon bergetar hebat. Suara desah bercampur rengekan tak lagi bisa ditahannya. Ciuman dari Sunwoo dan Jaehyun membanjiri punggung dan lehernya. Sebentar lagi Younghoon sampai ke langit ketujuh.

Ditahan oleh sepasang lengan Sunwoo yang melingkari pinggangnya dan ditopang oleh bahu Jaehyun, tubuh Younghoon terkulai lemas. Sepanjang sejarah permainannya, Younghoon belum pernah merasa sekacau ini. Ia sama sekali tak diberi kesempatan untuk berpikir jernih. Ia terus-terusan dibuat berantakan hingga reaksinya tak terkendali.

Sunwoo dan Jaehyun bergantian menyesap bibirnya untuk mengakhiri aksi malam itu. Dan Younghoon merasa ia berubah menjadi orang yang serakah. Karena jauh di dalam lubuk hatinya ia menginginkan kedua cowok itu dalam genggamannya.


Sepertinya Biru sudah gila ketika ia tancap gas menuju rumah Bintang yang baru saja ditinggalkannya tak lebih dari lima belas menit yang lalu. Ia sendiri tak percaya bagaimana sebuah foto yang dikirim pacarnya melalui chat itu menggerakkan dirinya begitu saja.

Hingga Biru sampai dan disambut oleh wajah penuh tanda tanya Bintang, cowok itu baru sadar ia tak memiliki alasan yang masuk akal.

“Kamu beneran ke sini? Ngapain bolak-balik, ya ampun.”

“Rok yang tadi mana?”

“Tuh, aku lipet rapi. Udah hampir aku paketin ke rumah kamu.”

Biru menatap rok warna hitam yang sudah terlipat rapi di atas ranjang. Foto Bintang memakai rok itu kembali terlintas dalam kepalanya.

Biru bukannya tak memiliki alasan masuk akal untuk tancap gas dalam waktu secepat itu. Justru Biru dapat menciptakan satu alasan yang benar-benar masuk akal.

“Rok yang ini nggak jadi dipake sama Cinta tadi, karena aku pikir terlalu pendek buat dia.”

Biru menghampiri ranjang dan mengambil rok hitam itu, menggantungnya di udara. Tangannya lalu turun untuk mengepaskannya pada Bintang yang masih berdiri beberapa meter darinya.

“Abin.”

“Hmm?”

“Boleh pake ini lagi, nggak?”

Bintang melebarkan mata. Kaget, sudah pasti. Dikiranya Biru langsung datang ke rumahnya untuk menyelamatkan rok itu dari tangan Bintang, tapi cowok ini malah menyuruhnya memakai lagi.

“Buat apa?” tanya Bintang heran. “Kamu mau aku jadi modelnya?”

Biru terdiam sejenak. Cowok itu tampak benar-benar mempertimbangkan ucapan Bintang hingga membuat pacarnya langsung panik.

“Biru, enggak kan?”

“Boleh coba pake dulu? Please?”

Bintang tidak bisa menolak kalau Biru sudah memohon dengan suara lembut dan senyum yang seolah membuat Bintang sangat berdosa kalau tak memenuhi. Diraihnya rok hitam yang super pendek itu dari tangan Biru lalu berjalan ke sudut kamar.

“Jangan liat,” larang Bintang.

Biru hanya mengangguk walaupun rasanya lucu karena ia sudah melihat jauh lebih banyak daripada itu.

Bintang segera mengganti celananya dengan rok yang bahkan tak menutupi setengah pahanya itu. Tiba-tiba ia disergap rasa malu. Padahal beberapa waktu lalu ia bahkan tak berpikir panjang untuk mengirim fotonya memakai rok itu pada Biru.

Ketika Bintang berbalik, Biru sedang sibuk mengutak-atik kameranya. Pelan ia melangkah ke hadapan Biru.

“Udah.”

Bintang melewatkan tarikan napas cepat yang diambil Biru ketika cowok itu mendongak karena dirinya terlalu sibuk mengatasi rasa malunya. Biru tak segera mengucap apapun, hanya mengangguk pelan.

“Mau ngapain??” bisik Bintang gemas karena Biru terus memandangi dirinya saja.

“Berdiri di situ, deh,” pinta Biru, menunjuk satu titik dalam ruang kamar Bintang. Meski ragu, Bintang tetap mengikuti perintah Biru.

Biru mulai mengangkat kameranya dan membidikkan lensanya ke arah Bintang.

Klik.

Klik. Klik.

Klik. Klik. Klik. Klik. Klik.

“Ru, bentar, bentar,” sela Bintang di antara suara kamera yang mulai ramai. “Kenapa ambil banyak-banyak? Beneran aku yang mau dijadiin model? Jangan ngaco, ah!”

Biru mengecek hasil jepretannya di kamera. Senyum tipis muncul di wajahnya sebelum ia meletakkan benda itu di atas ranjang.

“Nggak, kok,” tenangnya. “Sini, Bin.”

Bintang menghampiri Biru yang terduduk di tepi ranjangnya. Cowok itu menyentuh pelan rok mini yang dipakai Bintang sebelum berucap.

“Nggak mungkin, lah, aku biarin orang lain liat kamu pake sesuatu yang cuma boleh diliat sama aku.”

Biru menarik pacarnya hingga terduduk di pangkuannya. Satu tangannya memeluk pinggang Bintang sementara tangan yang lain jatuh pada pahanya, mengusapnya pelan.

“Siapa yang nyuruh kamu kirim foto kayak tadi, sih? Hm? Idenya siapa?”

Bintang menelan ludah. Baru tersadar bahwa ulahnya telah menimbulkan kekacauan dalam diri pacarnya.

“Nggak ada. Iseng.”

“Iseng? Mau ngerjain aku?”

“Enggakkk,” rengek Bintang manja. Dibenamkannya wajahnya yang mulai memanas di leher Biru. “Cuma iseng nyobain aja.”

“Iseng kamu bikin aku pusing tau, nggak?” omel Biru. Tangannya yang tak henti mengelus paha Bintang mulai menyusup ke balik rok.

Bintang dapat merasakan ada yang mengeras di antara kedua kaki Biru. Kalau begini pengennya Bintang menggesekkan dirinya saja.

“Biru…” bisik Bintang lirih tepat di dekat telinganya. “Are you really that hard seeing me in a skirt?”

“Jangan pura-pura nggak tau,” balas Biru dengan bisikan.

Bintang menahan senyumnya. Tapi ia memang tidak tahu.

Napas Biru terasa berat ketika serat kain itu mulai bergesekan. Merutuki Bintang yang sengaja bergerak di pangkuannya. Tangan Biru masih hinggap di permukaan kulit yang tersembunyi di balik rok, merasakan temperaturnya yang semakin hangat.

“Bintang, wait. We're not gonna do it this way.

Biru sudah menebak Bintang pasti akan protes.

“Mau gimanaaa?” keluh Bintang dengan bibirnya yang mengerucut. Biru mencium cemberutnya cepat sebelum merebahkan Bintang ke atas ranjang.

Setelah membiarkan celana dalam Bintang menggantung di pergelangan kakinya, Biru mendorong kedua kaki Bintang hingga telapaknya berpijak ke permukaan ranjang. Bintang melebarkan matanya ketika Biru tiba-tiba menenggelamkan kepalanya ke balik rok hitam dan mulai menciumi bagian dalam pahanya.

Biru mencumbu, mengelus, membasahi paha Bintang seakan ia memujanya. Cowok itu menjelajahi tiap inci paha Bintang tanpa menyentuh yang ada di antaranya sementara hal itu minta diberi perhatian.

Cute.” Biru melihat yang kemerahan mulai naik sementara ujungnya meneteskan cairan bening. “Kok bisa segemes ini, sih?”

Bintang mengejang ketika bibir Biru menyentuh miliknya barang sepersekian detik saja.

“Biruu…” keluh Bintang malu.

Reaksi spontan membuat kedua paha Bintang menjepit kepala Biru di sana. Kesempatan itu digunakan Biru untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh sesuatu di antara paha Bintang. Ketika hangat dan basah mulai menyelimuti sesuatu di bawah sana, napas Bintang terhenti. Lidah Biru menyentuh sana-sini dan Bintang rasanya ingin mati saat lidah itu menekan ujungnya.

“Hnn- Biru-” rengek Bintang yang dibalas dengan gumaman. Semakin membuat tubuh Bintang mengejang keenakan.

Kepala Biru muncul dari balik rok, hanya memperlihatkan sepasang mata yang menatap dalam pada Bintang. Tatapannya tak lepas sembari ia bergerak mendekati wajah Bintang dan mencium bibirnya.

Satu hal yang Bintang selalu suka dari Biru. Caranya mencium begitu lembut, membuat Bintang merasa sangat disayang.

Tangan Bintang merengkuh leher Biru selama bibir mereka menyatu, menahannya agar tak lepas. Begitu hanyut dirinya dalam ciuman yang memabukkan itu hingga ia terlambat menyadari Biru telah membebaskan miliknya yang mengeras dan mulai menggesekkannya pada Bintang.

Lenguhan muncul dari bibir Bintang begitu ciuman itu lepas. Biru mengganti targetnya. Leher Bintang.

“Biru, nanti roknya kotor,” ucap Bintang di antara deru napasnya.

“Nggak papa.”

“Nanti harus dibalikin ke ibu kamu.”

“Harusnya dari awal jangan kamu pake.”

Sindiran halus itu seketika membuat Bintang tak berkutik. Ia yang membuat Biru jadi seperti ini dan ia harus bertanggung jawab.

Gesekan itu terasa semakin dalam dan putus asa. Bintang mengetatkan pelukannya sementara bibirnya tak henti mengeluarkan desahan pendek.

“Biru-”

Dengan satu tangannya yang lebar, Biru menangkup miliknya dan Bintang kemudian mengocoknya kuat. Kaki Bintang tak bisa diam hingga roknya tersibak, mengekspos keseluruhan pahanya. Biru mengumpat di balik napasnya yang mulai terengah.

Keduanya lepas hampir bersamaan. Cairannya membasahi rok hitam yang masih dipakai Bintang. Biru bangkit bertumpu pada kedua lututnya dan menikmati pemandangan di depan matanya. Bintang dengan wajahnya yang memerah dan kedua kakinya terbuka sementara rok mini yang melekat di pinggangnya telah ternoda oleh hasil kenikmatan keduanya.

Biru segera melepas rok itu dari Bintang sebelum dirinya mulai terangsang lagi. Karena ia tidak bisa melakukan lebih dari ini. Setidaknya bukan sekarang dan di sini.

Ketika Biru telah menggantikannya dengan sepasang celana untuk Bintang, ia kembali menciumi wajah pacarnya sambil membisikkan sesuatu.

“Lain kali kalo mau iseng kayak tadi, bilang dulu ke aku. Biar aku bisa persiapan. Oke?”


Dari sekian banyak hal dalam hidup Hanan, salah satu yang paling disyukurinya adalah bagaimana ia selalu mendapat curah kasih sayang. Dari mana saja dan dalam bentuk apa saja.

Ketika perempuan yang melahirkannya memilih untuk pergi, ada perempuan lain yang dengan sukarela memberinya rasa cinta hingga ia tak sempat merasakan kekosongan itu. Dan ketika perempuan yang kini dipanggilnya Mamah itu mulai sibuk untuk memenuhi kebutuhannya, Hanan masih mendapat perhatian dari teman-teman yang begitu mudahnya ia terima.

Kemudian datang Arka. Segala jatuh bangunnya tak ada artinya dibandingkan memiliki cowok itu di sisinya. Hanan mulai menyadari bahwa segala bentuk kasih sayang yang didapatnya itu tak semua orang berkesempatan untuk merasakan. Arka membuatnya buka mata akan bagaimana ia seharusnya lebih menghargai apa yang dipunya.

Lalu Biru, Bintang, Edgar, dan banyak yang tak bisa Hanan sebut satu persatu. Hanan dikelilingi oleh orang-orang yang peduli, maka ia hanya perlu mengingat betapa beruntung dirinya itu.

“Ru, minta tolong ambilin piring kecil di dapur!”

“Ka, ini balonnya mau ditiup beneran?”

“Iya tapi nggak usah semuanya, Bin. Buat foto aja nanti.”

“Piring kecil di sebelah mana, sih, Ka? Dapurnya Hanan kayak kapal pecah.”

“Ini balon dari apaan, sih? Uhuk, uhuk!! Susah banget niupnya.”

“Iya bentar, Ru! Itu ada alatnya, Binnn. Jangan ditiup langsung, bengek lo yang ada.”

Hanan hanya mengawasi teman-temannya ribut mempersiapkan selebrasi kecil-kecilan untuk ulang tahunnya. Dari tadi ia hanya disuruh duduk manis saja, Arka melarangnya untuk ikut campur.

“Sini gue bantuin,” ucap Hanan akhirnya, merasa rikuh karena hanya dirinya yang tidak diberi tugas apa-apa. Hanan mengambil balon yang masih kempes lalu ditiupnya kuat-kuat menggunakan mulutnya.

“Lah, itu bisa?” komentar Bintang.

“Bisa, lah. Gue.” Hanan mengikat ujung balon yang sudah ditiup itu lalu melemparnya ke udara.

Dor!!!

“AAAAAAAAA!!!!!!”

Lengkingan suara Bintang membuat Biru berlari tergopoh dari dapur.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Biru khawatir.

“Balonnya meledak!!” seru Bintang.

Hanan hanya cengengesan sambil meminta maaf.

“Aduh, Hanan, kamu diem aja nggak usah ikutan,” protes Arka yang ikut menghampiri setelah menemukan piring kecil dari dapur.

Diomeli pacarnya, Hanan akhirnya menurut meski bibirnya langsung mengerucut seperti bebek. Ia terpaksa membiarkan tiga orang itu menyiapkan semuanya. Sesekali mulutnya yang gatal mengeluarkan komentar kalau ada yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hingga ketiga orang itu kompak menyuruh Hanan untuk diam.

Balon berwarna-warni itu akhirnya menghiasi ruang tengah rumah Hanan. Meski pada akhirnya Biru dan Arka yang memompa angin ke dalamnya sedangkan Bintang hanya menyemangati mereka dari samping.

Kue ulang tahun yang dibeli Arka disajikan di atas meja dengan lilin yang sudah menyala.

Lagu selamat ulang tahun yang dinyanyikan memenuhi ruangan dan membuat hati Hanan terasa hangat meski beberapa saat sebelumnya ia sempat memprotes kalau kegiatan itu terlalu kekanak-kanakkan. Tapi Hanan suka menjadi anak-anak. Masa kecilnya diingat sebagai memori yang bahagia. Hanan tak keberatan kalau harus mengulanginya.

Make a wish!” ucap Arka setelah itu.

Hanan menautkan kedua tangannya lalu mulai memejamkan mata.

“Semoga habis ini Arka ngasih birthday se-

Tak ayal kepala Hanan langsung ditoyor sebelum harapannya selesai terucap. Biru dan Bintang hanya terkikik geli sementara Arka menyuruhnya untuk kembali mengucap keinginannya dalam hati.

Acara tiup lilin dilakoni Hanan dengan brutal hingga asapnya membuat seisi ruangan itu terkena asma mendadak. Yang ulang tahun tertawa saja selagi korbannya memaki-maki.

“Udah buruan potong kue, deh! Biar cepet selesai nih acara ulang tahun laknat!” keluh Biru yang masih mengibaskan tangannya untuk menghalau asap.

Hanan memberikan potongan kue pertamanya untuk Arka.

“Makasih. Selamat ulang tahun, ya, Sayang,” ucap Arka sembari menerima kue dari Hanan.

Bintang mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen itu. Namun ekspresinya berubah masam ketika yang tertangkap di layarnya adalah Hanan yang mencium Arka dengan ugal-ugalan.

“Bin, kita potong kue sendiri aja,” ucap Biru, mengajak pacarnya untuk menikmati kue ulang tahun sementara dua orang di depan mereka dibiarkan ciuman hingga lupa waktu.

Yang akhirnya membuat dua sejoli itu kembali ke realita adalah suara bel pintu yang berbunyi. Arka buru-buru beranjak menuju pintu, meninggalkan Hanan yang masih linglung hasil ciuman heboh dengan sang pacar.

Kebingungan Hanan semakin menjadi ketika seseorang muncul dari pintu dengan senyum lebar dan dua tangan yang penuh dengan barang bawaan.

Surprise!!! Mana yang ulang tahun hari ini???”

Mata Hanan melebar ketika wanita itu melangkah ke arahnya. Terlalu terkejut akan kedatangan ibunya yang tiba-tiba.

“Masih bengong habis ciuman, Tante…” bisik Biru pelan. Bintang seketika menyenggol pacarnya itu, menyuruhnya diam.

Wanita itu hanya tersenyum sebelum menaruh barang-barangnya lalu ikut bergabung di dekat meja.

“Mamah kok pulang?” tanya Hanan tanpa ia sadari pertanyaannya terdengar aneh.

“Lah, katanya disuruh pulang? Kan ulang tahun anaknya Mamah?”

Mendengar itu Hanan mencebikkan bibir bawahnya lalu menghambur ke pelukan ibunya, tak disangka cowok itu terisak di sana.

“Lho, malah nangis? Nggak malu sama temen-temennya?” Ibu Hanan tertawa sambil mengusap punggung anak laki-lakinya itu. “Selamat ulang tahun, Hanan anak Mamah. Semoga makin gede bisa makin tanggung jawab, makin bijak, tambah sayang sama Mamah, sama temen-temennya juga. Makin dewasa nggak kebanyakan ngambek kayak anak kecil lagi. Pokoknya Mamah pengen Hanan selalu diberi kebahagiaan.”

Hanan memeluk ibunya begitu erat, menyembunyikan wajahnya di bahu wanita itu.

“Hanan… sayang Mamah…” ucap Hanan di sela-sela isakannya.

“Iya, Mamah lebih lebih lebih sayang sama Hanan.”

Arka menggigit bibirnya menyaksikan pemandangan di depannya itu, tidak ingin ikut meneteskan air mata. Sedangkan dua orang yang berdiri di balik punggung ibu Hanan mati-matian menahan tawa karena yang mereka lihat adalah wajah Hanan yang penuh air mata dan ingus yang mengalir dari hidungnya.

Bintang menutup mulutnya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain mengangkat ponsel untuk merekam momen langka itu. Di sebelahnya Biru sudah menyerah mengabadikan kejadian itu karena perutnya sakit menahan tawa. Ia hanya bertumpu pada Bintang yang jadi ikut terguncang karenanya lalu pacarnya itu mengomel karena kameranya jadi tidak fokus.

“Mamah beneran langsung inisiatif pulang hari ini?” tanya Hanan setelah tangisnya reda dan air matanya dikeringkan dengan tisu oleh Arka.

“Nggak, deng. Mamah sekongkol sama dia, tuh.” Ibunya menunjuk Arka yang langsung nyengir. “Arka bilang ke Mamah datengnya sorean aja, soalnya pada mau bikin acaranya sore.”

Hanan seketika menoleh pada Arka. “Berarti kamu udah tau Mamah bakal dateng dari kemaren?”

Arka mengangguk kecil. “Hehe, maaf, ya. Kan biar kejutan.”

Tanpa aba-aba Hanan menarik Arka dengan satu tangannya lalu dihujaninya wajah cowok itu dengan ciuman-ciuman kecil. Biru dan Bintang sontak melotot menyaksikan aksinya. Bisa-bisanya Hanan melakukan itu di depan mata ibunya. Tetapi wanita itu hanya tertawa kecil sambil menggeleng.

“Udah biasa, kan, dia kayak gitu?” tanya wanita itu pada Biru dan Bintang.

“I- Iya, Tante,” jawab Biru kaku. “Biasa banget.”

“Siapa lagi yang mau gue cium? Sini, gue cium kalian semua!!!” seru Hanan, tatapannya hinggap pada dua temannya yang seketika merasa was-was.

“Heh, nggak, nggak! Nggak ada!!” protes Biru langsung. Ia menyembunyikan Bintang di balik punggungnya.

“Masa lo nggak mau gue cium, sih, Ru? Nyesel, loh!”

“Bangsat, Nan, diem nggak!!”

Secepat kilat Biru melarikan diri dari Hanan yang sudah memonyongkan bibirnya. Keduanya kejar-kejaran melompati meja, sofa, hingga mengitari seluruh ruangan. Bintang tampak prihatin melihat nasib pacarnya yang sedang diburu hewan liar.

“Kalian udah makan belom? Tante bawain makan tadi. Sekalian makan, yuk?”

Arka dan Bintang terpaksa meninggalkan pacar mereka yang masih bertarung untuk menikmati menu ulang tahun spesial dari ibu Hanan. Urusan perut memang pertama, yang lain bisa menunggu.

Cowok itu datang lagi. Dengan ujung seragam yang tak dimasukkan rapi, tak memakai dasi dan topi meski hari itu upacara, dan tali sepatu yang tidak terikat sempurna.

Changmin segera menghampiri cowok yang tengah membaringkan dirinya di kasur UKS itu.

“Sakit? Keluhannya apa?”

“Hmm… pusing.”

Alasan yang sama yang digunakannya hari Senin lalu. Changmin beranjak untuk mengambilkan obat namun cowok itu segera mencegahnya.

“Nggak usah. Gue, tuh, nggak bisa kena matahari.” Ia menggerakkan tangannya ke arah kepala, wajahnya terlihat serius. “Jadi kalo upacara suka pusing. Nggak perlu minum obat, kok. Gue cuma butuh baring sebentar aja.”

Changmin melipat tangannya, satu kakinya tak henti bergoyang selagi ia menunggu cowok yang katanya hanya “berbaring sebentar” itu untuk bangun. Upacara sudah hampir selesai tapi satu-satunya pasien di UKS itu masih tertidur pulas. Ngorok, lagi.

Bel masuk jam pertama berbunyi. Changmin harus segera masuk ke kelas. Mau tak mau ia membangunkan cowok yang sepertinya masih asyik di dunia mimpi itu.

“Sori, udah bel masuk. Lo masih mau istirahat di sini atau…?”

“Oh, udah kelar upacaranya, ya?”

Cowok itu mengusap air liur di sudut bibirnya yang membuat Changmin mengernyit jijik.

Gila, jorok banget!

Melompat turun dari kasur, cowok itu mengambil beberapa butir permen dari dalam wadah di atas meja UKS sebelum melambai singkat pada Changmin.

Thanks, ya!”

Changmin memperhatikan cowok itu keluar ruangan UKS sambil bersiul ringan. Setelah merapikan kembali kasur yang barusan ditempati, Changmin menutup ruang UKS sambil mengingat nama di seragam cowok tadi.

Kim Sunwoo. X-8.


“Changmin! Masuk les, kan, nanti?”

Pelajaran hari itu berakhir. Changmin tengah membereskan bukunya ketika Chanhee, teman sebangkunya bertanya.

“Iya. Kita makan siang dulu, yuk, di luar,” ajak Changmin.

Keduanya berjalan melewati lapangan depan sekolah yang kalau pagi hari berfungsi menjadi parkiran motor dan seusai sekolah baru kembali berfungsi sesuai kodratnya alias lapangan untuk olahraga seperti basket atau futsal. Siang itu lapangan dipakai oleh sekelompok anak-anak futsal. Chanhee menarik tangan Changmin untuk berjalan lebih cepat karena ia tidak mau terkena timpukan bola. Changmin melirik sekilas para siswa yang sedang berebut bola itu. Ia merasa melihat seseorang yang familiar hingga ia tolehkan kembali kepalanya dalam hitungan detik.

Bener, kan? Itu bocah yang tadi? Changmin kemudian mendongak ke arah langit yang jelas-jelas sedang panas-panasnya. Kok dia nggak kenapa-napa?

“Changmin! Ih, gue dari tadi ngomong sendiri,” protes Chanhee yang rupanya dibiarkan terus berjalan sementara Changmin berhenti untuk melihat anak-anak futsal itu. “Lo ngapain, sih?”

“Hah, engga,” kilah Changmin sebelum menggandeng Chanhee untuk melangkah kembali menuju gerbang. “Cuma bingung aja. Kalo ada orang bilang dia nggak bisa kena matahari, tuh, maksudnya apa?”

“Bukan orang itu, mah, vampir!”

Chanhee terbahak atas ucapannya sendiri. Namun Changmin justru larut dalam pikirannya hingga ia menarik satu kesimpulan yang membuatnya geram.

“Sialan, gue ditipu!!”


Changmin tak sabar menunggu hari Senin datang, ia ingin memastikan apakah cowok itu akan datang lagi ke UKS. Kalau benar berarti ia hanya memakai alasan alergi mataharinya untuk tidak mengikuti upacara.

Benar saja. Cowok dengan nama Kim Sunwoo yang tersemat di seragamnya itu lagi-lagi datang ke UKS. Kali ini ia melempar senyum kecil pada Changmin sebelum berjalan menuju kasur, seakan-akan menganggap Changmin sudah tahu tanpa ia harus menjelaskan lagi. Namun begitu kepala Sunwoo bertemu bantal, ia langsung disambut dengan seruan galak Changmin.

“Penipu lo, ya!”

“Hah?”

Sunwoo tidak jadi menaruh kepalanya. Ia duduk di atas kasur sambil menatap Changmin yang berkacak pinggang di depannya dengan bingung. Bukannya takut dengan ekspresi Changmin yang jelas-jelas sedang marah, Sunwoo malah mengira cowok itu sedang mengalami sesuatu yang buruk.

“Lo!” Changmin menunjuknya tepat di muka. “Lo bilang nggak bisa kena matahari, makanya lo nggak ikutan upacara. Tapi gue sempet liat lo main futsal siang-siang, pas matahari lagi panas-panasnya! Dan lo nggak ada, tuh, keliatan pusing sampe harus rebahan di kasur kayak gini??”

Sunwoo mengangkat alisnya takjub mendengar rentetan omelan Changmin yang menurutnya sudah seperti rapnya Eminem itu. Ia hanya mengerjapkan matanya beberapa kali setelah Changmin selesai mengomel lalu perlahan satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.

“Oh, udah tau, ya?”

Mendengar tanggapan yang sangat enteng dan tanpa rasa bersalah itu membuat Changmin membelalakkan matanya.

“Tapi gue masih boleh tidur di sini, kan?”

Sunwoo sudah bersiap untuk rebah kembali ketika tangannya tiba-tiba ditarik dengan kuat.

“Nggak boleh! Gue laporin ke guru BK, ya!”

Ancaman Changmin berhasil membuat Sunwoo panik. Ia melompat dari kasur dan melangkah lebar mendahului Changmin mencapai pintu. Dengan sigap dikuncinya pintu UKS lalu dikantonginya kunci itu.

“Weits, nggak boleh. Mau ke mana?”

“Heh, siniin kuncinya!”

Changmin berusaha menarik seragam Sunwoo namun cowok itu sangat lihai berkelit. Dua tangan Changmin terulur ke arah kepala Sunwoo dan berhasil menjambak rambutnya hingga tubuh cowok itu membungkuk. Namun tenaga Changmin yang berlebihan itu membuatnya terdorong mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak tepi kasur.

“Aduhhh!!!”

Keduanya berseru bersamaan. Changmin merasakan nyeri hebat di tulang punggungnya sementara Sunwoo merasa kulit kepalanya akan lepas. Beberapa detik kemudian mereka baru menyadari posisi tubuh mereka yang berhimpitan tanpa ada celah.

Changmin dapat merasakan hembus napas Sunwoo pada wajahnya. Bergerak sedikit saja kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Debaran jantung yang keras terasa di dadanya, Changmin tidak tahu itu milik siapa.

“Aaahhh, minggir, minggir!!” pekik Changmin heboh. “Lo mau ngapain!??”

Sunwoo refleks menarik diri lantaran suara Changmin yang nyaring menyakiti telinganya. Ia mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit hasil jambakan Changmin. Sunwoo yakin ada beberapa helai rambutnya yang tercabut.

“Eh, kok lo pake kekerasan, sih? Gue juga bisa aduin lo ke BK,” protes Sunwoo.

Mata Changmin melebar ketika Sunwoo melangkah menuju pintu. Tergesa ia mengejar cowok itu lalu menarik bagian belakang seragamnya hingga tubuhnya oleng. Namun yang terjadi kemudian membuat keduanya tercekat.

Pranggg!!!

Beberapa wadah obat jatuh ke lantai. Isinya berceceran keluar. Changmin menatapnya dengan horor.

“Kenapa lo jatohin semua obatnya???”

“Eh, gara-gara lo narik baju gue!”


Suara gaduh samar-samar terdengar dari ruang BK. Seorang guru perempuan tengah memberikan ceramah panjang lebar pada dua siswa yang menundukkan kepala. Yang satu tampak kesal sekaligus muram, sedangkan yang lain berkali-kali berusaha menahan uap kantuknya.

“Ngerti, ya, Changmin? Kamu sudah kelas dua belas. Fokus kamu harusnya ke persiapan ujian, bukannya bikin keributan seperti ini. Lebih prihatin lagi, jangan sampai kamu dapat catatan siswa berkelakuan buruk.”

“Iya, Bu. Saya minta maaf.”

“Dan kamu, Sunwoo.” Guru perempuan itu beralih pada Sunwoo yang segera mengatupkan mulutnya dari menguap lebar. “Sudah berapa kali kamu masuk ke ruangan ini?”

“Hmm…” Sunwoo menghitung dengan jarinya lalu menggaruk kepalanya. “Lupa, Bu.”

“Kamu masih kelas sepuluh. Tapi catatan buruk kamu sudah banyak. Kamu masih bawa kebiasaan kamu dari SMP ke sini? Mau jadi anak kecil terus?”

“Nggak, Bu…”

Guru perempuan itu menghela napas. Kelihatan lelah untuk menasihati Sunwoo lebih banyak karena anak itu tampaknya tak benar-benar mendengarkan.

“Ya, sudah. Ibu ada kelas habis ini. Kamu bantu Changmin bersihin UKS, nanti Ibu cek ruangannya.”


Sejak saat itu Sunwoo jadi musuh terbaru Changmin di sekolah selain Matematika. Sialnya, sejak itu pula wajah Sunwoo jadi lebih sering ditemui Changmin. Hampir setiap hari.

“Kayaknya bener, deh, semakin kita benci sama orang, orang itu malah sering nongol depan kita,” keluh Changmin pada Chanhee pagi itu.

“Kenapa lo?” tanya Chanhee heran. Pagi-pagi wajah temannya itu sudah kusut.

Changmin menjatuhkan dirinya di bangku sambil menghela napas keras. “Gue ketemu lagi sama tuh bocah di gerbang.”

“Oh, Su- Siapa namanya?”

“Sunwoo.”

“Iya, Sunwoo. Dia ada minta maaf sama lo, nggak?”

“Nggak!” seru Changmin kesal. “Tuh anak kayaknya nggak merasa bersalah sama sekali.”

“Anak kelas sepuluh zaman sekarang kelakuannya bisa begitu, ya? Padahal dulu mana berani kita bertingkah?” komentar Chanhee.

“Tau. Enaknya gue apain ya dia?”

“Hah, emangnya mau lo apain? Nggak usah aneh-aneh, deh. Kita juga bentar lagi lulus. Nggak bakal ketemu dia lagi.”

Omongan Chanhee ada benarnya. Tapi Changmin masih kesal kalau belum memberi cowok itu pelajaran.

Dan sepertinya hari itu memang Changmin sedang apes. Ketika ia mendapat giliran untuk jaga UKS saat istirahat, yang muncul di pintu adalah wajah yang tidak ingin dilihatnya. Keduanya langsung mendecakkan lidah begitu bertatap muka.

“Apa?” tanya Changmin ketus. Ia melipat tangannya di depan Sunwoo.

Bukannya menjawab, cowok itu malah berjalan melewati Changmin begitu saja.

“Eh, mau ngapain lo? Dilarang numpang tidur di UKS!”

Changmin berusaha menghalangi pergerakan Sunwoo. Hingga akhirnya cowok itu berbalik, ekspresi wajahnya dingin yang membuat Changmin sempat terkesiap.

“Gue mau ngobatin diri sendiri. Bisa nggak bawel, nggak?”

Sunwoo membalikkan badannya lagi untuk mencari benda yang dibutuhkan dari kotak obat. Changmin melongokkan kepalanya melalui bahu cowok itu.

“Emangnya lo kenapa?”

“Jatoh. Main futsal.”

“Ngibul lagi lo, ya?”

Setelah mendapatkan kapas dan obat, Sunwoo menatap Changmin dengan kesal. Ditunjukkannya siku kirinya yang lecet dan berdarah. Changmin membuka mulutnya namun ia tak menemukan respon yang dapat diberikan saat itu.

Sunwoo duduk di tepian kasur untuk mengobati lukanya sendiri. Changmin berdiri di dekatnya dengan canggung.

“Beneran jatoh?” tanya Changmin polos.

“Ck, nggak liat darah segini banyak? Lo kira apa? Saos?”

Changmin bersungut-sungut. Tersinggung dengan reaksi dari Sunwoo. Ia melihat cowok itu susah-payah mengobati lukanya.

“Bersihin dulu, nanti infeksi.”

Sunwoo mengangkat wajahnya kaget ketika Changmin memegang pergelangan tangannya lalu mengambil alih kegiatannya. Dengan telaten luka di sikunya dibersihkan sebelum diberi obat lalu diplester dengan rapi.

“Udah,” ucap Changmin setelah ia menempelkan plester gambar kartun di siku cowok itu.

Sunwoo mengusap sikunya lalu mengangguk singkat. “Beneran anak PMR lo ternyata.”

“Iya, lah! Lo pikir ngapain gue sering jaga UKS?”

“Numpang tidur?”

Changmin hampir melayangkan kepalan tangannya pada Sunwoo yang langsung terkekeh puas. Cowok itu turun dari kasur kemudian menaruh tangannya di puncak kepala Changmin. Sedikit memiringkan kepalanya, Sunwoo memberikan senyum manis pada Changmin.

“Makasih, ya. Kak Changmin!”

Lalu Sunwoo pergi begitu saja, meninggalkan Changmin yang masih terpaku di tempatnya. Ada angin yang tiba-tiba berhembus. Membelai wajah dan rambutnya.

Angin itu tak sekadar lewat, ada yang dibawanya serta. Yang hinggap dan bersarang di hati Changmin kemudian. Sebelum Changmin menyadarinya, pipinya sudah menghangat.


Kacau. Benar-benar kacau.

Sekarang wajah Sunwoo tak mau meninggalkan kepala Changmin. Ditambah dengan jantungnya yang berdetak aneh tiap kali Changmin mengingat senyum cowok itu. Bahkan Changmin masih dapat merasakan tangan yang pernah hinggap sepersekian detik di puncak kepalanya itu.

Apapun perasaan yang tiba-tiba muncul itu, Changmin tidak mau mengakuinya. Tetapi nasib baik rupanya tak berpihak padanya. Selalu saja ada momen yang membuat Changmin semakin merasa tersudut.

Seperti ketika Changmin melewati ruang musik dan sempat berhenti sejenak kala ia mendengar suara petikan gitar disertai lantunan lagu yang sumbernya adalah Sunwoo sendiri. Cowok itu dikelilingi teman-temannya yang ikut menyanyi atau sekadar bertepuk tangan untuknya. Seperti magnet sepasang mata Changmin tak dapat berpaling. Sunwoo terlihat berbeda. Tidak ada lagi cowok yang tampangnya mengesalkan tiap kali muncul di ruang UKS, hanya ada wajah yang cerah dengan senyum lebar. Sebelum Sunwoo menemukan Changmin berdiri di depan pintu ruang musik, Changmin buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

Kali lain Changmin menemukan cowok itu di kantin, mencomot gorengan sembari mengantri untuk memesan makanan. Namun ia langsung merelakan antriannya diserobot oleh siswa perempuan yang beralasan belum sempat sarapan. Dengan santai Sunwoo melipir duduk sambil menghabiskan gorengannya dan baru mengantri lagi setelah kantin mulai sepi.

Yang akhirnya membuat Changmin benar-benar harus pasrah akan perasaannya adalah kejadian beberapa hari yang lalu. Anak-anak kelas dua belas menjadi yang terakhir pulang karena ada jam tambahan. Changmin melewati kelas-kelas yang sudah kosong hingga ia menyaksikan sesuatu di parkiran yang hampir habis isinya. Ada seorang siswa yang Changmin sendiri tidak yakin kelas berapa, dikelilingi oleh tiga siswa lain yang badannya lebih besar. Entah apa yang mereka lakukan namun Changmin tahu pasti itu adalah tindakan yang jelas dilarang oleh sekolah. Changmin tidak bernyali untuk membantu anak itu langsung. Ia berniat melaporkan kejadian itu pada guru. Namun ketika Changmin membalikkan badannya ia menabrak seseorang yang membuatnya hampir terpental kalau saja orang itu tak menahan tangannya.

“Sana ke ruang guru, biar gue tahan dulu tuh anak-anak.”

Changmin terpaku melihat Sunwoo melangkah mantap menuju gerombolan anak di parkiran itu. Tak mau membuang waktu Changmin setengah berlari ke ruang guru dan melaporkan apa yang dilihatnya.

Ketika ia kembali bersama seorang guru yang langsung meneriaki anak-anak itu, Changmin terkejut melihat Sunwoo yang seragam bagian depannya berantakan sementara tangannya mencengkram kerah salah satu anak.

“Pak, Pak, Sunwoo nggak ikutan!” seru Changmin seketika, ia menghalangi sang guru yang hampir meringkus Sunwoo beserta anak-anak itu. “Tadi dia yang nyuruh saya buat segera lapor. Dia mau bantuin juga, Pak.”

Lelaki itu tampak tak peduli dengan penjelasan Changmin, ia tetap membawa Sunwoo dan yang lain ke ruang guru.

“Biar dia sendiri yang nanti memberi kesaksian.”

Satu jam lebih Changmin menunggu dengan gelisah di depan ruang guru. Ia sudah lupa dengan perutnya yang lapar dan kantuknya beberapa saat yang lalu. Ia hanya khawatir Sunwoo ikut diberi hukuman dan ia tak bisa berbuat apa-apa.

Pintu ruangan dibuka, tiga anak yang melakukan keributan lebih dulu keluar. Wajah mereka tampak pucat tapi Changmin tidak peduli. Ia melongokkan kepalanya untuk mencari Sunwoo. Tak berapa lama cowok itu muncul bersama anak yang sempat menjadi korban.

“Makasih, ya, Kak,” ucap anak itu tiba-tiba. “Kata Sunwoo, kakak yang manggilin guru buat nolong saya.”

Sunwoo mengangkat alisnya pada Changmin yang masih kebingungan.

“I- iya, sama-sama…” ucap Changmin.

Selepas anak itu pergi, Changmin segera mengejar Sunwoo yang mulai melangkahkan kakinya.

“Sunwoo,” panggil Changmin.

Seketika cowok itu berbalik hingga Changmin hampir menabraknya. Lalu sebuah kalimat meluncur dari bibirnya yang tak Changmin duga.

“Mau makan siang bareng, nggak?”

Padahal kejadian itu sudah lewat hampir seminggu tapi Changmin tak bisa berhenti memikirkannya. Tidak ada pula percakapan yang berarti ketika keduanya duduk berdampingan di bangku panjang warung bakso depan sekolah. Sunwoo benar-benar hanya mengajaknya makan bersama. Itu saja.


Changmin naksir Sunwoo. Pada akhirnya kenyataan itu tak bisa dielakkan lagi. Tetapi Changmin enggan memberitahu siapa-siapa, apalagi Sunwoo. Mengakui perasaannya pada diri sendiri saja sudah cukup sulit.

Siang itu anak-anak ekskul futsal sedang beristirahat di pinggir lapangan. Changmin tahu Sunwoo pasti ada di antara kumpulan siswa yang duduk melingkar itu. Matanya mencuri lihat diam-diam sebelum seseorang bertemu pandang dengannya dan mulai menyerukan sesuatu.

“Kak PMR! Saya sakit, nih, Kak. Obatin donggg!”

Changmin seketika membelalakkan matanya. Ada anak lain yang ikut menyahut.

“Saya juga ada luka lecet di kaki, Kak! Boleh minta dipakein plester luka nggak, Kak??”

“Iya, Kak! Saya juga mau plester luka kayak punya Sunwoo!”

Mata Changmin akhirnya menemukan Sunwoo yang sedang menoyor kepala teman-temannya. Sekumpulan anak futsal itu riuh tertawa. Sunwoo sempat melempar pandang ke arah Changmin sebelum kembali sibuk dengan teman-temannya, tampak tak begitu terpengaruh dengan candaan barusan. Sementara wajah Changmin sudah merah padam dan ia buru-buru melangkahkan kakinya menuju halte.

Changmin sebal karena tampaknya hanya ia sendiri yang kelabakan. Sunwoo bahkan tak terlihat peduli. Detak jantung Changmin berantakan dan itu semua hanya karena satu bocah ingusan yang tiba-tiba mencuri hatinya. Changmin benar-benar jengkel.

“Nggak usah dipikirin. Temen-temen gue emang suka bercanda.”

Changmin mendongak dan mendapati Sunwoo berdiri di dekatnya. Ia tidak tahu sejak kapan cowok itu ada di halte juga. Sepanjang pengetahuannya Sunwoo tidak pernah naik bus untuk ke sekolah. Cowok itu selalu membawa sepeda.

“Apaan, sih. Orang gue nggak mikirin itu. Ge-er banget,” cibir Changmin. Ia melirik ke arah Sunwoo yang tengah menyeka peluh di dahinya dengan ujung seragamnya. Cowok itu pura-pura tak mendengar.

Ketika sebuah bus akhirnya tiba, Changmin segera melompat naik. Tak diketahuinya kalau Sunwoo ikut naik bersamanya. Changmin terkejut ketika cowok itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Ia hampir memprotes tapi urung dilakukannya. Lagipula ini transportasi umum, siapa saja boleh naik.

Changmin melihat ke arah luar jendela untuk menghindari bertatap muka dengan Sunwoo atau harus berinteraksi dengannya. Ia tidak yakin bisa mengontrol ucapan atau ekspresinya kalau harus berbicara dengan cowok itu. Angin semilir dari jendela lama-kelamaan membuat kelopak mata Changmin terasa berat dan tak lama kemudian ia jatuh tertidur.

Bus yang direm mendadak membuat Changmin terbangun dari tidur singkatnya. Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya adalah seragam seseorang.

Sunwoo!?

Changmin baru menyadari dahinya menempel di lengan cowok yang duduk di sebelahnya itu. Sontak ia menarik dirinya lalu merapat ke sisi jendela. Sunwoo yang melihat gerak-gerik Changmin melalui sudut matanya itu berusaha menahan senyum geli. Ia rapatkan kedua lengannya yang terlipat di depan dada, berusaha mengabaikan reaksi Changmin yang berlebihan.

Sudah lima belas menit sejak bus itu meninggalkan sekolah, tetapi tidak ada tanda-tanda Sunwoo akan turun. Changmin jadi sewot karena ia harus duduk berlama-lama dekat cowok itu.

“Rumah lo di mana, sih?” tanya Changmin, berusaha untuk terdengar tak acuh.

“Lo nanya gue?”

“Ya, iya lah! Masa sama jendela?”

Sunwoo terkekeh pelan. “Itu lo madep ke jendela. Kalo nanya gue ya madepnya ke gue, dong?”

Changmin mendecih. “Nggak jadi nanya.”

“Rumah gue udah kelewat, sih.”

Jawaban Sunwoo serta-merta membuat Changmin menolehkan kepalanya.

“Lah, kok nggak turun?”

“Gue naik bus ini bukan buat pulang.”

“Terus?”

“Mau tau aja rumah lo di mana. Jauh juga, ya? Berarti lo harus berangkat pagi banget ke sekolah. Mana sekarang kelas dua belas udah mulai ada jam ke-0, kan? Pulangnya juga siang banget. Lo pasti capek.”

Changmin mengerjapkan matanya, tak sadar bibirnya terbuka tanpa ada kalimat yang muncul. Pikirannya terlalu terpaku pada fakta bahwa Sunwoo bahkan memikirkan hal-hal semacam itu. Sesuatu yang tak disangka oleh Changmin akan muncul dari cowok itu. Tak yakin tanggapan apa yang harus diberikan, Changmin akhirnya memilih untuk mengatupkan bibirnya lagi.

Pandangan Changmin kemudian jatuh pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di siku Sunwoo masih melekat plester luka yang pernah Changmin beri.

“Itu belum sembuh?” Changmin menunjuk siku Sunwoo.

Sunwoo ikut melihat ke arah sikunya yang masih dihiasi plester gambar kartun. Sudut bibirnya tertarik sejenak.

“Kayaknya udah, sih.”

“Kenapa belom dilepas plesternya?”

Terdiam sejenak sebelum berdecak pelan, Sunwoo akhirnya menjawab. “Banyak nanya deh, lo.”

Tak pelak Changmin merasa kesal. Ia memelototi Sunwoo yang kembali tertawa pelan, menyesal sudah melontarkan pertanyaan yang semestinya tak perlu.

Sunwoo ikut turun ketika bus berhenti di dekat rumah Changmin. Cowok itu lalu hanya melambaikan tangan sebelum menyeberang jalan dan menaiki bus yang melaju berlawanan arah. Changmin menatap kepergiannya dengan beribu tanya dalam kepala.

Dasar bocah aneh.

Meski begitu tetap ada degup jantung yang membawa perasaan itu kembali selagi Changmin melangkah menuju rumahnya. Perasaan yang menyenangkan.


Selama tiga tahun Changmin bersekolah di sini, belum pernah sekalipun ia naksir pada seseorang. Ada beberapa yang justru menaruh perasaan pada Changmin tapi ia lebih sibuk mengurus nilai akademisnya atau kegiatan ekstrakurikulernya. Baru kali ini jantung Changmin bereaksi aneh pada seseorang, dan parahnya lagi orang itu adalah adik kelas yang lebih muda dua tahun darinya.

“Hah!? Nggak salah denger gue? Coba ulangin lagi!”

Changmin menghela napas berat sebelum kembali berucap pada Chanhee.

“Gue naksir… Sunwoo.”

Chanhee menatapnya seakan-akan temannya itu sedang mengigau atau stress berat menjelang ujian. Butuh waktu beberapa menit bagi Chanhee untuk menyadari kalau Changmin bersungguh-sungguh atas ucapannya.

“Kok bisa, sih? Kayaknya lo, tuh, kena itu… Apa namanya? Ck, apaan ya? Oh, iya! Stockholm syndrome!!”

Changmin memutar matanya. “Duh, apaan sih? Gue serius ini, Chan.”

“Nggak, nggak. Lo lagi mumet aja, Changmin. Yang lo butuhin, tuh, hiburan! Habis ini kita pergi karaoke aja. Gimana?”

Chanhee pusing karena saat karaoke pun Changmin menyanyikan lagu-lagu bertajuk jatuh cinta dengan wajahnya yang sayu. Ia sudah mencoba memancing Changmin dengan lagu-lagu lain yang lebih bersemangat sambil melompat kesana kemari, tapi hasilnya nihil. Pada akhirnya Chanhee sendiri yang kelelahan dan tergeletak di sofa ruang karaoke. Ia menoleh ke arah temannya yang masih memilih lagu selanjutnya.

“Lo… beneran naksir tuh bocah, ya?”

Kerjapan mata Changmin membuat Chanhee menghela napas panjang.


Apa boleh buat jika memang kenyataan temannya naksir dengan adik kelas, Chanhee mau tak mau harus membantunya. Sebentar lagi mereka akan lulus, jadi Changmin harus mengutarakan perasaannya itu sebelum mereka berpisah.

“Emang harus bilang, ya?” tanya Changmin.

“Kalo beneran naksir ya bilang, lah! Lo emangnya mau mendem gitu aja sampe lulus? Bisa lo konsen ujian dengan kondisi kayak gini?”

Changmin mengeluh pelan. Memang belajarnya jadi sedikit terganggu gara-gara Changmin tak bisa berhenti memikirkan Sunwoo.

“Tapi kalo dia ternyata biasa aja sama gue gimana? Malu dong gue?”

“Tujuannya bukan buat dia naksir balik sama lo. Tapi biar lo ngerasa lega aja. Kalo ditolak ya udah, berarti lo bisa fokus buat ujian.”

“Hmm, tapi gimana bilangnya? Gue nggak bisa ngomong langsung, Chan. Malu banget.”

Chanhee menggaruk dahinya, ikut pusing. Ia sendiri belum pernah melakukan aksi menyatakan perasaan pada orang lain. Biasanya ia hanya melihat di film atau di novel-novel remaja.

“Ah, gue punya ide!” seru Chanhee kemudian. Sepasang matanya berbinar.

Ide Chanhee cukup sederhana. Hanya dengan menulis surat lalu menyerahkan surat itu pada Sunwoo. Tapi mana mungkin Changmin bisa memberikannya langsung pada Sunwoo?

“Lo aja yang ngasih, deh. Please???” pinta Changmin. “Nanti gue traktir. Ya, ya, ya??”

Sejujurnya Chanhee malas terlibat langsung, namun ia sudah berjanji untuk membantu temannya itu. Hari ini sepulang sekolah rencananya Chanhee akan memberikan surat dari Changmin pada Sunwoo. Cowok itu ada jadwal futsal yang berarti Chanhee dapat dengan mudah menemukannya di lapangan.

Para siswa berhamburan keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Chanhee segera bersiap menunggu di lapangan. Ia akan menyerahkan suratnya begitu Sunwoo muncul.

“Sunwoo!” panggil Chanhee ketika ia melihat cowok itu berjalan ke arah pinggir lapangan, tempat di mana anak-anak futsal lainnya sedang bersiap.

Sunwoo menolehkan kepalanya. Matanya menyipit untuk memastikan siapa yang tengah berlari kecil ke arahnya itu.

“Sunwoo.”

“Lo temennya Kak Changmin, kan?”

Chanhee mengangguk cepat. Ia mengambil surat yang sudah dibungkus amplop oleh Changmin dari dalam tasnya lalu mengulurkannya di hadapan Sunwoo.

“Buat lo.”

Sunwoo tak segera menerima. Ia mencermati amplop berwarna coklat muda itu.

“Apaan, nih?”

“Udah terima aja,” ucap Chanhee gemas sambil menarik satu tangan Sunwoo dan melesakkan amplop itu di sana.

Sunwoo melihat benda yang sudah berpindah tangan itu. Tampak ragu ia hanya membolak-balikkan amplop yang tak ada keterangan apapun. Ketika ia mengangkat kembali wajahnya, dari jauh matanya menangkap sosok Changmin. Tiba-tiba Sunwoo menyerahkan amplop itu kembali pada Chanhee.

“Eh, kok dibalikin? Itu buat lo.”

“Sori, gue nggak bisa nerima. Gue harus persiapan futsal.”

Chanhee bengong dengan amplop di tangannya sementara Sunwoo segera bergabung dengan teman-temannya. Kesadarannya kembali ketika Changmin berjalan cepat melewatinya. Buru-buru ia memanggil temannya itu.

“Changmin! Changmin, tunggu!”

Sampai di gerbang Changmin menghentikan langkahnya. Ia merebut amplop di tangan Chanhee lalu diremasnya menjadi gumpalan sebelum melemparnya ke tempat sampah.

“Jangan dibuang- Astaga, Changmin!” pekik Chanhee.

Changmin menoleh sejenak ke arah anak-anak futsal yang sedang pemanasan. Ada Sunwoo yang berdiri di antaranya. Cowok itu menatap balik ke arahnya, ekspresinya tak terbaca. Changmin langsung berbalik pergi dengan sejuta rasa kecewa dan malu, tak peduli pada Chanhee yang terus-terusan memanggilnya.


Tidak apa-apa kalau perasaannya ditolak. Tidak apa-apa kalau Sunwoo tidak memiliki perasaan yang sama. Tidak apa-apa kalau Changmin harus menghapus perasaannya. Tidak apa-apa….

Tidak. Changmin tidak tidak apa-apa.

Ternyata rasanya sakit. Suka pada adik kelas yang kelakuannya aneh itu ternyata mampu membuat Changmin merasakan banyak hal. Dan ditolak terang-terangan itu salah satu hal paling menyebalkan. Changmin jadi menyesal sudah menuruti kata Chanhee. Rasa sakit dan kecewanya dibarengi dengan rasa malu yang berkepanjangan. Bagaimana bisa Changmin menghadapi cowok itu lagi esok hari?

Kejadian itu terjadi hari Sabtu. Masih ada satu hari sebelum Changmin kembali bertemu Sunwoo. Ada harapan Sunwoo akan lupa tentang surat itu, menganggapnya angin lalu. Tapi justru semakin sakit kalau Sunwoo bahkan tak menganggap itu sebagai hal yang penting.

“AAAAAAAAAA!!!!!!!!” Changmin berteriak dengan wajahnya yang terbenam di bantal. “Ngapain, sih, gue harus nulis surat kayak gitu?? Malu-maluin aja!!”

Changmin menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai sambil terus mengeluh. Suara ketukan pintu kamarnya membuat Changmin berhenti.

“Changmin, ada temen kamu di depan!” ujar ibunya.

Changmin kembali mengeluh. Kalau itu Chanhee, ia tak tahu harus apa. Dirinya masih malas menghadapi temannya itu.

Namun begitu Changmin membuka pintu depan dan mendapati seraut wajah yang familiar, refleks ia menutup lagi pintunya. Usaha itu digagalkan oleh tangan cowok yang menahan pintu itu tetap terbuka.

“Kak Changmin.”

Changmin panik total. Jantungnya jumpalitan. Kenapa Sunwoo bisa ada di rumahnya?

Tangan Changmin ditarik pelan oleh Sunwoo hingga ia tak lagi tersembunyi di balik pintu. Ragu Changmin menatap wajah Sunwoo yang dihiasi senyum tipis.

“Lo- ngapain ke sini?” tanya Changmin sepelan mungkin.

“Lo lagi sibuk, nggak?” Sunwoo balik bertanya.

“Kenapa emangnya?”

“Gue mau ngajak lo pergi.”

Hah, apaan sih? Ngaco banget, nih, bocah!

Tapi pada akhirnya Changmin tetap membiarkan Sunwoo membawanya pergi. Keduanya berjalan saja menyusuri jalanan sambil Sunwoo menggandeng tangan Changmin. Sesekali mereka berhenti untuk membeli makanan dari pedagang keliling sebelum kembali melangkah.

Mungkin karena Changmin mulai curiga mereka sebenarnya tak memiliki tujuan, ia akhirnya bertanya pada Sunwoo.

“Mau ke mana, sih, sebenernya?”

Sunwoo bergumam pelan. Ia lalu menarik Changmin untuk duduk di bangku panjang pinggir jalan.

“Itu tadi roti apa? Enak, nggak?” tanya Sunwoo sambil meraih makanan yang sempat dibeli Changmin. Cowok itu mengambil gigitan besar sebelum mengembalikannya pada Changmin.

Diamatinya Sunwoo yang masih asyik mengunyah. Cowok itu tampak tak berniat menjawab pertanyaan Changmin sebelumnya. Sebuah pikiran mulai hinggap di kepala Changmin hingga ia berucap pelan.

“Lo nggak perlu kayak gini, tau.”

“Hm?” Sunwoo berhenti mengunyah, berusaha mendengarkan suara Changmin yang hampir tak terdengar.

Changmin menatap sisa rotinya, seakan itu adalah sisa-sisa hatinya yang belum dirampas seutuhnya oleh Sunwoo. Ia mulai sadar apa yang sedang dilakukan cowok di hadapannya ini.

“Gue nggak apa-apa lo nggak punya rasa yang sama kayak gue,” ucap Changmin. “Nggak perlu lo kayak gini. Gue nggak butuh dikasianin.”

Sunwoo tiba-tiba terbatuk hingga makanan dalam mulutnya muncrat keluar. Changmin buru-buru memberikan botol air minum yang sempat dibelinya.

“Ini minum dulu,” suruh Changmin.

Sunwoo menerima air itu lalu meneguknya banyak-banyak. Ia masih terbatuk sejenak sebelum mengembalikan botol pada Changmin.

“Gila lo, ya?” desis Sunwoo.

“Hah? Maksud lo apa?”

Sunwoo melirik sekilas ke arah Changmin sebelum mengusap wajahnya, berdecak pelan. Telinga cowok itu memerah namun Changmin tak tahu apakah itu karena cuaca panas atau efek tersedak makanan tadi.

Suara motor yang berlalu-lalang menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara keduanya. Changmin menunggu Sunwoo bersuara lagi, namun tampaknya cowok itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara.

“Sunwoo,” panggil Changmin. “Lo ngapain, sih, ngajak gue pergi?”

“Pengen aja,” balas Sunwoo singkat.

“Ck, lo tuh aneh, deh.” Changmin menghela napas, menundukkan kepala untuk berbisik pada dirinya sendiri. “Aneh…”

Di bawah naungan pohon yang rindang dan angin sepoi-sepoi yang berhembus, keduanya lalu menikmati suasana di sekitar. Jalanan yang tak terlalu ramai, kendaraan dan manusia yang sesekali lewat, juga langit yang terlihat cerah. Sebenarnya tidak buruk sama sekali. Changmin menikmati semua ini.

“Masih ada enam bulan lagi,” ucap Sunwoo tiba-tiba. “Enam bulan sebelum lo lulus.”

Changmin menoleh pada cowok itu. Sunwoo menatap ke kejauhan. Pada atap-atap bangunan yang tinggi menjulang dan saling berdampingan. Changmin penasaran atas kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari bibir Sunwoo.

“Gue nggak tau harus bersyukur atau nggak waktu gue telat dateng ke sekolah hari itu. Pas upacara. Gue nyelinap lewat barisan paling belakang dan langsung masuk ke UKS tanpa pikir panjang. Gue nggak bawa topi dan udah pasti gue bakal dihukum kalo sampe ketauan guru. Untung gue bisa alesan sakit dan tidur di UKS. Dan ada lo di situ.”

Pagi itu ada seorang cowok yang terlihat gelisah, muncul di pintu UKS. Changmin mempersilakannya masuk dan menyuruhnya berbaring ketika cowok itu mengatakan kalau kepalanya pusing.

“Lo mungkin ngira gue tidur, tapi gue sebenernya tau lo ngapain aja. Baca buku pelajaran, bengong sesekali, terus ngecek keadaan gue.” Sunwoo mendenguskan tawa. “Gue akhirnya jadi ngide buat ke UKS tiap upacara. Cuman buat liat lo.”

Sunwoo akhirnya menoleh ke arah Changmin yang masih takjub dengan ceritanya. Diulasnya senyum tipis sebelum kembali bersuara.

“Jadi ngaco banget kalo lo ngira gue ngelakuin semua ini karena kasian sama lo. Lo aja nggak tau gimana perasaan gue, bisa-bisanya ngomong begitu. Dasar sotoy.”

Changmin terperangah. Lalu ia teringat kejadian tempo hari dan buru-buru memprotes.

“Tapi lo nolak surat dari gue!”

“Surat apaan?”

“Surat… itu. Yang kemaren.”

Sunwoo mengerutkan keningnya sejenak.

“Yang dari temen lo?”

“Iya!”

“Hah, itu surat dari lo?”

Changmin mengangguk cepat. Sunwoo langsung menghela napas keras sebelum menjitak kepala Changmin.

“Kenapa dikasihnya sama temen lo? Gue kira itu dari temen lo, dan nggak gue terima karena gue liat lo di situ. Gue nggak mau lo jadi salah paham.”

“Ih, dasar begooo!!” seru Changmin. Dipukulnya lengan Sunwoo berkali-kali hingga cowok itu mengaduh. “Gue sedih banget, tauuu!! Gue kira lo-”

“Nggak naksir sama lo?” sahut Sunwoo.

Muka Changmin langsung merah padam. Ia memalingkan wajah sambil berpura-pura sibuk menghabiskan sisa roti di tangannya. Sunwoo tersenyum tipis, ia kembali melempar pandangannya jauh ke jalanan yang mulai ramai. Berusaha menyembunyikan kegugupannya sendiri.

“Udah sore, mau jalan lagi apa pulang?” tanya Sunwoo beberapa saat kemudian.

“Pulang aja.”

Changmin hanya ingin menata hatinya yang kacau berantakan setelah mendengar semua pengakuan dari Sunwoo.

“Yuk.”

Sunwoo bangkit berdiri lalu mengulurkan satu tangannya pada Changmin. Tangan itu disambut dan Sunwoo menggenggamnya lebih erat. Rasanya berbeda ketika keduanya telah mengetahui isi hati masing-masing. Perjalanan pulang itu juga terasa lebih menyenangkan. Changmin harus berusaha menahan sudut bibirnya agar tak terus-terusan tertarik ke atas. Sementara Sunwoo mengalihkan perhatiannya ke jalanan sekitar agar dirinya tak tiba-tiba memeluk kakak kelasnya yang mungil itu.


Ruang UKS menjadi tempat yang penuh kenangan. Changmin melihat ke sekeliling ruangan itu untuk terakhir kali sebelum ia melepas jabatannya sebagai anggota PMR. Sekarang fokusnya adalah untuk mempersiapkan ujian yang sudah di depan mata. Changmin merapikan rak obat sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Namun begitu ia berbalik, ada seseorang yang berdiri tepat di pintu.

“Sunwoo? Ngapain di sini? Lo sakit?”

Cowok itu membiarkan dirinya masuk ke dalam lalu menutup pintu di belakangnya. Didorongnya tubuh Changmin hingga merapat ke kasur dan dengan kedua tangannya ia mengangkat Changmin agar terduduk di tepi kasur itu. Changmin menutup mulutnya yang memekik pelan atas aksi spontan dari Sunwoo.

“Nu! Ngapain, sih?” omel Changmin.

Sunwoo hanya tersenyum jahil. Kedua tangannya melingkar di pinggang Changmin.

“Gue sakit, Kak. Sakit kangen.”

Changmin langsung mengernyit mendengar ucapan ngawur dari Sunwoo. Namun begitu cowok itu menaruh kepalanya di bahu Changmin dan memeluknya lebih erat, Changmin akhirnya luluh juga.

“Lo sibuk banget sampe nggak sempet ketemu gue. Gue takut bakal lupa sama muka lo.”

Sunwoo dihadiahi sebuah cubitan di pinggang yang membuatnya langsung memohon ampun.

“Ujiannya tinggal ngitung jari, Nu. Gue takut nggak bisa fokus kalo ketemu sama lo terus. Gue juga kangen, kok.”

Sunwoo memandangi wajah Changmin lama. Ia ingin menyimpan lebih banyak dalam kepalanya sebelum mereka harus jarang bertemu lagi. Sunwoo menempelkan dahinya pada dahi Changmin, menggesek ujung hidungnya pada milik Changmin.

“Jangan capek-capek, ya, Kak. Lo kalo belajar suka nggak tau waktu. Sekali-sekali rehat sambil telfonan sama gue. Nanti gue ceritain yang lucu-lucu biar lo nggak jenuh.”

“Iya, kalo sempet pasti gue telfon.”

“Harus sempet.”

Satu ciuman singkat di pipi Sunwoo selalu berhasil membuat cowok itu berhenti merajuk. Tapi sialnya cowok itu pasti akan meminta lebih.

“Yang satunya juga dong biar adil.”

Changmin terpaksa mengalah. Ia jatuhkan cium di sisi yang lain.

“Ini juga.” Sunwoo mengetuk pelan bibirnya.

“Nggak, ah.”

“Pelit.”

“Banyak mau.”

“Pacar sendiri juga.”

“Mana ada? Lo aja nggak nembak?”

“Mau ditembak sekarang?”

Changmin menjulurkan lidahnya sebelum melompat turun. Sunwoo buru-buru menarik pinggangnya dan tanpa aba-aba cowok itu mencuri ciuman dari bibir Changmin.

“Ih, rese banget,” protes Changmin sambil memukul punggung Sunwoo yang hanya cengengesan.

Suara ketukan di pintu membuat keduanya langsung menegakkan punggung. Ada anggota PMR yang meminta kunci ruangan.

“Oh, iya. Nanti gue kasihin ke lo kalo udah gue rapihin semuanya,” ucap Changmin pada anak itu.

Dengan canggung anak itu mengangguk lalu pergi meninggalkan UKS. Sunwoo dan Changmin saling bertukar pandang sebelum pecah dalam tawa. Mereka harap anak itu tak terlalu lama menyaksikan apa yang terjadi dalam ruang UKS.


Hari terakhir ujian. Rasanya Changmin ingin berteriak keras-keras begitu ia keluar dari ruang kelas. Tak ada lagi begadang semalaman, berkutat dengan rumus dan hapalan, juga pusing kepala yang tiap hari menyerang.

“Sst, Changmin.” Panggilan Chanhee menyita perhatian Changmin yang tengah menghirup udara banyak-banyak untuk menyegarkan pikirannya. “Ditungguin, tuh.”

Changmin melongokkan kepalanya ke balik punggung Chanhee. Ada seseorang yang tengah berdiri di sana, kedua tangannya tersimpan dalam saku jaketnya. Senyum Changmin langsung merekah.

Setengah berlari Changmin menghambur ke arah orang itu. Ia disambut dengan kedua lengan yang merengkuh tubuh kecilnya.

“Gimana ujiannya?”

“Yang penting udah selesai, udah bebasss!!”

“Gue traktir es krim, yuk?”

“Mauuu!!!”

Keduanya mampir di kedai es krim dekat sekolah. Hari itu cukup sepi karena kebanyakan siswa diliburkan untuk ujian kelas dua belas. Sunwoo menyempatkan datang hanya untuk menemui Changmin.

“Lo tadi dari rumah, Nu?” tanya Changmin sambil menikmati es krim rasa coklat vanilanya.

Sunwoo mengangguk. Sesekali ibu jarinya menghapus noda es krim di sudut bibir Changmin. Ia sendiri memilih untuk tidak membeli karena sudah cukup baginya dengan melihat Changmin menikmati es krimnya.

“Padahal bisa ketemu gue di rumah aja. Lebih deket, kan? Nggak harus nyamperin ke sekolah.”

“Tapi seneng, kan, liat gue abis keluar ruang ujian?”

Changmin tidak memungkiri kalau melihat wajah Sunwoo membuat bebannya langsung lenyap.

“Iya, sih.”

“Kak, berarti lo tinggal nunggu pengumuman kelulusan aja habis itu wisuda? Lo udah mikirin mau lanjut kuliah ke mana?”

“Itu, sih, udah harus dipikirin jauh-jauh hari.” Changmin menyendok suapan terakhir es krimnya sebelum memfokuskan perhatiannya pada Sunwoo. “Gue udah ada rencana, sih.”

Wajah Sunwoo tiba-tiba meredup. “Lo nanti kalo udah jadi mahasiswa, pasti lingkungannya juga berubah. Banyak ketemu orang-orang baru, sibuk kegiatan ini-itu. Nanti lo lupa sama gue, si bocah ingusan ini.”

Changmin tertawa pelan. Dijitaknya dahi Sunwoo.

“Nggak, lah. Kayaknya nggak ada yang lebih nyebelin daripada lo. Jadi tenang aja, lo pasti akan selalu gue inget.”

Sunwoo meraih satu tangan Changmin untuk digenggam. Kali ini ekspresi wajahnya terlihat serius.

“Kak, kalo gitu kita pacaran aja sekarang. Gue nggak mau nanti lo pas kuliah dideketin sama orang lain terus direbut dari gue. Kan, gue nggak ada di sana. Gue nggak bisa ngusir orang-orang yang mau deketin lo.”

“Duh, Sunwoo…” Changmin meraih sisi wajah cowok itu lalu menarik pipinya, gemas. “Beneran bocil banget lo, ya? Gue janji nggak akan meleng kemana-mana. Lo bisa pegang janji gue.”

“Jadi pacar gue dulu makanya.”

“Ih, lo tuh nembaknya nggak romantis banget.”

Sunwoo langsung cemberut. Changmin mengusak rambut cowok itu sambil tersenyum. Manis. Begitu manis hingga Sunwoo hampir tak bisa menahan diri untuk mencium pipinya yang bulat ranum itu.

Kalau Changmin memang menginginkan prosesi penembakan yang spesial, Sunwoo akan menyanggupinya.

Benar saja. Di hari kelulusan, momen yang menarik perhatian banyak orang itu terjadi. Awalnya Changmin tidak tahu-menahu kalau di halaman depan sudah ada barisan anak-anak futsal yang membawa sepotong kardus di tangan masing-masing. Chanhee yang langsung menariknya untuk menyaksikan apa yang terjadi di sana.

Ketika Changmin sampai di halaman depan sekolah, riuh sorak-sorai dan tepuk tangan anak-anak memenuhi telinganya. Ia masih tak mengetahui apa yang terjadi hingga ia menemukan Sunwoo di tengah-tengah barisan anak futsal yang tengah berlutut di halaman itu. Cowok itu membawa gitar di tangannya. Satu genjrengan membuat seluruh siswa yang menonton kembali ramai.

“Lagu ini gue persembahkan buat mantan anggota PMR yang udah ngerawat gue waktu gue sakit, orang yang bikin gue jatuh hati. Lagu ini buat lo, Kak Changmin.”

Sontak Changmin menutup mukanya, merasa begitu malu telah menjadi pusat perhatian orang sebanyak itu. Namun sepertinya Sunwoo tidak peduli. Ia tetap memetik senar gitarnya dan mulai menyanyikan sebuah lagu.

Melihat tawamu, mendengar senandungmu, terlihat jelas di mataku warna-warna indahmu

Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu, terlihat jelas bahwa hatimu anugerah terindah yang pernah kumiliki…

Seiring seruan heboh kembali muncul, Sunwoo melangkahkan kakinya mendekati Changmin. Ia memainkan gitarnya tepat di depan cowok itu. Perlahan diturunkannya tangan yang menutupi wajah Changmin.

“Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu, hangat peluk janjimu, anugerah terindah yang pernah kumilikiii.”

Changmin menatap Sunwoo dengan pandangannya yang hampir kabur oleh lapisan bening yang menyelimuti matanya. Sunwoo tersenyum sembari menghapus bulir air mata yang terbendung di sudut mata Changmin. Ia lalu menggerakkan jarinya pada anak-anak futsal di belakangnya, mengisyaratkan mereka untuk mengangkat potongan kardus yang rupanya membentuk serangkaian kalimat.

KAK PMR, TOLONG DITERIMA SUNWOO TEMAN KAMI!!!

Satu halaman sekolah terpingkal melihat tulisan itu, termasuk Changmin yang langsung menghambur untuk memeluk Sunwoo dengan erat.

“Gimana? Diterima, nggak?” bisik Sunwoo.

“Emangnya boleh nolak?”

“Jangan, dong. Tega bikin malu gue?”

Changmin tertawa. “Ya, udah. Diterima.”

Sunwoo langsung berbalik ke arah teman-temannya dan anak-anak yang memenuhi halaman depan itu.

“Berhasil, woiii!!! Diterimaaa!!!”

Siulan keras dan tepuk tangan kembali membahana. Beberapa guru sampai ikut keluar untuk melihat ada keributan apa di halaman sekolahnya. Penasaran apakah anak didiknya sebegitu senangnya menyambut kelulusan.

Sunwoo meletakkan gitarnya untuk membalas pelukan Changmin lebih erat. Ia membisikkan kata-kata yang membuat Changmin memerah dan memukul punggungnya lantaran malu.

Sementara itu di sudut halaman ada seseorang yang mengabadikan momen itu melalui ponselnya. Ia menggelengkan kepala melihat kisah kasih temannya tepat sebelum meninggalkan sekolah.

“Bener-bener, deh, Changmin. Bisa kepelet sama bocah kelas sepuluh.”

(fin.)

disclaimer: potongan cerita ini TIDAK berhubungan dan TIDAK berpengaruh pada cerita utama, cerita ini terjadi DI LUAR JDAS universe. hanya ditulis untuk memenuhi keinginan pribadi penulis dan edgar-hanan mania. refers to ÉVADER Chapter 8: Lost and Drunk. tldr; hanan was drunk and stressed, edgar offered him a better distraction.


Menginginkan seseorang untuk dimiliki dan menginginkan seseorang itu bahagia adalah dua hal yang kerapnya sulit untuk bersinggungan. Edgar bukan seseorang yang suka memaksakan kehendak. Ia memiliki mimpi dan ambisi, tak berarti ia harus mewujudkannya dengan cara apapun.

Di hadapan Edgar saat ini, Hanan terlihat begitu kacau. Begitu hancur. Dibandingkan hasratnya untuk memiliki, ia memilih agar Hanan bahagia saja. Edgar belum tahu pasti apa pemicu kebahagiaan itu selain cowok yang disayangi Hanan, tapi Edgar bersedia untuk mencoba.

“Lo bisa gue tinggal, nggak?” Edgar menaruh segelas air dan beberapa butir obat di atas meja. Dipandanginya Hanan yang tergeletak lemah tak berdaya di sofa. “Hanan.”

Cowok yang napasnya masih bau alkohol itu membuka mata, menatap Edgar tanpa emosi pada sorot matanya.

“Jam berapa?” tanyanya serak.

“Dua belas lewat.”

Hanan berdecak. “Temenin gue.”

Edgar hampir bersyukur karena sesungguhnya itulah yang ingin dilakukannya, namun mustahil jika Hanan tak meminta. Ia menjatuhkan dirinya di sebelah Hanan yang kembali terpejam. Sesekali cowok itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Entah sedang meracau atau memang berniat untuk mengucapkan sesuatu yang dikalahkan oleh badannya yang sudah tak berdaya.

“Gue nggak suka lo kayak gitu tadi,” ucap Edgar ketika ruangan mulai hening. Tak peduli Hanan masih terjaga atau tidak. “Nggak cuma lo ngerugiin diri sendiri, bikin rusak badan lo. Tapi lo juga ngerugiin orang lain.”

Tarikan napas berat terdengar. Hanan belum sepenuhnya terlelap.

“Gue tau lo bego kalo lagi kacau,” lanjut Edgar. “Tapi liat-liat juga, anjing. Jangan punya orang lo main sosor aja. Nambah-nambahin masalah.”

“Ck, gue minta lo di sini buat nemenin gue. Bukan buat nyeramahin gue. Tai.”

Hanan terdengar sangat kesal. Tapi cowok itu memang harus diberitahu. Edgar menarik kaos bagian depan milik Hanan hingga kepala cowok itu bangkit sejenak dari rebah. Luka bekas terbentur tepian wastafel menghiasi pipi Hanan, membuat Edgar jadi diliputi rasa iba lalu menghempaskan cowok itu kembali ke sofa.

“Lain kali cari yang nggak ada pawangnya. Biar nggak jadi masalah,” desis Edgar.

Terdengar tawa pelan Hanan. “Siapa, dong? Elo?” Cowok itu susah payah bangkit untuk duduk, kepalanya terlalu berat hingga ia menunduk di depan Edgar. “Emangnya lo mau dicium?”

“Masih mabok lo, ya?” Edgar menoyor pelan dahi Hanan hingga tubuhnya terdorong sejenak ke belakang sebelum akhirnya roboh di dada Edgar. Mati-matian Edgar berusaha menahan umpatannya.

“Pusinggg pala gue, Gar… Muter-muter… Lo bisa nggak, sih-”

Hanan tak melanjutkan kalimatnya. Sebagai gantinya kedua tangannya bergerak melingkari pinggang Edgar, ia menyamankan diri memeluk cowok itu. Edgar tak berkutik ketika Hanan menggesekkan sisi wajahnya di dada Edgar, mengerang pelan. Menganggap bahwa Hanan hanya butuh untuk diberikan rasa tenang, Edgar akhirnya menaruh satu tangannya di punggung Hanan dan tangan yang lain mengusap kepalanya.

Demi seluruh semesta Edgar ingin waktu berhenti saat itu juga. Untuk sesaat ia ingin mengutuk moral dirinya yang dijunjung tinggi. Mengutuk dunia untuk sebuah perasaan yang lahir dengan tulus. Bahwa sebegitu hinakah dirinya menginginkan rasa cinta, menginginkan Hanan untuk dipeluk olehnya, dicumbu dan disayang? Edgar telah berkorban banyak hal sepanjang hidupnya, maka untuk sekali ini saja tak bisakah ia memiliki Hanan untuk dirinya sendiri?

“Gue kangen Ar- Mmph-”

Brengsek itu akhirnya muncul ke permukaan. Membungkam kerinduan Hanan pada orang lain dengan hasrat miliknya. Jemari Hanan yang mencengkram kuat bagian belakang bajunya menguatkan dorongan Edgar bahwa cowok itu juga menginginkannya.

Bibir Hanan terasa pahit, namun tak sepahit kenyataan ketika esok hari tiba. Edgar menciumnya seperti ia meloloskan seluruh perasaannya yang terkurung rapat. Semuanya mencari bebas. Satu tangan Edgar menahan tengkuk Hanan sementara badan cowok itu mulai terdorong hingga akhirnya Hanan rebah sempurna. Ciuman itu terlepas sejenak.

Sepasang iris mata Hanan menatap Edgar. He looks so lost… and guilty.

“Jangan mikir apa-apa,” ucap Edgar tajam. “You’re safe here. Right now. Just- don’t even think about anything.

Ucapan Edgar seperti mantra. Seperti sesuatu yang membuat Hanan percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Karena ini adalah Edgar. Dan Edgar tak pernah mengacau.

Malam itu, disaksikan jam dinding dan segelas air yang masih tak tersentuh, Edgar melakukan hal yang ditentang moralnya untuk pertama kali, secara sadar. Ia yang akan menanggung semuanya, sama seperti ia selalu menanggung segala hal bahkan yang bukan akibat darinya. Malam ini Edgar hanya ingin menyayangi Hanan secara nyata. Melalui lisan maupun raga.

Hanan mulai gelisah dan bergerak tak nyaman selagi Edgar menciumi lehernya. Celana jins mereka yang bergesekan menimbulkan sensasi terbakar yang perlahan merambat ke sekujur tubuh Hanan. Ia ingin menanggalkan semua kain yang menempel di kulitnya.

“Gar, lepas.” Hanan menarik-narik celana milik Edgar.

Edgar berhenti mencium leher Hanan. Matanya masih tertuju pada kulit leher cowok itu yang memerah di sana-sini, memikirkan sesuatu untuk beberapa saat sebelum tangannya bergerak melepas kancing celananya dibantu Hanan. Kemudian ia beralih melepas milik Hanan dan melemparnya ke lantai.

Tak ada lagi helai kain yang menghalangi Hanan untuk menggesekkan miliknya yang sudah memerah pada Edgar. He’s so hard it hurts. Keduanya mengerang bersamaan kala penis mereka bertemu. Edgar kembali menyerang leher Hanan dengan ciuman dan gigitan pelan sementara pinggulnya bergerak membabi-buta, menggesek dalam hingga telinganya hanya penuh dengan desahan Hanan.

Sesuatu yang sebelumnya hanya tersimpan di imajinasi Edgar dan kini didengarnya langsung, tak ayal membuat egonya membumbung. Edgar ingin membuat Hanan gila dan meneriakkan namanya.

Edgar tiba-tiba berhenti. Membiarkan Hanan bergerak putus asa mencari kenikmatan itu kembali.

“Gar…” erangnya. Pinggulnya terangkat untuk menciptakan friksi itu lagi. “Ck. Kenapa berhenti, sih?”

Edgar menundukkan kepalanya hingga mencapai telinga Hanan. Ditempelkan bibirnya di sana lalu berbisik rendah. “Panggil nama gue.”

Awalnya Hanan tak merespon. Badannya masih mencoba bergerak untuk mendapatkan kenikmatannya. Namun melihat Edgar tetap bergeming Hanan akhirnya menyerah. Ragu-ragu ia membuka mulutnya hingga nama itu terucap.

“Edgar… please…

Siapapun tahu malam itu Hanan benar-benar membuang harga diri. Hanya demi perhatian Edgar, diberi nikmat Edgar. Hanan membiarkan dirinya diinjak, direndahkan, dipermainkan. Sesuatu yang belum pernah diterima Hanan sepanjang hidupnya.

Memberikan satu ciuman di bibir Hanan, Edgar kembali pada perhatiannya untuk Hanan. Gesekan itu membuat tubuh Hanan semakin panas. Merapalkan nama Edgar menjadi sesuatu yang berada di luar kendalinya.

“Ah- Gar- Edgar… Fuck. Jangan berhenti.”

Edgar menatap Hanan yang menjadi berantakan di bawahnya. Menertawai dengan sinis bagaimana ia menambahkan kacau pada cowok itu. Namun setidaknya kacau yang ini tak menghancurkan tubuhnya seperti alkohol yang ada dalam aliran darahnya.

Malam ini Hanan harus lupa pada apa yang membuatnya hancur. Malam ini Hanan hanya boleh mengingat nama Edgar dan bagaimana cowok itu membuatnya kembali utuh. Edgar ingin eksistensinya terpatri kuat dalam sudut pikiran Hanan hingga suatu saat ia harus pergi dari hidup Hanan, Hanan tak akan pernah lupa padanya dan apa yang diberikannya malam ini. Bahwa Edgar memberikan semua hal-hal yang indah.

Napas Hanan tercekat ketika ia merasakan jari Edgar menyentuh lubangnya, bermain-main di sekitarnya. Hanan mulai bergerak tak nyaman.

“Lo pernah dimasukkin, nggak?” bisik Edgar.

Pertanyaan Edgar mengirim dingin ke punggung Hanan. Tak pernah terpikir olehnya seseorang akan dengan mudah mendominasinya seperti itu. Sepanjang hidup Hanan pantang membiarkan seseorang merendahkannya, apalagi memasukinya.

“Gar.”

“Hm?”

Seperti ucapan Edgar sebelumnya, Hanan tak berusaha memikirkan apapun lagi. Ia mengalungkan kedua lengannya pada leher Edgar untuk menariknya lebih dekat dan menciumnya tepat di bibir. Ia membiarkan Edgar melakukan semua hal yang membuat Hanan merasa penuh. Termasuk hal-hal yang belum pernah Hanan alami.

Dua jari yang berada dalam lubang Hanan mengubah sensasi yang awalnya terasa aneh itu menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang mengejutkan Hanan. Tanpa sadar dirinya sudah melenguh hebat meminta Edgar untuk segera memenuhinya saja.

Siapa Edgar kalau tak memberikan segalanya untuk Hanan?

Sedikit demi sedikit, pelan hingga terasa seutuhnya. Hanan mengumpat berulang kali.

“Ah, anjing. Gar. Sialan!”

Edgar mengulas senyum tipis. Takjub. Begini saja Hanan sudah kacau.

“Lo berisik banget,” ucap Edgar di telinga Hanan. “Ini gue belom apa-apa.”

Kentara wajah Hanan yang memerah. Harga dirinya sudah habis dilahap cowok yang berada di atasnya itu. Ia berharap Edgar segera menghabisinya saja tanpa ampun hingga kepalanya tak sempat lagi memikirkan rasa malu.

Lalu Edgar bergerak. Pelan, lambat, penuh kehati-hatian. Lagi-lagi Hanan mengutuk cowok itu di dalam hati. Untuk apa Edgar memperlakukannya sebegini lembutnya? Jika tujuannya untuk membuat Hanan lupa akan masalahnya, ini bukanlah cara yang tepat. Edgar memperlakukannya seolah-olah Hanan bukan pemuas nafsunya saja, namun seseorang yang harus ia jaga. Dan Hanan belum mampu mempertimbangkan kemungkinan itu.

Edgar menyusuri dada Hanan dengan bibirnya, lalu naik ke leher, sisi wajah, dan berhenti di bibir cowok itu yang terbuka, mengeluarkan desahan-desahan pendek.

Bersamaan dengan Edgar mendorong pinggulnya kuat, ia bungkam bibir Hanan yang mengerang keras. Punggungnya panas oleh kuku Hanan yang menancap pada kulitnya. Tapi Edgar tidak peduli.

Erangan Hanan teredam oleh bibir Edgar yang tak henti menyesap bilah bibirnya, lidahnya. Kali ini Hanan benar-benar tak mampu memikirkan apapun lagi selain Edgar yang berada di dalamnya.

Iblis bekerja keras malam itu karena baik Edgar maupun Hanan, tak ada satupun yang ingin berhenti. Edgar menyentak tubuh Hanan dengan kuat berulangkali, mendengar namanya disebut dalam desah yang mengalun merdu untuk telinganya. Kalau kewarasan Edgar sudah hilang sepenuhnya, ia pasti akan membalasnya dengan ucapan-ucapan sayang. Namun masih ada sisa kesadaran dalam diri Edgar untuk menahannya.

“Enak?” tanya Edgar pelan. Ada bulir air mata yang terbendung di sudut mata Hanan, dicium Edgar hingga habis tak bersisa.

“Gar… Edgar…” panggil Hanan.

“Iya?”

Edgar menundukkan kepala untuk mendengar apa yang ingin disampaikan Hanan. Satu kalimat yang meluncur dari bibir cowok itu hampir membuat Edgar keluar begitu saja.

Sialan Hanan.

Ketika Edgar mengamati wajah Hanan, ada senyum puas yang tersirat dari cowok itu. Ternyata bangsat itu bukan hanya dirinya.

Ada ego yang membakar jiwa Edgar untuk tak menjadi kalah. Apalagi dari sialan di bawahnya ini.

“Ah- Ah!” Hanan memekik kala Edgar mengubah ritme gerakannya. Tanpa ampun. Tapi Hanan tak mengatakan kalau ia tak suka.

Semuanya terasa asing, tapi Edgar berhasil membuat Hanan ketagihan.

Pelepasannya sudah berada di ujung. Hanan tak mampu mengucap hal lain selain 'Sialan' dan 'Enak banget, Gar.'

Hingga Hanan bertemu putih dan cairannya menetes ke perut serta dadanya. Edgar mencabut miliknya dan mengocoknya di atas perut Hanan. Tubuh cowok itu kini dihiasi cairan kenikmatan milik keduanya yang menyatu.

Hanan berusaha mengatur napasnya lalu memandangi Edgar yang berada di atasnya, tak menatap ke arahnya.

“Gar,” panggilnya. Namun Edgar malah bangkit dari sofa dan kembali dengan kain basah untuk membersihkan tubuh Hanan.

Hati-hati sekali Edgar mengusap kain itu pada permukaan kulit Hanan, menyapu kotor dari tubuh cowok itu. Dibersihkan hingga kembali seperti semula, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Seperti menghilangkan jejak.

“Edgar,” panggil Hanan lagi ketika Edgar memakaikan celananya. Cowok itu akhirnya mendongak, menaruh perhatiannya pada Hanan. “Lo ngapain sih kayak gini?”

“Kayak gimana?” tanya Edgar balik. Suaranya terdengar tenang.

Hanan berdecak pelan, berusaha mengeluarkan isi pikiran dari kepalanya yang rumit. “Ngapain kayak gini ke gue? Lo juga minum, ya, tadi? Lo mabok juga?”

“Gue nggak mabok,” ucap Edgar tegas. Ia selesai mengancingkan celana Hanan dan mulai memakai pakaiannya sendiri, membiarkan Hanan tetap bertelanjang dada.

“Terus kenapa-”

“Nan,” sela Edgar. “Gue nggak bisa nginep. Udah gue siapin obatnya di meja kalo lo pusing.”

Dari situ Hanan mulai sadar bahwa apa yang baru saja terjadi tak akan Edgar bahas lagi. Hanya menjadi bayang-bayang bagi keduanya, dan mungkin mimpi untuk Hanan yang esok hari mempertanyakan kenyataan.

Tiba-tiba ada perasaan sedih yang menikam ulu hati. Terlebih ketika Edgar memberinya sebuah cium di puncak kepala tanpa kata-kata. Tangan Hanan hampir bergerak untuk menahan cowok itu pergi. Hampir.

Suara pintu ditutup lalu bunyi mesin motor yang semakin menjauh dan hilang ditelan sunyi malam. Hanan meletakkan lengannya di atas wajah, menutupi sepasang mata yang tanpa permisi menjatuhkan tangis. Entah untuk apa.

Edgar berhasil membuat Hanan lupa akan kehancurannya hari ini. Namun ia juga berhasil membuatnya mempertanyakan sesuatu yang tak sempat terbersit di pikiran.

Mengapa?

Mengapa rasanya dunia berbaik hati memeluk Hanan ketika Edgar ada di dalamnya?